34. Fastidious
fas·tid·i·ous
/faˈstidēəs/
(adj.) very attentive to and concerned about accuracy and detail.
*****
Lamia tersenyum puas tatkala bekal makan siang yang ia bawa dihabiskan Jay. Tandas tanpa sisa, bahkan hanya sebutir nasi. Mengulum senyum seraya menahan dua sudut bibir agar tidak tertawa, lekas gadis itu menarik kembali kotak makan siangnya yang telat kosong.
"Nah, begitu. Jadi besok-besok kalau La masak harus dihabiskan."
"Ini pemaksaan," Jay mencebik, "aku kan nggak mau makan siang. Nggak lapar. Malah dipaksa," runtuknya.
"Ini namanya pemaksaan lewat jalur positif. Nggak selamanya pemaksaan itu buruk lho, Kak." Lamia mencoba melucu. Sembari meletakkan tas jinjing berisi tiga kotak makan siang yang telah kosong.
"Lagian, Kak. Jangan sok-sok diet. Badan sudah kurus apalagi yang mau didietkan? Lagian kan Kak Jay sudah punyanya La. Serius, deh. La cinta Kak Jay apa adanya, kok," ucap Lamia dengan dua matanya yang mengerjap.
"Dih, siapa bilang?" Jay tak terima, "Kita kan belum official. Malah asal dipatenkan saja."
"Ya, sorry. Maksudnya kan mau jadi pacarnya Kakak. Satu tahap lagi menuju sana. Ya ampun, Kak. Kenapa nggak langsung terima saja, sih? Biar La nggak capek nunggu."
Jay menggeleng, dengan telunjuk yang juga bergerak. Gestur penolakan, "Belum saatnya. Sabar-sabar saja ya menunggu. Oh, iya. Keadaan Ryu gimana?"
Lamia menghela napas, "Kak Jay sudah nanya ini mau lima kali, lho. Nggak capek?"
"Nggak. Lagian kan yang sakit sahabatku sendiri. Wajar dong aku khawatir."
"Sahabat sendiri atau gebetan sendiri?"
"Jangan nyindir kalau nggak mau sakit hati sendiri."
Sialan.
Gentian gadis itu yang mencebik seraya membuang muka kesal. Entah harus bagaimana merespon atau mengalihkan topik pembicaraan agar perbincangan Ryu dan penyakitnya yang bahkan tidak parah itu selalu diudarakan oleh Jay sampai membuat gadis itu panas setiap kali mendengarnya.
"Kak Ryu itu sudah ada yang jaga. Kakak nggak usah khawatir. Kepalanya juga nggak kenapa-kenapa. Dia bahkan sudah ketawa ngakak di rumah sakit kalah-kalah orang jualan di pasar."
Terkekeh sejenak menanggapi lelucon Lamia. Jay mengangguk pasrah. Sadar bahwa jika lelaki itu kembali mengorek informasi maka akan kembali mendapatkan jawaban yang sama.
Bukan Lamia enggan menjawab atau bagaimana. Hanya saja gadis itu masihlah mempunyai otak yang waras dan tindakan yang tetap tenang agar suasana berjalan dengan kondusif. Hobi sudah menghubunginya beberapa kali. Bahkan sampai memberikan nomor ponsel Lamia kepada dokter Jin untuk segera berdiskusi terkait apa yang harus Lamia lakukan jika dihadapkan hal yang sama seperti beberapa waktu lalu.
Ahem, Lamia bahkan diberikan pujian karena tindakan heroiknya di kamar mandi. Tidak bermaksud menyombong tapi setidaknya Lamia merasa bahwa dia bisa benar-benar berguna menjadi manusia. Tidak sia-sia pembelajaran dari orang tua terkait mengetahuan umum dulu-dulu.
Maka mengingat bagaimana pedulinya Lamia dengan jay selama ini membuat gadis itu juga tidak mau memberitahukan bagaiamana perasaannya terhadap Ryu lebih lanjut. Kendati sempat membuat sekeluarga heboh bukan main. Ryu bisa diselamatkan sekalipun harus dirawat selama beberapa hari.
Karena Lamia tahu bagaimana seorang Angelaryu itu benar-benar digandrungi sampai-sampai semua sahabatnya enggan berpaling.
Kondisi Jay yang akan semakin parah jika tidak juga dibarengi dnegan obat-obatan yang harus ia konsumsi. Jika ia semakin berpikir bahwa Ryu tidak baik-baik saja, maka ia tidak akan memerhatikan kesehatannya sendiri.
Dan itu sama sekali bukan ide yang bagus. Sungguh.
"Ayo, La. Antar aku ke rumah sakit."
Bukan sekali dua kali Lamia mendapat tawaran yang sama. Tentang bagaimana sebuah permintaan ditujukan secara gamblang padanya dan ia harus menuruti itu. terutama dengan mata sipit yang mengerjap. Menatap penuh polos dengan dua tangan bertumpu depan dada.
"Kenapa diam, La. Kamu nggak lagi cemburu, kan?"
Cemburu, sialan!
"Hm? Cemburu gimana?"
"Biasanya kalau aku lagi sama cewek-cewek cantik. Tante-tante seksi, kamu pasti selalu ledekin aku. Jadi mak comblang antara aku sama mereka. Sekarang gimana? Kenapa diam gini? Kamu serius nggak cemburu sama Ryu kan?"
"Justru itu," menarik sudut tertawa getir, "justru itu yang buat Lamia terus merasa cemburu."
Memperbaiki posisi duduknya menjadi mengamping agar bisa langsung bertatapan mata dengan Jay, Lamia melanjut, "Justru ketika Kakak sedang bersama Kak Jay. Itu adalah saat di mana La benar-benar dan sangat cemburu."
"Terus kenapa nggak mau antar aku ke rumah sakit?"
Lamia menghela, "Kakak masih sakit. Harus berobat dulu. Harus sembuh dulu sampai saat itu, baru boleh jenguk Kak Ryu."
Jay tampak tidak terima, "Tapi, Ryu kan masih sahabatnya Kak Jay juga."
"Bukannya Kakak sudah janji sama La, ya?" menatap tajam dan menuntut, gadis itu mencoba bicara baik-baik.
"Iya, sudah."
"Nah, kalau sudah janji, berarti harus ditepati. Ingat bahwa Kakak itu harus berjuang untuk lamia. Harus jadikan Lamia sebagai alasannya untuk hidup."
"Omong-omong itu kedengarannya sedikit klise."
"Oke, boleh lah di panggil bagaimana. Aku nggak ngerepotin ornag-orang."
"Ingat kita lagi miskin."
Memang benar, pengeluaran untuk skripsi memang tidak main-main. Mengikis seluruh perhatian Lamia pada pekerjaannya sampai pacar pun dilupakan begitu saja. Namun bukan itu yang menjadi titik masalahnya, justru ketika Jay tampak sebagai orang ramah dan bisa bergaul. Namun orang seperti itu juga yang entah kenapa bisa belajar tentang kehidupan sosial itu dari sana.
"Lagipula, kita sudah punya ruangan masing-masing dan itu bagus. La senang akhirnya di puji."
"Wah, makan-makan dong, nih!"
"Hush! Nggak ada uang."
"Ayo, dong, Lamia. Antar ke rumah sakit. Aku juga pengin jenguk Ryu. Pengin lihat langsung keadaannya. Masa nggak boleh?"
Rengekannya terus menjadi terutama setelah restoran sudah sepi karena hujan besar sekali yang melanda. Bahkan Lamia sendiri tidak sadar sudah sejak kapan pinggangnya direnkuh posesif agar lelaki itu bisa dapat apa yang ia inginkan.
"Nggak usah sok merayu gitu, Kak. Nggak bakalan dapat. Kata Kak Hobi, Kakak harus sembuh dulu."
"Aku sudah sembuh! Serius. Sudah nggak sakit lagi."
"Iya, tapi kamu juga pilek."
"Yang itu tolong jangan di bahas juga."
Sedikit lelah dan kesal lantaran Jay menganggap semua itu sebatas candaan saja. Lamia mengdengkus kesal. Buru-buru mengubah sorot pandangnya menuju arti lain yang sanggup membuat lelaki itu perlahan beringsut mundur.
"Kalau Kakak sama Kak Ryu. Terus La gimana? Bukannya kemarin sudah janji? Atau Kakak nggak benar-benar suka sama La?"
Hening. Tidak ada yang menjawab. Hanya ada suara dedaunan yang saling bergesekan di terpa angin. Atau sebuah debu yang sangat tebal terbang tinggi terbawa angin dan seolah membawa kisah-kisah mereka yang tampaknya sedang berada di saat yang tidak baik sekalipun keduanya tetap membubuhkan tawa dan senyum. Senyum-senyum khas penipu ulung. Sayangnya kembali lagi harus diterapkan di sebuah hubungan mereka.
"Kakak nggak bisa jawab. Nggak asyik." Tertawa getir, dengan nada setengah menyindir dan kaki yang awalnya menyilang, gadis itu lantas bangkit dari tempat duduknya.
Pasrah saja tatkala sebuah tangan terulur di hadapan Jay dengan sebuah ucapannya yang sangat ditunggu pria itu.
"Ayo, La antar ke rumah sakit."
Jay mengerjap. Sedikit tidak heran dan bingung. Kepalanya lantas terdongak. Menatap aneh Lamia yang masih mempertahankan posisinya, "Jadi antar aku ke rumah sakit?"
Menghela napas untuk kesekian kali, Lamia mengangguk, "Asalkan Kakak tetap minum obat dan jangan melakukan hal gila. Bisa?"
Tersenyum cerah, Jay membalas cepat, "Bisa."
Baiklah, sepertinya ada perasaan lain di sini yang menghampiri. Rasa senang lantaran akan bertemu dengan Ryu setelah sekian lama.
Kendati di sisi Lamia ini terdengar sangat tidak baik dan menguntungkan.
Perihal Jay dan hatinya yang mungkin saja masih bisa goyah.
Baiklah, apakah masih ada sisa kesempatan lagi untuknya? Lamia juga tidak benar-benar tahu. Sumpah. Seolah semua usahanya ini sia-sia. Seolah apa yang ia lakukan percuma. Seolah pengorbanannya tak berguna. Semuanya omong kosong belaka.
Pun dengan senyum secerah matahari milik Jay terlihat dengan jelas bersamaan dengan tangan mereka yang saling terayung, Lamia tidak bisa menahan diri untuk tidak merapalkan banyak sekali ucapan maaf dan sabar terhadap dirinya sendiri.
Maaf karena selama ini telah berbohong tentang perasaannya.
"Aku nggak sabar ketemu Ryu."
Kalimat itu kembali dikumandangkan. Membawa serta sebersit rasa terluka dan cemburu yang membuat Lamia sesekali meremas ujung pakaian saking gemasnya.
Namun baiklah, barangkali ini memang takdirnya. Barangkali ini memang rencana Tuhan untuknya. Jadi Lamia akan tetap melaksanakan satu lagi kesemaptan terakhir yang ia miliki.
Maka setelah itu, Lamia akan benar-benar menyerah.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top