27. Blandishment
bland·ish·ment
/ˈblandiSHmənt/
(n.) a flattering or pleasing statement or action used to persuade someone gently to do something.
*****
Sebelumnya, ada alasan yang membuat seorang Jeremy pada awalnya menerima secara sukarela semua kebaikan dari kedua sahabatnya. Sekalipun dalam hati benar-benar merasa berutang budi sampai-sampai tidak berpikir apa kira-kira hal yang bisa membayar semua kebaikan dua sahabatnya itu, sekalipun mereka enggan sekali jika Jay membahas tentang ini.
"Kadang, kita nggak butuh alasan untuk menolong orang. Kalau kamu ngerasa harus bayar kebaikan kita, maka lakukanlah satu hal. Sembuh."
Sekalipun, tidak lama setelah itu Jay bisa mendengar dengan jelas. Bagaimana keluarga Hobi berbincang satu sama lain saat Jay masih tinggal di rumah mereka. Kala itu, mereka mengira tubuh lemas Jay masihlah terbaring di kasur karena demam yang ia alami. Kendati kerongkongan yang kering membuat Jay terpaksa bangkit untuk sekadar meneguk air mineral.
"Mama kasihan sama dia. Lagipula dia orang yang nggak mampu. Kalau kita bisa bantu, kenapa nggak? Lagipula dia anak baik-baik. Pintar pula. Asalkan kita bisa didik dengan baik."
Jay tidak pernah tahu, kenapa banyak sekali orang-orang di luar sana yang sangat tidak suka dikasihani. Jay tidak tahu, apa hal yang membuat sebagian orang merasa tidak terima dengan ratapan dan tatapan mata saat seseorang mengasihani mereka. Jay juga tidak tahu, kenapa ego sebagian orang sepertinya teramat tinggi sampai-sampai menerima kebaikan dari orang lain pun segan dan memilih menjunjung tinggi harga dirinya. Sungguh, Jay sama sekali tidak tahu.
Karena tatkala mendengar itu, alih-alih tersinggung, Jay justru merasakan hal lain dalam dirinya. Perasaan menghangat yang merengsek secara perlahan memenuhi dada sampai-sampai membuat lelaki itu harus menutup mulut guna menahan tangis yang hampir saja keluar dari mulutnya.
Bukan. Ini bukanlah sesuatu yang menyedihkan ataupun hal yang membuatnya marah sampai-sampai menangis begitu.
Karena Jay merasakan hal yang lain. Disayangi dan dipedulikan.
Mendadak, perasaan menghangat itu semakin memenuhi dadanya. Membuat Jay merasa sesak sampai harus meraup udara sebanyak-banyaknya guna memenuhi pasokan udara dalam paru-paru. Pun di tengah tangisan harunya, seulas senyum tercipta. Bersamaan dengan itu, seorang wanita tak tampak terkejut ketika melangkah dan menemukan Jay berdiri di balik dinding.
Belum sempat berkata apa-apa, Jay menubruk dan merengkuh wanita itu. Membuat sosok paruh baya itu tampak sedikit terkejut dengan badan yang sedikit limbung, satu tangannya membalas ragu pelukan Jay lantaran masih bingung dan tidak tahu apa yang terjadi sampai membuat anak satu itu menangis.
"Jay? Kamu nggak apa-apa? Kenapa nangis? Mama kamu ganggu lagi?" Ia bertanya khawatir.
Ah, jadi begini rasanya dikhawatirkan oleh seorang Ibu?
Jay menggeleng, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher wanita itu. Mengeratkan pelukannya dengan tangis yang entah kenapa semakin menjadi sampai-sampai membuat wanita itu semakin khawatir.
"Jay? Beneran nggak apa-apa? Atau ada yang sakit? Kamu kan harusnya istirahat."
"Makasih, Ma," meskipun lirih, suara Jay masih bisa terdengar, "makasih sudah mau jadi sosok Mama yang baik untuk Jay. Jay ... sayang Mama Elok. Sayang sekali."
Elok tidak bisa untuk menahan air matanya begitu saja. Tidak setelah ungkapan sayang dari seseorang yang sudah dianggapnya sebagai anak ini. Tidak setelah ia tahu bagaimana kehidupan Jay yang tidak bisa dikatakan baik. Tidak setelah ia tahu luka yang tertoleh dalam diri Jay saat anak itu tidak memiliki salah apapun.
Maka satu tangan Elok terangkat. Sedikit mengadah lantaran tinggi Jay yang tentu lebih tinggi darinya. Elok mengangguk, menepuk belakang kepala Jay sembari menggumam menenangkan anak lelakinya, "Shh ... jangan menangis, Mama juga sayang sama Jay. Sayang sekali. Jay juga sudah Mama anggap sebagai anak mama sendiri. Jangan sedih lagi, ya."
Jay mengangguk. Tetap memeluk selama beberapa menit tanpa lepas. Menghirup aroma wangi mamanya. Wangi kesukaan Jay yang menenangkan dan akan tetap Jay rindukan kala keduanya tidak berada di tempat yang sama. Memilih menumpahkan semua rasa sayang yang tidak sempat Jay salurkan pada Ibu kandungnya sendiri.
Sudut mata Jay menangkap sosok Hobi yang berdiri tak jauh dari mereka. Dengan mata yang berkaca menahan tangis. Bersama dengan Keenan yang tersenyum hangat padanya.
Memiliki keluarga yang hangat, menyenangkan sekali.
Maka Jay sudah tidak peduli lagi tentang bagaimana orang-orang menghinanya. Bagaimana orang-orang mungkin saja berkata bahwa Jay yang sudah tidak memiliki harga diri lagi lantaran menerima secara cuma-cuma perasaan kasih itu. Perasaan yang dilandasi oleh rasa 'kasihan' yang menurut sebagian orang adalah hal memalukan untuk diterima.
Sungguh. Jay tidak akan pernah peduli. Karena ini adalah satu cara yang bisa ia lakukan untuk bertahan hidup.
Hidupnya sudah hancur, berantakan. Dirinya pernah hancur sehancur-hancurnya. Tubuhnya pernah lelah se-lelah-lelahnya. Pun perasaannya pernah terluka sesakit-sakitnya. Semua perasaan tidak mengenakkan yang sangat amat ia ingat dan bahkan hampir membuat dia memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Kendati masih, jauh di lubuk hati terdalamnya. Ada sebuah harapan kecil yang membuat ia masih ingin bertahan. Masih ingin hidup.
Maka Jay menutup telinganya rapat-rapat. Persetan dengan harga diri. Karena sekalipun dilandasi dengan perasaan 'kasihan', Jay bisa melihat dengan jelas bagaimana tatapan teduh dengan senyuman yang hangat itu memberikan Jay afeksi berlimpah. Sesuatu yang juga tidak pernah Jay dapatkan dari ibunya.
Yakni sebuah tempat di mana Jay merasa bisa 'pulang'.
Lagipula, Jay juga harus bisa bertahan hidup. Jay akan melakukan apa saja agar ia bisa tetap menghembuskan napas di dunia ini. Sekalipun sesak rasanya, sekalipun berat rasanya. Tidak masalah. Selama paru-parunya masih menampung pasokan udara dan jantung masih berdetak dengan semestinya, Jay tetap bersyukur.
Pun sebuah pelukan itu berakhir tatkala Elok menarik dirinya. Tersenyum dan menghapus sisa air mata Jay dengan ibu jarinya. Sebuah kalimat yang membuat bulan sabit tercipta di wajah Jay. Elok berujar.
"Terimakasih, sudah bertahan dan tetap memilih untuk hidup. Mama bangga sama kamu."
***
Setidaknya sudah beberapa tahun berlalu. Sudah sangat lama ketika Jay juga memilih untuk tinggal dengan Ivan dan bekerja bersama. Membangun rumahnya di sana. Membentuk keluarga kecil mereka di tengah kota Bandung. Pergi dari ibukota setelah kuliah dan melanjutkan kerja sebagai salah satu pengajar di bimbingan belajar. Meskipun dengan gaji yang tidak begitu besar, tapi Jay tetaplah bersyukur.
Kala itu juga, Jin masih bertugas di Bandung.
Sampai ketika Jay menemukan fakta bahwa kakak sulungnya itu mempunyai sebuah mimpi.Mimpi yang ia simpan sejak lama dan tanpa sengaja ditemui Jay ketika tak sadar membuka buku harian milik Ivan. Saat itu, Jay hanya bisa tersenyum. Meskipun hatinya pedih dan terluka, meskipun sedih. Namun, Ivan tetaplah kakaknya. Manusia biasa yang juga memiliki mimpi layaknya manusia lain. Sebagai adik, bukankah Jay memang harus memberikan dukungan?
"Pergi, Kak. Jeremy nggak apa-apa di sini. Kak Ivan juga harus belajar dengan giat. Ini mimpi Kakak. Jeremy nggak bisa larang. Seperti halnya Kak Ivan yang selalu dukung Jeremy, maka Jeremy juga harus melakukan hal yang sama. Ya, meskipun Australia itu jauh, tapi kita masih bisa saling video call, kan?"
Tidak mau membuat sang adik itu sendiri. Bertepatan setelah itu, Jin memutuskan pindah ke Jakarta. Maka, Ivan memercayakan adiknya pada sang sahabat. Tidak mudah bagi Ivan melepaskan Jay begitu saja. Tidak saat ia tahu bahwa Jay belum benar-benar sembuh.
Kembalinya Jay, Hobi menyambut hangat. Membuka lengan lebar-lebar dan menawarkan pekerjaan. Cukup lama sampai Jay benar-benar menerima lantaran mencari kerja di ibukota yang sesuai background-nya sedikit sulit. Lagipula, Hobi memberikan gaji yang lumayan, di tambah ia bisa tetap mengasah kemampuannya dengan menjadi guru privat untuk Keenan dan teman-teman adik sahabatnya itu.
Satu hal lain yang membuat Jay juga senang saat kembalinya ia ke Jakarta.
Tentang kerinduannya pada Ryu dan perasaannya yang masih terasa sama saat gadis itu sedang bersamanya. Serta ... perasaan menyakitkan yang juga nampaknya masih terasa sama ketika melihat Ryu sedang bermesraan dengan sahabatnya sendiri.
Membuat Jay ... terpaksa haruslah menelan bulat-bulat kenyataan bahwa gadis itu, Ryu, perempuan cantik nan baik hati yang masih betah bersarang di hatinya, tidak bisa ia miliki.
"Bisa ulangi lagi apa yang kamu bilang tadi?"
Jay memusatkan atensinya pada sosok lain yang tengah duduk menyamping sembari menatapnya. Gadis itu mengangguk, "Jika dunia memberikan kakak seribu alasan untuk bersedih, maka La akan memberikan Kak Jay satu juta alasan untuk bahagia."
"Aku nggak butuh bahagia. Aku hanya butuh hidup," Jay berujar tegas.
Lamia tersenyum dengan kesabarannya, "Bahagia itu perlu, Kak. Hidup saja tanpa ada bahagia dan emosi lain, sama saja Kakak mati. Hidup tanpa jiwa itu sama sekali tidak menyenangkan."
Menatap Lamia lekat-lekat, tanpa mengalihkan pandangan dengan segala harapan yang Jay pupuk dalam hati, lelaki itu kembali beraksara, "Yakin kamu bisa berikan aku itu semua?"
Lamia mengangguk.
"Oke, coba jelasin gimana penawaran itu."
Lamia semakin mengeratkan kaitan tangan mereka. Sekalipun dari sorot matanya yang sendu dan memerah, gadis itu mencoba menampik perasaan terluka yang akhir-akhir ini mengganggunya. Luka baru yang Jay torehkan kepadanya. Namun, lihat sekarang apa yang ia lakukan.
"Bersama dengan Lamia, Kakak nggak perlu khawatir. Lamia akan pastikan bahwa Kakak akan jadi orang paling bahagia di dunia ini. Dengan satu syarat ... tolong terima kehadiran La dalam hidup Kakak dan ..." meneguk ludah susah payah, dengan satu tangan yang ia gunakan meremas ujung baju, Lamia melanjut, "berikan La kesempatan satu kali lagi. Bisa?"
Jay tidak sekalipun mengalihkan pandangannya. Kedua netra pria itu mengamati tiap sudut wajah Lamia tanpa terlewat. Sekalipun, titik fokusnya selalu berhenti pada iris cantik gadis itu yang sedikit bengkak dan memerah.
Lamia tampak kacau. Bagaimana sorot terluka dan pipi yang menirus itu seolah menjadi sebuah tanda bahwa akhir-akhir ini gadis itu memang tidak baik-baik saja.
Ya ampun, Jay. Sudah berapa jauh kamu menyakiti gadis ini?
"La janji, kali ini La nggak akan bikin Kakak kecewa. La akan buat batasan bagi kita. La juga akan menghormati privasi Kak Jay. Untuk yang lalu ..." gadis itu menunduk sejenak. Tampak mengambil napas dalam-dalam sebelum kembali mendongak dan memaksakan diri untuk tersenyum, "maafkan karena La, kakak jadi dihajar habis-habisan sama Kak Hobi. Padahal, itu kan salah Lamia sendiri. La kurang ajar ya, Kak? Maafin La,ya. Maaf sekali karena sudah buat Kakak semarah itu."
Namun, agaknya Jay memang lelaki brengsek yang hanya mementingkan kebahagiaannya sendiri. Tanpa peduli bahwa masih ada satu pihak lain yang sama terluka dengannya. Sekalipun dalam hati merasa iba, Jay jauh-jauh menampik perasaan itu.
Aku sendiri belum bisa bahagia. Bagaimana aku bisa membahagiakan orang lain? Bukankah sekarang aku harus membahagiakan diriku sendiri dulu?
Ya, benar Jay. Lagipula kamu harus tetap hidup. Kamu harus tetap bertahan. Jadi, jika ada satu pihak yang menawarkan sebuah kesempatan baginya untuk bertahan lebih lama pun menjanjikan sebuah kebahagiaan pula.Jay entah mengapa seperti merasa tertarik akan setiap kata yang diucapkan Lamia dari belah bibir merah mudanya itu.
Di tambah, presensi Ryu yang entah kenapa berubah menjadi hal menyakitkan yang Jay rasakan ketika mengingatnya. Terutama tentang fakta bahwa Ryu bukanlah seseorang yang bisa ia miliki, kembali membuat sebuah luka yang ditorehkan dalam hati. Membuat hati Jay merasa sedikit nyeri kala kembali mengingatnya.
"Gimana, Kak?"
"Aku hanya perlu nerima kehadiranmu dan membuka diriku, kan?"
Lamia mengangguk, mempertahankan seulas senyum sekalipun itu tampak sulit. Hanya agar membuat Jay yakin bahwa ucapannya bukan main-main.
"Kak Jay tidak perlu berjuang," yakin Lamia, "biarkan La saja yang berjuang di sini. Tidak apa-apa."
Satu alis Jay menaik, "Kenapa begitu?"
Lamia tertawa kecil, "Karena ... La tidak mau Kak Jay terluka lagi. La tidak mau menjadi satu alasan Kakak terluka. La hanya ingin ... menjadi sebuah alasan kenapa Kakak tersenyum dan bahagia." Jadi, jika sesuatu hal terjadi, maka hanya ada satu pihak yang akan terluka. Yaitu, La, tapi tidak apa-apa. Asalkan kakak bisa merasakan kebahagiaan pemberian La. Tentu saja ia lanjutkan itu dalam hati. Tidak mau membuat Jay semakin merasa terbebani dengan banyak pikiran.
Baiklah Jay. Ini kesempatanmu.
Maka setelah melihat mata Lamia yang belum juga berpaling. Dengan secercah harapan dan setumpuk keyakinan yang berhasil tersampaikan pada Jay. Lelaki itu menarik satu sudut bibirnya. Satu tangannya terangkat untuk menepuk kepala Lamia dengan lembut.
"Kakak juga maaf karena sudah bertindak kasar kemarin. Dan ... oke. Kayaknya ini penawaran yang menjanjikan."
Jadi, dengan eye smile Jay yang sangat Lamia suka. Gadis itu bisa bernapas lega. Setelah selama ini bahkan tidak bisa tertidur lelap. Seolah satu bebannya terangkat bebas. Kendati ... masih ada satu beban lagi yang harus diembannya ke depan. Juga mungkin, sesuatu yang bisa saja membuat dia terluka.
Kak, Lamia membuat keputusan yang tepat, kan?
.
.
I want to protect you one more time, before you turn into tears
A crystal that cant be reached no matter how much you wish
Even a hundred years down the line, i want my next step to be with you
Can i be your one? ― BTS – Crystal Snow
*********************************
[TO BE CONTINUE]
Lamia nyamperin Ryu ke rumah sakit sebelum ketemu sama Jay.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top