17. Calumny


cal·um·ny
/ˈkaləmnē/

(n.) the making of false and defamatory statements about someone in order to damage their reputation; slander.

*****

"Jadi intinya kencan kalian lancar, kan?"

Lamia mengangguk ringan. Kepalanya menatap lurus langit-langit kamar dengan badan yang terlentang mendominasi kasur. Di dekatnya, Ryu tengah duduk sembari menonton serial drama Korea dengan mie instan yang tengah disantapnya.

"Bagus, dong. Terus kenapa kamu jadi sedih gitu?"

Lamia menghela, "Kak Ryu sibuk banget. Susah sekali dihubungi. Jadi La baru bisa cerita sekarang. Padahal itu sudah empat hari yang lalu."

"Ya, maaf," sahut Ryu, "kalau kamu mau, gantiin aja kakak kerja."

"Ogah. Hasil ulangan anak-anak aja belum aku rekap datanya. Malah besok dikumpulin lagi," ucap Lamia, kakinya yang tergantung mengayun.

Ryu menganguk-angguk, tak mengalihkan pandangann, "Terus masalahnya apa? Kan bagus berarti."

"Iya, cuman La heran saja," Lamia menerawang, "Kak Jay itu kena masalah apa, ya? Kelihatan aneh."

Ryu mulai menghentikan sejenak kegiatannya makannya. Memutus kontak dengan layar laptop dan melirik Lamia sejenak, "Aneh gimana?"

"Ya, aneh," memikirkan kembali sikap Jay yang dilihat, Lamia melanjut, "dia pendiam, penurut, penakut, keliahatan dihina aja dia diam saja. Waktu itu La ketemu sama temannya Kak Jay, harusnya teman Kak Ryu juga. Namanya Rio. Sombong banget dianya."

Ryu menarik sudut bibirnya, "Nggak heran, sih."

Lamia lantas bangkit dari duduknya, "Tapi, Kak. Dia itu udah tahu terang-terangan dihina malah diam saja. Bikin kesel."

"Jay memang begitu." ucap Ryu, "dari SMA dia emang nggak pernah mau buat ikut campur. Pendiam ulung sejak lama, makanya pas lihat kita bertiga sahabatan terutama Hobi yang berisik, orang-orang agak heran."

"Jadi gosip-gosip yang La dengar itu benar?"

Sadar akan pembicaraan yang serius, lantas Ryu menekan tombol pause, meletakkan mangkuk yang telah kosong itu dan memutar kursi agar bisa menghadap Lamia, "Nggak sepenuhnya benar."

Lamia menaikkan alisnya, "Nggak sepenuhnya benar?"

Ryu mengangguk, "Yang kamu dengar itu hanyalah apa yang orang-orang lain lihat tentang Jay. Bukan bagaimana Jay yang sebenarnya."

"Jadi ... ?"

"Jay bukan orang yang sebodoh itu untuk caper ke orang lain. Itu semua hanya pengalihan saja."

Dahi Lamia mengerut, "Pengalihan?"

"Ya," jawab Ryu, menatap Lamia dan melanjut tegas, "pengalihan agar orang lain nggak tahu ... bahwa dia sebenarnya korban kekerasan yang dilakukan ibunya sendiri."

Ryu tersenyum manakala mendapati ekspresi wajah Lamia. Diam seribu bahasa dengan mata membulat sempurna. Bahkan napasnya sampai tercekat selama beberapa detik. Lantas melangkah dan mengambil tempat di sisi ranjang, Ryu berujar, "Sudah aku bilang perjalananmu masih sangat panjang, La. Jadi ... mau mendengar cerita lengkapnya?"

***

Koridor ramai dipenuhi anak-anak yang tengah menghabiskan waktu istirahat. Entah itu sekadar mengobrol di depan kelas, makan siang dengan bekal sendiri di beranda kelas, diskusi, ataupun menghampiri pacar yang berbeda kelas.

"Bi, sudah beli pesanannya Jay? Semua sudah lengkap, kan?"

Hobi mengecek belanjaan mereka di kantung plastik yang ia bawa, "Air sudah, gorengan sudah, pop mie sudah di kamu. Semua sudah lengkap."

Ryu mengangguk. Tersenyum hangat saat sudah berara di ambang kelas dan melihat seseorang yang duduk di meja pojok dekat jendela tengah menatap luar.

"Jay!" Ryu menyapa ramah, "nih kita beli pesananmu. Makan, ya. Tadi nggak sempat sarapan, kan?"

Jay menoleh lantaran dua orang itu sudah berdiri dan menarik kursi untuk duduk dan berkumpul di mejanya, "Iya. Tadi Kak Ivan nggak sempat nyiapin bekal."

Hobi mengeluarkan satu per satu belanjaan mereka, "Mamamu?"

"Jangan tanya," Jay menarik sudut bibirnya, "yang ada bukannya nyiapin makan anaknya malahan aku di siram pake minyak panas barangkali."

Hobi tertawa hambar, lebih tepatnya bingung mau merespon bagaimana, "Kalau disiram pakai minyak panas, sekalian siapin ulekan sambal. Biar nanti jadi sambal bawang. Enak, tuh."

Jay tergelak, sedang Ryu memukul pelan pundak kekar Hobi, "Besok-besok aku terapin gitu aja kali, ya."

"Udah, nih. Mending kamu makan saja." Ryu menyondorkan pop mie yang mereka beli dan meminta Jay langsung menyantapnya.

Mengangkat sedikit kemeja putihnya yang berlengan panjang, Ryu meringis pelan lantaran melihat satu dua luka baru yang terlihat dari kemeja Jay yang tersingkap.

"Jangan dilihatin, Yu. Aku jadi ngerasa berdosa, kan." Jay berucap ringan, seolah itu bukanlah sesuatu yang besar. Peka sekali ia saat memergoki Ryu.

Melihat Jay yang tengah asyik dengan mie santapannya, Ryu menghela, "Kenapa harus nyiksa diri begitu, sih. Masih banyak cara lain. Nggak perlu ngelakuin hal yang begini."

Jay menarik satu sudut bibirnya, "Nanti, kalau aku nggak nyiksa diri begini ... orang-orang justru akan nyalahin mama. Aku nggak mau itu terjadi."

***

Lamia menatap langit-langit kamarnya. Tidak tahu harus bersikap bagaimana saat mendengar cerita Ryu. Memang tidak banyak. Hanya satu kejadian. Namun entah kenapa cukup membuat dirinya tidak bisa memejam bahkan ketika jarum jam sudah berada di waktu tengah malam

Atensinya mulai mengarah pada Ryu. Kakak sepupunya itu sudah berada di alam mimpi semenjak tiga puluh menit yang lalu. Nampak sekali lelah dari raut wajahnya. Agaknya Ryu sudah mengurangi jatah istirahatnya seminggu ini hanya untuk menuntaskan pekerajaan yang membabi buta.

Ponselnya yang tergeletak di atas nakas itu diambil. Membuka galeri dan melihat foto-foto yang sempat ia ambil bersama dengan Jay tadi. Membuat seulas senyumnya terbit. Lantas, Lamia mencoba menyambungkan telefon, sadar karena beberapa hari ini dia juga cukup sibuk sampai tidak pernah menelefon seperti biasanya.

Ah, Lamia itu hampir tiap malam mendongengi Jay sampai lelaki itu tertidur lho. Kecuali beberapa hari terakhir ini karena dia memang sibuk mengurus skripsi dan bekerja paruh watku sebagai guru bahasa inggis di salah satu bimbingan belajar.

"Halo?"

"Halo, Kakak sedang apa?"

"Lagi tiduran saja. Kenapa?"

"Dih nanya-nanya kenapa. Kan mendongeng seperti biasa." Lamia terkekeh geli.

"Iya, ya. Aku sudah kayak bocah aja yang harus didongengi. Sebenarnya nggak perlu juga, sih."

Lamia memiringkan badannya, "Tapi La mau kok. Nggak apa-apa. Kemarin kita sampai bab mana ya?" Lamia meraih novel yang terletak tak jauh darinya.

"Bab tujuh."

"Oh, iya, benar," ujarnya, lekas menekan ikon loudspeaker dan mulai membuka halaman yang dituju.

"Kak tahu nggak sih kalau novel ini sad ending, lho," kata Lamia.

Jay tertawa kecil, "Belum abis ceritanya kamu malah spoiler."

Giliran Lamia yang tertawa, "Iya, ya. soalnya untuk jaga-jaga saja. Siapa tahu Kak Jay nggak suka sama yang sad ending, jadinya bisa Lamia cari cerita lain."

"Nggak usah," timpal Jay, "yang sad ending lebih realistis."

Lamia menghentikan pergerakannya. Berhenti di salah satu halaman dari buku yang ia buka secara acak. Memikirkan sebuah ucapan Jay yang terakhir kali. Lebih realistis, ya? duh, karena Lamia jadi tahu cerita yang sebenarnya, gadis itu jadi merasa iba dan kasihan. Meskipun bukan cerita yang versi lengkapnya, tapi Lamia sudah bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi.

Kata Kak Ryu, mencari tahu sendiri itu lebih baik daripada Lamia tahu semuanya dari Ryu ataupun Hobi. Hitung-hitung untuk melihat sebagaimana besar keseriusan Lamia menghadapi Jay.

"La? Sudah belum?"

Ah, benar juga.

Lagipula, setelah perdebatan yang penuh drama. Macam sinetron-sinetron dengan latar hujan yang deras―beruntungnya badan mereka tidak basa kuyup di guyur hujan―dan sempat pula saling mendiamkan sampai Lamia mati-matian meminta Hobi untuk membujuk Jay, pulangnya dari sana hubungan mereka tidak separah yang di awal.

Dalam artian, mereka masih bisa berbicara baik-baik tanpa ada salah satu yang membuang muka ataupun meninggikan suara.

"Sebentar," sahut Lamia, kembali membuka lembar demi lembar sampai berhasil menemukan halaman yang ia tuju.

"Sudah, nih. La mulai cerita, ya."

"Oke."

Baiklah, mari memikirkan cara lain yang bisa efektif untuk mendapatkan seorang Jay Alexander tanpa mengusik sebuah luka lama.

***

"Kak, sudah selesai, nih. Mau lanjut? Kakak belum tidur, lho."

Jay melihat jarum jam yang memang sudah larut. Kasihan juga jika tetap membiarkan Lamia bercerita meskipun ia juga ingin. Bagaimana pun besok bukanlah akhir pekan, yang mana Lamia pasti memiliki pekerjaannya sendiri.

Maka Jay menggeleng, sekalipun tahu Lamia di ujung sana tidak melihatnya, "Sudah malam. Kamu tidur saja."

"Hokhey," Jay tersenyum tipis saat mendengar suara Lamia yang menguap, bahkan sampai membayangkan ekspresi gadis itu, "selamat malam, Kak. Jangan lupa mimpiin Lamia, ya. Supaya semakin dekat. Kayak iklan motor."

"Itu semakin terdepan," komentar Jay.

"Ah, ya, itu," Lamia terkekeh di sisa-sisa kesadarannya, "tapi lagian kan memang selalu jadi yang terdepan. Kak Jay saja yang nggak peka."

"Sudah deh, kamu tidur saja sana," malas sekali menanggapi Lamia karena topik pembicaraan mereka sudah semakin melenceng, "ku tutup, ya."

"Oke. Selamat malam. Dadaah suami masa depan."

Sambungan telepon terputus. Tangan Jay terlungkai lemas dengan ponsel yang masih ada di genggamannya. Cerita kali ini cukup seru. Tidak seru-seru sekali, sih. Hanya saja, lebih baik mendengarkan suara Lamia yang entah kenapa bisa meredam suara-suara gaib yang ia dengar tanpa henti kala sendiri. Tidak langsung tertidur seperti biasa karena memang belum dilanda kantuk.

Jay terkekeh kecil, "Dasar. Katanya ceritain aku supaya aku tidur, malah dia yang tidur," gumamnya.

Jay memiringkan badan, membuka ponsel dan berniat memainkan permainan saat satu telepon memasuki ponselnya.

Kak Ivan?

Sekalipun dilanda rasa penasaran tinggi lantaran tumben sekali dihubungi terutama di dini hari yang seperti ini, tapi tanpa pikir panjang, Jay segera mengangkatnya.

"Iya, Kak Ivan?"

"Halo, Jay. Apa kabar? Sehat?"

"Sehat, Kak. Tumben malam-malam telefon begini."

Di ujung sana Ivan tertawa kecil, "Tiba-tiba iseng. Eh kamu belum tidur juga. Kamu masih rutin terapi, kan?"

Jay mengangguk, "Masih, kok. Tenang saja, Kak Jin jangan ditinju," candanya.

Ivan tertawa, "Iya, iya. Dasar si Jin tukang lapor," rutuknya, "Oh, iya, Kakak mau bilang sesuatu."

"Bilang saja."

Jay sebenarnya biasa saja. Namun tatkala Ivan mengucapkan sesuatu yang terdengar sebagai kabar baik. Dalam hati, Jay benar-benar berharap waktu cepat berlalu dan hari esok segera datang.

"Kak Ivan lagi di Jakarta. Besok mampir ke restoranmu, ya? Kita ngobrol bareng kayak dulu."

**********************

[TO BE CONTINUE]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top