14. Exacerbate
ex·ac·er·bate
/iɡˈzasərˌbāt/
(v.) make (a problem, bad situation, or negative feeling) worse.
*****
Sekonyong-konyong Lamia dengan semua tingkah tidak masuk akal, ceroboh, konyol, tidak tahu malu, dan mulutnya yang berisik itu. Percayalah, Jay lebih baik harus dihadapi dengan semua tingkah mengesalkan sepaket menyebalkan dari seorang Judith Lamia Laurana. Sekalipun harus mendapati dirinya berakhir dengan rasa kesal setengah mampus dan seperti mengikuti adu kesabaran, itu semua lebih baik daripada harus susah payah menempatkan Lamia di bangku belakang sepedanya sembari terus-terus teriak layaknya orang kesetanan agar Lamia tidak hilang kesadaran dan memeluk Jay dengan erat supaya tidak jatuh.
"Kak Jay?"
"Apa? Ada apa? Kenapa? Ada yang sakit? Jangan pingsan lho, ya! Kamu harus tetap sadar. Sebentar lagi kita sampai." Jay berujar panik dengan rentetan kata panjang kali lebar saat mendengar suara lirih dari Lamia. Bukan apa-apa, dia hanya tidak mau terkena pukulan keras dari Ryu karena tidak bisa dipercaya menjaga adiknya.
Secara teknis bukan Jay sih yang harusnya disalahkan, karena Lamia yang memaksa Jay pergi, bukan? Namun tetap saja, konteksnya di sini Lamia pingsan saat bersama dengan Jay―sebenarnya tidak benar-benar pingsan.
"Hehe," tawa lirih Lamia terdengar di kedua telinga Jay, lelaki itu bahkan bisa membayangkan wajah Lamia yang menyengir tak bersalah, "La nggak mungkin pingsan, Kak. Mau tahu kenapa?"
"Kenapa?" konyol sekali sebenarnya Jay menanggapi, tapi tidak apa-apa lah. Supaya gadis itu tetap sadar. Bisa makin repot dia kalau Lamia pingsan di tengah jalan.
"Soalnya sekarang ini romantis banget. Sia-sia untuk dilewatkan apalagi kalau sampai pingsan. Kalau vertigo-nya Lamia nggak kambuh, mungkin La nggak bakalan ngalamin hal kayak gini."
"Sinting!" seru Jay, Lamia justru terkekeh sebagai tanggapan, "Sempat-sempatnya kamu mikirin itu," sahut Jay, kedua kakinya tidak berhenti mengayuh dengan cepat.
"Kan La sudah bilang," suara serak lirih Lamia kembali terdengar, "nggak usah sampai ke rumah sakit. Bawa balik ke Kak Ryu saja. Lamia udah sering kena begini."
Jay berdecak kesal, "Kepalamu tuh tadi kena lantai keras, Lamia. Sampai suara gedebuk keras banget! Kalau kenapa-kenapa gimana? Makanya besok-besok nggak usah maksa aku pergi-pergi. Nih kan nanti aku yang disalahin."
"Jahatnya ..." gumam Lamia, "kalau Kak Jay nggak ikut pergi, nanti La pingsan tergeletak sendiri. Nggak kenal siapa-siapa. Masih tega, Kak?"
Iya juga, ya, Jay membatin, tapi ya sudahlah. Logikanya tidak mungkin ada orang membiarkan ketika orang lain pingsan di hadapannya. Seperti tadi Jay melihat anak-anak sekolah yang di dalam minimarket berbondong-bondong membantu Jay menempatkan Lamia di atas sepeda pun membawa barang bawaan mereka. Ryu dan Hobi juga tidak mungkin membiarkan adiknya hilang cukup lama.
Logikanya begitu. Itu kasus kalau Jay tidak ikut pergi.
Namun memang dasar Lamia dengan semua sikap dramanya yang selalu muncul setiap kali bersama dengan Jay. Melebih-lebihkan. Jay bahkan sudah tidak terkejut lagi dengan fakta itu.
"Sudah diam," ucap Jay, "tanganmu pegang yang kencang! Biar nggak jatuh. Nanti aku yang repot."
Lamia nampaknya masih memiliki sisa-sisa tenaga bahkan untuk terkekeh lirih, "Iya, Kak. Nggak bakalan La lepas. Kapan lagi bisa peluk Kak Jay begini," katanya dengan kedua lengan yang saling bertautan semakin mempererat pelukan di pinggang Jay.
Singkatnya setelah ini, setelah mengalami kejadian yang cukup menghebohkan lantaran baru pertama kali mengurus seseorang yang nyaris pingsan, Jay tentunya sudah seperti orang kesurupan dengan tubuh seseorang yang berada di punggungnya. Memasuki UGD setelah teriak-teriak demi memanggil para dokter dan perawat membuat Lamia mau tidak mau menenggelamkan wajahnya di balik punggung pria itu lantaran malu yang luar biasa.
Senang, sih diperhatikan. Cuman tidak begini juga caranya.
Dan setelah mendapatkan hasil bahwa Lamia hanya lelah dan kurang istirahat, pun setelah mendengarkan juga rentetan omelan Ryu terhadap adiknya karena meninggalkan sarapan sekaligus makan siang, Jay pada akhirnya bisa bernapas lega karena semua paranoidnya tidak terjadi.
"Kak Jay mau marahin La juga? Jangan, ya? Kepala La yang pusing makin tambah pusing gara-gara Kak Ryu."
Jay menghela, kepalanya menegok dan melihat Ryu serta Hobi sedang mengurus biaya administrasi. Tatapannya kembali pada Lamia yang tengah terbaring lemas. Melirik Jay dari balik matanya yang tertutup sedikit dengan lengan yang diletakkan di atas dahi.
"Pusing banget, ya?" alih-alih menanggapi, Jay memilih topik lain yang dibicarakan.
Lamia mengangguk, "Pusing sekali. Kak Jay nggak bakalan tahu gimana sakitnya kepala kalau lagi kena vertigo."
Untuk pertama kalinya, Lamia mendapati Jay tersenyum hangat padanya. Sempat membuat gadis itu tertegun bahkan sampai mengedip beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Namun ini nyata, Jay yang berada di hadapannya dengan senyum manis mengenai mata itu nyata. Senyum tulus yang diberikan Jay untuknya, senyum yang selama ini Lamia harapkan bisa ia dapatkan. Dan keinginannya terwujud.
Gadis itu semakin terheran. Tidak berhenti sampai sana, Jay membenarkan duduknya. Lantas memajukan kursi agar bisa lebih dekat dengan ranjang tempat Lamia berbaring. Tangan kanannya terangkat, menuju puncak kepala Lamia untuk mengusap pelan rambut gadis itu seraya berujar, "Aku tahu. Aku sangat tahu bagaimana rasanya."
Stagnan lantaran melihat wajah Jay yang dekat dan perlakuannya yang tiba-tiba manis begini, Lamia benar-benar tidak bisa mengontrol detakan jantungnya yang bertalu tidak karuan. Berharap saja semoga bunyi itu tidak sampai ke telinga Jay. Memalukan sekali.
"Makanya, La," Jay kembali melanjut, "dengarkan kata Ryu baik-baik. Jangan sampai sakit seperti lagi. Karena rasanya benar-benar tidak enak ... pusing seperti itu benar-benar tidak enak. Cepat sembuh, ya?"
Dahi Lamia sempat mengerut lantaran nada bicara Jay yang terdengar sedikit berbeda. Kendati itu semua lekas ditepisnya lantaran melihat Hobi dan Ryu yang sudah kembali menyelesaikan urusan rumah sakit.
Kembali menatap Jay yang sampai saat ini juga masih menatapnya. Lamia berusaha mengambil napas dalam-dalam lantaran merasa udara di sekitarnya mendadak diraup habis entah oleh siapa. Baiklah, posisi Jay saat ini benar-benar membuatnya salah tingkah.
Kendati demikian, Lamia tetap berniat baik.
Maka, membalas senyum hangat Jay dengan sebuah kurva melengkung sampai menampakkan dua lesung pipinya itu, Lamia juga tak luput meraih satu tangan Jay yan bebas untuk digenggamnya.
Menatap Jay lekat di matanya. Sampai-sampai ia bisa melihat bayangan diri sendiri dalam sana, Lamia mencoba mengungkapkan isi hatinya dengan sepenuh hati.
"Kak ... makasih, ya."
***
Kasihan juga melihat Lamia yang menunduk dengan Ryu yang tak hentinya memarahi. Hobi sampai tidak berani menengahi, memang salah Lamia juga, sih. Syukurnya sepasang kekasih itu tidak menyalahkan Jay, justru berutang terimakasih lantaran sudah mau mengurus anak ceroboh itu, kata Ryu.
Pada akhirnya, setelah melalui hari yang panjang, Jay bisa kembali pulang. Membawa sepedanya setelah memastikan Lamia diantar dua orang yang bisa dipercaya sampai rumah.
Ah, pulang ya?
Mendadak Jay jadi lemas sendiri. Enggan untuk segera kembali dan berharap mentari segera menampakkan diri.
"Ma, Jay mau pulang. Nanti jangan ribut seperti biasanya, ya?"
Sekalipun, hal yang didapati pemuda itu saat sudah memasuki kamar kosannya tentu sesuatu yang berbeda.
"Lihat kakakmu itu! Hebat! Nggak malu-maluin kayak kamu."
"Jadi anak jangan nakal Jeremy!"
"Belajar yang benar!"
"Tahu tidak kalau kamu itu bikin malu keluarga?"
Ketika suara antah brantah itu perlahan memasuki indra pendengarannya dan semakin memenuhi isi kepala. Sedang earphone yang tersumpal di telinga seolah tidak memberikan efek yang menjanjikan. Melakukan rutinitas harian dengan kedua kaki yang tertekuk dan wajah yang tenggelam dibalik lutut.
"Mama, Jay mau tidur. Jangan ribut begini. Jay kan sudah tidak nakal lagi."
Kedua tangan Jay menutup telinganya erat-erat. Bibir bawahnya tergigit kuat sampai-sampai memerah. Mata terpejam kuat dengan isi kepala yang mencoba menyingkirkan bayang-bayang wanita cantik pun rupawan. Sedang kecantikan yang seolah menjadi kebanggaan itu tidak serta merta menjadi hal yang disukai oleh Jay.
"Mama, Jay sudah tidak nakal lagi."
Sesenggukan mulai terdengar seiring dengan lelehan air mata yang membasahi lutut dan mengalir melewati kakinya. Celana selutut yang mulai basah akibat liquid milik Jay yang tak henti. Serta suara lirih permohonan yang berulang itu nampaknya harus terjadi kembali. Seperti biasa.
"Dasar bikin malu keluarga!"
"Berhenti."
"Anak tidak tahu diri!"
"Berhenti."
"Kamu harus mencontoh kakakmu, Jeremy!"
"Berhenti!"
"Mama benci kamu."
"BERHENTI!"
Kedua tangan Jay bergerak anarkis menghalau kalimat-kalimat yang terus saja berdatangan. Matanya masih terpejam erat. Susah payah lelaki itu merangkak naik ke atas kasur dengan tubuh lemas yang meringkuk mencari tumpuan. Sungguh, kepala Jay benar-benar berat. Berkunang dan terasa dijatuhi benda puluhan ton. Kendati lelaki itu tetap bersusah payah meraih dan membuka kasar obat-obatan yang ia letakkan di atas nakas. Lekas menelannya tanpa peduli rasa pahit yang spontan memenuhi tenggorokan.
"Kalian nggak nyata, kalian nggak nyata, kalian nggak nyata, kalian nggak nyata."
Terus menggumam lantaran suara-suara itu tidak ada hentinya memenuhi gendang telinga. Pun dengan napas yang sudah memburu dan keringat sebesar biji jagung yang mulai membasahi dahi membasahi rambut bagian depan dan poni pemuda itu.
Jay hanya bisa bersyukur dan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya lantaran bunyi ponselnya yang tergeletak itu menandakan ada telepon masuk. Cepat-cepat pemuda itu meraihnya dan mengusap ikon hijau, tidak memperhatikan nama yang terpampang di sana.
"Halo?"
"Halo? Serius? Kak Jay? Ini Kak Jay, kan? Wah! Lamia mimpi apa semalam? Sekian lama akhirnya di notice dong!"
Sekalipun suara dengan nada kelewat riang dan cukup heboh itu sanggup membuat telinganya sedikit terkejut sampai-sampai dia harus menjauhkan ponsel itu beberapa senti, Jay lekas mengembalikan benda tersebut ke tempat semua. mendengar suara nyata dari Lamia lebih baik daripada harus meladeni suara-suara gaib yang mengganggunya tiap kali ia sendiri.
"Hm. Ada apa, La? Kamu bukannya harus istirahat?"
"Ini juga lagi istirahat. Eh? Kak Jay kenapa nada suaranya begitu? Sudah tidur, ya?"
"Ya, aku baru mau tidur," ucap Jay, "kamu sudah baikan?"
Terdengar suara kekehan ringan di ujung sana, "Wah, senannya seharian ini diperhatikan sama Kak Jay. Besok-besok terus begini, ya? La jadi makin sayang."
Jay membuka sedikit demi sedikit matanya, mengubah posisi tidur menjadi terlentang dan melihat lurus langit-langit kamar, "Jangan bicara ngawur begitu. Nanti ku tutup telefon ini."
"Eh, iya-iya. Aduh jangan balik lagi, dong galaknya. Baru saja La senang," jeda sejenak, "kakak kayaknya sudah ngantuk banget, deh. Padahal La masih mau telfonan."
Jay tertawa kecil, "Benar masih mau telfonan?"
"Iyalah, ini kan kesempatan besar," ucap Lamia, "kapan lagi bisa begini sama Kak Jay."
Jay menimang sebentar. Berpikir tentang tepat atau tidaknya keputusan ini, tapi ya sudahlah, selagi ada kesempatan dan bantuan gratis macam ini bukankah harus dimanfaatkan dengan baik?
"Kalau begitu bantu aku boleh? Telfon lama sampai aku benar-benar tidur."
"Hah?" Lamia bertanya keheranan, "terus La ngomong siapa kalau Kakak sudah tidur? Sama angin? Enak saja," protesnya.
"Bukan begitu," Jay berucap lembut, sampai-sampai Lamia di ujung sana sedang senang setengah mati, "kamu ceritain aku, boleh? Cerita apa saja, deh sampai aku tidur."
"Cerita? Mau didongengin maksudnya?"
"Iya," jawab Jay, "hitung-hitung bayar untuk usahaku antar kamu ke rumah sakit tadi."
"Dih, Kak Jay nggak tulus nolongnya. Jahat banet, sih."
"Mau nggak, nih?" Jay mendesak, "kalau nggak biar aku tutup sekarang."
"Eh, jangan-jangan," ucap Lamia cepat-cepat, "iya, biar La pilihkan cerita dulu."
Pada akhirnya, sekalipun cukup konyol dan Jay bahkan sampai diolok sebagai om-om rasa bocah oleh Lamia, malam itu berakhir dengan sebuah cerita pendek yang disampaikan Lamia. Tidak mau membacakan dongeng katanya karena akan terdengar Jay seperti anak-anak. Maka gadis itu benar-benar membacakan satu bab dari salah satu novel koleksinya. Benar-benar membaca satu bab itu sampai tuntas dan ketika terdengar dengkuran halus dari Jay, sambungan telepon itu diputuskan.
Benar-benar diputuskan meninggalkan sebuah kesan yang cukup dalam. Tentang betapa sunyi dan tenangnya malam Jay setelah itu dan betapa sebuncah kebahagiaan memenuhi setiap relung hati Lamia.
*************************
[TO BE CONTINUE]
p.s : Sudah siap dengan adegan-adegan melow mulai bab selanjutnya?
Jangan lupa vote dan komentarnyaa. Love you guysss <3
Dannnn... terimakasih sudah lahir Park Jimin <3 sukses selalu kedepannya dan terimakasih telah memberikan banyak banyak inspirasi termasuk aku dan lahirlah cerita ini <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top