07. Ineffable
in·ef·fa·ble
/inˈefəb(ə)l/
(adj.) too great or extreme to be expressed or described in words.
*****
Di bawah langit yang mendung dan mulai menurunkan rintik-rintik hujan, suara wiper terdengar seiring dengan rintik-rintik air yang membasahi kaca. Menghapus dengan cepat agar si penemudi tak kesulitan melihat kawan-kawan kendaraan yang melaju. Lamia bisa melihat bagaimana ketenangan hakiki di dalam mobilnya. Papa yang fokus dengan stir dan sesekali membasahi bibir karena kering lantaran pendingin yang juga semakin dingin, pun suara lagu yang mengalun lirih untuk sedikit meramaikan suasana.
"Kenapa, La? Diam saja dari tadi." Satu pertanyaan mulai mengudara, mungkin sudah tidak mengherankan lagi lantaran anak sematawayang-nya itu sejak tadi diam seribu kata dengan pandangan menilik luar mobil.
Lamia menoleh sejenak, lantas menggeleng pelan, "Nggak apa-apa," jawabnya singkat.
Pria itu menghela napas. Mencoba memahami situasi bahwa mungkin anaknya sedang tidak bisa diajak bicara. Barangkali ada sesuatu yang mengganggu, putrinya sudah dewasa dan sudah bisa menyelesaikan masalah sendiri. Maka dua anggukan sebagai respon di tampakkan sekalipun tidak terlihat oleh Lamia.
"Papa harus ke kantor. Kamu bisa bawakan titipan Papa ke studionya Yuno?"
Lamia menoleh, berat sekali rasanya harus kembali menginjakkan kaki ke gedung tari itu. Bukan apa-apa. Setelah menghabiskan setidaknya dua hari terkait seseorang yang ia sukai nyatanya adalah orang gila―kurang lebih begitulah orang-orang mengatakannya―Lamia mendadak merasa harus mengambil waktu sedikit lebih banyak untuk menenangkan dirinya sendiri. Mencoba meyakinkan hati dan perasaannya.
"Males. Papa saja yang bawa ke sana. Kenapa nggak sekalian?"
"Urusan kantor nggak bisa ditinggal, La. Kamu tinggal bawa motor nanti sore ke sana. Lagian, biasa juga akhir pekan Ryu sama Hobi selalu mampir ke studio, kan?"
Lamia menghela napas. Dagunya bertumpu pada tangan yang menompang di jendela mobil. Seraya memerhatikan aliran air kecil-kecil dari hujan yang melewati kaca jendela mobilnya itu, "Hujannya sampai malam," ujar Lamia. Masih mengajukan adegan tidak terima dan tidak mematuhi ucapan orang tua.
"Palingan sore sudah selesai. Kayak biasanya." Papa tidak mau kalah.
"Kalau sampai malam nggak selesai, gimana?"
"Papa kan sudah pulang kalau sore."
Lantas, lekas Lamia duduk tegak. Lehernya tergerak menatap Papa yang duduk di samping. Masih fokus menatap jalanan, "Kalau gitu kenapa nggak Papa saja yang antar ke sana?" tanyanya tidak terima.
"Kamu tega banget suruh Papa pergi lagi habis capek pulang dari kantor. Nggak kasihan? Kalau jam-jam segini, Yuno sedang nggak ada di studio."
"Kan ada suaminya. Kenapa harus sama Kak Yuno segala."
"Kan yang ngurus bisnisnya itu Yuno, La, bukan Jean. Papa juga biasanya diskusi lebih sering sama Yuno."
"Tapi kan―"
"Pokoknya nanti kamu bawakan saja ke sana." Final. Lamia tidak bisa kembali melawan kala Papa memberikan titah mutlak tanpa menggubris pendapat pribadinya. Pun acara saling beradu sengit itu harus berakhir dengan Lamia yang menggerutu dengan wajah menekuk, membuang muka dengan tangan yang menyilang depan dada.
Kesal. Kesal sekali.
***
Bunyi kendaraan beroda empat itu berhenti tepat saat sang pengemudi memutar kunci. Helaan napas kasar terdengar seiring dengan kedua tangan kurus itu menyugar rambut ke belakang. Memperlihatkan dahi putih nan mulus dengan poni panjang yang tersibak di kedua sisi wajah. Sejamang gadis itu diam selama beberapa saat. Memikirkan akan bagaimana jadinya nanti ketika menginjakkan kaki untuk yang kesekian kalinya di gedung yang selama beberapa waktu itu dihindarinya.
Sialan kamu, Lamia. Sok berani di awal, tapi sekarang sudah mati ketakutan seperti ini.
Bukan bermaksud merendahkan. Tidak. Sejak kecil, perempuan berusia dua puluh satu tahun itu sudah diajarkan wejangan yang baik oleh kedua orang tuanya. Mengenai harus menghargai dan menghormati siapa saja manusia yang ada di sekitarnya. Apapun latar belakangnya, bagaimana pun kondisi fisiknya, seberapa banyak harta benda yang dimiliki. Lamia sudah diajarkan dengan teramat baik oleh kedua orang tuanya. Menghasilkan pribadi yang kerap menjadi favorit orang-orang di sekitar. Lamia dengan senyum manis dan menawan, baik hati dan suka menolong. Begitu kurang lebih kata teman-temannya.
Hanya saja, dia masihlah perempuan normal―juga manusia. Makhluk yang dianugerahi Tuhan dengan berbagai emosi yang membuatnya terlihat hidup.
Lamia tentunya sadar, bagaimana keraguan itu mulai perlahan menggerogoti hatinya. Jantung yang berdetak tak nyaman, pemikiran yang bercabang dan melahirkan spekulasi-spekulasi tak masuk akal, perasaan gusar yang merayap di hati, lantas semua itu mulai membuatnya merasa diambang batas keraguan.
Mundur atau maju?
Orang-orang tidak akan pernah mengerti. Pun jika Lamia menceritakan apa yang tengah ia rasakan pada Ryu sekalipun. Ah, mendadak dia ingin mengumpati saja kakak sepupunya itu. Lagipula, sesekali menyampaikan sumpah serapah pun mengabsen deretan penghuni kebun bintang sepertinya bukan ide yang buruk.
Namun sekali lagi, Lamia sudah dididik sejak kecil. Perempuan tidak boleh berkata kasar, kata Mama. Jadi, gadis itu hanya menyampaikan rentetan omelan yang Ryu juga tidak tahu dan tidak paham kenapa Lamia bisa semarah itu tatkala ia berkata,
"Kakak harus pergi ke Bandung, La. Ada acara di keluarganya Hobi. Kak Ryu harus datang, tidak enak kalau menolak."
Padahal, well, penolakan itu sebelum-sebelumnya juga tidak menghasilkan urat leher yang seolah ingin menyembul keluar.
Maka, Lamia kembali menghembuskan karbon dioksida dari dua celah hidungnya itu. Mengusap kedua permukaan tangannya berkali-kali hanya untuk membuatnya lebih hangat. Lantas, gadis itu membuka pintu mobil. Turun dengan anggun dan membenarkan rok selutut yang sedikit kusut. Kedua tangannya menyisir kasar rambut panjang sepinggang itu dengan jemari. Pun terakhir membenarkan sedikit baju hangat berlengan panjangnya.
Di tangannya sudah ada berkas-berkas yang dititipkan Papa. Akan diberikan pada Yuno, sesuai titah dan perintah. Lamia menjadi anak penurut. Pun gadis itu melangkah dengan tungkai jenjangnya. Menyusuri basement sebelum memasuki gedung berlantai empat, meninggalkan sisa-sisa gema dari suara hak sepatu miliknya.
***
"Nggak usah, Kak Yuno. La masih punya banyak jajan di rumah." Dua tangan Lamia melambai lembut, serta merta dengan kepalanya yang tergeleng pelan. Gadis itu mematri senyum semanis mungkin, menolak dengan halus Yuno yang memberikan satu bungkus brownis kukus berukuran besar.
Itu memang tampak menggiurkan.
Sadar Lamia, jaga matamu. Itu hanya makanan.
"Nggak apa-apa. Tadi di kasih sama salah satu muridnya Jean. Oleh-oleh katanya. Kita dibawakan banyak. Masih ada dua bungkus di sana. Di rumah juga nggak ada yang habiskan nanti."
Lamia hendak menolak lagi. Jika saja dia bisa lebih cepat untuk tidak melihat mata Yuno yang tengah mengerjap penuh harap. Seolah menuntut Lamia secara halus untuk menerima pemberiannya. Padahal―meskipun diawali dengan paksaan dari Papa―Lamia tulus mau membantu. Bukan bermaksud apapun. Namun nampaknya Yuno juga tidak mau kalah. Tangannya masih terjulur dengan bungkus hijau dari brownis yang tergantung di udara, tengah menunggu uluran tangan Lamia.
"Ya sudahlah," ucap Lamia, membuat dua sudut bibir Yuno tertarik puas.
"Begitu, dong. Susah banget nerima gitu saja," ucap Yuno. Menepuk pundak Lamia dua kali untuk segera kembali berbasa-basi dengan Lamia.
"Hari Sabtu gini, studio tumben nggak ramai?" Lamia bertanya, melangkah menuju pintu keluar bersama Yuno.
"Tadi ada yang ulang tahun. Jadi, mereka pergi makan-makan. Jean juga ikut. Cuman ada beberapa orang yang latihan," kata Yuno. Tangannya terulur membuka kenop pintu, mempersilahkan Lamia keluar lebih dulu.
"Kalau begitu, La pamit, Kak," ucap Lamia. Berdiri di depan ambang pintu membuat Yuno melihat keheranan.
"Aku sekalian antar ke luar," katanya.
"Nggak usah," buru-buru Lamia menolak, "Kakak di sini saja. Lagian baru saja mau dapat debay. Mending istirahat, jangan terlalu banyak gerak." Lamia meledek dengan mengerlingkan matanya.
Serta merta Yuno senyum malu-malu, semburat kemerahan hadir di pipinya, "Ryu yang kasih tahu, ya?" Lamia mengangguk semangat, "dasar anak itu. Padahal niatnya mau jadi surprise waktu acara makan malam keluarga, tapi ya sudahlah. Kamu hati-hati, ya. Mau langsung pulang?"
"Iya, Kak. Revisian banyak di rumah. Aku malam minggu kencan sama buku-buku dulu."
Ucapan Lamia mengundang tawa kecil Yuno, "Selesaikan cepat. Biar nggak makin habisin uang orang tua. Jangan terlalu asyik kerja," nasihatnya.
"Duh, iya. Padahal baru saja La daftar. Belum juga satu bulan di sana," katanya setengah mengelak, "okelah, La pamit, Kak. Salam untuk Kak Jean, ya."
"Iya, hati-hati di jalan."
***
Suara hak sepatu seolah menjadi penggiring atas setiap langkah yang dilewati. Tegas dan pasti. Dari bunyi setiap ketukannya, menyisir tiap-tiap pintu studio dan memandang lurus ke depan. Sesegera mungkin ingin sampai rumah dan bercumbu mesra dengan tumpukan kertas yang menjerit-jerit ingin segera di datangi.
Sesekali dirinya membalas sapaan senyum yang ditujukan padanya. Bermaksud ramah dan tidak ingin membuat orang-orang penghuni studio ini berpikiran yang tidak-tidak seperti waktu lalu saat dirinya mencuri dengar. Enak saja perempuan seperti Lamia nanti di kira sombong. Hilang lah image cantik dan baik hati yang selama ini tersanding padanya.
Di belokan ke tiga, Lamia sudah melangkah teramat yakin. Sangat yakin sampai-sampai dirinya terlonjak cukup heboh lantaran menyangka tidak akan bertemu dengan seseorang yang selama beberapa hari ini mengisi penuh kepalanya. Sehingga sebelum orang tersebut membalas tatapannya, Lamia cepat-cepat melangkah mundur tanpa pikir panjang. Bersembunyi di balik dinding, hampir-hampir tersandung kaki sendiri.
"Kenapa aku harus berlebihan begini? Memangnya siapa dia sampai aku harus begini?" gumam Lamia, setengah merutuk diri lantaran tindakan bodohnya yang tidak dilandasi sesuatu yang masuk akal.
Lamia menyembul dari balik dinding. Masih menyembunyikan sebagian besar tubuhnya tatkala melihat sosok tampan itu melangkah yakin dengan mata tajam dan ekspresi datar memasuki salah satu ruangan studio. Sebelum itu, Lamia sempat menukikkan alisnya, lantaran melihat lelaki dengan jaket hitam itu sempat menengok sekeliling. Seperti memastikan keadaan sebelum hilang ditelan pintu.
Setelah memastikan tidak ada siapapun, Lamia mengeluarkan diri dari tempat persembunyian sementaranya. Melangkah perlahan agar tidak menimbulkan suara. Pun menempelkan telinganya pada pintu studio. Mendengar sayup-sayup musik yang ada di sana, berpikir bahwa mungkin saja lelaki itu tengah menari seperti halnya Ryu dan Hobi.
Studio tempat Jay masuki bukanlah seperti studio lain yang transparan hingga Lamia masih bisa menonton dari luar. Studio yang dimasuki Jay tertutup. Khusus di lantai tiga, di mana hanya orang-orang tertentu saja yang menempati. Biasa mereka yang sudah senior dan lebih lama menari. Supaya lebih fokus dan tidak terganggu dengan lalu lalang orang-orang di luar.
Sudah tahu bahwa Lamia mempunyai rasa penasaran yang teramat tinggi? Jadi, gadis itu memilih untuk memutar kenop pintu dengan sangat perlahan. Setelah pintu sudah terbuka tanpa ada kecurigaan, Lamia menutupnya tak kalah pelan. Lantas kembali melankah melewati lorong singkat sebelum ia harus berbelok untuk melihat penampilan pria itu.
Namun, tidak. Lamia tidak cukup bodoh untuk langsung menyembulkan dirinya mengingat timbal balik yang selama ini ia terima. Jadi, gadis itu memilih bersembunyi di balik dinding. Menggeser sedikit posisi menjadi lebih nyaman dan melongok dengan sebagian kecil kepalanya. Bahkan hanya menampilkan sepasang mata cokelat di balik dinding tersebut.
Namun, sayang beribu sayang. Lelaki itu memang mempunyai mata setajam elang. Sangat tajam sampai-sampai bisa menyisir bahkan ke tempat yang awalnya dipikir tak tampak.
Karena tepat di tengah tariannya, Lamia bisa melihat dengan jelas bagaimana pandangan mereka saling beradu dari cermin besar yang memenuhi dinding. Membuat mata Lamia spontan membulat sempurna. Gadis itu cepat-cepat menarik diri, hendak melarikan diri jika saja satu tangan tidak mencengkram erat pergelangan tangannya sebelum ia sempat meraih gagang pintu.
Pun tarikan kuat dari remasan tangan tidak bisa dihindari. Ketika Lamia dipaksa membalikkan badan. Membuat dia harus cepat-cepat mengembalikan kesadaran tatkala sepasang mata cokelat itu harus bersirobok dengan iris tajam milik lelaki di hadapannya, "K-kak Jay. La bisa jelas―"
"Ngapain kamu di sini?" rahang lelaki itu mengeras. Matanya yang tajam tak lepas pandang dari Lamia yang tengah mencicit gugup setengah mati.
Cepat-cepat gadis itu menggeleng, "La nggak masksud apa-apa. Lihat Kak Jay masuk dan mau menyapa. Itu saja. Serius. Tidak bohong."
Mata Jay memandang sekeliling. Seolah memastikan tidak ada orang lain selain mereka di sana. Lantas pria itu menghela kasar, "Cepat keluar. Jangan ganggu aku. Awas kalau besok-besok kamu diam-diam mengintip begitu."
Begitulah cengkraman itu akhirnya mengendur dan melepas sempurna. Jay berbalik seolah tak terjadi apa-apa. Mengusir Lamia secara terang-terangan membuat gadis itu termagu selama beberapa saat. Sedang di sana. Sang pujaan hati tengah kembali meliuk mengikuti irama lagu. Dan untuk pertama kalinya, Lamia benar-benar tidak menyesali keputusan dari rasa penasaran yang sudah mandarah daging tersebut.
***************************
[TO BE CONTINUE]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top