35. Axiomatic

ax·i·o·mat·ic
/ˌaksēəˈmadik/

(adj. )self-evident or unquestionable.

*****

Suara mesin penggiling kopi terdengar manakala Lamia melangkahkan kaki dan mendorong pintu cafe menimbulkan bunyi lonceng yang menggema satu ruangan. Namun agaknya, semua spesies manusia yang tengah menghabiskan waktu dengan kegiatannya masing-masing itu tidak ada satupun yang tertarik dengan suara lonceng yang berdenting khas diiringi langkah gadis cantik yang berjalan dengan anggun. Agaknya sudah teramat biasa sehingga mereka hanya melirik sekilas kemudian kembali pada kegiatannya masing-masing.

Berdiri di belakang pengunjung lain membentuk sebuah barisan yang rapi. Menerapkan budaya antri dan menunggu dengan sabar adalah hal yang Lamia lakukan. Sesekali gadis itu memainkan kakinya lantaran sepat ber-hak lima sentimeter itu bisa digunakan sebagai pelampiasan bosan. Dua tangan yang mencengkram ringan tali tas selempangnya yang berwarna merah muda, warna kesukaan Lamia.

Celana jeans dan kemeja over size berwarna baby pink itu dipadukan dengan ikat rambut berwarna senada, sepatu yang juga berwarna serupa menambah kesan cantik sekaligus elegan pada Lamia. Melangkah patah-patah tatkala satu per satu orang perlahan keluar dari antrian dengan pesanan mereka. Lamia tersenyum manakala sudah menjadi orang yang berada di baris terdepan dan membalas senyuman gadis seumurannya yang tengah berada di balik mesin kasir.

"Dua sandwich, satu ice americano, dan satu hot cappuccino," pesannya sembari membaca pesanan yang menarik perhatian sebelum diajukan dan dicatat, kemudian menambahkan cepat, "take out."

Tidak perlu menunggu lama untuk Lamia pindah ke barisan orang-orang yang tengah menunggu pesanan setelah membayar dan berakhir dengan dua kantung plastik berukuran sedang yang dibawanya.

Gadis itu berjalan dengan hati-hati. Sekaligus karena harus menjaga sikap dengan anggun lantaran hak setinggi lima sentimeter yang sedikit menyulitkan langkahnya daripada biasa. Memasuki kawasan rumah sakit dengan senyum tipis. Membuang kesan dingin dan mencoba untuk terlihat ramah. Ajaran Mama selama dua puluh satu tahun kehidupannya.

Menekan satu tombol menuju lantai tempat Ryu dirawat. Pun menunggu dengan sabar dengan beberapa orang yang juga bergabung dengannya dalam lift. Sejamang Lamia sedikit meringis manakala bau khas rumah sakit memenuhi indra penciumannya. Seolah menyeruak ke tiap-tiap sudut ruangan dan bahkan menempel di tiap dinding yang ia lewati.

Ide buruk, seharusnya ia menggunakan masker sebelum masuk ke sini.

Lamia tidak pernah suka dengan rumah sakit. Sama sekali tidak. Lagipula apa hal bagus yang bisa kau dapatkan di sana selain kabar buruk mengenai seseorang yang tengah berjuang untuk sembuh dan senyuman palsu dari tiap orang hanya untuk memastikan bahwa keadaan akan baik-baik saja.

Namun memang dasar Ryu yang saat ini juga sedang dirawat. Mau tidak mau Lamia juga harus ada di samping kakaknya. Terutama mengingat orang tua Ryu yang saat ini sedang berada di Aceh. Mengunjungi sanak saudara mereka di sana. Jean dan Yuno yang sesekali datang menjenguk untuk memastikan keadaan si bungsu.

"Sudah datang?"

Sebuah pertanyaan terlontar bersamaan dengan pintu yang terdorong. Lamia melirik sekilas dan mendorong pelan pintu tersebut dengan kakinya. Mengangguk serta memasang senyum manis sebelum berjalan dan meletakkan dua pesanannya di atas meja nakas.

"Jay. Makan dulu gih sama Lamia."

Nah, ini juga alasan mengapa Lamia tidak bisa meninggalkan Ryu. Bukan bagaimana. Bukan merasa tersaingi ataupun apa. Lamia akan tetap sayang dengan Ryu. Sayang sekali karena gadis dengan sejuta kebaikan dan pesonanya itu adalah kakak tersayangnya sejak kecil.

Namun tetap saja. Sebersit rasa tak rela dan ingin memonopoli akan selalu hadir. Lagipula, gadis itu hanya berjaga-jaga agar pertahanan Jay tidak mulai goyah. Tidak setelah keadaan mereka yang baik-baik saja sebelum ini.

"Kamu sudah makan?" mengambil tempat di sisi ranjang Ryu dengan sorot khawatir yang terlihat jelas di sana. Lamia memutar mata jengah. Lekas mengambil satu set makanan dan minumannya untuk digiring bersama bergabung di sofa yang tak jauh dari mereka.

Ryu mengangguk, "Sudah. Tadi Hobi sudah bawakan aku makanan. Sekarang kamu yang makan. Dari pagi kamu belum makan apa-apa. Sana, temani Lamia."

Melirik sekilas makanannya di atas meja. Jay hendak menolak, tapi tatkala melihat sorot Ryu yang lembut kendati menyimpan perintah mutlak yang tidak akan bisa dilawannya, Jay pada akhirnya menghela napas pasrah. Mengangguk dan berjalan untuk mengambil makanannya.

"Kuliahmu lancar-lancar saja, Lamia?" Ryu sedikit berbasa-basi. Menghilangkan atmosfir aneh yang mendadak melingkupi, juga ekspresi Lamia yang tidak seramah biasanya.

Mengangguk dengan dua tangan yang memegang penuh sandwich berukuran cukup besar dan mengunyah satu gigitan besar, "Lhan-char," jawabnya masih dengan sisa-sisa makanan di mulut.

Ryu terkekeh. Melihat dua pipi adiknya yang menggembung dan ekspresi polosnya tatkala menyantap dan menikmati roti isi itu.

Tidak mengenyangkan memang. Maksudnya tidak sepuas ketika ia membeli satu nasi campur di kampus biasanya dengan Sarah. Lamia juga tahu barangkali beberapa jam lagi ia akan kembali lapar dan mencari makanan lain untuk disantapnya. Memang, khas sekali menjadi orang Indonesia yang tidak bisa untuk tidak hidup tanpa nasi. Roti inipun dia beli atas perintah Ryu saat Lamia sudah mau memasuki wilayah rumah sakit. Malas sekali harus kembali ke mobil yang sudah terparkir rapi di basement dan mencari makanan yang mempunyai unsur nasi.

"Setelah ini antar Jay ke restoran ya, La. Dia sebentar lagi harus sudah kerja."

"Nggak usah. Aku bisa berangkat sendiri," sahut Jay tanpa melirik sekitar.

"Nggak apa-apa. La bisa antar kok. Lagian sudah nggak ada kegiatan lagi. Kakak tenang saja."

Membawa pandangannya ke arah Ryu yang tengah menatap mereka makan, Lamia kembali bertanya, "Nanti Kak Ryu dijaga sama siapa?"

"Kak Yuno sama Kak Jean nanti ke sini."

"Terus Yohannes sama siapa?" Ya, mengingat satu buntalan menggemaskan yang tidak lain adalah anak dari dua kakak sepupunya  masih kecil. Mustahil bayi sekecil itu dibawa ke rumah sakit. Bukan ide yang baik mengingat banyaknya hal-hal buruk yang bisa mengganggu kesehatannya.

"Kak Yuno sudah sewa babysitter. Lagian Mama sama Papa juga kasihan kalau harus terbang langsung ke sini."

Menepuk kasar dua telapak tangannya guna membersihkan sisa-sisa roti yang menempel. Gadis itu meraih ice americano sembari memainkan ponselnya. Menikmati tiap seruputan yang membawa rasa dingin memanjakan tenggorokannya.

Melirik sejenak kala Jay juga sudah melakukan hal yang sama, Lamia lantas berbicara, "Mau berangkat sekarang, Kak?"

Jay melihat letak jarum jam di tangan kirinya. Menimang sebentar sebelum akhirnya mengangguk setuju, "Boleh," ucapnya, kemudian memutuskan pandangan guna melihat Ryu, "kakakmu sebentar lagi datang, kan?"

"Iya. Lagi di jalan," ucapnya dengan sebuah anggukan.

"Oke, deh. Aku tinggal sendirian nggak apa-apa, ya?"

"Iya. Hati-hati."

Ikut beranjak dari tempat duduknya guna berpamitan dan memeluk singkat Ryu setelah Jay melakukan hal serupa. Lamia pun pamit, "La pergi dulu, Kak Ryu."

***

Terhitung sudah hari ketiga Ryu menghabiskan waktu untuk menginap di rumah sakit. Tentunya itu membuat pria yang kini tengah duduk santai di kursi penumpang samping Lamia sembari menatap jalanan itu panik setengah mati. Melampiaskan itu pada Lamia. Merengek seperti anak bayi yang minta susu. Tidak berhenti menyogok Lamia dengan sederet kalimat manis yang membuai membuat gadis itu takluk dan tidak bisa melawan. Pada akhirnya mengalah dan membawa Jay untuk melihat kondisi kakaknya.

Sebenarnya bukan juga karena Jay. Ryu sendiri sakit karena fisiknya yang juga sedang dalam kondisi tidak terlalu baik. Bekerja cukup keras sampai gadis itu lupa istirahat dan melewatkan makan. Maka membiarkan Ryu tetap di rumah sakit agar bisa beristirahat total―tentunya dengan paksaan dari Hobi―saat Ryu tidak mau dan meminta berkali-kali untuk segera dipulangkan.

Dan sudah selama itu pula Lamia enggan beranjak dari sisi Jay. Mengikuti kemana pun lelaki itu ingin pergi seperti yang sudah-sudah. Tidak mau satu detik saja terlewat lantaran perasaan gundah gulana yang memenuhi hatinya akhir-akhir ini.

Juga ... sempat terbesit perihal rasa ingin menyerah dan segera pergi dari kehidupan pria itu.

"Nanti kalau kita balik ke rumah sakit, Ryu enaknya dibawain apa ya, La?"

Lagi-lagi pembicaraan macam ini.

"Apa saja. Kak Ryu juga tidak pilih-pilih." Memutar kemudi pada pertigaan dengan helaan napas beratnya.

Jay menggumam sejenak. Sorotnya belum beralih dari jalanan yang berada di sekitar mereka, "Ryu alergi kacang. Dia juga nggak bisa makan yang terlalu pedas. Kalau aku belikan seafood, masalahnya aku alergi seafood. Walaupun anak itu suka banget makan seafood."

"Terus kenapa kalau kakak alergi seafood? Yang mau makan kan Kak Ryu."

"Aku kan sekalian mikirin makan malamku, Lamia. Biar nggak bolak-balik pergi. Capek masalahnya."

"Ya sudah, sih. Lagian kan paling sudah diurus sama Kak Hobi. Kak Jay tenang saja." Meremas stir kemudi dengan perasaan kesal yang mendalam, gadis itu mencoba tetap mengondusifkan suasana. Tidak baik bertengkar saat berkendara.

"Kasihan Ryu makan yang begitu-begitu saja. Aku juga pengin beli sesuatu untuk dia. Jangan Hobi saja."

Lamia merotasikan matanya, "Kakak udah selalu ada di samping dia. Sering banget sampai dokter-dokter itu bosan lihat Kak Jay di sana. Itu sudah cukup, Kak. Jadi, biar Kak Hobi yang ngurus perlengkapan kalian dan Kakak yang jagain Kak Ryu. Adil, kan?"

Masih keras kepala, Jay menimpal, "Memangnya salah kalau aku mau perhatian sama sahabatku sendiri?"

Salah. Jelas salah. Karena Kak Jay pasti akan melibatkan hati. Nantinya La yang rugi!

Tentu saja itu diucapkan dalam hati. Masih berotak Lamia untuk mengudarakan protes itu dengan percaya dirinya.

Menekan rem saat sudah berhenti sempurna di depan restoran Hobi, tempat Jay bekerja. Lamia tidak serta merta membiarkan Jay turun dari mobil. Tidak setelah perasaannya yang kacau akhir-akhir ini. Tidak setelah semua hal yang ia rasa sia-sia dan tak membuahkan hasil. Tidak setelah melihat setiap perlakuan Jay dan pertahanan pria itu yang goyah manakala berada di sisi gadis yang mengisi hatinya itu.

Biar bagaimana pun, Lamia sudah berjanji pada Hobi, pada Ryu. Berjanji bahwa untuk usahanya kali ini adalah yang terakhir. Sehingga saat melihat Jay pada akhirnya akan memantapkan pilihan, maka di situlah Lamia juga akan memutuskan sesuatu untuk dirinya. Pergi atau bertahan.

"Kak," panggilnya, menahan Jay yang hendak keluar dari mobil.

"Ya?"

Lamia menghela napasnya berat. Berat sekali saat dirasa pasokan udara di paru-paru yang kian menipis dan dada yang seolah dihimpit beban teramat berat sampai nyeri. Mengeratkan lebih cengkramannya pada stir kemudi, Lamia berdoa sejenak sebelum memantapkan pilihannya.

Memasang senyum kelewat getir dan tatapan mata sendu, gadis itu berucap, "Besok ulang tahun Kakak, kan? Mau keluar untuk jalan-jalan? Sekali-kali kita kencan di luar akhir pekan."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top