33. Ethereal
e·the·re·al
/əˈTHirēəl/
(adj.) extremely delicate and light in a way that seems too perfect for this world.
*****

Jay tidak tahu darimana asal kecerobohannya barusan. Tentang bagaimana bisa sesuatu yang dimulai dengan tawa itu berakhir jeritan dan bunyi debuman keras dari tubuh Ryu yang terjatuh karena dorongannya.
Semua terjadi seperti yang mereka rencanakan di awal. Sebuah rencana dadakan tatkala sesuatu mulai terbesit dalam diri Jay. Sebuah keinginan untuk bahagia, seperti pinta Lamia. Sebuah keinginan untuk meraih sebuah perasaan yang jarang ia dapatkan. Sesuatu yang hanya bisa ia penuhi kala lelaki itu sudah mulai perlahan berdamai dengan masa lalunya.
Maka tatkala keinginan untuk menari bersama dengan Ryu, lagu Youth dari Troye Sivan yang mulai mengalun memenuhi studio, serta dukungan keras dari Hobi dan pekikan bahagia lantaran Jay yang sudah mulai bisa kembali seperti keinginan mereka. Tak luput binar mata Ryu dengan lengkungan di bibir. Semuanya terjadi dengan sempurna. Terjadi sebagaimana mestinya. Terjadi sesuai rencana mereka di awal.
Hanya saja. Terkutuklah Jay dengan segala kecerobohannya. Dengan semua sikap bodohnya yang masih betah bersarang. Tatkala lengannya itu tanpa sengaja mengenai wajah Ryu cukup keras. Membuat gadis itu limbung dan terdorong jauh hingga jatuh. Berguling dan berakhir mengenaskan dengan suara debuman dari tubuh dan lantai yang bersinggungan.
"RYU!"
Jay tidak akan pernah lupa tentang suara teriakan Hobi dan langkah seribu yang ia ambil manakala melihat Ryu yang langsung tidak sadar di tempat dengan luka pada pelipisnya.
"H-hobi, aku―"
"Yu! Bangun! Bangun!" lelaki itu mengabaikan suara lirih Jay. Bahkan dengan semua penjelasan yang siap keluar itu rasanya tertahan sampai tenggorokan. Tidak bisa tersampaikan dengan baik.
Agaknya Hobi memang sangat memprioritaskan Ryu. Kendati di saat yang sama, Jay juga terguling dan terpental, membuat lengan dan sikunya berdarah, pipinya memar, dan kepalanya berdenyut nyeri. Namun Jay masih bisa sadar bahwa kondisinya tidak jauh lebih parah dari Ryu.
Jay bangkit, hendak menghampiri. Namun di langkahnya yang kelima, kakinya terhenti. Seperti direkatkan lem tak kasat mata yang membuatnya tak bisa kembali melangkah. Bukan. Bukan rasa tidak ingin menolong. Hanya saja―
"Dasar anak tidak berguna!"
"Kamu bodoh sekali, sih! Bikin malu keluarga!"
"Goblok. Otakmu di mana, ujian segampang ini saja tidak bisa dijawab!"
"PEMBUNUH!"
"Suamiku mati karena kamu!"
Tidak, berhenti. Ringis Jay dalam hati. Mendadak, kepalanya serasa pusing dijatuhi beban berpuluh-puluh kilo. Napas yang langsung sesak dengan kedua tangan terkepal erat. Di hadapannya, Hobi masih menampar-nampar wajah Ryu. Mencoba menyadarkannya.
"Hobi. Ma-maaf."
Hobi mendongak kala sebuah suara menyapa rungunya. Kesal setengah mati, tapi tidak bisa benar-benar menyalahkan. Kecelakaan ini di luar kuasa mereka. Jay juga tidak sengaja melakukan itu. Menahan emosi lantaran panik dan tidak bisa berpikir jernih, ia mengangguk singkat.
"Cepat obati lukamu. Aku harus bawa Ryu ke rumah sakit," pintanya.
Gesit lelaki itu bangkit, memosisikan tubuh Ryu yang kurus di punggungnya. Berdiri dan segera keluar membawa tubuh sang terkasih. Kendati baru sampai di ambang pintu, ia kembali berujar.
"Kamu nggak salah. Tenang, aku akan kembali setelah ini." Memastikan Jay baik-baik saja sebelum berakhir pergi dan membawa Ryu ke rumah sakit.
***
Sorot mata tanpa jiwa itu adalah hal pertama yang Lamia lihat. Menatapnya kosong tanpa ada satupun ekspresi yang mendukung. Dengan kepanikan yang luar biasa, Lamia melangkahkan cepat. Berlutut guna menyamakan tinggi dengan Jay saat ini.
"Lamia," panggil Jay lirih.
"Ya, Kak?" gadis itu masih sanggup menimpal seraya memeriksa keadaan Jay. Luka-luka di tubuhnya yang barangkali butuh pengobatan profesional.
Tanpa sungkan menyingkap pakaian milik Jay guna melihat keadaan lelaki itu. Mengesampingkan sejenak ucapan orang lain yang mungkin saja mengudara tatkala melihat dua orang berbeda jenis kelamin dalam kamar mandi dengan posisi si gadis yang tengah melihat bagian tubuh si pria.
Namun, sungguh. Lamia tidak punya niat jelek apapun. Ia hanya berusaha untuk memastikan kondisi Jay baik-baik saja. Tanpa ada sesuatu yang kurang ataupun parah. Dan memang itu adanya. Luka di siku Jay dengan satu memar di pipi hanyalah itu yang ia dapat. Mungkin akan kembali terasa ngilu setelah beberapa hari ke depan di badan. Namun tidak ada luka serius.
Gadis itu setidaknya bisa bernapas lega.
"Kenapa susah sekali untuk bahagia?"
Sebuah pertanyaan tertuju. Entah pada siapa. Entah pada Lamia, ataupun pada angin yang membawanya lalu. Seharusnya orang akan memandang si pihak tempatnya diajak bicara, tapi Jay tidak begitu. Lelaki itu justru memandang kosong sekalipun dua mata mereka bersirobok.
Mengudarakan pertanyaan yang entah bagaimana bisa dijawab. Dengan kemampuan otak dan merangkai kata yang dipaksa meningkat, Lamia mencoba membalas pertanyaan itu.
"Apa janji Lamia dengan sejuta kebahagiaan itu masih kurang?"
Lelaki itu menggeleng, "Tidak."
"Lalu?"
"Aku takut."
Lamia bisa melihat bagaimana tubuh gemetar Jay diiringi mata pria itu yang berkaca. Ekspresi kacau yang tidak pernah dilihat Lamia selama ini. sanggup membuat gadis itu seolah merasakan hal yang sama. Dengan bibir bergetar menahan tangis, mencoba nampak kuat sekalipun dalam hatinya sudah seperti dihancurkan tatkala melihat satu tetes air mata merembes dari dua netra indah yang sangat suka Lamia pandang lalu-lalu.
Jay menunduk, membuat tetes demi tetes air mat aitu membasahi pakaiannya. Kedua tangannya meremat ujung baju. Seolah menyalurkan perasaan resah dan kacau itu di sana.
"Kenapa aku selalu mengacaukan keadaan? Kenapa aku selalu bodoh dan ceroboh sejak dulu?"
"Kak," Lamia mencoba sabar, "ini kecelakaan. Kakak nggak perlu ngerasa―"
"Ini bukan kecelakaan!" tandas Jay, kepalanya spontan mendongak dengan iris yang menyorot tajam, "aku sudah melukai Ryu."
"Kak Ryu sudah dibawa Kak Hobi ke rumah sakit. Kakak tenang dulu, setelah ini kita bisa lihat Kak Ryu. Hm?"
Jay menggeleng keras, menarik kedua lututnya untuk segera di peluk dan menggigit ujung kukunya. Tampak panik dan tampak tidak teratur. Satu tangannya terangkat.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
"Kak!" pekik Lamia. Mencoba meraih tangan Jay yang tengah bertindak nakal. Memukul kepalanya sendiri dengan keras dan bunyi yang khas dari tulang kepalanya, "Jangan nyakitin diri sendiri!"
"Aku selalu berjanji," mengabaikan ucapan Lamia dan tatapan nyalang dari gadis itu, Jay berucap, "untuk tidak pernah melakukan kesalahan yang sama seperti yang Mama lakukan. Tapi ternyata ... aku sama saja seperti Mama."
Nada itu terdengar pilu. Dengan suara yang bergetar yang masih memaksakan untuk bisa terdengar. Kendati kedua tangan Jay sudah digenggamnya erat, mencegah agar lelaki itu kembali menyakiti dirinya, Lamia masih diam dan memandangi tiap sudut wajah dan ekspresi yang Jay perlihatkan.
"Aku sayang sama Mama," rintihnya, "sayang sekali sampai mau gila rasanya. Aku bahkan rela nyakitin diriku sendiri, agar orang-orang hanya tahu bahwa aku anak gila yang butuh perhatian sampai menyilet tangannya sendiri."
Pria itu menggeleng, membiarkan seluruh air mata luruh dengan setiap ucapan dan rasa frustasinya, "Aku nggak mau orang-orang tahu kalau mama yang selama ini nyakitin aku. Aku nggak mau dikenal sebagai anak yang tetap di siksa sama mama. Aku nutupin semuanya supaya nggak ada yang ngehina mama. Tapi kenapa?" desaknya, "Kenapa mama selalu anggap aku sampah?"
Jay menunduk. Menyembunyikan wajah di lipatan lututnya. Menarik cepat cengkraman tangan Lamia guna menutupi kedua telinganya rapat-rapat. Kepala yang menggeleng cepat dengan keresahan yang memenuhi diri.
"Mama nggak perlu ingatin dan bilang kalau Jeremy itu anak bodoh dan ceroboh. Jeremy sudah sadar, Ma. Jeremy memang bodoh dan tidak bisa membanggakan Mama. Jadi tolong," jeda selama sedetik berisi keheningan.
"Berhenti muncul dan ingatin Jay bahkan sampai detik ini! Mama nggak nyata! Mama nggak nyata! Mama nggak nyata!"
Semakin bertambah panik dan bingung harus bagaimana. Lamia mencoba untuk tetap tenang dan menguasai keadaan. Panik tidak akan menyelesaikan masalah. Lantas gadis itu mencoba bertindak sesuai naluri. Mengikuti kemana arah tubuh membawanya.
"Kak! Dengar, La! Dengar! Fokus sama suaranya La!"
Dengan telaten gadis itu meraih kedua tangan Jay secara perlahan. Menggenggamnya erat dan mengaitkan jemari mereka di sana. Mengisi kekosongan yang sempat hadir. Satu tangannya yang lain tergerak untuk mengangkat dagu Jay. Membuat kepala lelaki itu mendongak agar bisa menatap matanya.
Mencoba memasang senyum sebagus dan semanis mungkin. Juga dengan ibu jari yang telaten menghapus air mata di pipi Jay.
"Kakak dengar, La? Fokus sama suaranya La saja. Jangan dengarkan suara yang lain. Mereka nggak nyata."
Jay masih terdiam. Lamia kembali berbicara.
"Kak? Kak Jay? Jeremy Alexander, ini Judith Lamia Laurana. Apa Kakak sudah dengar?"
Satu anggukan lemah sebagai balasan. Membuat Lamia sejenak merasa lega.
"Tidak perlu merasa takut untuk bahagia. Tidak perlu merasa kesal karena merasa bodoh. Tidak hanya Kakak, semua orang pun bodoh di beberapa tempat, dan semua orang juga hebat di beberapa tempat."
Belaian di rambut setengah basah Jay menjadi hal yang selanjutnya Lamia lakukan. Tetap mempertahankan senyum, hanya untuk memastikan bahwa keadaan akan baik-baik saja. Keadaan tidak akan separah itu, dan mereka akan kembali bahagia.
Sekalipun dalam hatinya, gadis itu meringis dan berteriak keras. Merasa hancur tatkala melihat Jay yang juga sedang hancur lebur tanpa bisa menemukan jati dirinya sendiri. Merasa harus kembali menyusun puzzle yang sempat dirusak dan berantakan, kendati kepingan puzzle yang ia miliki juga masih berserakan.
"Tidak perlu khawatir, Kak Ryu baik-baik saja."
"Aku mau melihat keadaan Ryu."
"Kita bisa melihatnya nanti."
"Tapi aku mau melihat sekarang."
"Tidak, saat Kakak juga sedang sakit dan sekarat seperti ini," tegas Lamia.
Sekalipun tetap mengondisikan ekspresi, gadis itu menyorot menyampaikan ketegasan dari ucapannya di sana, "Sebelum Kakak menjenguk dan melihat kondisi Kak Ryu. Kakak juga harus menyembuhkan diri Kakak sendiri. Bisa melakukan itu? Setidaknya bukan untuk Lamia, tapi untuk diri Kakak. Bukannya Kakak janji kalau Kakak masih ingin hidup?"
Jay mengangguk, Lamia mengulum senyum getir.
"Kalau begitu," ucapnya, "La akan menarik kembali ucapan bahwa La akan memberikan Kakak sejuta alasan untuk bahagia."
Jay mengernyit, Lamia melanjutkan, "Percuma bahagia kalau Kakak tidak punya sebuah alasan yang kuat untuk hidup. Oleh karena itu, tolong lakukan sesuatu."
Mengambil napas dalam-dalam. Menggenggam tangan Jay erat dan menariknya, membawa lelaki itu ke dalam rengkuhannya dan melingkarkan kedua tangan ringkihnya di leher Jay. Lamia berbisik.
"Untuk La, Kakak adalah orang yang sangat berharga. Pria luar biasa dengan segala keteguhannya dan semangat hidupnya yang tinggi. Pria yang sangat La cintai bahkan sampai detik ini. Jadi tolong, seperti halnya La yang menjadikan Kakak sebuah alasan untuk bertahan dan berjuang. Tolong lakukan hal yang sama untuk Lamia."
Menarik napas sekaligus menghembuskannya perlahan. Menyiapkan diri untuk melanjutkan rentetan kalimat dengan senyum getir dan nada pilunya, "La tidak bisa membayangkan bagaimana terlukanya La saat Kakak nanti memilih untuk pergi. Ini mungkin terdengar egois, tapi La hanya tidak sanggup terluka lebih jauh."
"Jadi, Kak. Bertahanlah. Setidaknya bertahanlah untuk Lamia. Untuk seorang perempuan yang mencintai Kakak dengan tulus dan memberikan seluruh hatinya untuk Kakak."
Bahkan sampai tidak menyisakan tempat di hati untuk dirinya sendiri.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top