25. Stolid
stol·id
/ˈstäləd/
(adj.) of a person) calm, dependable, and showing little emotion or animation.
*****
Layaknya bumi yang terus berputar, matahari yang terus terbit dan tenggelam, bulan yang senantiasa menjadi pengganti sang surya, gemintang yang memamerkan kerlap-kerlipnya malam, pun masa yang terus melaju.
Semuanya kembali seperti keadaan sedia kala. Hal-hal terus berjalan dengan semestinya. Seolah jauh sebelum ini, tidak ada tangis yang tumpah ruah, ancaman yang berdarah, dan hati yang teriris parah.
Benar-benar kembali seperti semula.
Sudah berapa lama, ya kira-kira? Jay menghitung, barangkali sudah sekitar nyaris dua minggu. Tidak pernah ada teriakan antusias yang menyapanya, tidak ada lagi seseorang yang membuka pintu restoran dengan senyum lebar dengan sorot mata cerahnya, tidak ada lagi yang meributkan para rekan kerja untuk memanggil Jay melayani gadis itu, pun tidak ada lagi cerita-cerita pengantar tidur setiap malamnya.
Tidak apa-apa, toh selama ini Jay bisa menjalani semua ini sendiri dengan baik.
Namun agaknya, eksistensi Lamia dalam kehidupannya seolah sudah diatur sedemikian rupa. Sehingga manakala gadis itu tak jua menampakkan batang hidungnya, Jay merasakan sesuatu yang entah mengapa sangat amat enggan dia akui.
Kehilangan.
Sudah cukup lama menghabiskan waktu bersama. Pun gadis itu teramat sering mengunjunginya, sehingga mau tak mau Jay jadi semakin bisa untuk mengadaptasikan diri akan tiap tingkah laku Lamia yang sedikit merepotkan juga suaranya yang berisik.
Namun, bukankah ini terlalu tenang sekarang?
Hobi bukanlah orang yang memendam amarah terlalu lama. Setelah menghajar Jay habis-habisan, lelaki itu kembali. Mengucapkan beribu maaf dan penyesalannya, mungkin juga didukung oleh Ryu. Lamia bukanlah orang yang sembarangan, anak itu sudah bersama dengan Hobi dan Ryu cukup lama. Jadi, tidak heran Jay memaklumi. Terutama saat tahu bagaimana kedekatan antara Hobi dan Lamia, menganggap gadis itu sebagai adik kandungnya dan kejadian dua minggu lalu hanyalah naluriah seorang kakak untuk melindungi adiknya.
"Jaga sikapmu, sama seperti aku menjaga sikap padamu, Jay. Bagaimana pun, Lamia hanya bermaksud baik, dia melakukan semua ini dengan tulus. Dia bukan sekadar iba atau kasihan. Dia benar-benar peduli sama kamu."
Jay menghela napas. Pergerakannya yang tengah mengelap meja makan dengan pola melingkar itu terpaksa terhenti tatkala pikirannya kembali teringat ucapan beberapa hari yang lalu.
Well, tidak bisa disampingkan bahwa Jay juga merasa sedikit bersalah. Biar bagaimana pun, Lamia yang posisinya seorang perempuan tidak sepantasnya diperlakukan seperti itu. Jay terlalu kasar, memang. Hanya saja ia juga tidak bisa menampik bahwa dia sangat tidak suka jika seseorang yang asing tiba-tiba masuk dan mengusik kehidupannya.
"Jay!"
Jay serta merta terlonjak manakala seseorang memanggilnya dari belakang. Memutar badan, lelaki itu menjawab, "Ya, Bi? Mau kemana?"
Hobi melirik sebentar jam di tangan kirinya, "Aku mau keluar sebentar. Mau ngurus persediaan dapur yang sempat bermasalah kemarin itu. Pergi sama Herman, kamu jaga resto sebentar, bisa?"
"Kira-kira sampai kapan?"
"Nggak tahu," ucap Hobi, membasahi bibirnya sejenak, "mungkin agak lama. Sampai sore barangkali? Soalnya Mas Ari salah hitung data waktu itu. Pokoknya banyak, deh." Hobi malas menjelaskan, kedua tangannya tersimpan di pinggang.
Jay pada akhirnya mengangguk, "Ya sudah, hati-hati."
Hobi mengangguk. Lekas keluar bersama lelaki yang Jay tahu itu bernama Herman, rekan kerjanya sendiri. Pun saat mobil Hobi terlihat meninggalkan restoran, Jay pada akhirnya melakukan amanah yang Hobi tujukan padanya. Menjaga dengan baik agar tidak semakin menumpuk masalah.
***
Lampu-lampu restoran mulai dinyalakan saat matahari semakin mendekati peraduannya. Membuat cahaya-cahaya gemerlap itu tidak kalah indah dengan cahaya lain yang juga gemerlapan di gelapnya malam.
Namun agaknya, kini penerang restoran tempat Jay bekerja menjadi pemenang gemerlapnya cahaya. Lantaran tidak ada satu bintang pun menampakkan presensinya malam itu. Pun hadirnya rintik-rintik hujan yang semakin menderas seolah menjadi kesimpulan yang mereka dapatkan dari hilangnya gemintang.
Masih sama seperti tadi, mengikuti amanah dari Hobi. Pemuda itu dengan cekatan melakukan pekerjaannya. Membawa pesanan kepada tiap-tiap pelanggan, sesekali menuju kasir menggantikan seseorang yang berjaga karena ada keperluan. Tidak lupa menghadiahi senyuman manis yang Jay berikan tidak cuma-cuma. Jika bukan karena pekerjaan, jangan harap Jay memberikan senyumannya pada orang-orang asing itu.
Ketika waktu istirahatnya tiba, lelaki itu mengambil duduk di salah satu kursi panjang yang diletakkan di tengah ruangan. Dengan loker para pekerja yang mengelilingi, Jay merebahkan diri di sana. Mengambil napas lega dengan lengan yang menutupi wajah guna mengistirahatkan badan yang pegal di beberapa bagian.
Hobi belum kunjung pulang.
Maka, Jay memilih membuka ponselnya yang ia ambil dari dalam loker. Menyalakan data seluler dan menunggu beberapa saat sampai pesan-pesan tersebut mulai masuk bergantian.
Mengecek satu per satu dari tas, arah mata Jay terhenti di satu grup chat yang ia ikuti. Mengernyitkan dahi tatkala melihat sesuatu yang sedikit aneh di sana.
Angelaryu
Ada yg bisa temanin ngga? Aku lagi di rumah sakit. Drop lagi tadi dianter sama tmen sekantor cuman mereka pd plg. Orang rumah nggak ada yang bales.
Mata Jay menyelidik, pesan tersebut sudah sejak dua jam lalu kurang lebih dikirimkan. Saat Jay tengah sibuk-sibuknya sore tadi lantaran mengurus pelanggan yang mengadakan acara ulang tahun mendadak.
Tidak ada balasan pun dari Hobi. Jay mengecek, apakah lelaki itu sudah membacanya atau belum. Jawabannya, ya. Hobi sudah membaca. Namun tatkala Jay menyambungkan panggilan, hanya agar memastikan Hobi sudah mendatangi Ryu, panggilan sama sekali tidak diangkat.
"Mungkin agak lama. Sampai sore barangkali? Soalnya Mas Ari salah hitung data waktu itu. Pokoknya banyak, deh."
Sebenarnya Jay bukan meragukan Hobi, lelaki itu pasti akan tetap memedulikan Ryu di atas segalanya. Namun tatkala kembali mengingat bagaimana sahabat lelakinya itu begitu frustasi lantaran masalah persediaan makanan pun keuangan yang bermasalah, Jay entah kenapa seolah meragukan kegesitan Hobi terkait Ryu khusus hari ini saja.
Terutama setelah telepon sebanyak dua puluhan kali itu tidak kunjung dijawab sekalipun nadanya tetap bersambung. Hal yang sama berlaku untuk ponsel Ryu juga.
"Sat, pengunjung masih ramai?" Jay sontak bertanya pada sosok Satria yang masuk untuk berganti pakaian.
"Masih. Kenapa?"
Jay ragu, menggigit bibir bawahnya sejenak kemudian bertanya, "Bisa tolong nitip restoran sebentar? Hobi lagi ada urusan, aku juga mendadak ada urusan. Shift-ku juga sudah selesai hari ini."
Tampak ragu meskipun pada akhirnya Satria mengangguk. Selain Jay, Satria adalah orang kepercayaan Hobi karena orang yang paling lama bekerja di restoran itu. Jadi, sepertinya bukanlah sebuah masalah besar meninggalkan restoran itu di bawah pengawasan Satria selama beberapa saat saja.
"Makasih!" Seru Jay. Bersyukur dalam hati dan lekas mengganti pakaiannya. Meraih asal tas selempang dan langsung mengambil langkah seribu setelah berpamitan singkat dengan Satria.
Jay tidak akan tahu, apakah Ryu sudah aman atau belum jika tidak memastikannya secara langsung.
***
Mengabaikan dinginnya angin yang menerpa kulit, pun dengan bajunya yang setengah basah dan rambut yang lepek. Jay segera memacu langkah menuju ruangan tempat Ryu dirawat setelah bertanya di resepsionis.
Cukup melelahkan karena ia harus menitipkan sebentar sepedanya kemudian memesan taksi dan berakhir menerobos hujan saat akan masuk ke dalam rumah sakit. Tidak lupa berlarian menuju tempat Ryu dirawat sehingga basah dan dingin badannya itu harus bercampur dengan suhu tubuh yang semakin menaik disertai keringat.
Berhenti ketika melihat nomor sesuai arahan, Jay tersenyum lega. Lelaki itu pada akhirnya berjalan.
Tangannya hendak meraih kenop pintu. Bersiap membuka ruangan dan memberikan senyum hangat serta ucapan maaf pada Ryu karena baru bisa hadir mala mini.
Kendati itu semua diurungkan kembali. Perlahan, wajah yang sudah bersiap dengan senyum manis yang tersemat itu kembali menarikkan sudut bibir ke tempat semula. Napas yang awalnya terburu itu lantas terhenti selama beberapa detik. Kemudian tangan yang terjulur itu kembali ditarik dan menjuntai lemas.
Seharusnya, Jay memang harus percaya dengan sebuah fakta bahwa Hobi masihlah mengutamakan Ryu di atas segalanya kendati pekerjaan dan masalah yang dia hadapi akhir-akhir ini menguras emosi dan tenaga.
Seharusnya, Jay memang tidak boleh meragukan kasih sayang yang sudah teramat dalam diberikan oleh Hobi pada Ryu. Barangkali, memiliki porsi yang sama seperti dengan cinta yang Jay miliki.
Seharusnya, Jay memang semestinya kembali mengingatkan diri sendiri bahwa dua orang itu bukanlah sahabat lagi. Melainkan sepasang kekasih yang saling memberikan cinta dan kasih sayang satu sama lain dengan tulus dan kadar yang luar biasa besar.
Karena bagaimana cara Hobi menatap Ryu, bersamaan dengan satu tangan pria itu di puncak kepala gadis itu seolah memberikan kenyamanan yang tidak bisa Ryu dapatkan di tempat mana pun.
Sekalipun itu di sisi Jay.
Bagaimana wajah pucat Ryu masih saja sempat mematri senyum lemah dengan sepasang obsidian cantik yang membalas Hobi dengan tatapan serupa. Serta satu tangannya yang terangkat dan membawa telapak tangan yang besar milik Hobi untuk menyentuh pipinya di sana.
Bagaimana keduanya saling melempar kekehan ringan disertai ucapan-ucapan yang Jay bersyukur tidak bisa mendengarnya.
Serta yang terakhir, dan barangkali yang paling menyakitkan.
Bagaimana Ryu pada akhirnya merengsek secara perlahan untuk berada di dalam pelukan Hobi. Yang dibalas secara sukarela oleh lelaki itu. Menyembunyikan wajahnya di dada bidang milik Hobi sedang lelaki itu mengelus lembut rambut pendek Ryu.
Jay bisa melihat dengan jelas. Bagaimana sorot mata Hobi yang langsung berganti tatkala Ryu melepas pandang dengannya. Penuh kekhawatiran dan rasa peduli yang sama besarnya seperti Jay. Sehingga pelukan itu terjadi cukup lama, keduanya nampak enggan memisahkan diri. Pun dengan tubuh lemah dan ringkih milik Ryu, Hobi seolah menjaga kekasihnya itu dengan teramat baik dan tidak ingin membuat Ryu terluka lebih jauh.
Jay tanpa sadar, tengah mengepalkan tangannya sejak tadi. Menahan diri untuk menerjang masuk dan merebut Ryu dari pelukan sahabatnya itu.
Tidak, tentu tidak. Jay tidak segila itu.
Ah, padahal ini sudah sering terjadi, tapi kenapa rasanya masih saja menyakitkan seperti ini?
"Kak."
Suara lirih itu membuyarkan semuanya. Terkait patah hati yang ia rasakan juga kisah cintanya yang menyedihkan.
Tatkala sepasang lengan ringkih dan kecil itu tiba-tiba mengelilingi pinggangnya. Juga dengan pipi yang menempel di punggung lelaki itu. Dan suara lirih tak asing yang memanggilnya barusan. Suara yang sudah tidak lama ia dengar selama ini.
Belum sempat merespon tatkala diri masih mencerna keadaan dengan baik, suara lirih itu kembali mengudara. Membawa ketulusan tiada akhir dengan kepedulian tiada batas.
"Pasti menyakitkan sekali rasanya. Ayo, Kak, kita pergi dari sini."
*******************************
[TO BE CONTINUE]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top