38. Adamant


ad·a·mant
/ˈadəmənt/

(adj.) refusing to be persuaded or to change one's mind.

*****

Di akhir penjelasan dan ceritanya, dua helaan napas itu terdengar dengan jelas. Berakhir dengan ucapan putus asa seorang pemuda, "Maafin aku, Bi."

Hobi tersenyum, menatap Jay dengan gelengan kepala yang pelan, "Nggak perlu begitu. Perasaan tetaplah perasaan. Aku lega, seenggaknya Lamia milih untuk nggak nyakitin dirinya lebih lanjut. Dengan begitu dia nggak akan semakin terluka."

Jay mengangguk masih dengan mata yang memandang kedua kakinya.

Hobi memperbaiki posisi duduknya. Meraih cangkir kopi dengan satu kaki yang terangkat mencari posisi nyaman. Memandangi halaman hijau penuh tumbuhan hasil usaha ibunya selama ini.

"Kamu sendiri gimana?"

Jay mengernyit bingung, "Bagaimana apanya?"

"Perasaanmu," tegas Hobi. Meletakkan kembali cangkir kopinya menciptakan dentingan halus di sana, "Gimana perasaan kamu setelah ini?"

Jay menggeleng, "Nggak tahu. Aku bingung. Ini sudah tiga hari dan aku masih nggak tahu harus gimana. Rasanya ... aneh."

"Jelas aneh," Hobi mengangguk tampak tidak terkejut, "kamu sudah sering banget sama dia. Terhitung empat bulan. Manis sekali seperti orang pacaran. Saat pisah pun pasti bakalan lebih sakit dari dulu."

Jay menyandar dengan kedua kakinya yang lurus sempurna, "Aku sudah coba hubungi dia berkali-kali. Cari waktu yang tepat untuk bicara. Biarin dia diam untuk lebih tenang. Ngomong baik-baik, tapi nggak di respon juga."

"Sudah minta bantuan Ryu?"

Jay mengangguk, "Dia juga nggak mau respon. Katanya nggak mau ikut campur sama hubungan kami. Pas aku minta tolong sambungin ke Lamia pun dia nggak mau. Katanya aku yang harus selesaikan ini sendiri."

Melanjut dengan pikiran yang sedikit kacau, "Aku nggak mau saja terlalu merasa bersalah. Bagaimana pun aku udah nyakitin dia. Aku mau ngomongin ini secara baik-baik."

Mengerang frustasi dengan jemari yang menyisir kasar rambutnya. Menyingkap sesaat poni yang menutupi dahi tersebut, "Aku juga ngerasa aneh, Bi. Rasanya kayak gimana, ya? Kebayang banget gimana sedih dan putus asanya dia selama ini. Apa aku ngerasa bersalah ya sama dia?"

Hobi mengangkat bahu, "Kalau untuk itu kamu yang lebih tahu," ucapnya, "perasaan bersalahkah itu atau ..." Hobi sengaja menggantungkan ucapan sedang konyolnya Jay justru menunggu dengan harap-harap cemas, "rasa tidak rela karena ditinggalkan."

"Jelas aku nggak rela, lah," ucap Jay. Karena aku kehilangan satu tempat pulang dan alasan bertahan.

"Karena?"

"Karena dia itu orang terdekat kita. Niatku kalau akhirnya nggak baik begini, setidaknya kita bisa pisah baik-baik. Tetap berhubungan baik dan silaturahmi jalan."

Plak!

"Aduh! Sakit, Bi! Main pukul saja. Sialan!" Jay mengaduh dengan tangan yang mengelus belakang kepala.

"Otakmu dimana, sih? Masih mikir setelah pisah bakalan baik-baik saja? Ibaratnya gini, kamu putus sama mantan emang setelah itu bakalan baik? Sekalipun ini kasusnya beda, tapi mirip-mirip lah. Keadaan nggak bakalan balik seperti dulu. Aneh banget saat Lamia udah sampai begitu, tiba-tiba besoknya di nyapa 'Halo!' tanpa canggung seolah nggak ada apa-apa," cibir Hobi.

"Nggak aneh, sih menurutku."

"Sinting! Dasar cowok sialan kamu. Sudah, lah. Capek aku ngomong." Meneguk kopi yang sudah tak lagi hangat, Hobi kembali menyahut seru,

"Intinya! Menurutku, kamu di sini bukan ngerasa bersalah atas perasaan Lamia. Hanya saja ini jauh lebih penting dari itu."

Penasaran sekaligus takut-takut, Jay pada akhirnya mengudarakan tanya, "Apa?"

Tersenyum penuh makna. Jay rasanya ingin menyemburkan kopi di mulutnya pada wajah Hobi saat lelaki itu menampakkan senyum jahil dengan berkata, "Kamu yang sudah mulai jatuh pada Lamia."

***

Sinting. Gila. Konyol.

Jay berulang kali menepis pikirannya tatkala ucapan Hobi berulang berkali-kali di benaknya. Sialnya, sudah nyaris dua minggu dan ucapan itu tidak juga enyah, justru semakin memenuhi isi otaknya dan enggan beranjak dari sana.

Jatuh pada Lamia dia bilang? Tidak. Tentu saja tidak. Jay tidak mungkin jatuh hati secepat itu. Tidak mungkin berpindah hati secepat itu. Ini pasti salah paham. Sebuah teori tidak masuk akal yang sedang diracuni oleh Hobi untuk mencuci otaknya.

Jay. Tidak. Mungkin. Cinta. Lamia.

Kendati dengan keadaannya yang uring-uringan selama ini, lelaki itu bisa memastikannya dengan jelas. Bahwasanya setiap rasa yang mengganggu dirinya itu bukanlah cinta. Melainkan rasa bersalah lantaran telah menyakiti anak kesayangan Papa Mama itu sedalam itu. Jay tidak mungkin menjadikan itu sebagai alasan klasik untuk jatuh cinta. Lagipula, Jay sudah berusia dua puluh enam tahun sekarang. Jay tentunya sudah tahu mana cinta dan mana yang bukan cinta.

Iya, kan?

Menaruh piring terakhir untuk dia tata di rak piring. Jay bisa bernapas lega dengan dua tangan yang tersimpan di pinggang. Lega. Akhirnya satu pekerjaannya sudah beres. Semuanya sudah selesai dan dia bisa segera istirahat serta merebahkan diri di rumah.

"Jay."

Seseorang memanggil. Jay menoleh dan melihat satu rekan kerjanya memanggil, "Ya, Sat? Ada apa?"

Pemuda bernama Satria itu tersenyum. Tampak ingin menggoda dan mengganggu Jay dengan satu dorongan pelan di bahunya, "Cewekmu, tuh. Lagi datang sama pacarnya bos."

Cewek? Lamia?

"Serius? Dia lagi di sini?" Jay membelalakkan mata. Bertanya spontan.

Satria mengangguk, "Iya. Gih sana samperin. Kerjaanmu juga sudah beres."

Mengangguk penuh semangat Jay lekas berlari kecil dan melepas apron yang dipakainya kemudian memberikannya pada Satria untuk disimpan.

Namun, sebentar.

Di ambang pintunya, ia berhenti mendadak. Heran terhadap diri sendiri yang entah bagaimana merasa antusias sekali lantaran mendengar fakta bahwa Lamia ada di sini. Di dekatnya dan bisa ia hampiri.

Kenapa aku jadi excited banget, sih?

Menggeleng dengan sikap keras kepalanya, Jay kembali menepis. Ini pasti karena perasaan bersalahnya. Lelaki itu berjalan pelan. Melihat satu sosok yang sudah tidak dilihatnya selama dua minggu ini tengah duduk di tempat lain. Memandang ke luar jendela dengan Ryu yang berada di hadapannya. Tampak begitu akrab dengan perbincangan ringan dan sesekali diselingi tawa.

Dia baik-baik saja.

Entah bagaimana. Entah ada dorongan apa. Hati Jay menghangat manakala melihat seulas senyum itu pada akhirnya terlihat. Setelah pemikiran negatif dan kekhawatiran tidak masuk akal yang menghampiri dirinya. Setidaknya melihat satu senyum manis di wajah cantik Lamia, hatinya sudah merasa lebih tenang.

Perasaan bersalahnya tidak semakin membesar.

Iya, kan?

Menghela napas lega. Lelaki itu pada akhirnya memilih berbalik pergi. meninggalkan Lamia yang tengah tertawa riang dengan Ryu. Tidak mau mengganggu waktu dan kebersamaan mereka. Pun membuat suasana canggung dengan kehadirannya dan membuat perasaan Lamia memburuk seperti yang sudah-sudah.

***

Sudah mengganti pakaiannya. Jay lantas keluar. Berjalan dengan tas selempang yang biasa ia pakai dan menuju tempat parkir. Sesekali membalas sapaan dari rekan kerjanya saat saling berpapasan.

Sorot matanya melirik meja tempat Lamia duduk. Sudah tidak ada orang dan bekas-bekas makannya pun sudah diberesi di sana. Berarti gadis itu sudah pulang. Jay jadi bisa melangkah dengan percaya diri tanpa takut bahwa akan berpapasan dengan Lamia.

Namun memang takdir sedang tidak berpihak padanya. Atau barangkali, semesta yang sedang menunjukkan cara kerjanya. Seolah enggan memisahkan dua presensi manusia tersebut sampai keduanya benar-benar menuntaskan apa yang mereka mulai.

"Lamia."

Sempat membeku selama beberapa saat dengan cengkraman ponselnya yang mengerat. Lamia mencoba menahan diri dengan baik. Mengusir jauh-jauh rasa ingin memeluk lantaran rindu setengah mati yang ia rasakan selama ini. Tidak bertemu selama dua minggu dengan komunikasi yang benar-benar putus membuat gadis itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan jika suatu saat akan kembali dipertemukan dengan Jay.

Seperti saat ini.

"Ya. Halo." Tersenyum tipis dengan cepat. Lamia lantas mencoba untuk melarikan diri. Enggan berlama-lama berhadapan dengan sosok lelaki yang masih menempati hatinya sampai penuh saat dirinya tidak bisa mengendalikan diri dengan baik.

Jay menghembuskan napas berat. Respon itu sangat berbeda dari yang biasa ia dapat. Tidak ada lagi sebuah sapaan riang, tidak ada senyum secerah matahari, tidak ada sorot mata hangat dan bersahabat. Karena apa yang Jay dapatkan justru sebaliknya.

Tubuh Lamia yang terlihat lebih kurus dengan gurat-gurat lelah yang nampak jelas dari matanya. Pun satu senyum tipis dengan nada dingin seolah mempertegas Jay bahwa gadis itu enggan berlama-lama menghabiskan waktu dengannya.

Kemana tawa kebahagiaan yang sempat Jay lihat tadi?

Diam-diam lelaki itu meringis. Ternyata semuanya palsu, ya? Karena apa yang Jay dapati saat ini nyatanya berbandig terbalik dengan apa yang ia lihat tadi.

Mengikuti naluri juga memperbaiki kesalahan guna mengurangi perasaan bersalah yang bercongkol dalam dadanya selama ini. Jay serta merta meraih pergelangan tangan Lamia. Mencegah gadis itu pergi saat akan melewatinya.

Lamia sendiri tampaknya enggan menetap. Melirik sejenak tangan Jay yang melingkar di pergelangan tangannya, ia berujar lirih, "Lepas, Kak."

"Kita harus bicara."

"Nggak ada yang perlu dibicarakan."

"Menurutku ada."

"Menurut La nggak ada."

"Kita harus bicara baik-baik."

"Apa lagi? Semuanya sudah selesai."

"Menurutku belum usai. Kita masih punya banyak waktu."

"Jangan egois, Kak. Jangan hanya mikirin perasaan Kakak."

"Untuk itu ayo kita bicara," menyentuh bahu Lamia dan mengarahkan pelan gadis itu agar bisa berhadapan dengannya, "ayo kita bicarakan baik-baik agar nggak ada salah paham di antara kita."

Menarik satu bibir dan tertawa remeh. Lamia berujar, "Apa? Fakta bahwa Kakak suka sama Lamia ternyata?" cibirnya.

Jay tercekat. Sedikit terkejut kendati cepat-cepat dia normalkan ekspresi itu, "Bukan begitu. Aku―"

"Kalau begitu nggak ada yang perlu dibicarakan," tegas Lamia, "semuanya sudah selesai."

Cepat-cepat gadis itu melepas genggaman tangan Jay yang melingkar. Jay sendiri seolah tidak memiliki tenaga cukup untuk sekadar menahan lebih lama. Sehingga mana kala Lamia pergi meninggalkannya, sebuah perasaan lain juga kembali mendominasi hati. Rasa aneh yang sulit sekali ia abaikan selama ini. Sebuah rasa yang membuat dadanya seperti diremas dengan gila. Sesuatu yang tidak mengenakkan yang enggan untuk ia pertahankan eksistensinya dalam hati.

Hendak melihat kemana perginya Lamia dengan badan yang berputar seratus delapan puluh derajat, lelaki itu kembali dikejutkan dengan sosok lain yang ada di hadapannya. Tengah bersidekap dengan dua tangan yang bersilang depan dada.

"Ryu?"

"Ikut aku. Kita perlu bicara." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top