18. Laconic

la·con·ic
/ləˈkänik/

(adj.) (of a person, speech, or style of writing) using very few words

*****

Akhir pekan seperti akhir pekan yang sudah-sudah. Lamia melangkah santai. Kunci mobilnya yang dimainkan seolah seiring dengan rambutnya yang berkibar ringan. Satu tangannya terangkat sesekali tatkala ada yang menyapa. Kasak-kusuk para penari yang membicarakan adik sepupu si penyewa gedung sekaligus anak dari pemilik gedung yang teramat sering mendatangi gedung studio.

Awalnya memang aneh, asing, kendati lambat laun itu berubah menjadi kebiasaan.

"Kakak-kakak sudah datang?" dan kembali pertanyaan yang sama terlontar dari bibir merah muda Lamia.

"Iya. Sekarang mereka pakai studio lantai tiga."

"Oke, makasih," ucap Lamia. Kembali melangkah dan memasuki ruangan yang sudah diisi oleh ketiga kakaknya itu.

Pemandangan tak asing kembali ia lihat. Hal-hal rutin setiap akhir minggu yang selalu ia temui kala mendatangi gedung studio tari Kak Yuno. Kendati hari ini ada yang sedikit berbeda.

Bukan. Bukan karena tadi pagi Hobi memilih menjemput Ryu lebih dulu dan meninggalkan Lamia yang masih bersiap, sekalipun Lamia memilih pergi sendiri, tapi karena melihat sesuatu hal yang berbeda kini tampak pada diri Jeremy Alexander.

Seperti biasa dengan ponsel di tangannya dan merekam tarian Ryu dan Hobi, tapi kali ini ada yang berbeda.

Adalah Jay dengan wajah secerah matahari yang sangat jarang ia tampakkan secara gratis dan cuma-cuma. Tentang bagaimana pria itu tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi yang putih rapi serta tulang pipi yang terangkat naik, menyebabkan dua indra penglihatnya itu semakin menyipit membentuk sebuah kurva yang melengkung indah.

Bahkan sampai Lamia hadir di dekatnya, mengambil tempat duduk dan sesekali meledeknya. Tidak sekalipun Jay tampak marah atau paling tidak melirik dengan lirikan setajam pedang seperti biasanya. Tidak. Lelaki itu mengangguk sesekali, ikut tertawa kecil kala Lamia melontarkan sesuatu yang lucu.

Namun alih-alih senang, Lamia justru merasa takut dan khawatir setengah mati. Well, untuk seorang novel addicted macam Judith Lamia Laurana, ada satu adegan dimana dia tidak pernah lupa setiap kali membaca rentetan paragraf dari koleksi novelnya.

Adalah kemungkinan terburuk yang terjadi saat seseorang yang tiba-tiba berubah baik, seperti: ketika dia merasa akan pergi untuk waktu yang lama, sesuatu yang buruk akan terjadi, atau dia memang sudah sadar akan kesalahannya.

Untuk kemungkinan terakhir mari di sisihkan dulu. Karena kemungkinan itu mungkin tidak akan benar-benar terjadi. Bahkan presentase terjadinya sangat kecil. Sedang ketika Lamia melontarkan kalimat tanya pada Ryu dan Hobi, jawaban keduanya membuat gadis itu mangut-mangut mengerti.

"Kakaknya yang dari luar kota mau balik ke Jakarta. Jenguk Jay sekalian lihat kondisi Jay sekarang gimana." Begitu jawab mereka saat Jay sedang pergi sebentar untuk menuntaskan urusannya di toilet.

Pun Ryu dan Hobi kembali menari. Sedang Jay tidak kunjung kembali. Membuat Lamia semakin mati kebosanan saja karena harus duduk dalam waktu yang lama. Pada akhirnya, gadis itu memilih untuk keluar, celingak-celinguk ke kanan-kiri untuk mencari keberadaan Jay yang sudah mau dua puluh menit tidak juga kembali. Biasanya lelaki tidak selama itu di toilet, bukan?

"Kak Lamia, cari Kak Jay, ya?" sebuah suara menghentikan kelakuannya dan Lamia segera menoleh menuju sumber. Melihat seorang gadis bersurai pirang tengah sedikit mendongak dan bertanya dengan sorot mata memastikan padanya.

"Eh? Iya, nih, Sa. Lihat Kak Jay ada di mana?"

Gadis itu tampak menimang untuk berpikir sejenak, "Uhm, tadi Nisa lihat dia arahin lift ke lantai paling atas," jawabnya.

Lamia tersenyum hangat, menepuk pundak Nisa sebelum berujar, "Makasih, ya."

"Iya, Kak. Sama-sama."

Kedua tungkai gadis itu melangkah ringan, mencari keberadaan Jay untuk segera ditemui. Tidak ada kata bosan sekalipun intensitas mereka bertemu sudah meningkat cukup pesat. Ditambah lagi dengan perubahan sikap Jay yang seringkali membuat Lamia bingung. Cuek dan menolak di kala pagi, tapi giliran malam tiba berubah seperti kucing manis yang menuruti majikannya. Sekalipun begitu, Lamia cukup senang. Karena dia, entah kenapa merasa-

-berguna.

Seulas senyum terbit di wajah cantik Lamia. Sudah diduga. Seperti dugaannya bahwa lelaki itu pasti menuju atap gedung studio. Menikmati semilir angin dari pinggiran rooftop yang terbuka lebar. Kak Yuno memang sangat pintar, membuka kafe di rooftop meningat orang-orang bisa beristirahat cukup lama setelah selesai menari. Dan yang datang pun tidak sedikit.

Namun sekarang, sepertinya waktu berpihak pada mereka. Karena suasana tidak seramai biasanya. Mungkin karena para penari itu sudah lebih dulu pergi atau karena akhir pekan jadinya sedikit orang-orang yang datang untuk berlatih.

"Kak."

Jay menoleh kala suara tak asing itu menyapanya. Memangkas jarak di antara mereka dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya. Rambut panjang gadis itu melambai dan sesekali menutup wajahnya tatkala angin nakal mulai bermain di sekitar gadis itu.

"La? Kenapa menyusul ke sini?"

Lamia mengambil tempat di samping Jay. Ikut melipat tangan pada pinggiran dinding rooftop yang setinggi dadanya. Ia tertawa kecil, "Nggak apa-apa, bosan saja di studio."

"Tapi kalau aku lagi di dalam, kamu betah-betah saja, tuh," timpal Jay.

"Iya, kan ada Kakak di sana. Pokoknya, dimana pun nggak ada Kak Jay, La tidak akan bosan."

Jay menghela, "Terserahmu sajalah."

Kembali keheningan menyapa. Hanya suara grasak-grusuk angin yang berlarian cukup heboh meributkan pendengaran mereka. Serta sayup-sayup gelas yang saling berdentingan ataupun adukan minuman dari kafe yang tak jauh di belakang mereka. Satu tangan Jay menggenggem minuman dingin yang Lamia duga adalah jus melon dari warnanya.

Agaknya Jay sudah sangat terbiasa dengan Lamia yang seringkali menatapnya begitu. Percuma saja, mau diomongi berkali-kali pun Lamia tidak akan pernah menyerah dan terus saja melakukan kegiatannya. Melihat Jay dalam kurun waktu yang cukup lama. Hanya melihat saja, sudah membuatnya senyam-senyum selayaknya orang gila.

Omong-omong Jay tidak berani bilang begitu pada Lamia secara langsung. Bisa dipukuli habis ia oleh Ryu kalau sampai ketahuan mengolok adiknya macam orang gila.

Namun Jay tidak pernah tahu pikiran apa yang saling berkelidan di kepala gadis itu. Terutama dengan berbagai spekulasi yang seringkali bermunculan dan menghasulkan sebuah kesimpulan yang sangat ditakutkan bukan hal yang terjadi sesungguhnya.

Jay benar-benar misterius. Selain sulit untuk digapai juga sulit untuk ditembus. Kendati sudah terhitung nyaris enam bulan mereka bersama. Tidak ada yang benar-benar terjadi. Sungguh. Jay benar-benar menyimpan rapat dirinya. Tidak membiarkan sembarang orang untuk ikut campur.

"Pengalihan agar orang lain nggak tahu ... bahwa dia sebenarnya korban kekerasan yang dilakukan ibunya sendiri."

"La jadi penasaran, deh."

Jay yang tengah menyeruput minumannya lantas terhenti, kepalanya tergerak guna membalas tatapan Lamia yang berada di sampingnya, "Penasaran apa?"

Sebelum menjawab, gadis itu tengah menampilkan senyumannya, "Kenapa Kak Jay nggak pernah mau ikut nari bareng Kak Hobi dan Kak Ryu."

Membuang napas sejenak, Jay mengedikkan bahu, "Nggak tahu. Pengin aja. Lagian mereka udah cocok banget. Nggak enak aja kalau gabung nari. Aku lebih suka nari sendiri," jawabnya.

Lamia mangut-mangut, kendati begitu masih tetap lancar untuk membangun konversasi.

"Kak Jay, tahu? Sebenarnya ... La penasaran sekali sama kehidupan Kakak," ucap Lamia. Jay melirik, gadis itu tengah memandang lurus bangunan-bangunan pencakar langit di depan mereka, "penasaran sekali sampai-sampai La ingin ikut terlibat di dalamnya kalau bisa."

Melempar gelas bekasnya yang telah habis ke dalam tempat sampah, Jay menimpali, "Kenapa penasaran sama kehidupa orang? Tidak ada penting-pentingnya sama sekali."

Lamia tersenyum tulis, kepalanya tertoleh dan sedikit mendongak menatap Jay yang lebih tinggi darinya, "Kehidupan seseorang memang bukanlah hal yang penting kelihatannya, tapi justru karena seseorang itulah yang membuatnya menjadi penting."

Jay menoleh, mengabaikan sejenak pemandangan kendaraan yang tampak kecil dari puncak tertinggi gedung pun dengan gedung-gedung yang tidak kalah tinggi di sekitar mereka untuk menatap Lamia sejenak, "Maksudmu?"

Tersenyum hangat, Lamia melanjut, "Seperti Kak Jay," ucapnya, "karena bagi La, Kak Jay itu orang penting dalam hidup La. Itu sebabnya kehidupan Kakak menjadi penting di mata La."

"Lamia―"

"Tolong abaikan dan lupakan saja ucapan Kakak sejenak di rumah sakit saat itu. Kakak bisa minta apapun pada La, tapi tidak untuk itu. La tidak peduli. Biarkan saja La egois untuk kali ini saja." Tegas Lamia, membalas tatapan Jay dengan penuh keyakinan di sorot matanya.

"Kenapa kamu mendadak ingin tahu kehidupanku?" tanya Jay menyelidik, "Apa yang sudah kamu dengar tentangku?" lanjutnya, Jay sudah merasakan hal yang tidak beres sejak awal. Terutama dengan gerak-gerik Lamia yang sedikit berbeda.

Mereka memang baru berhubungan belum lama. Namun mengingat intensitas pertemuannya yang tidak bisa dihitung lagi, serta seringnya berinteraksi dengan si nona muda ini, membuat Jay perlahan mulai bisa membaca raut wajah dan ekspresi yang tertangkap di wajah cantik Lamia.

Sehingga, satu bibirnya tertarik manakala satu kesimpulan mulai dihasilkan di kepalanya.

"Kamu sudah tahu, Lamia?"

Alis Lamia menyatu, "Sudah tahu apa?"

"Jangan pura-pura tidak tahu," tuntut Jay, "kamu pasti mendengar banyak sekali hal tentangku. Katakan, sudah sejauh mana kamu tahu tentangku? Sejauh mana mereka membicarakanku? Sejauh mana mereka menghinaku tanpa sepengetahuanku."

Tidak mau kalah. Lamia tidak akan kalah dengan Jay. Tidak kali ini ataupun seterusnya. Gadis itu sadar bahwa Jay adalah seseorang yang sulit ditembus. Terutama dengan segala pemikiran kakunya yang sulit untuk dilobi. Maka jika tidak bisa ditawar, Lamia akan menentang dan melawan.

"Banyak, Kak," kedua pasang mata itu bersirobok. Saling menatap lekat dan seolah menunjukkan kekuatannya masing-masing, "banyak sekali. Sampai-sampai La tidak tahu mana yang benar dan yang tidak."

Jay menyeringai, "Lantas, kenapa masih bertahan? Ku tebak semua yang kamu dengar tidak ada yang berakhir baik."

"Ya," jawab Lamia, "satupun tidak ada. Sudah La bilang kalau La penasaran, bukan? La penasaran sekali, Kak. Penasaran sampai-sampai La ingin pakai cara cepat agar bisa tahu siapa sosok Kakak yang sebenarnya."

Jay masih bergeming. Memilih menunggu sampai akhir cerita Lamia usai tanpa sekalipun mengalihkan pandangan darinya.

"Tapi La tahu. Jika La melewati batas, hasil yang akan La dapat tidak akan pernah sesuai dan memuaskan. Alih-alih mendapat kepercayaan, Kak Jay justru akan semakin marah dan menjauhi La. La masih menghormati Kakak dan tidak berani mengusik Kakak. Setidaknya untuk saat ini."

Lamia maju satu langkah, semakin mengikis jarak mereka dan seolah mempertegas keyakinannya, "Jadi Kakak tenang saja. Sekalipun butuh waktu, La akan menunggu," katanya.

Belum selesai sampai sana, Lamia tersenyum. Bukan senyum hangat seperti yang sudah-sudah, melainkan sebuah senyum getir yang Jay tidak ingin tahu lebih lanjut makna dibalik senyuman itu, "Maka dari itu ... tolong jangan buat La menunggu terlalu lama ya, Kak."

Jay semakin tidak ingin tahu lebih lanjut makna senyuman itu.

*******************************

[TO BE CONTINUE]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top