29. Apocryphal
a·poc·ry·phal
/əˈpäkrəfəl/
(adj.) (of a story or statement) of doubtful authenticity, although widely circulated as being true.
*****
Sebelumnya, Lamia tidak pernah merasakan bagaimana jatuh cinta membuatnya candu sampai enggan untuk menyudahi itu. Bukan berarti ia mengesampingkan fakta bahwa di balik bahagianya cinta tentunya aka nada sebuah luka tertoleh yang akan ia rasakan. Dalam kasus ini, Lamia memang sudah teramat sering merasakan itu. Namun alih-alih menyudahi, Lamia justru memilih untuk tetap tinggal setelah sekian banyak sakit yang ia terima.
Dulu, ia hanya bisa memandang orang yang disukainya dari jauh. Tanpa melakukan tindakan apapun. Hanya diam dengan tangan yang bertopang dagu sesekali menghayalkan sesuatu yang tentu saja tidak akan mungkin terjadi. Menggelikan.
Belum sempat ia berusaha. Belum sempat ia melakukan proses pendekatan dan tetek bengeknya, lelaki itu justru menghampirinya. Membuat Lamia sedikit tersipu dengan jantung berdebar bukan main, dipikirnya bahwa lelaki itu memiliki hal sama yang ia miliki. Namun tatkala nama perempuan lain yang disebutkan, ditambah lagi itu adalah sahabatnya sendiri, maka Lamia memutuskan untuk berhenti. Menyerah sebelum ia terluka lebih jauh.
Dipikirnya perasaan kali ini akan lebih mudah. Lamia bahkan tidak pernah sekalipun berpikir bahwa lelaki yang kini tengah ia hampiri dengan satu tangan melambai tinggi dan senyum lebar memperlihatkan deretan gigi, ternyata menyimpan sebuah perasaan yang sangat dalam kepada seseorang yang Lamia hormati, kakak sepupu yang sudah terasa seperti kakak kandung.
"Sudah menunggu lama?" pemuda itu tersenyum hangat. Menampilkan mata yang semakin menyipit dan selalu menjadi kesukaan Lamia. Bertanya dengan nada yang bersahabat juga mengganti posisi untuk berdiri di hadapan Lamia, menutupi sinar matahari yang menyapa wajahnya.
Lamia menggeleng, membentuk sebuah garis lurus yang menciptakan dua lesung pipi di wajahnya, "Nggak. Baru saja sampai. Yuk pergi."
Tanpa perintah,Lamia mengaitkan lima jarinya pada ruas jari panjang milik Jay. Lelaki itu menoleh sejenak sebelum membiarkan saja apa yang Lamia lakukan. Melempar senyum manis tatkala kedua mata mereka tanpa sengaja beradu pandang.
Dua tangan yang saling mengait itu dibiarkan mengayun di udara. Diiringi senandung lirih dari lagu-lagu para penyanyi Korea yang sedang senang didengarnya akhir-akhir ini.
Satu tangan Jay yang bebas mendorong pelan sepeda di sisi kanan. Berjalan di trotoar bersama para pejalan kaki yang lain. Menghabiskan waktu sore mereka sesuai janji bersama. Kencan yang kembali mereka rencanakan di akhir pekan.
"Kenapa senang sekali? Dosenmu nggak marah-marah kayak biasa?"
Lamia mengangguk tegas, dengan mata menyipit dan cengirannya, "Revisi La di terima. Tinggal perbaiki sedikit saja yang kurang tadi."
Jay mengangguk pelan. Tatapan matanya kembali mengarah ke depan untuk menghindari beberapa pejalan kaki yang berjalan berlawanan arah dengan mereka. Sehingga tatkala ada satu lelaki yang berlari kencang tanpa memerhatikan jalan, Jay spontan melepas kaitan tangan mereka dan langsung meraih bahu Lamia untuk ditariknya. Sebelum gadis itu ikut terdorong dan berakhir jatuh ke tanah.
Semuanya terjadi secara tiba-tiba. Terutama saat Lamia secara tidak sadar dan memerhatikan jalan di depannya karena memikirkan hal lain. Selama sepersekian detik, keduanya masih bertahan di posisi itu. Meredakan keterkejutan yang sempat merayap dalam dada. Sehingga tatkala menyadari apa yang terjadi, cepat-cepat keduanya melepaskan diri dengan canggung. Tak butuh lama sebelum kedua pipi Lamia yang memerah lantaran tersipu.
Jay berdeham meredakan keterkejutannya, "Hati-hati kalau di jalan. Lihat-lihat biar nggak ditabrak."
Lamia mengangguk, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal tanpa berkata apapun.
Belum selesai sampai sana. Jantung gadis itu kembali berpacu cepat lantaran Jay yang secara tiba-tiba kembali mengaitkan tangan mereka berdua sebelum lanjut berjalan. Menurut saja ketika Jay membawanya pergi, seulas senyum diam-diam terpatri indah di wajah Lamia saat ia melirik kaitan tangan yang berayun pelan itu.
"La."
"Y-ya?" buru-buru Lamia menyahut. Tidak mau tertangkap basah karena diam-diam menikmati perlakuan Jay yang berubah menjadi lebih manis.
"Kamu sedikit berubah."
Lamia menatap tak mengerti. Sedang Jay tampaknya biasa-biasa saja dan tidak membalas dongakan kepala Lamia untuk memokuskan pandangannya ke jalan setapak di depan.
"Berubah gimana?"
Jay mengedikkan bahu, "Nggak tahu, ya. Mungkin ini hanya perasaanku saja. Cuman aku ngerasa kalau kamu makin ke sini makin diam. Makin nggak berisik."
Ah, jadi ini.
Cepat-cepat menepis agar apa yang ia sembunyikan tidak langsung diterima oleh Jay, Lamia tersenyum hangat. Menggeleng pelan lantas berujar, "Perasaan Kakak saja kali. La begini-begini saja kok dari dulu," elaknya.
"Kalau aku punya salah atau apa, kamu bisa bilang. Nggak usah takut. Kita sudah janji kan? Aku juga nggak bakalan marah kayak dulu."
Lamia bukannya serakah atau bagaimana. Hanya saja, gadis itu nampaknya masih belum terbiasa dengan kelakuan Jay yang semakin ke sini semakin manis. Kadang terlalu tiba-tiba sampai Lamia tidak bisa menormalkan detakan jantungnya sendiri.
"Iya. La ngerti, kok. Tapi memang nggak ada apa-apa. Jadi apa yang mau dibilang?" katanya tampak santai, Jay hanya mengangguk sebagai tanggapan. Tidak mau memaksa lebih lanjut.
Padahal memang La mau berubah supaya Kakak tidak marah. Tentu saja kalimat itu disimpan rapat dalam batin. Tidak berani di suarakan. Hanya memasang tampang polos dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.
Jay cepat-cepat melepas pandangan dari Lamia. Terutama setelah senyum gadis itu sempat membuat Jay salah tingkah. Membuat dia berdeham demi melepas kecanggungan. Jay pria normal. Sekalipun tidak melibatkan perasaan dalam tindakan kali ini, tentu saja dihadapkan dengan wajah cantik yang tengah tersenyum manis dengan rambut sebahu yang tergerai itu melambai ringan diterpa angin, Jay bisa menjadi salah tingkah.
Lamia melepas kaitan tangan mereka. Mengubah posisi dengan merengkuh posesif lengan Jay sembari menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Tubuh Jay yang tergolong tinggi baginya membuat gadis itu merasa seperti terlindungi dengan baik. Merasa kecil sementara Jay di dekatnya seolah bisa melindungi gadis itu dari bahaya sekecil apapun di luar sana.
Jay sendiri membiarkan Lamia menyandar di bahunya. Terkekeh kecil tatkala Lamia menduselkan kepala di sana. Entah melakukan apa. Entah mencari apa. Pemuda itu sudah berjanji. Pantang bagi Jay untuk melanggar janji yang telah dia buat terutama dalam kondisi sadar. Lagipula Lamia tidak melakukan hal-hal menyebalkan seperti dulu. Tidak anarkis, tidak berisik, tidak merepotkan. Gadis ini lebih diam daripada biasanya.
Membuat satu sudut di relung hati Jay merasa sedikit kekhawatiran. Bukankah kalian pernah mendengar bahwa badai bisa saja terjadi di lautan yang tenang?
"Kenapa kamu suka sekali sama aku, La? Aku bukan pria yang bisa menjamin kebahagiaan untuk kamu."
"Hm? Kenapa begitu?" kepala Lamia terdongak, menatap heran pria terkasih yang juga membalas tatapannya sekilas.
Jay menghela, "Aku bukan orang kaya. Bahkan uang di tabunganku tidak sebanding dengan uang jajanmu satu bulan. Untuk jalan-jalan kencan seperti ini saja kita harus pakai sepeda. Aku nggak punya mobil. Kalau kita makan juga kamu harus bayar sendiri. Aku nggak punya apa-apa."
"Kak, pemikiran tentang cowok yang harus bayar dan menanggung apapun ketika kencan itu kolot sekali," komentar Lamia, "bagi, La. Ibarat kalau si cowok itu beliin makanan, maka Lamia harus belikan dia minumannya. Kalau kakak belikan Lamia makan siang, maka Lamia akan belikan Kak Jay kopi dingin. Seperti itu."
Belum sempat menyelesaikan penjelasan singkatnya, Lamia melanjut, Jay masih mendengarkan dengan seksama, "Banyak sekali perempuan di luar sana yang mau diperlakukan seperti ratu, tapi mereka bahkan tidak pernah memperlakukan pria mereka seperti raja. Serakah sekali. La tidak suka."
Jay tersenyum simpul. Kendati dalam hati lelaki itu merasa sedikit bersalah. Bersalah lantaran memanfaatan kebaikan tulus dari gadis dengan pemikiran yang―sempat―membuat Jay tercengang selama sepersekon.
Ryu, jahat sekali aku memperlakukan adikmu selama ini.
"Terus kamu tergolong perempuan yang baik itu, Lamia?" Jay sedikit meledek, sekaligus menampik perasaan iba dan menyesal dalam hatinya. Tidak. Kamu nggak boleh lemah, Jay. Pendirianmu harus teguh.
"Iya, dong!" serunya. Sedikit merengut dan mencebik saat Jay masih saja menanyakan hal-hal yang sudah jelas, "Nggak lihat selama ini Lamia berusaha jadi cewek yang baik? Masih meragukan Lamia? Masih mikir bahwa perasaan ini main-main?"
"Bukan, bukan," Jay cepat-cepat menukas, tidak mau membuat satu kesalahpahaman yang entah berujung kapan, "aku kan hanya tanya. Kenapa sampai marah-marah begitu?"
"Habisnya Kak Jay seperti meragukan Lamia. La tidak suka, ya kalau Kakak begitu."
Jay terkekeh, menampilkan cengiran tak berdosanya. Melepas rangkulan Lamia guna menarik pipi gembil gadis itu , "Sudah nggak galau lagi sekarang? Pipimu sudah semakin berisi."
Lamia mengangguk antusias dengan mata yang menyipit, "Iya, katanya cowok itu suka sama hal-hal yang lucu. Makanya La naikin berat badan. Biar pipinya La lebih berisi."
"Kenapa harus begitu? Kamu nggak pernah dengar kalau kamu harus jadi diri sendiri? Sekalipun itu untuk dapatin hati seseorang yang kamu cinta."
Lamia menggeleng pelan, mempertahankan senyum yang entah kenapa Jay merasa menyimpan sebuah cerita yang ta kia ketahui, "Tidak bisa. La nggak bisa kalau begitu."
Alis Jay menaik, "Kenapa begitu?"
"Karena ... kalau La jadi diri La sendiri, kemungkinan besar Kak Jay nggak bakalan suka sama La."
Jay menghentikan langkahnya. Bersamaan dengan itu menatap Lamia tak percaya. Sejamang lelaki itu merasa sedikit bersalah. Sudah terlalu banyak menorehkan luka yang entah kenapa tampaknya itu bukan sebuah hal besar bagi Lamia.
"Kamu buat aku kelihatan jadi cowok brengsek tahu, nggak?"
Lamia justru menampilkan cengiran polosnya, "Kenapa harus marah, sih? Memang gitu, kan? Kalau La jadi kayak biasanya, Kakak nggak bakalan suka. Kak Jay kan suka model-model cewek kalem, cantik, pintar, kurus tapi tetap kelihatan berisi seperti Kak Ryu."
Ah, jadi ini alasan perubahan Lamia selama ini?
Menghela napas lantaran tidak tahu harus menanggapi bagaimana, Jay pada akhirnya mengangguk pasrah. Enggan berdebat dan memunculkan konflik. Tidak setelah hubungan mereka akhir-akhir ini sudah mulai membaik. Setidaknya, kalaupun nanti Jay tidak bisa membalas perasaan Lamia, dia bisa menjadi teman atau sosok kakak yang baik bagi gadis itu. Jay tidak mau menyimpan dendam atau masalah dengan siapapun.
"Nggak usah ngerasa bersalah begitu," Lamia berkata, tetap mempertahankan seulas senyumnya, "lagian ini juga maunya La sendiri. La sudah janji bakalan kasih Kakak banyakkk sekali hal yang buat Kakak bahagia. Setidaknya di satu kesempatan ini La hanya ingin buat Kakak bahagia dan ngerasa jadi orang yang berguna untuk Kakak."
Menjeda ucapannya sejenak, Lamia menunduk sebentar untuk melepaskan napas berat. Lantas kembali mendongak untuk kembali lagi menciptakan seulas senyum, menumpuk kebohongan di atas kebohongan lain. Menutup luka di atas luka lain.
Perkataan gadis itu pun mengudara. Bersamaan dengan tatapan mata sendunya, "Meskipun nanti ... mungkin Lamia tidak akan bisa melakukan itu lagi."
Menghela napas berat, Jay menunduk sejenak untuk kembali menampik perasaan aneh yang mulai menggelitik hatinya. Agaknya ini sudah yang kesekian kali dia melakukan hal serupa.
Mencoba menanggapi kebohongan Lamia di balik senyumannya, Jay pun turut memasang senyuman hangat serupa. Dengan satu tangan yang terangkat dan menepuk pelan puncak kepala dengan lembut, "Mau main sepeda? Ayo kita buat orang lain iri kayak kemarin-kemarin."
*****************************
[TO BE CONTINUE]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top