05. Evanescent

ev·a·nes·cent
/ˌevəˈnes(ə)nt/

(adj.) soon passing out of sight, memory, or existence; quickly fading or disappearing.

*****

Satu hal yang Lamia tahu adalah sebentar lagi akan hujan.

Langit mendung. Kelabu. Pun dengan angin-angin yang mulai membuat helaian rambutnya beterbangan. Kendati gadis itu tidak melakukan sedikit saja pencegahan, minimal masuk ke dalam rumah dan bersembunyi di balik selimut. Nampaknya itu lebih baik daripada harus duduk pada kursi di balkon, sekalipun dengan satu mug cokelat panas yang kini ada di pangkuannya.

Menghabiskan waktu di sore hari dengan membaca buku nampaknya bukan hal yang buruk. Terutama saat rentetan kata demi kata itu mampu menarik penuh atensi Lamia untuk jatuh ke dalam cerita yang dibawa.

Klise.

Tentang seorang gadis miskin yang pada akhirnya bertemu dengan pria kaya dengan harta kekayaan menggunung menawarkan bantuan. Menjanjikan kebahagiaan. Pun setelah drama roman picisan yang terjadi, keduanya hidup dengan bahagia.

Lamia mendecih, satu sudut bibirnya tertarik, napasnya menghela berat, "Dasar gadis lemah. Tidak bisa berdiri sendiri," gumam Lamia mengomentari isi bacaannya barusan.

Punggung gadis itu bersandar di kursi. Matanya menatap langit yang kian menggelap. Telunjuknya mengelus permukaan gelas yang isinya sudah habis setengah. Tampak tenang, jika orang melihatnya saat ini, maka ketenangan adalah kata yang pertama kali terucap. Kendati jauh di dalam sana, kepala Lamia sangat ribut. Di datangi dari berbagai sisi. Dengan segala pemikiran yang bertolak belakang. Seolah berteriak satu sama lain demi meneguhkan pendapatnya.

Lamia kembali menghela napas―untuk yang kesekian kalinya. Gadis itu bahkan sampai meluruskan kaki. Pun merenggangkan otot lantaran lelah menghabiskan waktu cukup lama untuk duduk, membaca, dan memikirkan sesuatu yang mengganggu benaknya sejak semalam.

Suara pintu terbuka. Lantas Lamia menengok. Menyembul sedikit dari pintu balkon guna melihat siapa yang masuk. Tersenyum tipis lantaran melihat perempuan tak asing itu tengah menekuk wajah dengan dua tentengan besar di kedua tangannya.

"Besok-besok kalau mau aku datang, siap-siap depan pintu. Untung ada Mamamu. Kalau nggak, nanti aku jadi gelandangan." Sarah menaruh dua belanjaannya di atas meja bulat, kemudian mendaratkan bokongnya di kursi lain samping Lamia, "Lagian kenapa, sih, tumben banget nyuruh aku datang? Semalam ada apa? Main tanya tentang hal sensitif begitu. Malah telefonnya dimatiin lagi," protes Sarah. Bibir merah muda itu tak kunjung memundurkan posisi, masih meredam kekesalan kendati dua tangannya membuka bungkusan roti sebelum melahapnya.

"Nggak apa-apa," balas Lamia, ia meletakkan mug-nya di atas meja, lantas menatap Sarah, "kamu mau minum apa? Aku ambil."

"Nggak usah," jawab Sarah setelah berhasil menelan rotinya, "aku sudah sekalian beli minuman tadi," lanjutnya, Lamia mengangguk.

Sarah masih asyik mengunyah makanannya. Menunggu dosen cukup lama di kampus, pun setelah pulang harus dihadapkan dengan sikap Lamia yang sedikit berbeda. Gadis itu terlalu tenang. Tidak seperti biasanya. Sebentar saja, biarkan Sarah menghabiskan satu bungkus rotinya tanpa sisa. Biar bagaimana pun, jangankan untuk sekadar membeli roti, untuk ke toilet saja dia mesti memberikan titah pada teman satu bimbingannya agar memberi kabar kalau dosen pembimbing mereka sudah datang.

Drama mahasiswa akhir pejuang skripsi.

"Oke, kamu kenapa? Jangan mendadak kalem begini. Udah kayak orang kesurupan. Serem, tahu." Sarah berujar setelah meneguk setengah isi botol air mineral sebelum meletakkannya di atas meja pembatas antara dia dan Lamia.

Lamia terkekeh, tertawa kecil. Irisnya memandang halaman rumah melalui balkon lantai dua. Pun dengan butiran air dari langit yang perlahan semakin deras membasahi tanaman-tanaman miliknya, "Nggak tahu. Berat saja rasanya."

"Berat?" Sarah bertanya heran, "Revisianmu banyak lagi? Masih ada yang salah-salah?" Well, Sarah tidak salah menanyakan seperti itu, karena biar bagaimana pun skripsi itu tidaklah main-main. Tidak mengejutkan kalau sampai Lamia stress begitu.

"Bukan," kata Lamia, kedua tangannya memeluk kakinya yang terangkat, seraya membenarkan sweeter merah mudanya, "cuman, rasa-rasanya ... aku sudah ditolak dulu sebelum berjuang," lanjutnya lagi.

"Kamu lagi suka sama cowok? Siapa?" Sarah mulai penasaran, badannya tercondong, memusatkan atensi penuh pada sahabatnya itu.

"Ada," jawab Lamia, tersenyum penuh arti, "sahabatnya Kak Ryu."

"Wow," Sarah melongo, "ternyata Kak Ryu punya banyak stok cowok ganteng. Nggak heran, sih. Teman kerjanya di kantor, teman narinya, sampai teman-temannya Kak Hobi itu pastilah cowok-cowok ganteng, keren, fashionable," ujar Sarah mengangkat dua bahunya.

"Sar," panggil Lamia.

"Hm?" jawabnya, di pangkuan Sarah sudah terbuka satu bungkus jajan biskuit rasa stroberi, "apa lagi?"

Lamia membenarkan posisi duduknya, lantas beringsut menatap Sarah teramat serius. Membuat gadis berambut sebahu itu sedikit salah tingkah. Takut, lebih tepatnya. Lamia tidak biasanya bersikap begini kalau tidak ada sesuatu yang memang benar-benar serius.

"Menurutmu ... apa kemungkinan seseorang melakukan self injury?"

Mata Sarah membulat, serta merta jajan di pangkuannya itu diletakkan di atas meja. Ia menilik penampilan Lamia dari atas sampai bawah, "Kamu nggak coba-coba ngelakuin itu cuma karena stres gara-gara revisi, kan?"

Lamia menatap datar, "Dengar, ya. Aku memang udah dengar ada orang yang sampai dibawa ke psikiater cuma gara-gara stres skripsi, tapi untukku sendiri, kayaknya nggak banget. Bukan bermaksud sombong, tapi aku masih punya banyak pelarian kalau lagi stres." Jangan kaget, Lamia memang tidak selalu memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'La' jika berbincang. Adakalanya gadis itu menggunakan 'aku', terutama jika sedang bersama Sarah. Plus berbicara hal yang serius seperti sekarang.

"Contohnya?"

"Minta kamu datang sambil bawa jajan. Kayak gini."

"Sialan."

"Sudah cepat jawab. Ditungguin, nih," desak Lamia.

Sarah berdeham, mengangkat satu kakinya dan menggeser tubuh sampai ia bisa berhadapan dengan Lamia, "Sebenarnya ada banyak faktor, sih yang bisa bikin orang melakukan self injury, tapi setahuku hal yang paling umum ya depresi."

Dahi Lamia berkerut, "Depresi?"

"Ya," jawab Sarah yakin, "kakakku yang kasih tahu sendiri. Semalam aku tanya beberapa sesuai yang kamu mau."

Ah, semalam, ya? Ingatan Lamia serta merta mengingat bekas-bekas luka yang cukup banyak berada di pergelangan tangan Jay.

"Kalau kamu lihat banyak luka di tangan orang. Ada nggak, sih, kemungkinan itu bukan berasal dari self injury?"

Sarah tampak berpikir sejenak, telunjuknya mengelus dagu, "Tergantung, La. Kalau aku lihatnya luka memar atau mungkin bekas luka yang tidak banyak. Mungkin aku nggak bakalan mikir ke sana."

"Iya, kan?" Lamia lantas berujar penuh antusias, membuat Sarah sedikit kaget, "tapi kalau kamu lihat orang, yang bekas lukanya itu buanyaak terus bentuknya garis-garis di tangan pasti kamu bakalan mikir self injury. Aku nggak salah, kan?"

Sarah menatap prihatin. Apapun yang sedang dalam pikiran Lamia, pasti bukanlah sesuatu yang baik sampai mengganggu sahabatnya itu. Pertama, masalah laki-laki. Kedua, masalah self injury. Lantas tidak mau membuat rasa penasarannya semakin menggunung, pun karena bermaksud membantu, Sarah menyuarakan pertanyaan sakralnya.

"Sebenarnya ada apa? Kamu kenapa?"

Lamia salah tingkah. Dia mengalihkan pandangannya dari Sarah. Lebih memilih melihat hujan yang sudah semakin deras saja. Tampaknya Sarah harus menunda kepulangannya, "Aku nggak―"

"Jangan bohong," Sarah memotong cepat, "sudah bilang ada apa. Kalau tidak sanggup bercerita, bisa nanti. Awas saja kamu bohong," gadis itu tampaknya mencoba mengerti. Lantas mengemasi barang-barang mereka, ia berujar, "ayo masuk. Di luar dingin."

Lamia bangkit. Turut membawa buku dan mug-nya yang sudah kosong. Memerhatikan Sarah yang meletakkan barang-barangnya di lantai dekat meja belajar Lamia. Lamia sendiri memilih menaruh barang bawaannya di atas nakas, lekas bergabung bersama Sarah setelah menutup pintu balkon di balik selimut.

Sarah lelah, itu yang Lamia tahu. Terutama dengan kantung matanya yang terlihat jelas pertanda ia kurang tidur sejak semalam. Sempat ragu akan bercerita, pun menjeda kegiatan istirahat sahabatnya itu. Meskipun Lamia tahu bahwa Sarah juga tidak ada masalah jika ia mengganggunya.

"Sudah, bilang saja kalau mau cerita. Kenapa jadi ragu begitu?" Sarah berujar, merasa gerak-gerik Lamia yang tak tenang dari ekor matanya.

"Kamu kan mau istirahat. La tidak enak," ucapnya lirih.

Lantas Sarah segera menaruh ponselnya di atas nakas. Menoleh ke samping di mana Lamia tengah menatap langit-langit kamarnya, "Oke, sekarang ada apa?"

"Yakin mau La cerita sekarang?"

Sarah mengangguk sebagai jawaban.

Lamia kembali menghela. Cukup panjang, sampai-sampai Sarah berpikir memang ada hal serius yang tengah terjadi.

"Dulu sekali, di patah hatiku yang pertama, aku belajar bahwa mencintai seseorang itu juga akan memiliki resiko untuk terluka," Lamia membuka cerita.

Kepalanya lantas menoleh, menatap Sarah di sampingnya yang tengah mendengarkan dengan seksama, "Dan di patah hatiku yang kedua, aku belajar bahwa untuk masuk ke dalam kehidupan seseorang itu bukan hal yang mudah," ucapnya tersenyum.

Sarah tersenyum getir. Dia tahu, "Maaf, Lamia," ujarnya lirih.

"Bukan salahmu. Perasaan ini diluar kendalimu, Sar. Kamu juga harusnya tahu kalau aku nggak pernah salahin kamu. Satu kali pun," ujarnya.

Lantas, Lamia kembali melanjut, "Melalui dua patah hati itu, aku kembali belajar bahwa untuk mencintai seseorang, kita harus masuk ke dalam kehidupannya, serta bersiap dengan kemungkinan bahwa kita akan terluka."

Jeda sejenak, Sarah masih mendengarkan dengan baik, "Mencoba mengerti dengan kehidupan orang lain bukan perkara yang mudah. Ada banyak sekali hal-hal yang tidak kamu mengerti. Sekalipun awalnya ... kamu mungkin berpikir bahwa dia hanya orang biasa, tapi nampaknya, manusia punya rahasia sendiri di kehidupan mereka."

Lamia membasahi bibir bawahnya yang mulai mengering. Arah pandangnya masih lurus, menatap langit-langit kamar seolah itu adalah lukisan maha karya yang ia puja. Dengan pemikiran-pemikiran yang berkelit turut bergabung dengan rasa cemas dan bimbang yang memenuhi hati.

"Lelaki yang kini aku suka," ucapnya, "kupikir dia orang biasa. Ku pikir, kisah cintaku kali ini akan berjalan cukup klise seperti orang lain. Kalaupun ada masalah, hanya masalah-masalah kecil yang masih bisa ditolerir. Nyatanya ... dia lebih dari itu."

Satu alis Sarah menaik, "Kamu serius sudah suka sama dia? Maksudku, benar-benar suka?"

Lamia mengangguk yakin, "Kalau aku bilang cinta, nanti kamu ngolok aku anak alay karena masih sebentar. Jadi, kayaknya 'Suka' bisa jadi pembuka yang bagus."

Sarah terkekeh, representasi dari mencairkan suasana yang sedikit tegang ini, "Orang yang melakukan self injury itu ... cowok yang kamu suka?" tanya Sarah ragu-ragu, mencoba menyatukan kepingan informasi dari Lamia yang pada akhirnya ia simpulkan.

Lamia mengangguk tak lama setelah itu, "Karena kayak yang kamu bilang," ujarnya, "depresi bisa saja jadi salah satu faktor utama. Kira-kira, apa ya yang buat dia depresi?"

Sarah ikut memandang langit-langit kamar Lamia, dua tangannya terlipat di atas perut. Sayup-sayup suara hujan menemani perbincangan mereka siang menjelang sore itu, "Kalau aku suruh kamu berhenti, kamu mau, nggak?"

Napas Lamia berhembus kasar, satu sudut bibirnya tertarik lemah, "Kamu pikir aku nggak mau? La mau, Sar. Mau sekali, tapi―"

Lamia menggantung ucapannya cukup lama, membuat Sarah kembali menatapnya dengan alis yang bertaut, "Tapi?"

"La ngerasa ... La nggak bisa," jawabnya pasrah―sekaligus tampak frustasi―ia melanjut, "rasanya ... benar-benar nggak bisa, Sar. Nggak tahu kenapa."

"La," Sarah mencoba memberikan solusi terbaiknya, "kisah cinta. Apapun itu. Siapapun orang yang menjalani dan bagaimana pun kisahnya, tidak ada yang mudah."

Sarah berdeham sejenak ketika Lamia mulai mendengarkan ucapannya, "Tidak ada kisah cinta yang biasa, Lamia. Semua pasti punya masalah dan dramanya masing-masing. Sampai-sampai rasanya kepala mau pecah saja."

"Termasuk kamu dan Kak Agung?"

"Ya, termasuk aku dan Kak Agung," jawab Sarah cepat, "bagi orang lain, kami memang biasa saja, tapi kalau aku boleh jujur untuk masuk ke dalam kehidupan Kak Agung juga bukan hal yang mudah."

"Satu hal yang perlu kamu tahu pasti," Sarah menoleh, dibalas dengan Lamia yang masih memerhatikannya, "tidak ada yang mudah jika kamu akan masuk ke dalam kehidupan orang lain. Kamu nggak akan pernah benar-benar paham tentang alasan dari setiap hal yang orang itu lakukan di kehidupannya, karena kamu bukan dia, karena kamu nggak benar-benar mengalami hal yang dia lakukan. Dan itu semua bukan hal yang mudah, La."

"Tapi setidaknya," Sarah masih melanjut, "kamu bisa berusaha untuk mengerti, berusaha untuk memahami, dan berusaha untuk peduli."

Sarah menepuk punggung tangan Lamia yang berada di dekatnya, "Maaf sudah menjadi alasan untuk patah hatimu yang kedua kali," ucapnya lirih, "tapi kamu nggak harus mengalami patah hati yang ketiga untuk kembali mempelajari satu hal. Karena ...."

Sarah tersenyum penuh arti, "Kamu bisa mempelajari suatu hal dengan cara lain. Jalani dan jadikan ini sebagai pengalaman yang mungkin ... nggak akan kamu lupakan."

"Ah, satu lagi," buru-buru Sarah menambahkan, "depresi itu bisa berasal dari mana saja. Bisa dari pengalaman atau masa lalu yang buruk, trauma, perilaku orang-orang sekitar, atau hal-hal berat yang bisa ia alami."

Sepertinya, ucapan Sarah semakin membuat rasa penasaran Lamia bergejolak. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Bingung harus bagaimana.

"Sepertinya," Lamia menoleh kala Sarah masih melanjutkan ucapannya, "kamu bisa tanya Kak Ryu atau Kak Hobi. Terutama masa lalu Jay dengan mereka."

Masa lalu, ya? Lamia tidak pernah berpikir sebelumnya untuk mengorek kehidupan lelaki itu, tapi ya sudah lah. Rasa-rasanya, Lamia harus menyudahi harapannya akan kisah cinta biasa yang ingin ia alami. Karena mengenal Jay saja, rasa-rasanya ada banyak lembaran yang harus ia persiapkan. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top