23. Noxious

nox·ious
/ˈnäkSHəs/

(adj.) harmful, poisonous, or very unpleasant.

*****

"KAMU NGOMONG APA?!"

Siapapun akan langsung terlonjak kaget tatkala seseorang meneriakinya tiba-tiba begitu. Tidak terkecuali Lamia. Ia tidak pernah benar-benar diteriaki seperti ini sebelumnya. Oleh siapapun itu. Entah itu Papa ataupun Hobi, dua lelaki terdekat yang berada di sekitarnya.

Jika dua lelaki itu sedang marah, mereka akan memilih mendiamkannya. Dengan tatapan yang tajam dan membuat Lamia semakin tidak nyaman dan merasa bersalah. Papa pernah berteriak sekali lantaran saat itu Lamia sulit sekali dibilangi karena dia memang jelas-jelas salah. Sekalipun merasa kesal setengah mati, tapi lambat laun ia sadar akan kesalahannya. Jadi, itu tidak masalah.

Namun agaknya kali ini dia tidak benar-benar terima.

Meskipun, ya.

Satu langkah mundur diambil lantaran melihat Jay yang sudah seperti orang kesetanan dengan matanya yang memerah dan membelalak. Berteriak sekeras mungkin sampai-sampai urat lehernya tampak. Tak luput dengan tatapan setajam elang yang langsung membuat nyali Lamia menyusut.

Jangan lupakan fakta bahwa mereka berada di dekat pagar pembatas lantai teratas gedung. Jatuh, maka langsung mati. Jadi, memilih melarikan diri nampaknya adalah opsi yang terbaik ia miliki.

Namun alih-alih mengambil langkah seribu untuk meloloskan diri. Lamia justru merasa tubuhnya kaku. Tidak bisa digerakkan. Seolah ada paku yang tertancap dengan erat sampai untuk menggeser tubuh satu senti pun dia benar-benar tidak bisa.

Grab!

Lamia memekik. Lantas menatap was-was kala satu tangan yang menampilkan urat-urat itu mulai mencengkram lengannya kuat. Kuat sekali sampai-sampai gadis itu meringis kesakitan dengan ketakutan yang semakin memenuhi dirinya. Lamia bahkan bisa merasakan bulir-bulir keringat dingin mulai menuruni dahi, mengalir ke pipi, hingga berakhir jatuh membasahi pakaiannya.

"K-kak, sakit," lirihnya, mencoba sekuat mungkin melepas cengkraman Jay yang sudah pasti membekas di lengannya itu.

Bugh!

Pekikan itu semakin menjadi tatkala Jay menariknya tiba-tiba. Membuat dua tubuh itu saling bertubrukan dan Lamia cepat-cepat menciptakan jarak. Memosisikan kedua tangannya pada dada Jay dan berusaha sekuat tenagamendorong tubuh lelaki itu sekalipun percuma.

"Sudah sejauh mana kamu tahu, Lamia?" suara Jay yang rendah semakin membuat bulu kuduk Lamia meremang.

Dengan keberanian sebesar biji padi, Lamia mencoba menjawab, "Se-semuanya."

Sepersekian detik, Lamia bisa melihat bagaimana raut wajah Jay benar-benar berubah. Rahang yang mengeras serta mata yang menukik tajam, "Lancang kamu, Lamia," bisiknya tepat di depan wajah Lamia.

"Lepasin! La nggak suka, ya kalau begini." Susah payah ia mencoba melepaskan diri. Namun, cengraman Jay di tangannya itu sangat tidak bisa dilepaskan.

"Kenapa?" Jay menyeringai, "bukannya ini tujuan kamu dekatin aku selama ini? Kamu mau aku jadi milik kamu, kan? Silahkan! Sekarang aku mutlak milikmu, Lamia. Lagipula, aku sudah nggak punya pilihan lagi."

Membuang wajah sejenak guna tertawa hambar, ia melanjutkan, "Kamu egois, Lamia. Kamu cuman mementingkan egomu. Percuma aku hargai kamu, kalau kamu saja tidak menghargaiku sebagai manusia. Apa? Buat aku jatuh cinta sama kamu? Cih, yang benar saja," Jay tertawa remeh, semakin membuat emosi Lamia kian tidak stabil, "kamu bahkan nggak mikir bagaimana perasaanku saat privasi yang nggak ingin aku ceritakan ke siapapun itu justru ... ditahu oleh gadis bodoh dan ingusan kayak kamu."

"Persetan urusan cinta-mencintai itu," umpat Jay, kedua netra sabitnya masih memandang setajam elang, "baik, sekarang aku milikmu. Mutlak milikmu. Puas kamu?"

Salah. Ini jelas-jelas salah. Bukan ini yang Lamia mau, bukan ini yang Lamia rencanakan. Ia bahkan tidak tahu harus memulai dari mana. Harus berkata apa. Bahwa semua informasi yang ia dapatkan ini semata-mata karena keberuntungannya saja yang mengetahu itu. Seolah Tuhan benar-bena rmemberikannya jalan yang terbuka lebar agar ia bisa semakin dekat dengan Jeremy Alexander, sahabat kakaknya itu.

Kendati itu semua ditelan habis oleh Lamia. Karena entah dia yang sangat takut dan panik, atau justru aura mendominasi yang Jay tampakkan sanggup membuat dia tidak bisa melakukan apapun.

Bukan ini yang Lamia mau. Sekalipun memiliki Jay adalah hal terindah yang ia angankan, tapi bukan begini caranya. Tidak dengan cara pasksaan dan tanpa cinta. Terutama setelah melihat tatapan kebencian dari pria itu yang ditampakkan secara terang-terangan.

Lamia menggeleng, kedua mata cokelatnya itu mulai berkaca dan berlinangan air mata. Kendati itu tidak menggugah sekadar secuil saja perasaan iba dari Jay. Terbukti dengan cengkraman yang masih menguat di lengannya.

Gadis itu menggeleng, seraya dengan air mata meluruh membasahi pipi, "Bu-bukan begini caranya. La nggak mau begini caranya?"

"Terus apa?" suara rendah Jay terdengar, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti, "Jangan harap aku bakalan suka sama kamu. Apalagi cinta. Karena aku ... nggak bakalan kabulin harapan liarmu itu," tegasnya.

"Asal kamu tahu," Jay melanjut, "hatiku untuk Ryu. Hanya untuk Ryu dan akan selalu menjadi milik Ryu. Peduli setan dia milik sahabatku sendiri."

Lamia bisa bernapas lega tatkala cengkraman itu sudah terlepas dan jarak yang terpaut antara mereka sudah merenggang. Kendati itu semua tidak menaikkan keberaniannya lantaran kemarahan Jay yang masih tampak jelas di wajahnya.

"La tidak mau memiliki Kakak dengan cara seperti ini."

Lamia mencicit, kendati kondisi rooftop yang sepi tanpa orang itu sekalipun dengan suara angin yang sedikit ribut tidak membuat Jay tuli dengan suara lirih Lamia. Baru saja di langkah ketiga setelah berbalik dan berniat meninggalkan gadis itu pergi, Jay menghentikan langkahnya.

Lelaki itu menarik dua sudut bibir, menyembunyikan dua tangannya yang mengepal kuat di balik saku jaket, lelaki itu masih berusaha keras menyembunyikan sisi lemah dari dirinya. Tidak boleh ada yang melihat.

"Bagus kalau kamu nggak mau. Aku sudah kasih kamu kesempatan, tapi ya sudah."

Lelaki itu kembali melangkah. Ingin pergi dan mengabaikan isakan lirih yang tertahan di balik punggungnya.

"Itu bukan cinta, Kak."

Dan di langkahnya yang ke sepuluh, Jay terpaksa harus kembali berhenti.

"Perasaan yang kakak berikan untuk Kak Ryu, itu bukan cinta," ujar Lamia, gadis itu berusaha keras menormalkan bicara di sela-sela isakan tangisnya yang tertahan, "perasaan itu hanyalah perasaan tersentuh karena Kak Ryu adalah orang pertama yang memperlakukan Kakak dengan baik. Kak Jay harus bisa membedakan itu."

"Tahu apa kamu, Lamia?" Jay enggan berbalik, masih mempertahankan posisi, "Kamu hanyalah perempuan yang kebetulan saja dekat denganku dan bertingkah bodoh ditambah tidak sopan karena mengusik kehidupanku. Benar-benar tidak tahu diri."

Setelah itu, Jay benar-beanr pergi. Berjalan tanpa berbalik dengan tegas seolah menegaskan ucapan-ucapan menyakitkannya sebelumnya. Bahwa Lamia hanyalah seorang yang bodoh dan perempuan murahan yang tidak hentinya mengemis cinta dari seorang Jeremy Alexander.

Lamia tidak tahu harus bersyukur atau tidak lantaran rooftop tempatnya berada tengah sepi tanpa pengunjung. Pun penjaga kafe yang tidak jauh dari tempatnya berada juga sepertinya sedang pergi membeli bahan makanan dan minuman.

Ya, Lamia sepertinya harus bersyukur, kendati tidak ada seseorang yang menyelamatkannya dari jeratan Jay yang mengerikan seperti tadi. Setidaknya, tidak ada pula yang melihat bagaimana ia langsung bersimpuh, tak dapat menahan bobot tubuhnya sendiri dan berakhir dengan kepala yang tertunduk dan isakan lirih yang terdengar.

Kenapa? Kenapa ini harus terjadi padanya?

Mencoba meraup udara sebanyak-banyaknya dengan rakus lantaran Jay tidak membiarkannya untuk bernapas dengan baik beberapa saat yang lalu. Pun dengan air mata yang meluruh membasahi semen-semen kasar di bawahnya dan membasahi celana jeans yang ia kenakan.

Lamia membiarkan untaian rambutnya turun menutupi sebagian wajahnya. Bahu yang naik turun seiring dengan isakan dan tarikan napas yang ia lakukan. Bibir yang bergetar hebat itu berusaha sebaik mungkin meredam tangisan kendati itu sia-sia.

Memperjuangkan seseorang ... ternyata semenyakitkan ini, ya?

Sudah ditolak berkali-kali, sekarang pun harus menerima mentah-mentah setiap ucapan tajam Jay yang menusuk hati. Dan sialnya masih terngiang sampai detik ini.

"Kamu egois, Lamia. Kamu cuman mementingkan egomu."

Aku nggak egois, aku hanya sedang dalam usaha untuk berjuang.

"Jangan harap aku bakalan suka sama kamu. Apalagi cinta. Karena aku ... nggak bakalan kabulin harapan liarmu itu."

Setidaknya biarkan aku berjuang.

"Hatiku untuk Ryu. Hanya untuk Ryu dan akan selalu menjadi milik Ryu. Peduli setan dia milik sahabatku sendiri."

Bisa tidak buka hati Kak Jay sebentar saja? Biarkan aku menempati hati Kak Jay, sekalipun hanya sebentar saja.

"Kamu hanyalah perempuan yang kebetulan saja dekat denganku dan bertingkah bodoh ditambah tidak sopan karena mengusik kehidupanku. Benar-benar tidak tahu diri."

Lamia tidak pernah benar-benar mencari tahu. Semua informasi itu datang sendiri.

Pada akhirnya, sekalipun mati-matian menahan suara tangis sampai membuat belah bibir itu semakin memerah, Lamia tidak sanggup. Tidak setelah suara-suara Jay seolah menggema dan memenuhi pikirannya. Membuat gadis itu spontan merasa semakin menyalahi dirinya sendiri kendati itu semua ... juga dilakukan untuk Jay. Untuk kebaikan Jay.

Namun agaknya Jay memang sudah menjadi seorang yang teramat dibutakan cinta. Barangkali memang pria itu sudah terlalu sering mendapat banyak luka dan menilai sesuatu dari segi negatifnya saja. Lamia mencoba untuk mengerti, tapi kenapa hatinya malah justru semakin sesak? Karena setelah dia kembali mengingat, setiap hal yang dilakukan oleh Lamia selalu dinilai dari segi negatif olehnya.

Masih dengan sisa-sisa tangisnya. Pun dengan kedua tangan yang terkepal kuat dan kotor lantaran menopang tubuhnya di atas semen yang kasar, Lamia melihat ada sebuah sepatu yang berada di hadapannya. Lengkap sekali dengan tubuh menjulang tinggi yang menghalangi panasnya matahari di hadapannya.

Perlahan, mengurangi sedikit isakannya sekalipun masih sesenggukan, Lamia mendongak. Menyipit dan ketika penglihatannya sudah semakin jelas, alih-alih merasa tenang, justru tangisannya semakin menjadi.

"K-kak Hobi," rengeknya.

Hobi menghela napasnya, menatap iba pada adiknya yang tengah menatapnya dengan sendu dan sayu. Lekas lelaki itu berjongkok, menyamakan tinggi dengan Lamia dan mengambil tangan gadis itu, membersihkan sisa-sisa debu yang tertinggal di sana.

Masih diam tanpa membuka sepatah kata, Lamia membiarkan saja bagaimana kakaknya itu merapikan penampilannya yang berantakan. Mengabaikan sebentar akan rasa penasarannya bagaimana Hobi bisa menemukan dia di rooftop ini. Pun setelah rambut Lamia sudah mulai rapi, lengan panjang lelaki itu lantas menarik Lamia secara lembut. Membawa tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya.

Semakin membuat adiknya tersedu, Hobi tak berkata apapun. Hanya menepuk halus punggung Lamia dan sesekali mengelus rambut hitam milik gadis itu. Membiarkan Lamia menumpahkan segalanya.

"Keluarkan saja, jangan ditahan seperti tadi," bisik Hobi.

Maka seperti yang Hobi ucapkan, suara itu pun keluar dengan semestinya. Tanpa ada yang menghalangi, isakan yang semakin jelas terdengar sekalipun sedikit teredam lantaran gadis itu menyembunyikan wajahnya di balik bahu lebar Hobi. Dengan kedua lengan yang melingkar di leher kakaknya. Menumpahkan segala perasaan sedih dan perihnya di sana.

"Tidak apa-apa," Hobi masih mencoba menenangkan, "ada kakak di sini. Tidak ada yang bisa menyakiti, La, hm? Jangan sedih lagi," ucapnya lirih.

Lamia tak menjawab, memilih mengangguk dan melanjutkan tangisannya. Gadis itu bahkan tidak sadar akan tangan yang kini sedang menenangkannya itu sedikit memar dan terdapat noda bekas darah tepat di punggung tangan putihnya.

********************************

[TO BE CONTINUE]

p.s : Hobi Marah, sampe berdarah-darah. Doain aja mudahan yang dibuat berdarah nggak kenapa-kenapa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top