11. Epoch
ep·och
/ˈepək/
(n.)a period of time in history or a person's life, typically one marked by notable events or particular characteristics.
*****
"La duluan, ya, Kak Ryu. Mau pergi beli hadiah dulu. Soalnya teman La ada yang sudah dapat kerjaan, mau ngerayain kecil-kecilan saja. Sampaikan ke Kak Hobi sama Kak Jay, Lamia duluan."
Kurang lebih begitu yang Lamia katakan sebelum pergi.
Karena terlalu asyik menghabiskan waktu bersama, ditambah dengan Hobi yang tidak pernah perhitungan kalau urusan bayar-membayar makanan, Lamia jadi molor. Waktu yang harusnya dia pakai untuk membeli hadiah itu terpaksa tertunda dan ia harus rela mau tidak mau ketika matahari sudah perlahan menghilang digantikan dengan sayup senja dan bulan yang mulai terlihat.
Padahal harusnya dia berjanji akan bertemu sore itu. Jadi, Lamia asal saja masuk ke dalam toko, dengan gesit memilih tas selempang yang menurutnya bagus dan nyaman kemudian meminta pelayan toko untuk sekalian membungkuskan pemberiannya.
Syukur belum terlalu malam. Mereka masih bisa makan malam bersama, begitu pikir Lamia. Ia menilik sebentar jam di pergelangan tangan, sudah mengabari Adora akan kedatangannya. Gadis itu memilih menunggu di depan, tidak enak bila harus masuk ke dalam terutama saat melihat banyak pasien yang berkeliling, serta bunyi sirine yang silih berganti, kemudian dokter dan suster yang sibuk.
Ya, dari sana kalian tahu bahwa Lamia berada di rumah sakit.
"Adora!" panggil Lamia, tangannya melambai. Tersenyum lebar dan melambai kala melihat satu perempuan dengan seragam biru khas perawat yang berlari kecil menghampirinya.
"Dingin di luar, kenapa nggak di dalam?" Adora bertanya lembut, memberi pelukan singkat karena mereka berdua sudah cukup lama tidak bertemu.
"Makin sumpek. Terlalu ramai dan banyak pasien."
Adora tertawa kecil, mengangguk mengerti, "Tenang. Meskipun pasien-pasien di sini pada punya gangguan jiwa, tapi mereka masih bisa dikontrol. Kan banyak dokter sama suster."
"Ya, udah terlanjur. Besok aku langsung masuk saja, deh. Oh, iya lupa," Lamia sontak menyondorkan bungkusan tas jinjing yang dibawanya, "buat kamu."
Adora senang bukan main. Menilik kado dalam sana bahkan menggoyangkannya. Kebiasaan kecil yang sudah mereka berdua lakukan sejak lama. Lamia tertawa geli. Dalam hati cukup senang karena Adora menyukai pemberiannya.
"Repot banget, sih. Padahal kan niatnya mau makan-makan saja," ujarnya masih tidak enak hati, "tapi makasih banyak lho, ya."
Lamia mengangguk, "Sudah sana cepat ganti baju. Udah selesai kerja, kan? Aku tunggu di sini."
Adora mengangguk, "Oke, aku masuk dulu. Tunggu, ya."
Semenjak perginya Adora dan menghilangnya gadis itu perlahan, Lamia memilih menyandar di pilar besar yang berada di dekatnya. Sesekali memainkan kaki guna mengusir rasa bosan. Memandang sekitar melihat hilir mudik manusia yang berada di sekitarnya. Kasihan sekali, ada banyak ekspresi yang Lamia tangkap dari tempatnya berdiri. Marah, khawatir, sedih, bahkan tidak sedikit yang menangis.
Semua raut wajah itu, tidak ada yang terlihat baik-baik saja.
Termasuk raut seorang pemuda yang berjalan melewatinya, menunduk sembari melihat secarik kertas dan menggantungkan bungkusan biru di jemari tangannya.
"Kak Jay?"
Satu lagi pertanyaan mulai bertambah di kepala Lamia.
***
Dulu, dulu sekali. Saat Judith Lamia Laurana masih menggunakan baju terusan berwarna merah muda, berikat dua dengan pita berwarna senada, dan sebuah permen lollipop di genggaman yang menggugah selera.
Gadis kecil itu menatap heran. Mata bulatnya mengerjap polos, alisnya saling menukik dan sebuah pertanyaan yang cukup menggugah rasa penasarannya terdengar, "Ma, kenapa Mas Biyan kayak gitu?"
Mendengar pertanyaan sang putri yang polos dan tidak tahu apa-apa, Linda, ibu Lamia, lantas berlutut guna menyamakan tinggi dengan anak sematawayangnya. Satu tangannya terangkat demi mengusap puncak kepala si cantik, "Mas Biyan sakit, jadi dibawa ke dokter sama om Ridwan dan tante Naina."
"Sakit?" Lamia masih tidak mengerti, setelah mencicip rasa manis dari lolipopnya, Lamia kembali bertanya, "Sakit apa? Mas Biyan cacingan, ya? Sampai nggak bisa diam begitu. La yang lihat saja capek," gumamnya.
Linda masih tersenyum hangat. Membawa tangan kecil Lamia dan menuntunnya untuk mengambil duduk di sofa depan televisi, "Bukan, dia sedang sakit, tapi penyakit yang berbeda dari yang biasa La kenal."
"Berarti bukan demam, pilek, cacar, atau batuk?"
"Ya, benar sekali," Linda menusap belakang kepala Lamia lembut, "sakit-sakit yang berbeda seperti itu, bukanlah sesuatu yang pantas untuk dianggap aneh ataupun buruk, Lamia. Ingat itu," ujarnya, menyolek ujung hidung sang putri, membuat gadis kecil itu terkekeh geli.
"Seperti halnya sakit demam, pilek, batuk yang harus sembuh. Sakit yang dirasakan Mas Biyan juga harus disembuhkan. Supaya tidak mengganggu Mas Biyan lagi. Dan tidak hanya pada Mas Biyan. Kepada siapapun itu, termasuk anak-anak yang pernah Lamia temui di tempat Mas Biyan berobat. Oke?"
Lamia tampaknya masih belum benar-benar mengerti. Tampak jelas melalui raut wajahnya. Pun mata yang seolah menampilkan seluruh pertanyaan juga dahinya yan mengerut tanda menginginkan sesuatu yang lebih. Lantas, Linda tertawa merdu, mengelus punggung tangan kecil milik si kecil dengan ibu jarinya.
"Nanti. Suatu saat nanti, Lamia pasti mengerti maksud Mama. Saat ini, yang perlu Lamia lakukan hanya satu, berbuat baik kepada siapapun. Siapapun itu, tanpa terkecuali. Hm? Bagaimana? Anak Mama mengerti?"
Jadi, karena sudah diberikan jaminan oleh Mama lantaran ia pasti akan mengerti ucapan itu ketika besar, Lamia hanya berusaha menjadi anak penurut dengan dua anggukan mantap dan tersenyum lebar, "Siap, bos!"
Butuh waktu memang. Lamia tentunya sadar akan hal itu. Seperti memikirkan apa maksud ucapan Mama dan kenapa wanita itu sampai mengajarkan Lamia dengan teramat hati-hati agar memperlakukan semua orang dengan baik tanpa pandang bulu. Terutama pada orang-orang berbeda seperti yang dikatakan Mama.
Sekalipun awalnya dia sempat tidak tahu. Lambat laun seiring dengan usianya yang kian bertambah, Lamia bisa memahami itu dengan baik. Ingat bukan bahwa Lamia itu anak pintar? Jadi, tidak butuh waktu begitu lama semenjak ia menginjak enam belas untuk tahu dengan benar jenis sakit macam apa yang Mama maksudkan.
Tidak. Lamia tidak akan pernah berani untuk memperlakukan siapapun dengan kasar. Gadis itu tumbuh dengan baik dikelilingi oleh kasih sayang dari keluarganya. Definisi keluarga lengkap dan bahagia selalu tersanding untuk mereka. Bahkan ketika Lamia berkata tidak tega ketika membunuh semut, ia benar-benar serius akan hal itu.
Dan di detik yang sama. Hal tersebut juga berlaku pada saat Lamia melihat sosok tak asing yang keluar dari pintu masuk rumah sakit seraya menggantungkan bungkus obat-obatan di jemarinya. Seolah pemuda dengan jaket abu-abu yang telah kusam itu benar-benar menarik seluruh atensi Lamia padanya sehingga gadis itu enggan berpaling bahkan untuk sebentar saja.
Dua kaki jenjang itu hendak melangkah menghampiri. Berniat ramah dan menyapa seperti biasa kendati harus tersendat bahkan belum sampai satu langkah.
Ah, Jay bakalan langsung usir aku untuk pergi.
"La? Lihatin apa?"
Seseorang menepuk pundak Lamia. Mengagetkan gadis itu sampai-sampai ia terlonjak kaget bahkan untuk sekadar tepukan ringan yang sama sekali tidak menyakitkan.
"Ah? Nggak apa-apa. Aku―"
"Cowok itu, ya?" Adora menunjuk dengan dagu. Dua tangannya kini terjejal pada jaket merah muda untuk mengusir angin dingin di malam hari.
"Kok kamu tahu?" Lamia bertanya heran.
Perempuan itu tertawa singkat, "Kelihatan," ujarnya, "kenalan kamu?"
Lamia mau tidak mau mengangguk. Arah pandangnya masih melihat Jay yang perlahan mengecil sebelum benar-benar menghilang.
"Setahuku dia pasien tetap di rumah sakit ini. Setiap dua minggu sekali akan kontrol untuk terapi."
Lamia menoleh, menatap penuh minat dan rasa ingin tahu, "Serius? Kamu tahu dia sakit apa?"
Adora terkekeh, "Aku baru satu bulan di sini, La. Aku cuma nggak sengaja dengar seniorku di sini ngomongin dia. Terus pas aku tanya orangnya, di kasih lihat."
Mengangguk lantaran tahu tidak akan mendapati info apa-apa, Lamia kembali memusatkan atensinya saat Adora bergumam sebelum melanjutkan kalimatnya yang ternyata belum usai.
"Kabarnya, dia sudah delapan tahun menjalani pengobatan. Tergolong lama dibanding pasien lain."
Tunggu, apa?
***
"Duduk dulu, Kak. Temani La makan."
Lamia berujar singkat. Ringan sekali sembari memegang sendok serta garpu dan bersiap untuk makan.
Helaan napas terdengar, "Nggak enak sama yang lain. Lagian―"
"Duduk saja, nanti La yang bilang ke Kak Hobi. Lagian sebelum Kak Jay kerja di sini juga La termasuk pelanggan tetap. Hasil makan enak Kak Hobi itu ada campur tangan uang Lamia."
Sebenarnya, pemuda berkemeja hitam itu hendak pergi. Enggan menghabiskan waktu dengan gadis berisik yang setiap bertemu selalu mengganggunya. Jika saja Jay merasa tidak enak hati lantaran pesan-pesan Lamia yan setiap malam selalu hadir itu mendadak berhenti semenjak satu minggu yang lalu. Pun pertemuan mereka yang tidak terjadi selama itu. Sampai tiba-tiba Lamia hadir di hadapannya. Dengan raut wajah yang berbeda.
Gadis itu sedikit lebih diam dari biasanya.
"Ayo, sini duduk depan La," pintanya, mengarahkan pandang pada kursi di hadapannya dan meminta Jay segera mendaratkan bokong di sana.
"Kak Jay sudah makan? Mau La pesanin sekalian?"
Jay menggeleng, meletakkan nampan yang ia bawa di atas meja, "Aku nanti makan bareng yang lain saja," ucapnya. Menatap keluar sembari menunggu Lamia menghabiskan makanannya.
"Kak."
"Ya?"
"Seminggu ini nggak ketemu, lho. Tidak rindu?"
Jay tampak menimang sejenak. Mengelus dagunya dengan telunjuk sembari berpikir, "Bukannya kamu yang harusnya rindu? Seminggu ngilang."
Lamia menampilkan cengirannya, "Iya, La rinduuu sekali. Sumpah. Beneran. Nggak bohong. La sampai beberapa kali pengin chat, tapi La nahan diri. Pokoknya selama seminggu La nggak boleh ketemu Kak Jay dan kirim pesan apapun ke Kakak."
Jay nampak tertarik, "Kenapa? Tumben."
"Hehe ... mau lihat aja, Kak Jay rindu Lamia atau tidak," gadis itu memotong dagingnya, tanpa menatap Jay sembari melanjut, "tapi sayang. Kakak kelihatannya tidak rindu," lanjutnya sendu.
Jay masih mempertahankan raut datarnya itu. sekalipun dalam hati sempat merasa tidak enak pun kasihan lantaran raut wajah Lamia yang mudah sekali terbaca. Tersenyum begitu, tapi Jay tahu ada sesuatu yang menyakitkan yang dirasakannya dalam hati. Jangan lupakan dengan nada sedihnya di akhir.
Namun Jay tetaplah tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki itu hanya berdeham demi melepas kecanggungan dan menyandar dengan tangan dan kaki yang menyilang.
"Kak," panggil Lamia.
"Hm," jawab Jay seperti biasa.
Lamia menghentikan kegiatannya, menaruh sendok dan garpunya di atas piring, menatap Jay lekat-lekat, "Mau tahu nggak kenapa Lamia menghilang seminggu ini?"
"Memangnya kenapa?"
Gadis itu tersenyum, "Sebenarnya ... La berusaha untuk berhenti suka sama Kakak," gadis itu terkekeh sejenak, kembali melanjut dengan nada getir, "tapi sayang ... La tidak bisa."
**********************************
[TO BE CONTINUE]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top