26. Cogent
co·gent
/ˈkōjənt/
(adj.) (of an argument or case) clear, logical, and convincing.
*****
Di suatu malam yang dingin, di mana udara-udaranya menyusup masuk melalui celah jaket murahannya yang bahkan sudah berlubang di beberapa tempat. Sehingga manakala jaket hijau tua itu tidak berfungsi dengan semestinya dan membuat udara malam yang dingin itu seperti menusuk sampai ke dalam tulang, Jay hanya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Demi mencegah udara yang masuk diam-diam lewat sana.
Jay masih ingat dengan sangat baik. Saat itu, Ivan, kakaknya tengah berjalan dengan perlahan dengan dua gelas susu kemasan yang ia buat sebelum menaruhnya dengan hati-hati di atas meja kecil yang memisahkan mereka berdua.
Melihat pemandangan yang tidak bagus-bagus sekali dari balkon lantai dua kamar kos tempat mereka tinggal. Motor yang berlalu lalang, mahasiswa yang baru pulang kuliah, pun orang-orang berdasi yang memasuki kawasan kos khusus karyawan yang tidak jauh dari kosan mereka.
Keheningan menyapa sesaat dan hanya suara hembusan napas dan deru motor yang mendominasi. Di sampingnya, Ivan melihat Jay tengah memandang lurus ke depan dengan seulas senyum di wajahnya itu. Pipi tirus adik lelakinya membuat tulang pipi yang ia miliki tampak jelas kala ia tersenyum. Ivan meringis, menyadari akhir-akhir ini dia memang kurang memerhatikan si bungsu dan larut dalam tugas kuliahnya.
"Bagaimana kuliahmu? Anak-anaknya nggak ada yang nakal?" Ivan bertanya, meletakkan secangkir susu miliknya di atas meja kayu yang telah usang. Lantas membenarkan posisi duduk dengan kedua kaki terangkat di atas kursi dan sedikit memiringkan posisi badannya.
Jay melirik sejenak, kembali menatap depan, "Teman-temanku baik, Kak. Nggak ada yang usil. Sejauh ini aku nggak ada masalah."
Ivan mengangguk, mencoba mengerti dengan ucapan lirih adiknya, "Besok kita beli makan enak, ya. Kak Ivan baru saja dapat gaji dari rumahnya Nadira."
Jay menautkan kedua alis dengan bibirnya yang sedikit mengerucut. Menerawang dulu nama 'Nadira' yang diucapkan Ivan, "Oh, murid Kak Ivan yang anak orang kaya itu?"
Ivan mengangguk, "Iya, baru dapat gaji dan bonus. Nadira dapat seratus di ujian tengah, orang tuanya senang banget sampai gaji bulan ini ditambahin."
"Bagus, dong," Jay tersenyum ikut senang, "kalau begitu, berarti tabungannya Kak Ivan bakalan lebih banyak lagi."
Perkataan Jay tidak lantas membuat Ivan senang. Iya, siapa sih yang tidak senang saat jumlah nominal semakin menarik? Siapapun pasti akan senang. Namun agaknya, hal sebaliknya berlaku pada Ivan. Bukan lantaran dia tidak suka dapat banyak rezeki seperti ini. Hanya saja, melihat bagaimana raut wajah si bungsu yang tersenyum dengan mata yang menyipit. Terus terang saja Ivan tidak tega, ditambah tulang pipi Jay yang semakin terlihat kala merangkak naik jika lelaki itu tersenyum.
"Iya, besok kita ke restoran ayahnya Hobi, ya. Kita makan daging, biar badanmu nggak kurus begitu." Ivan berkata ringan kendati dalam hati menahan diri habis-habisan agar mengekspresikan wajahnya dengan biasa. Tidak mau membuat si bungsu semakin khawatir.
"Jangan, Kak. Nanti uang Kak Ivan habis. Lebih baik makan lalapan di pinggiran saja."
"Nggak usah mikirin uang," Ivan berucap, "kamu kuliah yang benar, uangmu biar Kak Ivan yang urus."
"Lagian," Ivan melanjut, "kamu juga tinggal sama Hobi. Kakak jadi lebih tenang. Setidaknya ada yang mau nolongin kita."
Jay tersenyum tipis, "Mereka terlalu baik, Kak. Aku sampai nggak enak banget sama keluarga mereka."
"Nggak usah mikirin itu dulu," Ivan turut memandang lurus,kendati atensi pembicaraaannya tetap berfokus pada adiknya, "nggak usah bebani pikiranmu perihal nyaman nggaknya. Mending kamu sekarang bersyukur, lihat sisi positifnya karena masih ada yang peduli dan sayang sama kamu."
"Juga ..." meskipun ragu dan menggantungkan kalimatnya, pada akhirnya Ivan kembali berucap, "ada jalan yang bisa bikin kamu pisah dari mama."
Membicarakan topik tentang ibu mereka memang bukanlah topik yang mudah untuk diangkat ke dalam pembicaraan. Ivan bahkan harus melihat dulu situasi dan kondisi dari adiknya. Salah-salah mengambil topik, bisa jadi masalah. Namun, tatkala melihat Jay yang tampak tenang juga sudah memastikan adiknya itu minum obat tadi, Ivan bisa mengangkat topik itu sekalipun menyinggungnya sedikit.
"Kak," panggil adiknya, Ivan menoleh. Netranya melihat Jay yang tengah mendongak. Memandang langit juga bulan purnama yang benar-benar memamerkan cahaya indahnya di langit sana.
Sorot itu adalah sorot mata yang tidak akan pernah Ivan lupakan seumur hidup. Tentang bagaimana adik bungsunya menatap bulan dengan tatapan berkaca. Seulas senyum tipis tercipta di wajah pucat dan tirus itu. Namun, ada sesuatu lain yang Ivan tangkap dari pandangan Jay. Sorot yang sangat amat jarang ia dapatkan selain tatapan kosong dan terluka. Sorot mata yang menyimpan banyak cerita.
Hanya saja, pada malam itu ada sesuatu hal lain. Ivan kakaknya, jadi Ivan sepertinya tahu arti lain dari pandangan mata si bungsu.
Sebuah harapan.
"Iya, Jay? Kenapa?" Ivan bertanya.
Jay tersenyum, melirik Ivan sejenak sebelum kembali memandang bulan, "Kalau diibaratkan, Kak Ivan itu adalah matahari dan Jeremy adalah bulan."
Ivan mengernyit, terutama ketika Jay mulai memanggil dirinya dengan nama kecilnya itu ketika berbincang dengannya. Saat-saat di mana lelaki itu akan bermanja dalam pelukannya. Melakukan hal wajar lantaran ia adalah bungsu dalam keluarga kecil mereka. Sedang Ivan tidak pernah sekalipun merasa keberatan memberikan banyak afeksi pada adik lelakinya.
"Kenapa begitu?" tanya Ivan, membentuk gestur siap mendengarkan cerita dan memandang Jay sepenuhnya tanpa berpaling.
"Karena matahari adalah bintang yang paling terang. Bahkan saking terangnya bisa membagi sedikit cahayanya pada bulan," ucap Jay, kepala dan matanya belum berpaling, "seperti kita."
Kalian bisa runtuk Ivan dengan tingkat kepekaan yang perlu diasah lagi. Sebab Ivan bukanlah orang yang puitis dan cepat paham dengan pembahasan apalagi menggunakan bahasa macam itu. Ivan butuh kejelasan.
"Kenapa begitu?"
Sabar sekali, Jay menjawab, "Kak Ivan seperti matahari. Cerah sekali. Memberikan kehangatan dan banyak manfaat untuk orang sekitar. Membawa banyak harapan bagi setiap manusia yang menyambut pagi. Bahkan ... memberikan sedikit cahayanya untuk menerangi bulan."
Ivan masih mendengarkan. Mengabaikan sedikit rasa haru dalam dirinya pun mata yang mulai berkaca hendak menangis.
"Coba Kak Ivan bayangkan kalau matahari tidak ada," Jay tersenyum tipis, menatap Ivan, "bulan akan gelap. Tanpa cahaya, tanpa penerang. Jadi, Kak Ivan ... makasih, ya karena sudah jadi matahari dan membuat Jeremy bersinar terang seperti bulan."
Hati Ivan tersentuh. Gila. Dampak yang dibawa Jay untuknya tidak main-main. Ketika semua orang menganggap Ivan bukanlah pria yang ramah. Cenderung dingin dan apatis dengan keberadaan sekitar, si bungsu ini justru mengucapkan hal sebaliknya. Melihat sisi hangat dari seorang Ivan yang tidak bisa dinilai dan dilihat oleh orang lain. Mengucapkan semuanya dengan teramat tulis dan tersenyum manis. Dua sudut bibir yang tertarik sempurna.
Malam itu tampaknya begitu sempurna. Kendati, belum sempat memberikan sebuah tanggapan. Ivan harus kembali menelan bulat-bulat setiap kalimat yang barangkali bisa mewakili perasaan, kala Jay melanjut.
"Mama seperti bumi."
Bukan hal baik. Setidaknya begitu pikir Ivan. Ketika seulas senyum yang indah itu lantas kembali seperti semula. Tatapan kosong dengan berjuta luka dan cerita yang amat Ivan benci itu mulai kembali terlihat.
"Kenapa?"
"Jika bumi berada di antara bulan dan matahari, maka bulan akan kehilangan cahayanya. Seperti Mama ... yang seringkali membuat Jeremy kehilangan asa dan harapan. Penyebab utama Jeremy kehilangan cahaya yang Jeremy miliki."
Ivan menghela, "Jay, jangan membenci―"
"Jeremy tahu, Kak," menghadap Ivan dengan seulas senyum ia berkata, sebagai jaminan agar perasaan Ivan tidak semakin khawatir, "Jeremy tidak pernah membenci Mama. Seperti yang Kak Ivan ajarkan. Hanya saja ... Jeremy kecewa sama Mama."
Menunduk, Jay meremas ujung jaketnya erat, "Maaf, Kak. Jeremy belum berani kembali pada Mama. Itu ... terlalu menakutkan. Jeremy belum siap."
Di malam yang dingin itu, di bawah sinar rembulan dan bantuan cahaya dari kamar kosan mereka yang menerangi balkon, Ivan kembali mendengar sebuah kalimat yang menohok hatinya. Menusuknya sampai relung hati yang paling dalam ketika si bungsu berucap dengan penuh rasa putus asa. Membuat pemuda itu seolah merasakan kesakitan yang adiknya rasakan.
Menyadari bahwa adiknya itu sudah seperti penghuni perahu yang terdampar di tengah lautan. Mengapung tanpa arah dan tujuan. Tanpa tahu harus melangkah kemana. Membutuhkan banyak hal untuk bertahan hidup selain perahu yang tetap berdiri kokoh diterjang ombak.
Sehingga kala sebuah kalimat itu terucap, tidak ada hal lain yang bisa Ivan rasakan selain perasaan putus asa dari adiknya yang membutuhkan sandaran. Menyadari bahwa lelaki bungsu itu sudah tak lagi mempunyai sebuah asa. Seolah dengan mengucapkan kalimat itu, Jay benar-benar memberikan semua kepercayaan serta harapannya pada Ivan.
Bahwa kakak lelakinya itu adalah satu pihak yang bisa ia percaya dan sebagai alasan bagi dia untuk bertahan hidup.
Dulu sekali, di sebuah malam yang dingin, Jeremy Alexander berkata pada kakak sulungnya, "Kak, aku hanya ingin hidup, itu saja."
***
"Kak? Bagaimana?"
Jay mengerjap. Menyadarkan diri dari lamunan akan masa lalu yang tiba-tiba menyapa dalam ingatannya. Di hadapannya, Lamia tengah menatap penuh harap. Satu tangan gadis itu tidak lepas dari tangannya. Mencoba menyalurkan kekuatan akan semakin eratnya kaitan di kedua tangan itu.
"Bisa ulangi lagi apa yang kamu bilang tadi?"
Lamia mengangguk, "Jika dunia memberikan kakak seribu alasan untuk bersedih, maka La akan memberikan Kak Jay satu juta alasan untuk bahagia."
"Aku nggak butuh bahagia. Aku hanya butuh hidup," Jay berujar tegas.
Lamia tersenyum dengan kesabaran yang bisa Jay lihat dari sorot matanya, "Bahagia itu perlu, Kak. Hidup saja tanpa ada bahagia dan emosi lain, sama saja Kakak mati. Hidup tanpa jiwa itu sama sekali tidak menyenangkan."
Menatap Lamia lekat-lekat, tanpa mengalihkan pandangan dengan segala harapan yang Jay pupuk dalam hati, lelaki itu kembali beraksara, "Yakin kamu bisa berikan aku itu semua?"
Lamia mengangguk.
Baiklah, lagipula Jay harus hidup. Harus hidup. Harus. Dia akan bertahan di dunia ini apapun alasannya. Maka, menyetujui tawaran menggiurkan saat dirinya memang sedang butuh alasan, memang bukan pilihan yang buruk kan?
Lagipula, ini hanyalah cara agar Jay bisa bertahan hidup.
"Oke, coba jelasin gimana penawaran itu."
*******************************
[TO BE CONTINUE]
Siapa yang mau disapa sama Ivan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top