28. Cognizant

cog·ni·zant
/ˈkäɡnəzənt,ˌkäɡˈnīzənt/

(adj.) having knowledge or being aware of.

*****

Semburat merah di pipi itu selalu terlihat tatkala seulas senyum tercipta. Ditambah dengan teriknya mentari yang berlabuh di kulit putih milik Lamia. Maka semakin merahlah wajah itu di tambah Jay sesekali memberikan candaan pun gurauan lucu yang lebih terdengar seperti godaan alih-alih lelucon.

Lamia tidak bisa menahan bagaimana perasaan menggebu dalam dadanya tatkala Jay menatapnya dengan tulus dan hangat. Perjanjian seminggu lalu itu tampaknya berjalan dengan baik. Sangat baik meskipun ia harus berbicara serius dengan Ryu dan meminta persetujuan mati-matian dengan Hobi.

"Ini terakhir kali, Kak Hobi. Setelah ini La tidak akan berjuang lagi."

Pun dengan sebuah keputusan final yang sangat amat berat diputuskan oleh Hobi, Lamia bisa bernapas lega setelahnya. Barangkali saja kakak lelakinya itu sudah tidak tega saat melihat tampilan kacau Lamia ditambah dengan permintaan terakhirnya dengan nada putus asa.

Biarlah, setidaknya itu sudah berlalu dan Lamia bisa menghabiskan waktu dengan Jay selama seminggu ini dengan baik.

Berawal dari kembali mengunjungi Jay lagi di restoran. Lelaki itu juga sekalipun pada awalnya enggan tersenyum ramah dan memperlakukan Lamia dengan baik, maka Lamia akan mengingatkan terkait perjanjian mereka. Membuat pemuda berambut cokelat kepirangan itu lambat laun mulai terbiasa dengan kegiatan mereka tiap harinya.

Cerita-cerita sebelum tidur itu juga berlanjut. Jay entah kenapa sangat bersyukur karena secara tidak langsung Lamia sudah berhasil membuatnya tidur nyenyak. Tanpa ada suara-suara aneh yang mengganggunya, tanpa ada kenangan buruk yang memenuhi pikirannya sampai membuat sepasang obsidian itu enggan menutup.

Semuanya berjalan baik-baik saja.

"Kamu senang, Lamia?"

Lamia mendongak, satu tangannya menggandeng Jay dengan kepala mengangguk antusias, "Um, senang sekali! Kita harus sering-sering hang out begini, ya? Bosan sekali kalau harus ke studio." Bibir gadis itu mengerucut kala merutuk kegiatannya selama ini, membuat Jay terkekeh geli.

"Tapi kamu nggak pernah tuh kelihatan bosan. Rajin banget malahan ke studio tiap minggu."

"Iya, lah!" sahut Lamia, "Kan ada Kak Jay di sana. Kalau nggak ada Kakak ya La ogah banget harus jadi nyamuk di dua orang itu."

Jay mangut-mangut menanggapi. Membiarkan saja lengan Lamia itu bergelayut manja di lengannya. Lantas pasrah kemana pun gadis itu membawanya pergi.

Acara jalan-jalan yang sebenarnya lebih terdengar seperti kencan. Sudah cukup banyak hal yang mereka lalui sejak tadi. Menonton di bioskop, bermain di timezone dan bertaruh akan siapa yang menang, lalu sekadar duduk untuk menyantap satu mangkuk es krim berdua.

Tidak ada yang tahu bahwa mereka adalah dua orang yang sedang berpura-pura bahagia di atas perjanjian yang sudah disusun dengan teramat baik. Yang orang lain tahu, Jay dan Lamia hanyalah sepasang kekasih yang tengah menikmati waktu kencan akhir pekan mereka. Membuat beberapa pasang mata sempat menatap iri akan bagaimana keromantisan keduanya.

Tentang bagaimana wajah cantik Lamia itu dipoles sempurna dengan make up natural, tubuh kurusnya dibalut dengan dress selutut berwarna merah muda, tas selempang berwarna senada dan wedges berwarna hitam melindungi kaki jenjangnya. Jay sendiri tampaknya cukup menarik perhatian dengan celana jeans hitam dan kemeja kotak-kotak.

Lamia sendiri secara pribadi, benar-benar mencoba merekam dengan baik kencan pertama mereka. Berharap sampai akhir nanti tidak ada masalah yang terjadi. Agar semuanya berjalan baik-baik saja. Seperti halnya bagaimana orang-orang berpikiran tentang mereka.

"Selamat menikmati. Wah, kalian pasangan yang cocok sekali." Begitu ucap salah satu pelayan yang melayani mereka. Jay dan Lamia hanya tersenyum simpul tanpa berniat menjelaskan lebih jauh.

Sebenarnya ini tindakan yang teramat bodoh. Gegabah dan sangat tidak berpikir panjang.

Wajah Hobi marah. Wajar Ryu memintanya untuk berpikir panjang. Seharusnya Lamia berhenti saat di mana Jay benar-benar berkata bahwa tidak ada satupun celah di hatinya untuk Lamia. Seharusnya dia menyerah saat melihat Ryu menangis di pelukan pria itu. Seharusnya dia menghindar saat melihat sorot luka dan kepalan cemburu Jay ketika melihat kemesraan Ryu dan Hobi.

Seharusnya Lamia benar-benar harus berhenti.

Kendati gadis itu menampik sebersit perasaan nyeri yang terkadang menyentil hatinya saat spekulasi negatif itu mulai berdatangan. Bukan bermaksud berpikiran buruk akan Jay, hanya saja Lamia mencoba untuk realistis.

Perasaan cinta delapan tahun itu mungkin saja tidak sebanding dengan intensitas mereka yang baru setengah tahun bersama.

Namun tatkala melihat bagaimana sorot mata yang hangat dan bersahabat, juga lesung pipi yang nampak samar dengan tulang pipi yang membuat mata pemuda itu menyipit, Lamia tidak bisa menghentikan debaran di dada serta detak jantung yang bertalu tidak karuan.

Membuat gadis itu sangat betah hanya untuk diam dan menatap Jay tanpa melakukan apapun.

"Sudah puas melihatnya?"

Lamia terkekeh. Kepalanya menggeleng pelan, "Nggak pernah puas, Kak."

"Dasar rakus," komentar Jay yang kembali ditanggapi tawa oleh Lamia.

"La sering berpikir, deh. Dulu La pengin sekali melakukan ini ke cowok yang La suka secara terang-terangan. Ternyata kesampaian juga." Meskipun mungkin hal yang La lakukan sekarang tidak bisa dilakukan seterusnya.

"Ya sudah, lihat saja mukaku puas-puas. Jadi orang ganteng memang susah, ya." Jay menyondongkan badan, menyondorkan wajahnya seolah memberi secara sukarela pada Lamia untuk dilihati sampai puas.

Gadis itu terkikik geli. Kembali menyendok es krimnya dan menyantap, "Kira-kira Kak Hobi dan Kak Ryu lagi apa ya di studio?" ia berandai.

Jay mengedikkan bahu, "Paling nari-nari sampai tulang mereka kelihatan mau patah."

"Nggak gitu juga kali, Kak. Lagian kenapa, sih Kakak nggak pernah gabung nari? Takut kelihatan jadi sad boy?" ledek Lamia. Terkekeh cukup heboh tak peduli delikan tajam Jay.

"Malu. Tarianku nggak sebagus mereka."

"Dih! Bisa malu? Padahal pas Kakak nari sendiri keren banget, lho. Kapan-kapan lihatin La lagi, ya, tapi jangan ajak La nari bareng. Nanti dimarahin Kak Hobi."

"Memangnya Hobi marahin kayak gimana kalau kamu nari?"

"Katanya sudah kayak nenek-nenek yang olahraga nggak pake pemanasan dulu."

Sebenarnya itu tidak lucu. Bukan hal yang sepatutnya dijadikan lelucon terutama karena itu adalah hal memalukan yang dimiliki Lamia. Namun tidak tahu ada angin dari mana, Jay justru tergelak cukup heboh sampai kedua matanya tidak terlihat. Memukul pahanya berkali-kali sembari sesekali menunjuk Lamia dengan ejekannya yang tidak kalah menyakitkan.

Lamia menatap datar. Tidak mau menanggapi karena sungguh, dia merasa benar-benar dijatuhkan di sini.

Kendati begitu, ada saja sisi lain dalam dirinya yang benar-benar mengagumi bagaimana Jay bisa tertawa lepas ini saat bersamanya. Astaga, sadar Lamia jangan terlalu diperbudak cinta.

"Aku jadi pengin lihat kamu nari. Sekaku apa sih sampai Hobi komentarinnya begitu."

"Nggak usah penasaran," Lamia mencebik dengan sendok yang dihentakkan keras-keras, "pokoknya kalau Kak Hobi udah sampai cerewet gitu berarti parah banget. Puas ngetawain La sampai tersedak begitu? Heran, deh."

"Puas," ujar Jay di sela tawanya, "puas sekali sampai aku nggak bisa ngelihat apa-apa?"

Alis Lamia terangkat, bingung, "Nggak bisa ngelihat?"

"Iya," Jay menormalkan napas dan tawanya, "mataku sipit. Jadi aku nggak bisa lihat apa-apa kalau aku ketawa. Apalagi sampai kayak tadi."

"Konsep darimananya coba? Sumpah, deh, Kak Jay. Aneh banget."

"Aneh gini kamu juga masih suka."

"Makanya itu. Apalagi sampai ketawa lepas kayak tadi. Duh jadi makin ganteng, kan jadi makin cinta. Besok-besok kalau ketawa munduran dikit, Kak."

Giliran Jay yang mengernyit bingung, "Kenapa?"

"Gantengnya kelewatan."

"Sial."

Tidak menanggapi selain kekehan geli. Lamia membiarkan saja Jay yang sudah malu-malu dan kembali menyantap es krim mereka yang semakin mengikis.

***

"Tapi serius deh, Kak. Kenapa Kakak bener-bener nggak mau ikutan nari? Memangnya apa yang Lamia bilang itu benar, ya?"

Keduanya lanjut berjalan. Setelah memesan makan siang dan berakhir memesan kopi, mereka memutuskan untuk kembali pulang. Dengan dua tangan Lamia yang menggandeng dan sesekali kepala gadis itu yang bersandar pada pundak Jay.

"Kurang lebih begitu," kata Jay.

Lamia mengangguk, melangkah ringan enggan waktu cepat berlalu dan melepaskan diri dari Jay, "Kakak sedih kalau lihat Kak Ryu dan Kak Hobi? Terus selama ini bagaimana?"

Jay mengambil napas sejenak, seolah hendak memulai cerita sebagai sebuah pembuka, "Ya biarin saja. Lagipula aku bisa apa? Ryu juga bahagia banget bareng sama Hobi."

"Bukannya mereka pernah putus, ya? Kakak kenapa nggak ngerebut saat itu?" tanya Lamia, mengingat beberapa tahun silam kedua kakaknya itu memang pernah terlibat perdebatan pelik sampai memutuskan untuk berpisah. Sekalipun beberapa bulan setelahnya memutuskan untuk kembali lagi.

Jay menggeleng pelan. Menatap lurus jalanan depan mereka dengan Lamia yang mendongak belum lepas pandang kendati mereka masih berjalan, "Kenapa?" tanya gadis itu lagi.

"Gimana aku tega rebut Ryu. Nggak lama setelah mereka putus, Hobi nangis-nangis galau cerita ke aku. Ya nggak sampai nangis heboh, sih," meminimalisir keadaan karena tidak mau diberi bogeman mentah oleh Hobi karena mungkin Lamia akan menggunakan ucapan Jay yang tadi sebagai bahan olokan, "cuman dia selalu cerita sedihnya dia waktu pisah dari Ryu."

"Nggak lama setelah itu," Jay melanjut, "Ryu juga ngelakuin hal yang sama. Datang ke aku dan cerita kalau dia benar-benar marah sama Hobi. Sampai nangis-nangis karena galau sekaligus marah juga. Tambahan, aku pikir mereka sedih juga karena kangen gara-gara nggak pernah ketemu selepas putus."

Lamia mengangguk, memang sih. Soalnya Ryu juga pulang-pulang ke rumahnya menangis tersedu selepas bertengkar hebat dengan Hobi, "Terus yang kakak lakuin apa?"

"Jadi pihak tengah tuh gampang-gampang susah. Meskipun godaan ingin memiliki selalu ada, tapi mereka masihlah sahabatku. Putus saat sudah bersahabaat cukup lama bukan sebuah opsi yang baik. Di samping itu, aku juga masih sangat menghargai Hobi. Nggak mungkin juga aku sejahat itu ke dia setelah semua kebaikan yang keluarganya kasih ke aku."

Mereka berjalan hati-hati saat akan menuruni eskalator. Tanpa melepas gandengan tangan, Lamia menunggu selama beberapa saat sampai eskalator mereka tiba di lantai bawah. Memisahkan diri dari orang-orang demi mendengar Jay bercerita lebih leluasa.

"Terus?"

Jay mulai melanjut, "Alasanku berhenti menari―maksudku menari bertiga sama mereka juga karena satu hal," kata Jay. Mengambil napas dalam-dalam hendak kembali melanjut, kendati di setiap tarikan napas itu hati Lamia harap-harap cemas menanti jawaban yang mungkin saja tidak ingin didengarnya.

"Karena aku tidak mau berharap dan tidak mau semakin cinta."

Jadi Lamia, apa kamu masih sanggup untuk melanjutkan perjuangan ini?

*****************************

[TO BE CONTINUE]

Jay : Kenapa?

Lamia : Kasih laporan ke Kak Hobi. Ditanyain lagi di mana.

Jay : Terus hubungannya sama foto aku?

Lamia : Ya kasih tau lagi beli kopi, lah.

Jay : Kan bisa foto kopinya aja

Lamia : Nggak pa-pa sekalian koleksi foto calon pacar 

Jay : .....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top