30. Inure
in·ure
/əˈn(y)o͝or/
(v. )accustom (someone) to something, especially something unpleasant.
*****
Dulu sekali, Jay mengingat dengan jelas ketika seorang pria paruh baya yang ia panggil Papa berkata, "Jeremy, kalau kamu lagi sedih makan di sini saja. Seblak di sini benar-benar pedas. Cocok kalau kamu lagi nggak akur sama Mamamu."
Kala itu Jay tidak paham dengan benar apa yang dimaksud Papanya. Maksudnya, apa hubungan antara dimarahi habis-habisan oleh Mama disertai pukulan atau cubitan yang membekas dengan makan seblak yang kepedasannya sudah membuat Jay menangis keras pada masa itu.
Namun Papa tidak berkata apapun. Hanya tersenyum simpul sambil mempersilahkan Jay tetap menyantap sampai habis seblak yang ada di hadapannya. Pada saat itu Jay hanya bisa menurut. Sekalipun mencebik dengan segala protes yang ia suarakan dalam hati. Tampak tidak tega lantaran melihat Papa susah payah menjemputnya.
Dengan payung transparan berdiri di depan sekolah Jay. Melambai tangan dengan senyum secerah matahari. Sangat berbanding terbalik dengan langit kelabu di atas mereka. Menggandeng Jay dan membawa anak bungsunya itu bergabung bersama di payung kecil. Tampak abai sekalipun bahu pria itu basah dengan air hujan. Hanya agar anaknya tidak terpercik air hujan.
Maka memilih menjadi anak yang baik dan menurut, Jay menyendokkan satu suap seblak ke mulutnya. Merasakan sensasi pedas yang pahit itu memenuhi rongga mulutnya. Membuat remaja lelaki itu meringis dan secara spontan cepat-cepat meraih sebotol air mineral untuk diteguknya rakus.
"Lelaki itu harus kuat, Jeremy. Begitu saja sudah berhenti. Payah." Papa meledek.
Saat itu Jay hanya mendelik tajam. Tampak kesal karena dibilang payah hanya lantaran seblak yang pedasnya sangat menyiksa. Padahal kan semua orang punya selera makan masing-masing. Namun lelaki itu lebih memilih meredakan pedas kendati harus menanggapi ledekan ayahnya.
Gurat-gurat lelah itu tercipta dengan jelas di wajah Papanya. Juga dengan urat-urat yang nampak jelas di pergelangan tangan si pria. Nampak tidak begitu cocok dengan pekerjaan Papa yang hanya menjadi seorang guru. Senyuman Papa yang sangat teduh dengan kehangatan yang mengelilinginya. Mata pria itu yang menyipit tampak sama persis dengan milik Jay. Membentuk sebuah garis lengkung kala ia tersenyum dan kembali menciptakan garis-garis halus di sekitar mata.
"Besok-besok kita makan ke sini lagi, ya. Maafin Mamamu. Meskipun galak, tapi itu juga supaya kamu bisa jadi anak yang pintar."
Jay sedikit tidak terima, jemarinya saling memilin, "Berarti Jay tidak pintar, ya, Pa? Jay ini anak yang bodoh, ya?"
Tidak sekalipun marah ataupun tersinggung atas pertanyaan anaknya, lelaki dengan name tag 'Widiatmo' itu tersenyum hangat dengan satu tangan yang meraih lengan Jay untuk menepuk lembut punggung tangan anak bungsunya.
"Nggak ada orang yang bodoh di dunia ini, Jay. Semua orang lahir dengan kelebihannya masing-masing. Bagi Papa, kamu sama seperti Ivan. Pintar, hebat, anak yang baik dan menurut. Kalian sama-sama jagoan Papa."
"Tapi kenapa Mama nggak suka lihat Jeremy selama ini? Memangnya anaknya Mama itu Kak Ivan saja, ya?"
Pria itu tersenyum simpul. Satu tangannya mengibas sedikit bahu Jay lantaran seragamnya yang basah. Kembali memandang anak bungsunya setelah itu, "Jay juga anak Papa. Anak Papa dan Mama. Memang siapa lagi kalau bukan anak Papa Mama? Mau di bilang anaknya orang?"
Jay cepat-cepat menggeleng. Menciptakan senyum hangat lain di wajah Papanya, "Nggak mau. Jay mau jadi anak Papa saja, tapi Jay juga pengin Mama nggak usah galak-galak lagi."
Cepat sekali bagaimana ekspresi Papa berubah sebelum buru-buru mengembalikan seperti semula. Pria itu kembali tersenyum, lantas meremat tangan Jay dengan cukup erat memberikan kehangatan kala angin dingin dari hujan yang turun dengan deras itu menyapa kulit mereka.
"Boleh Papa minta sesuatu, Jeremy?"
Jay mengangguk pelan, "Apa, Pa?"
"Tolong jangan benci mamamu. Tolong lakukan itu ya, Nak."
Jay yang baru saja beranjak tiga belas tahun itu tidak benar-benar mengerti ucapan Papanya. Dengan dahi berkerut, sebuah pertanyaan pun terlontar tak lama setelah itu.
"Kenapa Papa tiba-tiba bilang begitu?"
"Tidak ada," pria itu menggeleng, "Papa hanya bilang begini untuk berjaga-jaga. Bagaimana pun sifatnya, dia tetaplah mama kamu. Orang tua yang sudah seharusnya kamu hormati. Kamu boleh kecewa sama mama, tapi tolong jangan pernah sekalipun benci sama mama. Hm? Jeremy anak Papa ini pintar, kan? Pasti mengerti maksud Papa."
Jay mengangguk pelan, membuat Widiatmo tersenyum puas dengan satu tangan yang terangkat dan membelai rambut setengah basah putra bungsunya, "Anak Papa pintar sekali. Setelah ini jadi anak yang baik, ya. Jadi lelaki yang bertanggung jawab dan baik kepada orang lain."
Merasakan kenyamanan serta kehangatan yang melingkupi tubuhnya. Jay serta merta tersenyum lebar. Mengangguk dua kali sebelum pada akhirnya menjawab, "Iya, Pa."
Tanpa pernah terpikir sekali saja, bahwa itu adalah terakhir kali Jay bisa melihat senyuman Papa dan tatapan hangatnya. Dua hal yang selalu Jay rindukan.
***
"Kak? Ada apa? Tempatnya betul di sini, kan?"
Menyusuri pandang ke tiap sudut tempat yang dulunya pernah Jay datangi. Lelaki itu tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar tatkala tahu bahwa itu adalah tempat yang ia cari. Kapan ya terakhir kali ke sini? Mungkin saat Jay masih berusia tujuh belas tahun. Datang ke tempat itu bersama Ivan hanya untuk mengenang bagaimana kenangannya bersama Papa dulu. Pun Ivan yang pada saat itu memasang gestur siap mendengarkan semua cerita Jay dengan seksama. Sesekali menanggapi dan tertawa ringan.
Mereka sudah berjanji sebelum berangkat bahwa tidak ada yang akan bersedih. Karena Papa pasti akan sedih ketika melihat dua putranya itu mengenang hal-hal yang menyedihkan tentangnya. Pokoknya harus ingat hal-hal bahagia tentang Papa.
Jay hanya tidak menyangka akan kembali mendatangi tempat ini bersama orang lain. Seseorang yang tidak pernah Jay sangka-sangka akan diajaknya untuk membersamai acara mengenang kematian mendiang Papanya yang sudah sebelas tahun berlalu.
Rumah makan itu sudah berkembang pesat menjadi restoran. Dengan interior yang ditata lebih rapi. Menu-menu makanan yang semakin bervariasi, hiasan-hiasan di setiap sudut tempat untuk mempercantik ruangan, pun satu televisi yang tergantung di dinding menayangkan berita-berita terkini.
Lalu lalang orang-orang yang mendatangi restoran itu membuat Jay terpaksa harus memanjangkan leher untuk mencari tempat yang cocok bersama Lamia dibantu oleh salah satu pelayan di sana. Tidak mengherankan dengan bisnis yang berkembang sangat baik lantaran sejak dulu, restoran ini sudah sangat baik dari segi pelayanan maupun makannnya.
Pa, Jay datang ke sini lagi. Papa apa kabar?
"Benar, kok. Kita nggak salah tempat."
Lamia mengangguk, mengamati sekitar sebelum akhirnya kembali bertanya, "Kenapa tiba-tiba mau datang ke sini, Kak? Perasaan banyak orang jualan seblak. Bahkan di tempatnya Kak Hobi juga kayaknya ada deh menu itu," ujar Lamia mencoba mengingat.
Jay menggeleng, "Nggak ada yang seenak di sini," kilahnya. Lamia hanya mengangguk saja mengerti.
Mereka memesan makanan yang sudah tersedia di buku menu. Jay sendiri tetap memilih seblak masa lalu untuk mengenang mendiang Papanya, sedang Lamia yang tidak begitu kuat dengan pedas memilih chicken steak untuk makan siangnya.
"Ini restoran tempat aku sama Papa makan terakhir kali," Jay membuka pembicaraan. Badannya bersandar dengan kaki yang menyilang. Mata yang masih asyik menelusuri setiap sudut di tempat ini demi mengeruk lagi kenangan lama.
"Oh, iya? Sudah lama sekali, dong. Kenapa kakak nggak pernah ke sini lagi?"
"Berat saja harus balik ke sini. Terakhir kali pas aku lulus dan mau masuk kuliah. Ke sini bareng Kak Ivan. Setelah itu nggak pernah."
"Kan bisa datang lagi kalau libur semester. Apalagi Kak Jay tinggal di sini juga. Ajak lagi deh Papanya. Aku sekalian dikenalin sama Papa mertua," canda Lamia.
Jay tertawa renyah menanggapi. Agaknya lelaki itu sudah tidak terlalu memusingkan setiap ledekan Lamia tentangnya, "Nggak bisa, La. Papaku sudah meninggal udah lama."
Terasa seperti menjadi manusia paling tolol, Lamia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Pun akan kejadian rooftop yang sempat membuat ia sedikit trauma bahkan untuk sekadar mencari tahu informasi tentang Jay.
"Kak, ini La nggak ngapa-ngapain lho, ya. Kakak yang cerita," ujar Lamia waspada.
Jay terkekeh melihat respon Lamia. Ia mengangguk beberapa kali, "Iya, lagian nggak ada yang bisa aku sembunyiin juga. Kamu sudah tahu banyak. Jadi sekalian saja tahu semuanya."
Jay memperbaiki posisinya demi mendapat posisi nyaman ketika mulai bercerita, "Aku cerita ini karena sudah merasa kamu juga perlu tahu. Lagian kalau kamu janji mau bantu aku bahagia dan bisa sembuh, kamu juga berhak tahu."
Lamia mengangguk pelan. Setuju juga dengan alasan Jay yang cukup masuk akal.
"Kayak yang kamu tahu, aku dulu sempat mengalami―ya, semacam kekerasan dari mama, dan itu semua semakin jadi setelah papa meninggal. Mama semakin nyalahin aku bahwa kematian papa itu penyebabnya adalah aku. Padahal jelas-jelas kami kecelakaan dan papa meninggal nggak lama setelah dilarikan ke rumah sakit.
"Aku emang marah sama mama sampai sekarang. Marah sekali sampai-sampai nggak mau ketemu mama. Selain takut karena aku bisa sakit lagi, aku belum sanggup untuk kembali menguak memori lama. Nyakitin aja rasanya.
"Dan waktu di restoran itu. Kak Ivan datang dan kasih tahu kalau mama lagi sakit dan di rawat di rumah sakit. Kak Ivan minta aku untuk jenguk mama. Katanya sekedar nengok bentar juga nggak apa-apa."
Lamia masih mendengarkan dengan seksama. Namun tatkala Jay tidak kunjung melanjut, ia bertanya, "Terus? Kakak mau datang?"
Jay menggeleng lemah. Tertawa getir dengan pandangan yang membuang ke segala arah. Hanya untuk mengalihkan pandangannya dari Lamia, "Nggak. Aku ... belum siap hadapin Mama. Setidaknya nggak sekarang."
"Kakak sadar nggak sih kalau Kakak ceritain ini ke Lamia?" mencoba untuk tetap waspada dan kembali bertanya itu pada Jay, "La nggak maksa Kakak, ya. Kalau misalnya Kakak nggak siap cerita juga nggak apa-apa."
Bukan bagaimana, tapi Lamia jelas bisa melihat bagaimana Jay yang tampak tidak nyaman juga keringat yang mulai membasahi telapak tangannya saat Lamia meraih tangan pria itu di atas meja.
"Nggak, La. Aku sudah bilang, kan? Lagian aku juga cerita ini secara sadar."
Pesanan mereka sudah datang. Tersaji dengan aroma harum yang memenuhi indra penciuman keduanya. Lamia juga bisa melihat bagaimana tatapan sendu Jay yang menatap cukup lama makanan di hadapannya. Agaknya makanan itu sudah menjadi makanan dengan kenangan yang sangat berarti sampai lelaki itu baru meraih sendok dan mulai mengaduknya perlahan setelah beberapa menit hanya memandang.
Lamia masih diam saja memandangi Jay. Sedikit merasa tak tega lantaran melihat mata lelaki itu yang berkaca. Juga ucapan setelahnya yang mampu membuat hati Lamia mencelos tak tega.
"Pa, ini Jay. Papa apa kabar? Jay kangen sekali sama Papa."
**********************************
[TO BE CONTINUE]
Jay : La lihat nih (nyondorin hp ke Lamia)
Lamia : Oh? Ini foto kakak sama Kak Ivan? Pas kapan?
Jay : Pas dulu Kak Ivan lagi lomba basket di sekolah. Kasihan nggak ada yang semangatin, dia kan nggak tinggi-tinggi banget jadi nggak banyak fans. Jadi yaudah aku yang datang.
Lamia : Jangan sombong kak
Jay : Kenapa?
Lamia : Kayaknya gen dari Kak Ivan nurun di Kak Jay juga deh.
Jay :(udah keliatan seneng, senyum malu-malu) Apa? Pinter main basket ya? Duh kamu tahu aja kalau aku-
Lamia :Bukan. Tingginya maksudnya.
Jay : ...............
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top