03. Enmesh

en·mesh
/inˈmeSH,enˈmeSH/

(v.) involve (someone) in a difficult situation from which it is hard to escape.

*****

"Apa-apaan, Lamia?"

Lamia sudah tahu bahwa seseorang akan bertanya langsung padanya seperti itu. Terutama setelah blak-blakan mengutarakan keinginan ikut audisi, sudah macam mau ikut ajang menyanyi yang di siarkan di tv nasional saja. Lamia tidak mempermasalahkan bagaimana ekspresi kaget Jay sampai-sampai membuat wajahnya pucat pasi―Hobi yang mengatakan, karena Lamia tidak bisa melihat dari belakang―sampai-sampai pemuda itu tidak bisa berkata-kata lagi.

Pun delikan tajam dari Ryu yang seolah memperingatinya untuk tidak bersikap kurang ajar serta lelucon garing dan tawa sok heboh milik Hobi yang berusaha mencairkan suasana. Baiklah, Lamia salah. Ini baru pertemuan pertama mereka dan Lamia sudah membuat lelaki itu tidak nyaman.

Namun, bagaimana, dong? Sayang sekali jika pemuda tampan berkulit bak porselen itu disia-siakan begitu saja. Lamia tidak mau. Tidak setelah dulu ia gagal mendapatkan lelaki yang ia mau dan merelakannya untuk Sarah. Lagipula, dia sudah besar, kan? Bebas baginya untuk memilih siapa saja yang ia mau, atau menjadikan siapa saja menjadi miliknya.

"Kenapa apanya? La cuma bercanda saja. Memang nggak boleh? Kak Jay juga pendiam sekali. Bikin La gemas saja," ucapnya tak peduli. Lamia meletakkan tas dan barang-barang miliknya di atas meja.

Ryu mengekori di belakang, bernapas lega, "Syukur, deh. Kirain kamu mau dekat-dekat sama Jay."

Mata Lamia memincing, dahinya berkerut, "Memangnya kalau La mau dekat-dekat sama Kak Jay nggak boleh?"

"Dekat boleh, suka jangan." Ryu memperingati, perempuan itu duduk di sisi ranjang Lamia sembari merogoh isi tas dan mengeluarkan ponselnya dari sana.

"Kenapa?" tanya Lamia penasaran, mendekati Ryu dan duduk di sebelahnya setelah meraih satu bantal dan memeluknya di pangkuan, "La suka kok sama Kak Jay. Kelihatannya dingin-dingin dan cuek-cuek gitu. Bikin La penasaran setengah mati."

Ryu menghentikan kegiatannya, lantas segera mengabaikan ponsel itu dan memusatkan atensi penuh pada sang adik, "Pokoknya jangan. Kalau kamu cuma setengah-setengah sama dia, lebih baik jangan," ujar Ryu tegas.

"Siapa bilang La setengah-setengah? La serius, kok." Lamia kembali meyakinkan.

Maka Ryu berdecak, matanya menatap Lamia gemas, "La baru satu hari bertemu sama Jay. Memangnya langsung 'boom' jatuh cinta begitu? Yang La rasakan itu cuma tertarik saja. Besok-besok juga paling nggak suka lagi."

"Jangan bilang karena Kak Ryu sudah punya pacar jadinya sok tahu sendiri tentang cinta, ya? Memangnya pengetahuan Kak Ryu tentang cinta itu sebanyak apa, sih?" kata Lamia dengan nadanya yang tidak terlalu suka dan setuju pada ucapan Ryu.

"Bukan begitu," Ryu mencoba bersabar, "cuman, nggak wajar saja kamu baru satu hari langsung begitu ke dia. Jangan buru-buru menyimpulkan, Lamia. Kalau kamu salah paham sama perasaanmu sendiri, bukan hanya kamu, tapi Jay juga bisa ikut kena getahnya. Kamu mau tanggung jawab sudah nyakitin anak orang?"

"Eiy, apa, sih, Kakak? Serius banget pembahasannya. Lagian La juga nggak sejahat itu. Masa anak baik gini dibilang nyakitin hati orang, yang ada Kak Jay nyakitin hati Lamia," ujar Lamia seraya mengibas tangannya di udara. Tampak tidak terlalu mengindahkan ucapan Ryu. Juga membenarkan ucapannya sendiri mengingat bagaimana Jay seharian ini padanya.

Ryu serta merta menghela napas panjang, "Ya sudah. Aku sudah ingatin kamu. Jangan macam-macam, kalau nggak serius mendingan kamu mundur. Sudahlah, aku mandi dulu. Bajuku kamu simpan di mana?" Ryu beranjak bangkit, meraih handuk berwarna biru miliknya dari dalam lemari Lamia.

"Ada di barus ketiga. Kemarin aku baru beres-beres isi lemari." Lamia menjawab malas. Pakaiannya sudah terganti menjadi lebih santai dan ia memilih merebahkan diri di atas kasur sembari streaming salah satu drama Korea sebelum tidur.

"Oke, sudah ku ambil. Nanti habis mandi baru tidur, lah," gumaman Ryu lantas tak terdengar saat pintu kamar mandi tertutup sempurna.

***

Hari Minggu seharusnya menjadi akhir pekan yang menyenangkan untuk Lamia. Terutama setelah semalam menghabiskan waktu dengan menonton film horor bersama Ryu sesuai janji mereka tiga hari yang lalu. Lengkap sekali dengan cemilan yang mereka beli tersaji dan lampu kamar yang dimatikan dengan laptop dibiarkan menyala, menambah kesan horor dan supaya feel-nya lebih terasa. Keduanya juga membungkus diri dengan satu selimut, entah mengapa pendingin kamar Lamia terasa sedikit lebih dingin malam itu. Barangkali setan-setan lain juga ikut menonton kawan mereka, begitu ucap Ryu yang serta merta mendapat pukulan keras di punggung disertai jeritan histeris Lamia.

Sehingga ketika jam sudah menunjukkan nyaris tengah malam dan film itu syukurnya sudah habis ditonton, keduanya sepakat untuk tidur dengan lampu dibiarkan menyala agar setan-setan yang ikut menonton tidak juga ikut tidur bersama dengan mereka. Paket lengkap dengan kedua tangan saling tergenggam saling memeluk dengan guling dibiarkan di tengah. Gila saja Lamia mau peluk-pelukan serapat itu dengan Ryu, geli rasanya.

Jadi, karena semalam mereka tidur sedikit lebih malam―sekalipun keduanya sudah biasa tidur larut bahkan pernah tidak tidur sama sekali―Lamia berharap bahwa dia bisa menikmati akhir pekan ini dengan damai dan sentosa. Mengabaikan sedikit skripsinya yang butuh direvisi, karena sungguh, Lamia bisa menyelesaikannya nanti malam. Biarkan saja paginya dia menghabiskan waktu dengan tenang.

Namun, rencana indah yang tersusun di kepala itu mendadak hancur dalam sekejap. Tepat ketika seseorang memencet bel rumahnya berkali-kali dan setelah itu terdengar gedoran keras dari pintu rumahnya layaknya orang bar-bar, Lamia menggerutu dan kesal setengah mati. Ia bahkan berniat untuk tetap bercumbu dengan sprei baby pink miliknya itu sampai nanti siang. Lagipula, siapa sih yang menggedor seperti orang gila pagi-pagi begini? Lagipula, Lamia tidak merasa pernah melakukan tindakan kriminal sampai rumahnya harus didobrak, kan?

"Sudah ku duga, kamu pasti masih tidur."

Lamia menatap seseorang yang berdiri di hadapannya itu kelewat datar. Hendak mengeluarkan rentetan sumpah serapah sekalipun tidak peduli bahwa ia adalah tamu, tapi mengingat kembali nasihat-nasihat tetua di rumahnya mengenai perempuan harus menjaga tindakan serta ucapannya. Maka Lamia menelan kembali semua rutukannya dalam hati.

"Apa?" tanyanya malas, masih dengan suara serak khas bangun tidur.

"Biarin dulu aku masuk, kek. Tega banget sama tamu."

Lamia hendak mengucapkan dan bahkan menggeser badannya, sekalipun itu semua harus ditahannya kembali saat tamu tidak tahu diri itu justru sudah melangkah duluan bahkan mendorong bahu Lamia tanpa rasa bersalah. Lantas setelah orang tersebut sudah berbelok ke ruang keluarga yang Lamia yakini dia sudah mengambil tempat di depan televisi, Lamia menutup kembali pintu rumahnya untuk segera ikut ke ruang keluarga.

"Ada apa pagi-pagi ke sini? Gedor pintu sudah kayak aku ini tersangka pencuri saja."

"Bosan banget, sumpah. Pak Dan lagi pergi ke luar kota. Jadi sudah hampir seminggu aku nggak bisa bimbingan. Cuman bisa bimbingan sama Bu Anya saja, tapi aku tetap butuhin Pak Dan. Jadi, nggak tahu harus gimana. Ya sudah mampir kesini. Aku juga baru habis jogging, lewat sini ya sudah langsung ke sini," jawabnya mutar-mutar, tapi tetap di inti pembicaraan yang sama.

"Kan bisa lewat online, Sar. Memangnya Pak Dan itu sudah setua apa sampai buka whatsapp saja nggak bisa." Lamia berujar sedikit berteriak. Mengambil sisa-sisa camilan semalam dari dalam kulkas dan juga satu kotak jus beserta dua gelas untuk mereka berdua.

"Sudah. Cuma Pak Dan slow respon. Dari kemarin aku belum dapat pesannya. Teman-teman yang satu bimbingan juga gitu. Mungkin nanti siang kali, ya?" Sarah sejenak berpikir memperkirakan, sekalipun ujung-ujungnya ia hanya mengangkat bahu pertanda tidak tahu dan tidak bisa memastikannya juga.

"Eh, ada Sarah. Pagi-pagi sudah mampir saja."

Keduanya sontak mendongak, melihat seseorang dengan wajah khas bangun tidur dan mata setengah terbuka dengan rambut yang sedikit berantakan, turun dari lantai dua dan melewati mereka untuk menenggak satu gelas air mineral sampai tandas.

"Kak Ryu nginap di sini?"

Ryu mengangguk setelah meninggalkan gelas minumnya di meja makan, lantas berjalan menghampiri mereka berdua dan bergabung di sofa, "Sarah main-main ke sini? Tumben."

"Lagi bosan, Kak. Di rumah nggak ada kerjaan. Nggak tahu harus ngapain atau gimana. Kebetulan lewat sini jadi sekalian mampir."

Ryu kembali mangut-mangut mengangguk. Terlalu malas lagi menanggapi saat ia sendiri masih mengumpulkan kesadarannya.

"Kak Ryu mukanya kok bengkak, sih? Semalam habis makan banyak, ya?" Sarah kembali bertanya, matanya menatap memerhatikan wajah Ryu juga pipinya yang terlihat sedikit lebih besar.

"Eh? Masa?" punggung tangan Ryu menyentuh kedua pipinya. Mencoba merasakan dan memerhatikan dengan seksama, "kayaknya gara-gara sosis semalam, deh. Ya sudah, lah. Nanti juga kempes sendiri," ucapnya tidak terlalu peduli. Memilih meraih remote tv yang terletak di dekatnya dan memilih tayangan yang bagus untuk di tonton di akhir pekan.

"Kak Ryu kapan mau pulang?" Lamia bertanya malas, menatap serial kartun yang selalu ditayangkan setiap hari minggu itu dengan setengah hati.

"Ngusir ceritanya?"

"Iya."

"Dasar adik laknat."

"Sudah tiga hari di sini. Nggak capek jadi gelandangan terus?"

Ryu mencebik. Tidak mengindahkan karena tidak mau paginya harus menghabiskan tenaga untuk berdebat dengan adiknya itu. Ia meraih satu bungkus kripik kentang yang tergeletak di atas meja. Membukanya cepat dan kembali menyantap, tidak memedulikan perut yang mungkin bisa saja sakit karena belum sarapan apa-apa.

"Rumah sepi. Aku nggak ada teman."

"Ck. Kenapa orang-orang yang ke sini alasannya selalu sama, sih? Kalian kan punya pacar. Sok-sok kesepian. La jadi kelihatan semakin terlihat jomblo saja."

Hendak menanggapi ucapan Lamia, Ryu menahan keinginannya saat suara ponsel adiknya itu terdengar. Tidak mau bertanya ataupun berniat penasaran, tapi suara erangan kesal dari Lamia justru menarik perhatian. Baik Ryu maupun Sarah menatap heran.

"Kenapa lagi?"

"La lupa. Hari ini acara penutupan pentas sastra minggu lalu. La diundang harus hadir di acara pembubaran panitia."

"Kenapa harus hadir?" Sarah bertanya sedikit heran, "Setahuku nggak datang pun nggak masalah."

"Iya. Cuman nggak enak aja sama dia. Ketua panitianya itu benar-benar bantuin aku waktu penelitian dulu-dulu. Jadi, nggak enak kalau dia minta tolong tapi aku nggak datang. Ah, padahal pengin diam di rumah saja hari ini." Lamia berkata lemas dengan tubuh yang merosot.

"Datang saja apa susahnya, sih? Paling juga makan-makan. Biasa kan kalau pembubaran begitu." Ryu berkata tanpa mengalihkan pandang dari televisi yang sedang menampilkan perkelahian antara power rangers dan musuh bebuyutannya.

"Nggak ada teman, aku diundang karena sudah jadi sponsor ide-ide buat mereka. Ucapan terima kasih katanya," ucap Lamia.

"Sok-sok mencari teman. Perasaan mereka semua sudah terlalu akrab sama kamu. Kayaknya kalau kamu ditinggalin di kutub utara pun nggak masalah. Penguin juga bisa kamu jadikan teman." Sarah menjawab asal, karena memang teringat sifat Lamia yang terlalu ramah kepada semua orang itu.

Pada akhirnya Lamia memilih mengalah. Lantas segera bangkit dari duduknya untuk bersiap-siap mengingat acaranya akan dimulai kurang lebih dua jam lagi. Biar bagaimana pun untuk mandi, dandan, sampai kemungkinan terburuk harus menghadapi kemacetan.

"La, aku nitip untuk Hobi, ya? Sekalian kamu keluar. Biar aku nggak perlu keluar rumah."

"Mau nitip apa?"

"Bajunya Hobi. Nanti aku siapkan. Kamu siap-siap saja sana."

"Oke."

***

"Terima kasih. Selamat datang kembali." Jay berujar ramah. Tersenyum hangat seperti yang diajarkan Hobi di hari pertama ia bekerja kepada pelanggan yang ia layani.

Gadis yang diberikan senyuman itu nampaknya salah tingkah. Tak berkedip lantaran senyum kelewat manis Jay sampai mengenai matanya, membuat netra cokelat itu menyipit dan membentuk sebuah garis. Lantas, mengangguk-angguk tanpa mengalihkan pandang, seolah tidak mau menyia-nyiakan kesempatan memandang pemuda tampan, gadis itu menjawab, "Ya, saya bakalan sering-sering ke sini, kok. Tenang saja."

Jay terkekeh, semakin membuat gadis itu lemas seperti jeli. Lantas, Jay memanggil pelanggan setelahnya. Agar gadis itu cepat-cepat pergi dan Jay bisa segera menyelesaikan tugasnya, "Baik, silahkan, Mba. Untuk meja nomor berapa?"

Segalanya tampak normal, sungguh.

Jay bekerja dengan baik, melayani pelanggan dengan baik, memberikan senyum manis seperti yang diminta Hobi―sekalipun ini harus dipaksa dulu dan berlatih nyaris dua jam hanya untuk tersenyum, dan menghitung dengan baik jumlah uang yang ia terima sebelum dimasukkan ke dalam mesin kasir. Semuanya tampak normal, terutama di hari minggu saat kebanyakan yang datang adalah keluarga-keluarga yang menghabiskan akhir pekan untuk berlibur bersama.

Tambahan ada juga beberapa kelompok anak muda yang berkumpul untuk berlibur bersama barangkali. Seperti yang tadi Jay temui, sebenarnya mereka berkumpul bersama lelaki dan perempuan, tapi entah kenapa yang lebih sering membayar adalah para gadis dengan senyum malu-malu seraya menyelipkan rambut di belakang telinga. Sepertinya ide menempatkan Jay di meja kasir yang kata Hobi sebagai daya tarik restorannya adalah ide yang teramat baik.

Bahkan untuk pelanggan yang entah keberapa karena hari sudah beranjak siang dan matahari sudah semakin terik berada di atas puncak kepala mereka, Jay berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dalam artian, dia masih bisa tersenyum ramah saat kaki dan pinggangnya sudah luar biasa pegal. Butuh berdiri atau justru berjalan sebentar untuk melemaskan badan.

"Ini balon bagus untuk adik yang cantik," Jay tersenyum lebar. Dengan mata yang sudah tak terlihat dan berganti menjadi garis melengkung itu, Jay masih bisa melihat dengan jelas ekspresi senang dan mata yang berbinar cerah saat menerima balon berwarna merah muda itu.

"Bilang makasih sama kakaknya," pria yang diduga sebagai ayah bocah itu memerintah. Bertindak sebagai anak penurut, bocah tersenyum senyum menampilkan deretan gigi yang masih ompong membuat Jay gemas sendiri, "Terima kasih, Kak, untuk balonnya."

"Iya, sama-sama," Jay menjawab, pandangannya beralih pada ayah bocah tersebut, menunduk hormat, "terima kasih. Selamat datang kembali."

Jay pikir pelanggan yang terakhir itu bisa membuatnya istirahat. Setidaknya meluruskan kaki atau justru membunyikan setiap persendiannya agar tidak kaku. Namun ketika melihat pelanggan terakhirnya itu keluar digantikan satu sosok tak asing yang serta merta membuat mata Jay spontan membelalak serta rasa panik yang seketika menyerangnya, lelaki itu cepat-cepat memanggil satu rekan kerjanya, dengan lambaian tergesa juga raut yang sedikit cemas.

"Ada apa?"

"Dewa bisa bantu aku sebentar? Sebentar saja di meja kasir. Please," Jay memohon, dengan raut wajah kelewat serius sampai-sampai membuat lawan bicaranya sedikit ikutan panik, "aku harus ke toilet. Sudah tidak tahan. Sebentar saja." Jay melanjut, cepat-cepat mencari alasan masuk akal dengan arah mata yang menelusuri seluruh ruangan. Sedikit lega lantaran tidak bertemu sosok yang membuatnya panik setengah mati.

Barangkali mau bertemu Hobi.

Namun tetap, Jay tidak mau ambil masalah. Terutama kembali berurusan dengan gadis aneh itu lagi. Bisa pecah kepala Jay karenanya. Jadi nampaknya pergi menjauh adalah opsi yang akan Jay pilih. Setidaknya sampai tahu gadis itu benar-benar pergi dari sini.

"Lamia boleh nggak ikutan audisi jadi pacarnya Kak Jay?"

Aduh, jika diingat lagi. Jay semakin pusing. Semakin bergidik ngeri membayangkan harus kembali berurusan dengan gadis kelewat aktif dan berisik itu.

"Wa!" Jay memanggil, "bisa, nggak? Bentar doang."

"Ya sudah. Cepat sana. Jangan lama-lama." Dewa berkata setengah setuju. Jay bersorak.

Lantas kembali memindai tiap sudut restoran dengan iris cokelatnya. Memastikan tidak ada tanda-tanda Lamia di mana pun. Namun tetap, Jay tidak menurunkan tingkat kewaspadaan. Berjaga-jaga saja, bahkan ia harus mengendap-endap bersembunyi di balik banyaknya tubuh manusia serta para rekan-rekan kerjanya yang berlalu-lalang hanya untuk memastikan keberadaannya tidak ditemukan.

"Kak Jay? Sedang apa?"

Jay merutuk dalam hati. Mati-matian menahan kekesalan lantaran melihat satu pasang sepatu berwarna merah muda yang ada di depannya. Lantas, kepalanya mendongak. Melihat si objek yang dihindari berdiri dengan tatapan bingung seolah menyimpan banyak pertanyaan dalam sana. Terutama saat menemukan Jay dalam kondisi mengendap-endap sudah macam hendak mencuri persediaan pangan di restoran Hobi.

Jay cepat-cepat menegakkan badannya. Berdeham mengurangi rasa canggung dan menyembunyikan malu, "Nggak ada. Lagi peregangan aja. Memang nggak boleh?"

"Eh?" Lamia menatap bingung, "Ada, ya peregangan begitu? La baru tahu, lho. Bukan mau menghindari La, kan?" tuduhnya dengan tatapan menyelidik.

"Hah? Aku? Haha," Jay mengudarakan tawa garingnya itu, lantas menatap Lamia tak percaya, "ngapain? Memangnya kamu siapa harus aku hindari?" Jay tidak mau kedoknya terbuka. Tidak setelah dia yang seringkali mendadak salah tingkah lantaran ucapan frontal Lamia kemarin-kemarin.

Namun sepertinya Jay harus kembali menarik kata-katanya. Lantaran seulas senyum lebar terbit di wajah Lamia, "Baguslah kalau Kakak nggak mau menghindar. Jadi, La bisa sering-sering ke sini."

Mati sudah aku.

"Eh? Mau ngapain?" Jay memekik tatkala tangan Lamia mendadak merogoh saku seragam kerjanya. Mengambil ponsel di dalam sana dan serta merta mengangkatnya di udara.

Jay sudah merasa di lecehkan. Terutama ketika tangan Lamia memasuki saku dan otomatis mengenai pahanya. Lelaki itu memandang geram dan wajah yang mulai memerah. Sedang Lamia tampak tidak berpikir panjang dan memedulikan Jay.

"Ck, ck, ck. Kak Jay besok-besok dipakaikan kata sandi. Biar nggak ada orang nakal yang maksa minta nomor hp Kakak begini, pengecualian untuk Lamia, ya. Lamia bukan cewek nakal. Serius." Gadis itu berucap dengan raut wajah kelewat serius, seraya mengetikkan sesuatu di ponsel milik Jay. Pun berusaha menghindar setiap kali Jay mencoba merebut kembali ponsel miliknya.

"Sudah jangan nakal begitu. Lagian jarang-jarang Lamia bisa kasih nomor sukarela begini."

"Nggak mau juga, La. Sekalipun kamu ngasihnya sukarela atau terpaksa. Nggak peduli." Jay berujar, merampas kembali ponselnya setelah Lamia berhasil memberikan dengan raut wajah memuaskan yang semakin membuat Jay merinding.

"Jangan terlalu kaku begitu, Kak. Nanti gantengnya berkurang, lho," ledek Lamia, menunjuk Jay dengan telunjuknya yang memutar.

Tidak mengindahkan ucapan Lamia, Jay lantas berbalik. Hendak kembali menuju tempatnya bekerja, tidak peduli Lamia yang mengekori di belakang.

"Itu nomornya Lamia, lho. Jangan di hapus."

"Awas saja di hapus. Nanti La teror Kak Jay."

"Jangan diganti juga nama kontaknya. Pokoknya dibiarin. Kalau perlu diaminin saja biar jadi kenyataan."

"Nanti kalau Lamia telfon, harus angkat. Jangan cuekin Lamia."

Jay menghentikan langkah tiba-tiba. Sehingga tubuhnya sedikit terjungkang kala merasakan tubuh kecil menubruk punggungnya dari belakang. Lamia juga tidak tahu dengan Jay yang berhenti tiba-tiba begitu. Mengaduh kecil tatkala hidung dan dahinya menabrak punggung milik Jay itu. Sakit sekali, sampai-sampai ia harus mengelus ujung hidungnya.

Namun belum sempat protes, Lamia dikejutkan tatkala Jay yang tiba-tiba saja berbalik dan menatapnya garang. Mata yang melotot sudah hampir keluar dari tempatnya bernaung dengan bibir mengatup rapat. Lamia jadi susah payah menelan ludahnya sendiri.

"Dengar, ya. Tolong bisa satu kali saja tidak usah berisik. Besok-besok nggak usah datang ke sini kalau mau ngerusuh. Lagipula―"

"Kak Hobi!"

Jay memejam. Menahan kekesalan dengan tangan terkepal. Sabar, sabar. Ucapannya bahkan berhenti sebelum ia sempat menyelesaikan. Juga Lamia yang langsung berlari meninggalkannya. Rasa-rasanya Jay sudah tidak punya lagi harga diri di depan gadis itu.

"La? Kenapa belum pulang? Mau makan dulu?"

Jay berbalik. Melihat Hobi yang tengah menatap heran mereka berdua secara bergantian. Hendak melakukan protes dan menjelaskan, Jay harus kembali menelan kata-katanya tatkala telunjuk Lamia menunjuknya dan mengadu secara sepihak.

"Karyawan Kakak, tuh. Masa pelanggan begini mau dimarahi. Dipelototi lagi. Pecat saja biar dia tahu rasa."

Apa-apaan?

"Bi! Nggak gini juga. Tadi, tuh―"

"La, jangan main pecat begitu. Kasihan Jay nanti jadi gelandangan."

Sialan kamu, Hobi.

Lamia justru terkikik geli, lantas Hobi melanjut, "Ya sudah. Kamu mau makan atau langsung pulang? Nanti biar Jay aku yang marahi."

"Nggak usah. Kak Ryu sudah masak di rumah. Nanti dia marah-marah kalau aku jajan di luar."

"Kan jajannya di restoran pacar sendiri. Hitung-hitung nambah modal untuk nikah."

"Kak Hobi enak nambah modal. La yang rugi habis uang jajan. Ya sudah. Mau langsung pulang dulu," Hobi mengangguk, pandangan Lamia lantas kembali teralih pada Jay yang masih berdiri di depan mereka dengan raut wajah belum menerima karena kalah begitu saja, "La pulang dulu, ya, Kak Jay. Jangan cemberut begitu. Nanti malam La telfon, kok. Dadaaah!"

Jay tidak menjawab. Menatap datar sampai gadis itu keluar dari restoran mereka dengan raut wajah kelewat ceria sudah seperti diberikan satu ember besar es krim. Namun sampai punggung kecil itu hilang dari pandangannya, Jay lantas menyadari satu hal.

Hidupnya yang penuh ketenangan kini akan terusik, dan kemungkinan besar dia akan sulit untuk meloloskan diri dari jeratan Lamia. Menyebalkan sekali.

Tepukan dibahu Jay terasa, Jay menoleh dan melihat Hobi di sampingnya, "Sudah cepat kembali ke tempatmu. Jangan terlalu galak. Lamia itu perempuan baik, kok," ucapnya dengan senyum penuh arti sebelum meninggalkan Jay.

Jay merinding. Senyuman Hobi itu mendadak seram sekali. Alih-alih terlihat manis dengan dua lesung pipi kecil di dekat bibir, itu justru terlihat macam senyum setan yang telah menang menggoda manusia.

Baiklah. Jay tidak akan kembali merasa tenang mulai detik ini. Mendadak penasaran dengan nama kontak yang dituliskan Lamia, lantas lelaki itu mengeceknya.

Judith Lamia Laurana

Sial. Jadi ternyata Jay daritadi ditipu? Jay pikir Lamia sudah menuliskan yang aneh-aneh di sana. Maka menghela napas panjang lelaki itu. Tidak habis pikir karena kembali menjadi bahan lelucon Lamia.

*************************************

To Be Continue

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top