01. Serendipity
ser·en·dip·i·ty
/ˌserənˈdipədē/
(n.) the occurrence and development of events by chance in a happy or beneficial way.
.
.
Ini sudah botol kopi kedua yang dibeli Lamia dari kantin. Gadis itu benar-benar mati-matian menahan kantuk yang sejak tadi menghampiri. Sesekali memijat pelipis kala rasa pusing mendadak menyerang mengingat hanya tertidur selama tiga jam semalam. Badannya bersandar di tembok dan bokongnya juga menempel di lantai dingin koridor. Menunggu selama nyaris tiga jam tanpa berani beranjak pergi.
"Ya, Sarah. Lagi di depan ruang dosen. Nunggu Pak Ketut sampai sekarang nggak dateng-dateng. Dihubungi juga nggak direspon. Nggak, kok, sama teman-teman bimbingan yang lain juga. Jadi, aku nggak sendirian."
Lamia menutup mulutnya. Tidak rela saja dia jika wajah cantiknya dilihat sedang menguap lebar-lebar. Bisa turun kadar kecantikannya itu. Baiklah Lamia memang mungkin tidak secantik itu, tapi setidaknya bagi dirinya sendiri wajahnya masih tergolong lumayan. Selagi telinganya mendengar baik-baik ucapan Sarah di ujung telepon sana. Tengah membahas terkait lancar jaya bimbingannya dibandingkan dengan Lamia.
"Oh, iya. Nanti Kak Agung bakalan datang, La. Ingat jaket yang ku pinjam waktu pulang malam dari rumahmu? Aku minta Kak Agung antar ke kamu. Nggak sempat keluar gara-gara motor sama mobil dibawa semua sama orang rumah."
Astaga, ini tidak baik.
Sudah berapa lama, ya? Mungkin sudah enam bulan kurang lebih, Lamia benar-benar mengasingkan diri dari seseorang bernama Agung itu. Mencoba sekeras mungkin tidak menampakkan batang hidungnya di depan presensi Agung. Bukan karena lelaki itu jahat atau semacamnya, hanya saja Agung terlalu baik.
Lamia bisa jamin, bahwa hatinya akan kembali bermasalah jika melihat senyum Agung yang manis terutama dengan dua lesung pipit yang dimiliki pria itu. Sekalipun lambat laun Lamia sudah memantapkan diri untuk tidak lagi terlibat apapun dengan lelaki bernama Agung, terutama membawa perasaannya ikut serta, Lamia masihlah perempuan normal. Bisa saja dia tiba-tiba tidak menjaga hatinya lebih ketat sehingga yang seharusnya tidak kembali dirasakan, malah dirasakannya kembali.
Terutama jika kembali ke masa lalu, tepat enam bulan yang lalu, Lamia sudah seperti orang kehilangan arah. Patah hati nampaknya membawa dampak besar. Gadis itu hanya duduk di luar, menghadap jendela, dengan playlist musik-musik galau mengalun memenuhi kamar. Sudah macam gadis miris yang menjadi model dari video klip lagu-lagu galau yang biasa diputar Mama pada sambungan youtube di televisi.
Tidak nafsu makan membuat berat badannya turun banyak―sekalipun itu adalah hal yang baik karena dia tidak perlu membuang tenaga untuk membakar lemak―tetap saja Lamia tidak bisa menghindari ocehan Mama serta gedoran keras di pintu kamarnya agar dia keluar untuk setidaknya menyuapkan satu sendok nasi. Tidak mau anak kesayangannya sakit, katanya.
"Lamia? Halo? Masih nyambung kan, nih, teleponnya?"
Lamia mengerjap dan menyadarkan diri dari lamunannya terkait Agung, lantas ia cepat-cepat menjawab, "Iya, Sar. Masih, kok. Kapan Kak Agung datang?"
"Udah dari setengah jam yang lalu, sih. Mungkin sebentar lagi sampai. Semangat, ya bimbingannya."
Lamia tertawa kecil, "Iya. Semangat juga revisinya. Nanti aku minta saran dikit tentang―eh, itu Kak Agung udah datang." Lamia memotong ucapannya lantaran melihat presensi Agung yang muncul dari tangga. Gadis itu melambai tangan tinggi-tinggi, agar Agung bisa melihatnya di antara kerumunan mahasiswa semester tua yang duduk di sepanjang koridor menunggu giliran bimbingan.
"Oke, ku tutup, ya. Nanti lanjut lagi," ucap Lamia. Setelah mendengar jawaban Sarah, sambungan telepon pun diputus bersamaan dengan Agung yang sudah ada di hadapannya.
"Makasih, Kak. Repot-repot bawain jaket segala. Sebenarnya kapan-kapan dikembaliin juga nggak masalah." Lamia berkata, membalas senyum ramah Agung dan menerima bungkusan berisi jaket miliknya.
"Nggak apa-apa. Santai aja, lagian aku juga tadi dari rumah Sarah. Ada barangku yang ketinggalan di sana."
Lamia mengangguk, tetap mempertahankan senyum, mengabaikan sedikit rasa nyeri dalam dada, "Duh, makin manis aja tiap hari ketemuan," ledeknya.
Agung tertawa kecil, menggaruk tengkuknya, terlihat malu, "Ini juga bisa bareng gara-gara kamu ikut bantuin kami dulu. Kalau nggak, mungkin Sarah udah diambil orang."
"Nggak juga, kok," Lamia berkata, "emang Sarah juga dulu awalnya kesemsem sama Kak Agung."
La juga.
Agung terkekeh, "Iya, pokoknya makasih, ya dulu. Sudah bantu kita bisa sampai saat ini bareng. Nggak tahu mau bilang gimana. Pokoknya makasih."
"Eh, Pak Ketut sudah datang," Lamia mengalihkan topik, bersyukur karena dosen yang ditunggunya sudah terlihat dari kejauhan, "La pergi dulu bimbingan, ya, Kak. Makasih sudah bawain jaketnya."
Melihat arah tatapan Lamia. Agung tampaknya langsung mengerti. Lantas berpamitan dengan tangan yang melambai sebelum meninggalkan Lamia yang pada akhirnya bergabung bersama teman-teman satu bimbingannya. Membuat barisan dan langsung maju sesuai urutan untuk bimbingan.
Mungkin sekitar beberapa detik setelah itu, Lamia berbalik, melihat Agung yang sudah melangkah menjauhinya dan hilang kala menuruni tangga. Baiklah, katakan saja Lamia sudah berhasil menjalani sesi move on setelah enam bulan ini dan tidak berurusan dengan pria itu ataupun Sarah. Pokoknya apapun yang berhubungan dengan hubungan mereka. Namun jika kembali diingatkan masa lalu yang menyedihkan itu, siapa yang tidak kembali sakit, sih? Bukankah orang-orang tetap bilang bahwa kesehatan mental adalah yang harus diperhatikan? Jadi, Lamia hanya menikuti saja pedoman buku motivasi terkait patah hati yang dibelinya lima bulan lalu. Berlebihan memang, tapi setidaknya buku itu cukup berguna untuk menata kembali hatinya yang sedikit retak.
"Lamia? Sekarang giliranmu."
***
"Halo! La tahu kalo orang-orang bucin itu kadang nggak ingat tempat. Cuman mau ingatin saja, nih, ya. Di belakang kalian masih ada manusia. Nyata dan bukan gaib. Jadi, tolong lihat-lihat suasana."
Tautan dua tangan itu lantas dilepaskan bersamaan dengan komentar pedas Lamia yang berasal dari arah bangku belakang. Gadis itu memutar bola mata jengah, terutama setelah mendengar suara kekehan tawa dari dua para muda-mudi budak cinta yang duduk di hadapannya. Tampak tidak peduli dengan ocehan dan kekesalannya barusan.
"Lagian, kenapa Kak Ryu harus datang bareng Kak Hobi, sih? Kenapa juga Kak Hobi terus-terusan lengket sama Kak Ryu? Nggak bisa, ya sehari saja pisah gitu. Bikin repot saja," Lamia mencebik. Pandangannya tertuju pada luar mobil, di mana banyak kendaraan dengan berbagai macam jumlah roda terpaksa harus berbaris rapi karena macet yang tengah melanda.
Suara tawa terdengar dari arah depannya, "Kakak lagi malas saja bawa mobil, La. Lagian juga kamu sudah sering ikut kami berdua. Kenapa tiba-tiba jadi sensitif gini? Lagi PMS, ya?"
"Justru itu," Lamia menyela, "justru karena terus-terusan lihat Kak Ryu sama Kak Hobi, jadi La makin bosan. Apalagi Kak Hobi sering nggak ingat tempat. La masih di bawah umur dan belum pantas lihat adegan-adegan sok romantis kalian. Ibarat tontonan sinetron, nih, ya. Mungkin label 'Bimbingan orang tua' harus ada kalau La jalan bareng kalian," lanjutnya kesal.
Suara tawa Hobi mendadak meledak memenuhi mobil. Lamia sendiri tidak habis pikir di mana letak lucunya? Lagipula dia sedang marah-marah dan menumpahkan kekesalannya di sini. Namun pria itu justru bertingkah seolah ucapan Lamia adalah hal terlucu yang pernah didengar olehnya. Tergelak dengan heboh sampai-sampai bertepuk tangan berkali-kali, sedang Ryu di sebelahnya seolah tertular tawa milik pacarnya itu. Sekalipun masih tetap terlihat lebih baik daripada dengan gelak tawa heboh dan berlebihan Hobi yang memalukan sekali.
"Makanya, La. Cepat-cepat cari jodoh. Jangan cuman jadi mak comblang. Miris sendiri kan nasibmu sekarang."
"Kak Hobi nggak usah sok-sok menggurui, deh. Dulu siapa yang sampai mau nangis karena ditolak Kak Ryu berkali-kali?"
"HEI!" Hobi berseru heboh, spontan saja membalikkan badan dan menatap tajam Lamia yang duduk di kursi belakang, "Aku nggak pernah nangis-nangis gitu, ya. Enak saja cowok tangguh sepertiku dibilang nangis." Hobi meyakinkan dengan matanya yang nyaris mau meluncur jatuh.
"La jadi penasaran, deh," ucap Lamia tak terlalu mengindahkan ucapan heboh Hobi barusan, badannya tercondong maju dengan kedua tangan yang memegang dua kursi depan, "sebenarnya nama panjangnya Kak Hobi itu siapa, sih? Kenapa sampai sekarang nggak mau kasih tahu?"
Hobi berdecak dengan helaan napasnya, "Kan sudah kubilang, nama panjangku itu―"
"Bilang lagi nama panjangnya kakak itu Jung Hoseok, aku sumpal nih mulutnya pakai sepatuku. Enak saja Hoseok yang ganteng begitu disamakan sama Kak Hobi."
"Hei! Siapa suruh dia ikut-ikut dipanggil Hobi begitu? Ikut-ikut saja."
"Hanya mengingatkan," Lamia memerbaiki posisi duduknya, supaya lebih mudah berdebat dengan Hobi yang sudah pasti akan menghabiskan energi, "kakak itu lahir satu tahun setelah Jung Hoseok lahir. Kayak gitu gimana bisa Hoseok yang ngikutin namanya kakak?" Lamia bersahut tidak setuju.
"Tapi dia bikin nama 'Hobi' itu kan plesetan dari nama 'J-Hope'. Nah dia pakai nama panggung itu kapan? Pas debut, kan? Terus aku kapan? Udah dari lahir. Disiapkan bahkan jauh-jauh sebelum aku brojol dari rahim ibu."
"Pokoknya La nggak terima kalau Kak Hobi disama-samakan sama Jung Hoseok. Titik!"
Mungkin memang yang paling enak dilakukan ketika terjebak macet begini adalah mencari hal-hal lain yang cukup menyenangkan agar tidak mati kebosanan. Seperti misalnya menyediakan banyak stok makanan untuk camilan, atau mengajak orang yang di dalam mobil untuk mengobrol. Hanya saja, dua hal itu nyatanya tidak pernah didapatkan Ryu setiap kali membawa serta Lamia ikut bersamanya dengan Hobi. Terutama jika sudah membahas hal-hal terkait nama panjang Hobi yang secara tidak sengaja memiliki kesamaan dengan salah satu nama personil boy group asal Korea yang tengah naik daun bernama BTS.
Seperti halnya Lamia yang sudah biasa menghadapi kemesraan-tidak-tahu-tempat yang kerap diperlihatkan sepasang kekasih itu, Ryu juga sudah biasa menghadapi perkelahian-tidak-tahu-tempat yang selalu terjadi antara keduanya. Membuat Ryu menyerah setiap kali melihat keduanya berdebat. Biar saja mereka saling memamerkan urat leher sampai lelah sendiri. Nanti kalau sudah lelah juga Ryu tinggal memberikan stok camilan yang selalu dibawanya dalam tas sebagai penambah energi untuk mereka berdua.
"La, ikut ke studio dulu, ya. Nanti kakak antar pulang." Ryu baru bisa berbicara setelah melihat Lamia tengah bersandar di kursi belakang dengan alis bertautan dan Hobi yang membuang muka melihat luar mobil.
"Hm," sahutnya singkat. Ryu terkekeh geli melihat keduanya. Menjawab tanpa berpikir panjang mengingat sudah teramat biasa mendatangi studio tari milik keluarga Ryu.
***
Sempat berpikir bahwa kedatangannya ke studio tari milik keluarga Ryu itu akan membuat sosok Lamia dilanda bosan setengah mati karena sudah seperti manekin yang diam saja saat orang-orang di dalam sana meliuk-liukan badan seringin tempo dari iringan musik yang terdengar. Tidak, jangan meminta Lamia juga ikut menari. Terakhir kali memperlihatkan tariannya di depan Hobi dan Ryu―Lamia masih memiliki kewarasan untuk tidak memperlihatkan tariannya di depan orang lain―yang pada saat itu melakukan cover dance dari salah satu lagu milik Blackpink, Hobi langsung menghentikan tariannya di tengah jalan. Berkata pada Lamia untuk tidak kembali menari karena dia terlihat seperti nenek-nenek tua yang tidak pernah berolahraga dan tiba-tiba saja nekat olahraga tanpa peregangan, kaku sekali.
Pun saat itu, Hobi sudah berdiri dengan tangan berkacak pinggang. Memejamkan mata dan memperlihatkan wajah sok kecewa miliknya sembari memberi wejangan yang membuat Lamia menahan diri untuk tidak langsung melemparkan sepatu mahal miliknya ke wajah Hobi.
"La, sudah. Jangan terlalu menyiksa diri untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas kamu nggak akan bisa. Jangan semakin memalukan dirimu sendiri. Sudah, kamu kalau nge-fans sama idol-idol itu, teriak-teriak saja kayak biasa kalau kamu lagi nonton video mereka."
Jika saja Hobi bukanlah sahabat sekaligus pacar dari sepupunya, Ryu, mungkin Lamia akan langsung menyumpal mulut bebek pria itu dengan kaus kaki yang belum dia cuci selama satu minggu. Maaf, jangan salah sangka, Lamia hanya tidak sengaja melempar kaus kakinya ke bawah ranjang dan baru ketahuan satu minggu kemudian.
Baiklah, jadi sudah dipastikan bahwa setiap kedatangan Lamia ke studio adalah untuk menemani Ryu atau mungkin menemuinya. Serta beberapa urusan yang mungkin harus dilaksanakan. Tidak lebih dan tidak kurang. Setelah itu, biasa Lamia akan memilih pergi dan tidak mau tinggal terlalu lama. Mungkin sesekali akan menetap jika para penari itu tengah syuting untuk video baru yang akan mereka unggah ke youtube.
Maka, sudah pasti ketika tahu tidak ada urusan lain saat mereka sampai di sana. Lamia bersikeras menunggu di dalam mobil. Tidak mau ikut masuk karena kata Ryu mereka tidak akan lama. Sedang Hobi―terkutuklah pria itu dengan segala sifat kikir dan pelit yang dia miliki―menarik lengan Lamia kuat-kuat agar segera keluar dari mobilnya. Dia tidak mau kalau aki mobilnya itu habis lantaran Lamia yang juga tidak mau mematikan pendingin di dalam mobil. Enak saja perempuan cantik macam Lamia harus panas-panasan di dalam mobil.
Lamia lantas menurut saja ketika pergelangan tangannya itu diseret paksa Hobi. Memastikan bahwa dia tidak kabur dan kembali ke mobil. Konyol. Lagipula kunci mobil juga lelaki itu yang pegang, tidak mungkin Lamia kabur dan kembali ke sana. Sendirian di basement, bukan opsi yang tepat untuk di pilih. Ryu yang mengikuti langkah mereka dari belakang pun tampaknya oke-oke saja. Padahal kalau saja Lamia lihat Ryu cemburu, maka gadis itu akan menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan pegangan Hobi di pergelangan tangannya.
"Jay sudah datang, Yu?"
Ryu memainkan kunci yang berhasil dikeluarkan dari tas selempangnya, "Dia bilang sudah dari tadi. Katanya menunggu depan ruangan Kak Jean."
Hobi tertawa kecil, nampak antusias dengan genggaman tangan yang belum terlepas dari lengan Lamia, "Akhirnya dia mau datang ke sini," gumamnya.
Lamia memang dikenal dengan orang yang memiliki kadar rasa penasaran yang tinggi, sehingga ketika mendengar satu nama yang sepertinya tidak asing, gadis itu cepat-cepat ingin memuaskan rasa ingin tahunya, " Jay siapa? Kayak pernah dengar."
"Sahabat kami. Sudah sejak SMA. Ya, kan, Bi?" Ryu berjengit, turut merangkul satu tangan Hobi yang bebas.
Hobi mengangguk cepat, "Iya, dia jarang ke sini. Kalau ke sini pun bentar. Makanya tidak pernah ketemu sama La."
"Ganteng, tidak?"
"Ganteng. Ganteng sekali."
Mata Lamia berbinar, "Kalau gitu, boleh La dekati?"
"Tidak boleh," balas Hobi cepat.
"Kenapa? Khawatir nanti La jadi sedih karena patah hati, ya?" Mata Lamia mengerjap dengan senyum teramat lebar sampai membentuk garis tipis di bibirnya.
"Tidak," Hobi membalas dengan senyum tak kalah lebar yang dibuat-buat, "lebih khawatir kepada Jay yang kasihan dapatin perempuan sepertimu. Lagipula, kamu bukan tipenya. Tambahan jangan lagi senyum-senyum begitu. Senyummu sudah seperti orang menahan pup."
"Kak Hobi! Jijik!" Lamia bergidik cepat-cepat. Menyubit pinggang Hobi tanpa segan membuat lelaki itu lantas teriak heboh tatkala merasakan sesuatu yang kecil, terjepit, dengan gerakan memutar itu terasa di pinggangnya.
"Pakai hina senyum La segala. Memangnya senyuman Kak Hobi sebagus apa, sih?"
"Bagus sampai buat Ryu klepek-klepek saking cintanya. Iya, nggak, Yang?"
Ryu geleng-geleng kepala saja melihat keduanya. Belum sempat menanggapi. Langkah gadis itu terhenti, yang tentunya membuat dua orang di sebelahnya juga ikut berhenti. Mengikuti arah pandang Ryu, melihat seseorang yang tidak jauh dari mereka tengah duduk di depan ruangan dengan kepala yang tertunduk memainkan ponsel.
"Jay!"
Tepat setelah satu kata itu diserukan. Lamia melihat lelaki yang duduk tidak jauh di hadapannya itu perlahan mengangkat kepalanya.
Sudah macam adegan slow motion, lelaki itu menurunkan tudung jaket yang ia kenakan. Maka tampaklah dengan jelas wajah putih pucat dan mulus, serta rambut hitam nan lurus itu. Memandang ketiganya dengan tatapan datar dan raut wajah sedingin marmer di bawah mereka. Satu tangannya terangkat seraya berujar, "Hai."
Lamia merasakan genggaman tangan Hobi terlepas darinya. Pun pria itu yang melangkah dengan senyum lebar dan memberikan pelukan singkat pada lelaki yang disebut-sebut bernama Jay tadi. Kakak sepupunya, Ryu, juga ikut melakukan hal yang serupa. Melempar tawa dan sedikit berbasa-basi membangun topik pembicaraan. Sementara Lamia, sudah macam orang bodoh dengan kaki yang terasa dipaku sampai dia tidak bisa melangkah.
Sial, ini sih bukan ganteng namanya. Si Jay ini benar manusia? Bukan titisan dewa?
Mata tajam lelaki itu sedikit menyipit karena tawa ketika Hobi melemparkan lelucon ke sela-sela percakapan mereka. Tubuh tinggi dengan badan proporsional itu dibalut hoodie berwarna hitam dengan ripped jeans ketat berwarna senada. Sangat bertolak belakang dengan kulit putih dan mulus miliknya. Selain itu, wajah adalah hal yang paling mendukung dimiliki oleh pemuda itu. Kulit putih mulus tanpa cela membuat Lamia ingin cepat-cepat bertanya merek kosmetik apa yang dia gunakan sampai punya kulit sebagus itu dan wajah yang setampan itu.
"La? Kenapa diam saja? Sini." Ryu tampaknya sadar ada satu manusia yang tertinggal. Satu tangannya melambai, meminta Lamia turut bergabung bersama mereka.
Saat itu pula, pemuda yang dia tahu bernama Jay turut melihatnya. Tak menghilangkan tatapan tajam dengan ekspresi datar membuat Lamia mendadak jadi salah tingkah dan gelagapan seperti orang bodoh, "Eh? I-iya."
"Kenalkan. Ini sahabat kakak. Namanya Jay, yang kadang kakak certain ke kamu itu. Karyawan di restorannya Hobi. Jay, kenalkan ini adik sepupuku."
Oh, pantas saja namanya tidak asing.
Lamia mencoba tidak melakukan hal bodoh ataupun konyol. Terutama di depan pemuda tampan yang sudah seperti titisan dewa-dewi Yunani. Bukannya orang-orang harus membentuk kesan yang baik, ya di pertemuan pertama? Maka, Lamia hanya mengikuti tradisi turun temurun dari para nenek moyangnya itu.
Jadi, memasang senyum yang paling manis miliknya―berharap saja tidak seburuk seperti yang dikatakan Hobi―dan tangan yang terulur, Lamia pun berucap, "Nama La, Lamia. Kakak bisa panggil La dengan Lamia atau panggil La dengan La juga nggak apa-apa." Jangan lupakan senyum lebar memperlihatkan deretan gigi dengan nada melengking kelewat ceria.
"Hah? Gimana?"
Mati sudah kamu Lamia. Kubur saja dirimu hidup-hidup. Memalukan sekali.
Mendadak Lamia gugup sendiri. Tangannya bahkan masih terulur dan belum juga dibalas jabatannya. Sialan. Belum lagi di samping, Hobi terlihat sekali menahan tawa dengan kepalan tangan yang tersimpan depan bibir. Kendati demikian, gadis itu masih memertahankan ekspresi kelewat ramah yang tersemat di wajahnya.
"Maksudnya, nama saya Lamia, Kak. Boleh dipanggil La atau Lamia. Terserah Kakak saja."
"Oh," setelah tampaknya mengerti dengan jelas, Jay pada akhirnya menerima uluran tangan Lamia. Menjabat singkat sembari menjawab, "Jay."
Sesaat, Lamia mencoba menormalkan detakan jantungnya yang tidak berirama dengan semestinya kala Jay tersenyum tipis dengan mata yang sedikit menyipit. Oke, berlebihan memang. Namun, jika kalian dihadapkan di depan pemuda tampan dengan kulit yang bahkan lebih bagus dari milik kalian ditambah berbadan bagus, terutama saat melihat tangan Jay yang berurat sudah pasti lelaki itu gemar berolahraga, kalian juga pasti akan merasakan hal yang sama seperti Lamia. Mencoba berdiri tegak di saat kaki sudah terasa seperti jeli.
"Wah ternyata Kak Hobi benar juga." Usai tautan tangan mereka terlepas, Lamia berucap. Sembari menunggu Ryu memutar kunci di depan ruang kerja milik kakaknya. Mengambil berkas-berkas titipan yang menjadi alasan kedatangan mereka ke studio.
Jay menatap bingung. Bergantian melihat Hobi yang ada di dekatnya dan Lamia. Hobi sendiri sudah macam kakek-kakek tua yang pikun akan ucapannya sendiri, memilih mengedikkan bahu tidak tahu, "Benar? Memangnya Hobi bilang apa?"
Seharusnya keputusan mengikutsertakan Lamia ke studio dengan menariknya secara paksa tidak dilakukan. Seharusnya dibiarkan saja gadis itu di dalam mobil. Hobi bisa kan mengunci mobil dengan mesin yang dimatikan. Tidak perlu takut akinya habis, pun tidak perlu merasa malu saat gadis itu memalukan dirinya sendiri.
Karena tepat setelah Jay bertanya dengan raut bingungnya. Lamia yang memiliki tingkat kepercayaan setinggi langit itu tersenyum. Dengan nada yang yakin tanpa keraguan, lantas menjawab, "Katanya Kak Jay itu ganteng. Ganteeeng sekali, tapi sayang tidak boleh dimiliki oleh La."
Jay tertawa canggung. Sekalipun sedikit terkejut melihat sikap spontan dari Lamia, tapi mengingat bahwa Hobi juga mempunyai sifat yang tidak beda jauh, lelaki itu mencoba maklum, "Oh, makasih kalau gitu."
Sedikit canggung sebenarnya untuk ukuran pertemuan pertama. Namun, siapa peduli? Lamia merasa bahwa dia sudah seperti pelayan yang tengah menunggu ikan di waktu yang lama lalu tiba-tiba mendapatkan ikan berukuran besar dan berdaging tebal.
Jadi, saat melihat satu pemuda tampan ditambah jadi sahabat dari Ryu dan Hobi, Lamia pikir bahwa tidak ada salahnya jika dia mulai melancarkan aksi. Terutama setelah sebelumnya sudah menjadi orang yang sangat menyedihkan hanya karena patah hati merelakan orang yang dia suka untuk sahabatnya sendiri.
"Kak Jay?"
"Ya?"
"Bareng La saja. Dua orang itu kalau sudah dekat-dekat, suka lupa tempat. Mending jalan bareng La. Jadi kakak nggak perlu ngerasa kesepian. La tahu banget lho rasanya jadi nyamuk."
Sedikit terkejut lantaran ajakan tiba-tiba, karena tidak mau melelahkan diri berpikir lebih lama, Jay pada akhirnya menjawab tanpa pikir panjang, "Oke, deh. Ya udah. Ayo barengan."
Gotcha! Terimakasih sudah mampir ke tali pancing milik, La, Kak Jay.
************************************
[TBC]
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top