19. Anathema
a·nath·e·ma
/əˈnaTHəmə/
(n.) something or someone that one vehemently dislikes.
*****
Gelak tawa mengudara seiring dengan candaan yang terlontar. Terpingkal cukup heboh dengan dua tangan yang saling bertepuk keras. Memilih apatis pada tatapan heran dari orang-orang sekitar. Toh, setiap orang memiliki haknya masing-masing dalam sana. Kendati sebuah peringatan saling mereka lontarkan guna mengingatkan diri agar tidak mengganggu ketenangan yang lain.
Ivan datang. Menyadari kakak tercintanya hadir menjenguk adik, maka Hobi memberikan kebebasan sampai kapanpun keduanya puas menghabiskan waktu. Sebenarnya Jay sendiri ingin menghabiskan waktu di luar, tapi Ivan lebih memilih untuk menetap. Katanya ingin mencoba makanan di restoran Hobi, apakah masih sama seperti ketika dipegang oleh ayahnya atau justru semakin tidak enak―yah, ini hanya candaan tentu saja. Syukurnya Hobi sudah paham benar karakter Ivan yang cuek-cuek frontal itu. Sebelas-dua belas dengan adiknya.
Mungkin itu sudah es kopi ketiga yang dikonsumsi Ivan. Mereka cukup lama berbincang, saling bertukar kisah di tempat rantauan masing-masing. Ah, maaf, sepertinya hanya Ivan saja yang merantau karena Jay tidaklah pergi kemana-mana.
Sisa-sisa tawa itu masih ada, pun dengan satu dua cerita yang masih berlanjut. Jay tampak menikmati waktunya. Dua iris sabit itu melihat Ivan yan tengah menyampaikan beberapa cerita dari teman kantornya yang cukup menyebalkan.
Memusatkan atensi penuh dan menjadi pendengar yang baik adalah keahlian Jay hanya jika bersama dengan Ivan.
Pun sebaliknya. Menjadi seseorang yang manis dengan segala keramahan dan bibir yang tak berhenti berucap adalah keahlian Ivan hanya jika sedang bersama Jay.
“Kamu rajin minum obat, kan?” Ivan pada akhirnya bertanya memastikan, satu tangannya meraih gelas berisi es kopi sebelum menyeruputnya.
“Iya, Kak. Selalu rutin konsul sama terapi juga, kok,” jawab Jay.
“Masih sering dengar suara-suara seperti dulu?” tanya Ivan, Jay mengangguk.
Ivan menyilangkan kaki dengan punggung yang menempel pada sandaran kursi, pandangannya menuju luar kafe melihat orang-orang yang berlalu lalang, “Ya sudahlah, yang penting kamu berobat dengan baik. Kamu harus sembuh.”
Pembicaraan ini mulai mengarah serius. Jay sangat paham. Pun dengan sorot khawatir yang tampak dengan jelas melalui mata sabit kakaknya itu, lantas ia tersenyum getir, “Nggak usah khawatir, Kak Ivan. Aku masih rajin, kok. Lagian ...” menggantung sejenak ucapannya guna mengambil satu tarikan napas dengan kepala tertunduk, Jay melanjut, “aku juga masih mau hidup.”
Ivan tersenyum simpul. Badannya tercondong, mengambil satu tangan Jay untuk digenggamnya dan memberikan kehangatan dari usapan ibu jari di punggung tangan si bungsu, “Jay ... tolong maafkan Mama. Bisa?”
Jay lantas mengangkat cepat kepalanya. Kedua alisnya menyatu dengan sorot penuh tanda tanya terarah pada Ivan. Ivan bahkan hanya mencoba tersenyum tipis, gasak-gusuk tampak tak nyaman dengan wajahnya yang sedikit ragu,
“Sebenarnya, kedatangan Kak Ivan sekarang mau kasih tau ... kalau Mama sedang dirawat di rumah sakit. Usia Mama sudah nggak muda lagi. Mama sudah sering bolak-balik berobat. Kamu mau jenguk Mama?” pinta Ivan, memohon dengan teramat sangat pada adiknya.
Jay menarik tangannya yang berada di genggaman Ivan. Menatap kakaknya dengan raut wajah tak percaya dan seratus persen tidak setuju. Ivan bahkan bisa melihat bagaimana bulir-bulir bening mulai membasahi dahi adiknya, perlahan turun menampakkan eksistensi dengan jelas. Pun bersamaan dengan mata si bungsu yang mulai berlinang membuat Ivan berada di situasi yang sangat tidak ia inginkan.
“Nggak mau.”
Sudah tahu bahwa jawaban itu yang akan diterimanya, Ivan menghela napas, mencoba sabar dan kembali membujuk, “Dia Mamamu, Jay. Mau sampai kapan kabur? Mama sedang sakit, sesekali lah tengok.”
“Aku juga anaknya,” ucap Jay lirih, kedua tangannya bergerak tak nyaman dengan jemari yang saling bergerak asal, kepalanya tertunduk menyembunyikan ekspresi merana yang enggan ditampakkan, “aku anaknya, tapi kenapa Mama tidak sekalipun memperlakukan aku sebagai anaknya?” Jay membalikkan perkataan Ivan.
“Jeremy, Jeremy. Hei! Lihat Kak Ivan.” Ivan berpindah tempat duduk, lekas menarik satu kursi di samping Jay dan langsung mengambil dua tangan adiknya yang berada di pangkuan. Cepat berpindah saat Jay sudah mulai panik dengan keringat dingin yang mulai membasahi dirinya.
“Kak Ivan nggak maksa kamu untuk jenguk Mama. Kak Ivan hanya kasih kabar, kalau kamu memang mau lihat Mama, ada Kak Ivan yang bakalan tunggu kamu di sana.” Pada akhirnya, Ivan mengalah. Tidak tahu harus bersikap bagaimana, biar bagaimana pun Jay juga adiknya. Adik satu-satunya.
“Maaf,” sahut Jay lirih, “aku sudah coba untuk maafin Mama, Kak. Cuman entah kenapa setiap kali nyoba buat maafin Mama, aku nggak pernah bisa. Aku ... selalu gagal. Maaf.”
Nada getir itu tidak tahan untuk didengar oleh Ivan. Nada dengan penuh keputusasaan menggambarkan hati si penyampai aksara. Ya, Ivan memang tidak akan pernah paham sebesar apa luka yang ditinggalkan Mama pada adiknya. Pun seberapa besar luka yang Jay tanggung selama bertahun-tahun karena itu. Jay sakit, Jay sekarat. Adiknya ini bahkan tengah berjuang tiap hari hanya untuk hidup dan untuk menampilkan senyum, butuh pengorbanan besar untuk itu saja. Seharusnya, melihat Jay yang saat ini sudah membaik cukup menjadi kabar baik yang melegakan Ivan.
Namun apa? Ivan bahkan kembali menguak luka lama. Meminta Jay memaafkan di saat dia sendiri tidak tahu sebesar apa luka yang dirasakan adiknya. Maka bertindak sesuai insting, kedua tangan Ivan tergerak, mengelilingi tubuh Jay dan merengkuh lelaki itu. Memberikan tepukan ringan di punggung dan beberapa elusan di sana. Memberikan sebersit ketenangan agar pria yang masih dianggapnya sebagai adik kecil itu tidak lagi merasa terluka.
“Maafkan Kakak, Jay. Kakak memang tidak pernah paham. Kakak hanya pusing harus bagaimana, Mama masih di opname, Papa bahkan nggak pernah pulang dari rumah sakit. Hanya sesekali jika mengambil keperluan.”
Pelukan itu terlepas, kedua mata yang saling bertukar pandang. Ivan mengulum senyum dan satu tangannya mengusak rambut hitam Jay, “Sudah, jangan cengeng begitu.”
“Wah, so sweet banget, sih.”
Memang dasar perusak suasana.
Jay merutuk dalam hati. Mendengar suara tak asing itu mengalun di telinganya. Sedang Ivan tampak bingung dengan satu alis yang terangkat. Di depan mereka, seorang gadis dengan ripped jeans dan satu kaos berlengan panjang dengan tas selempang berwarna hitam menyapa. Tidak sungguh-sungguh menyapa karena kalimat tadi memang tidak ada unsur menyapa sama sekali.
“Kak, kasih tahu dong gimana caranya bisa belai-belai rambut Kak Jay kayak tadi. La pernah nyoba tapi Kak Jay langsung nepis tangan La, kasar banget, kan?”
Memang dasar tidak punya urat malu―atau barangkali sudah terputus. Lamia duduk di hadapan mereka. Tersenyum manis sekali dengan dua tangan yang dijadikan tumpuan dagu, “Kakak ini siapanya Kak Jay? Temannya?”
Masih bingung karena harus merespon apa dengan ucapan gadis ini tiba-tiba, “E-eh aku Ivan, kakaknya,” ucap Ivan.
“Kakak? Serius?” Mata Lamia mendadak terbuka lebar. Dua tangan yang spontan menepuk meja lumayan keras, berakhir dengan satu tangannya yang terjulur maksimal, “Kenalkan. Nama saya Lamia, calon pacarnya Kak Jay di masa depan.”
“Apa?!”
Menghela napas terutama saat Ivan tiba-tiba saja menatapnya penuh tuntutan. Meminta penjelasan selengkap-lengkapnya tanpa ada yang terlewat, “Kamu sudah mau punya pacar?”
“Iya,” Jay menarik lagi ucapannya lantaran Lamia yang menjawab, kembali meraih atensi Ivan maksimal, “jadi, kayaknya aku harus mengakrabkan diri dulu, deh. Iya kan, Kakak Ipar?”
“Kak jangan di dengarkan,” Jay memperingati terutama saat melihat wajah Ivan yang masih bingung, “dia adik sepupunya Ryu. Ngejar-ngejar aku terus.”
“Bisa baikan dikit nggak, sih?” protes Lamia, “Bilang yang baik-baik dikit kek. Apa susahnya.”
Jay merotasikan bola matanya, lantas kembali menatap Ivan, “Kak Ivan mau pulang, kan? Sudah mau jam empat, nih.” Benar, memlih mengusir Ivan perlahan lebih baik daripada harus menjelaskan panjang lebar terkait kedatangan gadis berisik yang merusak suasana.
Tambahan, Jay tidak mau membicarakan perihal seseorang yang disebut ‘Mama’ oleh Ivan. Lebih tepatnya tidak sekarang. Dia hanya ... belum benar-benar siap.
“Ah, iya. Kamu juga harus balik kerja,” kata Ivan, lekas bangkit berdiri.
Tidak mau kalah, Lamia juga melakukan yang sama, menghalangi langkah Ivan dengan memasang senyum lebar. Menarik hati calon kakak ipar sebelum mendapatkan adiknya. Satu tangan Lamia terulur, “Hati-hati di jalan, ya, Kakak Ipar.”
“A-ah, y-ya.” Ivan tersenyum menghargai. Bingung harus merespon apa, bingung harus bersikap seperti apa. Lantas membalas uluran tangan untuk kembali di jabat pun menjadi pilihan.
“Ayo, Kak kita pulang.” Jay cepat-cepat mendorong Ivan keluar, menjauhinya dengan Lamia.
Tidak mau kakaknya itu merasa berisik seperti yang ia alami.
***
Perginya Ivan membuat Jay cepat-cepat harus menuju ruang ganti di mana loker-loker tiap pegawai berada. Berlari secepat mungkin mengabaikan presensi Lamia yang menatapnya heran. Ia bahkan sampai harus meminta gadis itu kembali ke tempat duduknya. Menunggu untuk sebentar saja sampai Jay kembali.
Tidak. Dia tidak akan membiarkan siapapun tahu.
Lekas, pemuda itu memasuki ruangan. Berlari kecil dan membuka pintu lokernya dengan tergesa. Meraih obat-obatan yang terkemas rapi di dalam botol untuk dikeluarkan. Melangkah menuju tempat duduk dan langsung menenggak habis obat-obatnya bersamaan dengan air mineral.
Memilih turun dan duduk di lantai lebih baik karena Jay bisa menjadikan loker sebagai sandarannya, tempatnya menompang tubuh.
Jay tidak bisa. Sungguh. Bahkan hanya membahas saja, hanya menyebut saja, hanya menyinggung sedikit saja, tapi dampaknya sudah sebesar ini. Rasa-rasanya pengobatan selama delapan tahun itu tidak ada gunanya. Percuma. Karena Jay bisa melihat dengan jelas ekspresi kecewa yang dikemas secara apik oleh Ivan sehingga lelaki itu mengira bahwa Jay tidak memerhatikannya.
Kepalanya mengadah, mata tertutup dan bahu yang naik turun berusaha untuk menormalkan pernapasannya. Satu sudut bibir Jay merangkak naik, seiring dengan sekelibat memori dari kotak kenangan usang yang seolah mencoba meloloskan diri dari sana. Ribut sekali sampai-sampai Jay merasa kesal sendiri.
“Mama,” masih dengan mata tertutup, Jay menggumam lirih, “tolong jangan ganggu Jeremy lagi. Karena ...”
Mengambil satu tarikan napas dan menghembuskannya perlahan. Meraup udara di sekitar hanya agar hatinya tidak kembali merasa sesak setengah mati, “Jeremy ingin hidup dan bahagia.”
Masih dengan mata yang terpejam, Jay tetap berucap lirih agar tidak ada satupun yang mendengar. Kendati usahanya tersebut sia-sia. Karena di luar ruangan, seseorang mengepal erat tangannya, hendak mendorong pintu yang tidak tertutup sempurna dan masuk, meskipun urung lantaran melihat kondisi Jay yang sudah seperti orang sekarat di dalam sana.
Dua tangan Lamia terkepal erat, bibir yang mengatup rapat itu kini tergerak menggumam dengan tekad yang kuat, “Jika dunia memberikan Kak Jay seribu alasan untuk bersedih, maka La akan memberikan Kakak sejuta alasan untuk bahagia.”
***************************
[TO BE CONTINUE]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top