09. Abstruse
ab·struse
/abˈstro͞os,əbˈstro͞os/
(adj.) difficult to understand; obscure.
*****
Setidaknya, setelah merampungkan lembar demi lembar coretan merah yang harus dia revisi, Lamia selalu menyempatkan beberapa menit untuk membuka media sosial milik salah satu sahabat dari kakak sepupunya tersebut. Sekalipun hasil yang didapati justru hanya helaan napas berat, lantaran dengan jumlah followers yang tidak terlalu banyak, pun foto yang di posting hanya ada enam. Itupun foto tanpa wajah yang hanya menampakkan punggung Jay ataupun bagian samping dari lelaki itu, lengkap dengan pemandangan indah sebagai background.
Melihat instagramnya tidak ada kemajuan, Lamia membuka whatsapp, kembali mengeram kesal lantaran pesan yang ia kirim hanya menghasilkan satu centang biru. Bahkan gadis itu ragu kalau Jay benar-benar membacanya. Bagaimana kalau Jay hanya membuka saja? Setelah itu dibiarkan menganggur atau bahkan yang lebih parah―dihapus. Tidak. Membayangkan saja Lamia sudah kesal sendiri.
Pintu kamar terbuka. Di bawah terangnya lampu neon kamar, Lamia bisa menangkap sosok Ryu yang datang dan meletakkan tasnya di atas meja belajar Lamia. Perempuan itu menaruh jas kerja yang awalnya tergantung di lengan untuk disampirkan di sandaran kursi.
"Tumben pulang larut."
"Iya, ada banyak kerjaan. Syukur-syukur bisa pulang sampai beres," kata Ryu. Memilih duduk di sisi sofa sebelum akhirnya ikut rebah di samping Lamia.
"Dijemput sama Kak Hobi?"
"Hm, mobilku masih di bengkel. Sial, gara-gara telat service jadinya begitu."
Lamia tidak menanggapi, pun setelah itu Ryu asyik dengan ponselnya. Dilirik sekilas, tengah membalas pesan singkat dari Hobi. Lagipula, Lamia juga sedang melakukan acara stalking sembari otaknya terus memutar apa langkah yang harus ia pilih untuk mendapatkan si pujaan hati.
"Kamu ngapain liatin IG-nya Jay?"
Lamia menoleh sejenak dan mendapati Ryu tengah menatapnya menyelidik, "Kenapa? Memang salah lihatin IG gebetan?"
Ryu serta merta bangkit dari posisi rebahnya. Dengan tatapan menyelidik lantas sorot terkejut yang tampak jelas, ia mengutarakan edisi protesnya, "Sudah kakak bilang, lebih baik kamu nggak usah suka sama dia, La."
"Kenapa?" Lamia bertanya kalem, "dia kan sahabatnya Kak Ryu. Memangnya La nggak boleh pacaran sama sahabatnya Kakak?"
"Bukan begitu," Ryu berucap, sulit sekali rasanya menjelaskan, "kalau tidak ada alasan yang jelas, lebih baik kamu mundur. Suka sama Jay itu tidak boleh setengah-setengah. Kamu harus tahu itu."
Lamia ikut bangkit, duduk di hadapan Ryu dengan mata yang menelisik ekspresi dari kakaknya itu, "Kenapa? Apa karena Kak Jay itu termasuk orang gila? Begitu?"
Sudah mempersiapkan ancang-ancang akan ekspresi apa yang ditampakkan Ryu, Lamia bisa melihat jelas wajah kakaknya itu yang berubah. Pupil matanya yang membesar dan alis terangkat, sebelum itu semua cepat-cepat dihilangkan dan berganti dengan sedia kala, "Siapa yang bilang Jay begitu?"
"Anak-anak di studio," ucap Lamia santai, punggungnya kini bersandar pada sandaran ranjang, "gosip Kak Jay nyebar. Diomongin. Aku waktu itu mampir ke sana sama Papa, jadi nggak sengaja dengar," jelasnya singkat.
Ryu menghela napas. Baru saja pulang kerja sudah dihadapi situasi yang merepotkan seperti ini. Namun, terlihat jelas di mata Lamia sehingga gadis itu buru-buru menambahkan, "Kak Ryu tenang saja," ucapnya, menepuk paha Ryu agar gadis itu membalas tatapannya, "perasaan ini nggak main-main. Lamia serius."
"Lamia," Ryu beringsut mendekati adiknya, "bukan cuma Jay saja yang bikin Kakak khawatir, tapi kamu. Kamu adikku. Sekalipun perasaanmu tulus, nggak menutup kemungkinan Jay yang berlaku sebaliknya. Resikonya terlalu besar. Masih ada banyak lelaki di luar sana."
Lamia tersenyum, mencoba memahami, "La tahu," ucapnya mengangguk, "dan La juga tahu resikonya. Lagipula, ini bukan pertama kalinya La patah hati. Kak Ryu jangan khawatir."
"Jadi ...." Lamia tersenyum, meremas tangan Ryu, "Kakak mau bantu La, tidak? Mendapatkan Jay, sekaligus ... menyembuhkan luka apapun yang sudah dialami Jay."
Untuk yang kesekian kali, Ryu menghela, "Perjalananmu, masih saaangat panjang, Lamia. Bahkan aku dan Hobi saja belum bisa benar-benar menyembuhkan lukanya."
Lamia stagnan. Sekalipun begitu, berusaha menampilkan senyum nampaknya menjadi opsi yang baik. Berjaga-jaga hanya agar Ryu semakin tidak khawatir. Terutama dengan ucapan terakhir sang kakak yang membuatnya kembali merasa bimbang dan nyaris saja berjalan menuju ambang keraguan.
Tidak, Lamia. Kamu pasti berhasil.
***
Sudah menjadi hal yang biasa, bersimpuh dengan punggung yang tersandar pada sisi ranjang sempit yang berada di pojok ruangan. Kamar dengan cat putih itu tampak begitu suram karena lampu mati dan hanya berbekal lampu teras sebagai penerang. Pemuda dengan baju singlet itu tampaknya tidak memedulikan dengan hawa dingin awal tahun yang menyusup melalui celah-celah jendela, bahkan membuat tirai kusam kamarnya melambai-lambai.
Suara deras hujan bersamaan dengan petir yang menggelegar serta kilat yang menyapa seolah menjadi pelengkap malam itu. Tidak apa-apa, setidaknya tidak se-sepi biasanya, begitu pikirnya.
Kepalanya mengadah. Menatap langit-langit kamar berbantalkan ranjang kasur yang bahkan tidak bisa dikategorikan empuk sekalipun. Setidaknya, cukup untuk membuat tubuh lelah itu beristirahat sejenak sampai esok pagi. Ah, suram sekali. Kamar kos yang tidak bisa dikategorikan besar dan dengan harga yang cukup murah―sekalipun ia menganggap bahwa itu masih tergolong mahal―dibandingkan kosan lain yang terletak di ibukota. Jay nampaknya masih bisa bersyukur karena uang di tabungannya masih bisa untuk mencukupi biaya hidupnya sendiri. Setidaknya untuk saat ini.
Obsidiannya menangkap sisa-sisa kertas yang tergeletak di atas nakas, bergabung dengan bungkus-bungkus obat yang belum sempat ia buang tadi pagi. Pengeluarannya bulan ini. Cukup banyak sampai-sampai membuat dompetnya menjerit tanpa isi. Satu tangannya yang bebas mengambil lembaran yang tergeletak. Astaga, banyak sekali. Padahal dia hanya membeli keperluan bulanannya minggu lalu.
Sahut-sahutan bunyi notifikasi ponsel terdengar. Nampaknya, itu sudah menjadi rutinitas baru yang harus Jay hadapi kali ini. Membiasakan diri lantaran jumlah pesan yang cukup banyak dan panggilan yang diabaikan dan memilih membiarkan ponselnya tergeletak meraung-raung sejak tadi. Sehingga kala, bunyi itu sudah berakhir sampai sepuluh menit kemudian, satu decakan kesal diiringi napas lega pun menjadi akhir dari kekesalannya.
"Dasar gadis bodoh," komentar Jay, tertawa hambar meratapi dirinya sendiri, "mau-maunya saja menyusahkan diri untuk lelaki sepertiku."
Suara derap kaki cepat terdengar samar di antara riuhnya hujan. Jay hanya menunggu selama beberapa sekon sampai pintu kamarnya di gedor cukup keras dan heboh. Lekas pria itu bangkit, membuka pintu dan melihat seseorang dengan senyum lebarnya berdiri dengan payung yang menjatuhkan sisa-sisa air di teras kamarnya.
"Ada apa ke sini? Masuk dulu." Jay membuka pintu kamarnya sedikit lebih lebar.
"Nggak usah," katanya, "aku kebetulan lewat sini. Sekalian bawain ini buat kamu," satu bungkus sesuatu hangat yang Jay pikir adalah makanan tersondorkan untuknya, "kamu sudah mau tidur?" tanyanya, lengkap dengan kepala melongok kamar Jay yang gelap.
"Hm? Iya, nih," jawab Jay, menerima bungkusan itu tanpa pikir panjang, "repot banget hujan-hujan ke sini, Bi. Nggak mau nginap saja? Sudah malam."
Hobi menggeleng. Masih mempertahankan senyumannya itu, kadang Jay heran, apa tidak pegal tulang pipinya terus-terus tersenyum begitu?
"Kalau aku nginap, nanti kamu malah tidur di bawah. Mending aku pulang saja. Lagian aku baru saja jemput Ryu pulang dari kantor."
Jay mengangguk, lantas menukas, "Seharian kamu nggak kelihatan di restoran. Ada masalah?"
"Sedikit," Hobi menyengir, "tapi sudah beres. Nggak perlu khawatir," lanjutnya.
Kembali lelaki itu menengok sedikit dari luar. Melihat kamar sempit yang hanya berisi satu ranjang kecil, nakas berlaci, lemari di sudut ruangan, juga cermin kecil yang menggentung di dinding. Selebihnya dilanjutkan dengan dapur dan kamar mandi. Lantas lelaki itu menghela.
"Sudah aku ajak kamu untuk tinggal di tempatku saja. Kamu bisa bayar separuhnya kalau merasa berutang budi."
Lagi-lagi pembahasan ini.
Lagipula, kehidupan Hobi sudah tercukupi. Orang-orang yang hidup enak sejak kecil macam dia tidak akan mengerti hidup di posisi Jay. Biar dijelaskan sampai bagaimana pun, Jay nampaknya harus menelan kembali kalimat-kalimatnya itu lantaran kehidupannya yang cukup rumit, bahkan menurut dirinya sendiri yang menjalani.
Jay menggeleng, mematri senyum dengan dua tepukan pada pundak Hobi, "Nggak usah. Keluargamu sudah terlalu baik sama aku. Sekarang memang waktunya aku harus hidup sendiri."
"Mau bekerja di rumahku saja? Kebetulan, tukang kebun dan supir Papa sudah resign. Kamu bisa ambil shift malam di restoran. Gajinya bahkan lumayan daripada kamu harus kerja siang-malam direstoranku," hendak menimpali, Jay lantas kembali menutup mulut tatkala Hobi melanjut, "atau kamu bisa jadi tutornya Keenan di rumah. Daripada tinggal sempit dan nggak enak begini. Malah kotor lagi lingkungannya." Hobi meringis, mengomentari serta menatap sekeliling halaman yang memang sesuai ucapannya.
"Yakin aku nggak apa-apa kerja di rumahmu? Nanti malah kayak yang terakhir kali lagi."
"Yang mana?" Hobi bertanya bingung, kendati sedetik kemudian menampilkan senyum tatkala berhasil kembali memanggil ingatan lama, "oh, yang itu. Dulu kan kamu masih kuliah. Jelas Mama marah-marah karena kamu kerja part time. Kalau sekarang kan kamu sudah dewasa. Nggak masalah kayaknya. Lagipula ..." Hobi menggantungkan sedikit kalimatnya, melanjut ragu, "bukannya kamu masih butuh uang untuk biaya pengobatan?"
Ah, benar juga.
Tatapan Jay spontan mengarah pada bungkus-bungkus nyaris kosong di atas nakas. Beberapa lama lagi, dia harus kembali untuk membeli persediaan obat-obatan itu.
Helaan napas Jay diiringi anggukannya membuat senyum Hobi semakin merekah lebar, "Nanti aku pikirkan. Kamu pulang saja, sudah malam dan ini hujan besar."
"Nah begitu, dong!" seru Hobi. Dua tepukan tegas mendarat di pundak Jay, "Ya sudah. Aku pulang dulu."
"Ya, hati-hati."
Perginya Hobi tidak lantas membuat Jay lekas tertidur seperti ucapannya tadi. Setelah menutup pintu, membuat suara hujan di luar meredup dan terdengar sayup-sayup. Lelaki itu melirik sebentar melihat satu bungkus gorengan yang masih hangat. Memilih menaruh di atas lemari dan berniat memakannya besok, lagipula Jay sudah menghabiskan satu bungkus nasi sebagai makan malamnya.
Hendak mengambil satu gelas air putih, langkahnya terhenti. Jangan sekarang, batinnya. Jay lekas bertumpu pada dinding, dengan telapak tangan yang lantas menahan kepala yang terasa semakin berat. Pun suara-suara dengungan yang sudah pasti tidak nyata seolah memenuhi pendengarannya.
"Sial. Padahal aku mau tidur nyenyak malam ini," runtuk Jay.
Menguatkan diri, lelaki itu segera menuangkan air ke gelasnya. Sekalipun nyaris tumpah banyak dan membasahi permukaan meja. Pun dengan sekuat tenaga, melawan rasa pusing dan terus membisikkan diri agar semakin yakin bahwa suara-suara itu tidak nyata, Jay lekas mendaratkan bokongnya di sisi ranjang. Meraih bungkusan kusut di atas nakas dan mengambil beberapa pil pahit dari sana.
Menegaknya sekaligus dan menghabiskan satu gelas airnya dengan cepat, Jay lekas membaringkan diri. Merebahkan tubuhnya setelah gelas kosong diletakkan di atas nakas. Satu tangannya diletakkan di dahi, guna mengurangi sedikit saja rasa berat di kepala.
Setelah perlahan kesadarannya sudah menghilang, dengan penglihatan yang mengabur. Dua sudut bibir itu tertarik. Tersenyum getir seraya berucap lirih.
"Mama, Jay tidur dulu. Besok kita bertemu lagi. Semoga mimpi indah."
********************************
[TO BE CONTINUE]
p.s : instagramnya Jay yang bikin gemas Lamia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top