36. Elegy
el·e·gy
/ˈeləjē/
(n.) a poem of serious reflection, typically a lament for the dead.
*****
Piknik.
Satu kata itu adalah yang terucap ketika kemarin Lamia menawarkan akan jalan-jalan kemana. Saat itu, ekspresi Jay nampak sedikit terkejut. Pemuda itu bahkan sampai membuka ponsel untuk sekadar mengecek kalender akan kebenaran dari ucapan Lamia. Sempat terjeda beberapa lama dilanda keheningan dan hanya menyisakan sayup-sayup lantunan suara Park Jimin dengan lagunya yang berjudul Promise yang dinyalakan dengan volume lirih.
Berpikir untuk beberapa saat dan Lamia menunggu dengan sabar. Gadis itu bahkan tidak melepas pandangannya barang sejenak. Tidak sampai hati untuk memutuskan pandangan hanya untuk menilai setiap ekspresi yang Jay tampakkan.
Tidak ada yang benar-benar menarik perhatiannya. Hanya saja, ketika dua sudut bibir itu tertarik lemah dengan helaan napas lembut yang terdengar sampai rungu, Lamia bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Dengan sorot dari iris cokelat kesukaannya itu yang seperti menerawang dengan pikiran melalang buana.
Sebuah kalimat terucap dan suara madu Jay pun terdengar bersamaan dengan itu.
"Aku ingin piknik."
Satu tas jinjing berisi banyak sekali makanan yang sudah dibawa dari rumah, Lamia tidak lupa membawa sebuah karpet yang saat ini sedang dibentangkan oleh Jay ketika gadis itu tengah mengabsen satu per satu makanan yang ia bawa. Memastikan tidak ada yang tertinggal.
Disisi lain, Jay juga membawa minuman. Sesuatu yang ia bawa dari restoran setelah meminta teman-temannya membuat itu. sehingga manakala tadi sore Lamia sudah sampai dan menjemput, lelaki itu sudah membawa dua gelas plastik berukuran besar yang berisi jus stroberi kesukaan Lamia dan satu cappuccino dingin kesukaannya. Tidak luput membawa beberapa camilan berupa potongan buah yang disusun secara rapi sesuai keinginan Lamia sebelum keberangkatan mereka.
"Terus salah satu pelanggan itu nggak sengaja numpanin minuman ke aku. Sempat kesel, sih. Cuman mau gimana lagi. Untung banget orangnya baik, malah cantik pula."
"Harus banget, ya kata cantik itu diperjelas?"
"Oh, iya, dong. Itu faktor utamanya."
"Jangan-jangan dianya aja yang sengaja biar genit dekat-dekat sama Kakak. Besok-besok La ikut kerja di restoran itu deh. Biar colok tiap mata cewek yang nggak bisa jaga pandangan."
Barangkali memang sudah mengalir begitu saja. Keduanya tampak tidak memiliki sesuatu yang berat untuk diperbincangkan. Lebih tepatnya tidak mau. Karena ini adalah hari spesial bagi Jeremy. Sejak di rumah gadis itu sudah berencana untuk tidak melakukan apapun yang merusak hari indah mereka.
Maka setiap obrolan-obrolan yang tanpa sadar melewati waktu yang lama itu terjadi. Spontan dan tidak terencana. Dengan banyaknya kisah yang tersampaikan, hal-hal tidak penting yang ditertawakan, serta kekonyolan yang saling diperlihatkan.
Tawa-tawa dan kebahagiaan itu mengudara. Turut bergabung dengan angin semilir yang sesekali menerpa dan menghampiri. Diikuti dengan aroma harum dari masakan Lamia yang tidak kalah enak dengan koki restoran Hobi. Bahkan sampai di kotak makanannya yang terakhir dengan isi yang mengikis, keduanya serempak dan setuju untuk berberes. Memasukkan barang-barang mereka agar bisa memiliki tempat yang lebih luas.
Matahari sudah semakin meredup. Semburat biru yang mulai bergabung dengan warna orange akan bertransisi menjadi kegelapan total berhias bulan dan bintang. Namun sebelum itu terjadi, keduanya lebih memilih duduk bersisihan dengan kaki yang diluruskan sempurna. Dua tangan yang saling terkait satu sama lain.
Kepala Lamia seolah mendapatkan tempat favoritnya selama ini. Tempat ternyaman dimana dia bisa bersandar sembari menghirup aroma khas dari tubuh Jay yang wangi dan sudah menjadi kesukaannya sejak lama. Tidak hanya itu, Jay juga ikut melakukan hal serupa. Kepala yang juga bersinggungan dengan milik Lamia dan sesekali rambut lembut gadis itu menggelitik kulit wajahnya.
Jay mengeratkan kaitan tangan mereka. Seolah dua jemari yang lebih panjang itu menemukan tempatnya selama ini. Pas sekali. Pun dengan jemari kecil dan kurus Lamia yang membalas hal serupa. Lelaki itu melirik, melihat semburat merah yang selalu hadir di wajah Lamia akan setiap hal sederhana yang ia lakukan terhadap gadis itu.
"La suka sekali kalau kita berpegangan seperti ini."
Suara lirih nan merdu itu menyapa rungu setelah beberapa menit lamanya mereka hanya berteman sunyi. Jay yang awalnya menatap lurus dan memerhatikan anak-anak kecil yang berlarian bermain dengan balon gelembungnya itu, lantas melepas pandang. Menyorot atensi penuh pada satu gadis yang ada di sampingnya.
"Aku nggak kaget, sih," ucapnya, "kamu selalu malu-malu kalau aku pegang begini. Memangnya kenapa?"
Tidak menanggapi gurauan Jay yang barusan tertuju padanya, Lamia menggeleng pelan, "Nggak apa-apa. Rasanya kayak Kakak itu sudah jadi milik La seutuhnya."
Tahu tidak definisi dari sebuah hubungan yang terdengar tidak begitu sehat di mana hanya ada pihak yang saling memanfaatkan satu sama lain? Rasa-rasanya, baik Lamia dan Jay sudah terikat dalam hubungan macam itu. Bukan sesuatu yang sangat gelap seperti halnya novel-novel dark-romance yang menyebar di pasaran. Ini lebih sederhana dari pada itu.
Agaknya, sebuah kebohongan yang dipupuk sejak awal itu bukanlah ide yang bagus untuk memulai sebuah hubungan. Mengenai sebuah luka yang disembunyikan dengan seulas senyum, sebuah amarah yang ditahan, sebuah kecemburuan yang sedang dikontrol, sebuah kalimat yang selalu saja tak ditindak lanjuti.
Lamia barangkali tidak tahu harus berbuat apa untuk kelanjutan usahanya selama ini. Terutama ketika Jay tidak merespon apapun dari ucapan kalimatnya. Alih-alih menjawab, lelaki itu justru melepas kaitan tangan mereka. Mengarahkan Lamia untuk menghadapnya, berakhir dengan sebuah kecupan yang mendarat di dahi gadis itu.
Sebuah kecupan yang berjalan singkat, tapi sanggup menghabisi seluruh kewarasan yang dimiliki oleh Lamia.
Perayu ulung.
Lamia benar-benar benci saat di mana ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Terkait Jay dengan segala bujuk rayunya yang entah mengapa selalu sanggup membuat Lamia bertahan dan tidak untuk pergi. Atau barangkali, hanya Lamia saja yang tidak bisa meneguhkan pertahanan diri.
Debaran jantung yang tidak bisa dihentikan, dada yang terasa diremas kuat, serta udara yang perlahan mulai menipis. Dengan sepasang mata yang tertutup, Lamia meremas ujung bajunya. Merasakan sengatan listrik yang mengalir dari telapak tangan kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Seolah melupakan fakta bahwa mereka berdua bukanlah satu-satunya eksistensi makhluk yang ada di bumi. Pada sore itu, di suasana yang terlihat sangat romantis beratapkan langit dan akar-akar senja yang menyebar. Lamia mulai merutuk dirinya lantaran sudah jatuh semakin dalam.
Lamia sering mendengar dan membaca juga bahwa ketika semua usahamu gagal. Di saat-saat terakhir saat kau sudah nyaris putus asa dan kehilangan harapan, di saat itulah kemenanganmu mulai terlihat. Saat kehidupanmu mulai dijungkir balikkan dan kau pada akhirnya menjadi seorang pemenang di sana.
Apakah ini berarti seluruh rencanaku berhasil?
Sudah berdebar bukan main dan hati yang berbunga. Seulas senyum bahkan terbit di wajahnya. Mengalahkan bulan sabit yang perlahan mulai memunculkan presensi diri di atas mereka.
Melepas ciuman singkat itu. Lamia menampilkan senyumannya. Senyum yang termat manis sehingga mengundang hal serupa menghiasai wajah Jeremy. Keduanya tidak berucap apapun. Seolah dengan pandangan mata dan arti dari tatapan itu sudah cukup akan konversasi sunyi yang tengah terjadi.
Namun sepertinya Lamia tidak se-pintar Jay yang sudah paham betul dan bisa membaca ekspresinya dengan teramat apik. Lantaran gadis itu sampai sekarang seringkali salah persepsi dengan setiap tindakan Jay, pun ekspresi wajah yang seringkali tidak menggambarkan isi hati pemuda itu.
Jay itu terlalu sulit. Dengan semua kehidupannya yang cukup pelik berimbas pada sifatnya yang sesekali membuat panik. Lamia haruslah memutar otak kala ia dihadapkan dengan Jay yang seperti itu. Barangkali memang Lamia yang terlalu percaya diri. Barangkali memang Lamia yang terlalu bodoh. Barangkali memang Lamia yang seolah enggan berpikiran negatif kendati semua spekulasi dan bukti nyata itu seolah mendesaknya untuk segera pergi dan menyerah.
Bahkan ketika suara ponsel yang menginterupsi percakapan sunyi mereka, memutuskan pandang secara sepihak dan pemuda itu langsung meraih benda kotak pipih itu. Lamia melirik singkat sebuah nama yang tertera di sana. Nama yang entah kenapa langsung membuat semua pertahanan dan keyakinannya hancur.
Asa yang ia miliki nyaris putus. Nyaris. Lantaran di kepalan tangannya yang erat itu, Lamia masihlah gadis yang harap-harap cemas. Mengharapkan sesuatu yang sangat tidak mungkin diterima oleh akal sehatnya. Di setiap kalimat yang Jay lontarkan untuk menanggapi si penelepon, Lamia masih tetap teguh dan berharap.
Lelaki itu menghela napas. Tampak merasa bersalah dengan sorot mata yang mengarah pada Lamia. Tidak. Lamia harus percaya. Dia masih punya sedikit harapan.
"Maaf," ucapan lirih itu mengudara, "kayaknya kita harus pergi. Ryu bilang dia butuh sesuatu untuk kita bawa ke rumah sakit. Pulang sekarang saja, gimana?"
Lagi-lagi begini.
Mencoba untuk terlihat natural dan tidak tampak kesal. Kendati dalam hati ingin sekali mendaratkan tinjuan di wajah pria itu. Lamia menukas, "Kalau Kakak pergi, La bagaimana?"
"Kita pergi bareng. Lagian kan mobil juga kamu yang bawa," jawab Jay terlihat santai.
"La nggak mau."
Menyadari ada nada bicara yang berbeda. Jay menghela, mencoba sabar dan membujuk Lamia, "Dia kakakmu, La. Dia butuh kita."
"Dan La juga butuh Kakak."
Stagnan. Tidak bisa melakukan apapun dan mencoba mencerna keadaan yang tengah terjadi di antara keduanya. Jay bisa meliaht bagaimana Lamia yang mendadak berubah. Tatapan matanya tidak sehangat tadi dan senyum yang terbit indah itu mendadak lenyap. Pun sorot mata yang menajam itu seakan memberitahu dan menegaskan bahwa gadis itu tidak dalam kondisi yang baik.
Dan Jay mengerti. Sudah paham bahwa Lamia tengah dirundung oleh kecemburuannya yang mendalam.
"Iya. Setelah ini kita pergi lagi, ya? Bagaimana?"
Lamia menggeleng, "Tidak jika Kakak masih tetap memprioritaskan Kak Ryu."
Jay mengerang pelan. Menyugar surai hitamnya sedikit frustasi, "Lamia. Tolong jangan egois begini. Hobi sedang sibuk di restoran dan Ryu butuh kita."
"Pilih, Kak," tegas Lamia.
Sorot mata gadis itu tak berpaling. Memberitahukan secara gamblang akan segala ketegasan dan keteguhan yang ia miliki. Biarkan saja, Lamia hanya terlalu muak dengan keadaan. Muak dengan posisinya yang selalu dinomor duakan. Lagipula, menjadi egois sesekali juga bukanlah sebuah kesalahan.
"Judith Lamia Laurana atau Eunice Angelaryu."
"Lamia, kamu―"
"Judith Lamia Laurana atau Eunice Angelaryu," tegas Lamia tanpa ingin mendengar penjelasan apapun.
Selama beberapa saat. Lamia masih setia menunggu. Masih mengharapkan sisa-sisa kemungkinan kecil yang barangkali bisa ia dapatkan. Keberuntungan yang tidak banyak orang peroleh. Namun agaknya, dengan diamnya Jay dan mulut yang seolah diberikan lem sampai terkatup rapat, Lamia menarik sudut bibirnya. Menertawakan dirinya sendiri lantaran semua harapannya sudah pupus sempurna.
"Ternyata, Kak Jay memang belum benar-benar membiarkan La masuk ke dalam hidup Kakak."[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top