05
sinar matahari yang terang membangunkan gadis yang berada di atas kasur. ia duduk, wajahnya terlihat bingung.
dimana? kian?
alena memijat kepalanya yang terasa nyeri. menarik selimut yang menutupi tubuhnya lalu melihat ke sekeliling.
alena sadar dengan perbedaan lingkungan disekitarnya. mulai dari ruangan besar yang asing dengan aroma yang terasa familiar dihidungnya, jaket dan sandal yang sudah tertanggal entah dimana menyisakan kaos putih dan celana trainingnya, rambutnya yang panjang bergelung menjadi terurai, matanya yang entah kenapa terasa sembab, lututnya yang entah kapan dan bagaimana, sudah terbalut dengan plester perban. dan yang terpenting, adiknya yang hilang dari dekapannya.
alena berusaha mengingat apa yang terjadi padanya semalam.
orang itu, orang di motor itu, siapa? siapa dia? apa yang terjadi?
sekeras apapun ia berpikir, ia tetap tidak menemukan jawaban siapa orang yang mungkin saja membawanya kemari.
alena beranjak dari kasur. melangkah keluar dari kamar yang entah siapa pemiliknya.
rumah ini besar sekali...
alena mendengar suara gaduh dari lantai bawah. karena penasaran, alena perlahan turun menuju ke sumber suara.
dari dapur
alena mengintip ke arah dapur dari balik dinding. ia mendapati seorang anak kecil yang duduk manis di salah satu kursi meja makan, menyaksikan seorang laki laki yang berusaha memasak dengan susah payah.
alena terkejut. ia jelas mengenali dua sosok itu meskipun hanya bagian punggung yang terlihat.
itu kian dan yang bawa gue kesini itu... aiden. sial, kenapa gue nggak inget apa apa
dengan langkah pasti, alena berjalan menuju laki laki yang kepayahan berusaha memasak. ia mengambil alih spatula yang ada ditangan laki laki itu lalu mematikan kompor yang bisa saja meledak karena ulah sembarangan aiden.
"alen, sejak kapan lo-"
"minggir". alena mengusir laki laki itu, memotong kalimatnya.
"kakakkk". mengetahui kakaknya datang, kian segera turun dari kursi dengan tergesa dan memeluk tubuh alena, membuat alena berjongkok menghadap anak itu.
"kakak, tadi kian laper terus kak aiden mau masakin telur ceplok buat kian". celoteh anak kecil itu dengan riang.
alena melirik ke arah aiden yang hanya cengengesan.
masak telur apanya? gosong gini
"kakak aja ya yang masakin kian?". alena tersenyum dengan lembut, mengelus rambut adiknya. entah kenapa hatinya merasa sesak melihat celoteh riang itu.
maafin kakak kian, maafin kakak...
anak kecil itu mengangguk anggukan kepalanya dengan gemas.
"alen, lo bisa-"
"ada telur lain kan?"
"oh jelas ada, ada ikan juga, ada daging, aya-".
"mana telurnya?"
"oh, iya iya, gue ambilin". aiden terburu buru membuka pintu kulkas lalu membawa satu wadah telur dari kulkas ke meja. entah kenapa alena merasa aneh dengan sikap aiden yang sangat berbeda dengan terakhir kali mereka bertemu.
biasanya sosok aiden dihadapannya ini akan bersikap angkuh, mengintimidasi dan berbuat sesukanya. saat ini alena merasa aiden menjadi lemah dan penurut, meskipun tetap saja banyak omongnya.
alena melirik ke arah aiden yang cengengesan, memikirkan apa perlu ia memasakkan telur untuk aiden itu juga.
bodoamat, nggak peduli
alena mengambil 3 buah telur. memecahkan telur itu lalu mengocoknya setelah menambahkan beberapa bahan kedalamnya. alena memasaknya dengan teflon yang baru.
aiden hanya duduk disamping kian, bergurau bersama, tertawa riang seolah tidak terjadi apapun semalam.
alena menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. memasak dengan rambut terurai sangat merepotkan.
aiden yang melihat itu langsung sigap mencarikan kuncir rambut, memberikannya ke alena.
"kuncir rambut lo, gue liat liat lo kesusahan"
alena diam tidak menanggapi.
"atau mau gue yang kuncirin lo?". aiden sudah bersiap meraih rambut alena yang sepunggung. tangannya langsung disingkirkan dengan gerakan cepat oleh sang pemilik rambut.
alena mengambil kuncir yang ada ditangan aiden, menguncir sendiri rambutnya. aiden yang melihat itu hanya berdecak pelan lalu duduk kembali bersama kian.
setelah telur dadar yang alena buat matang, ia letakkan di piring lalu ia sajikan keatas meja makan. alena mengambil peralatan makan untuk kian beserta nasinya-entah siapa yang membuatnya.
"gue?"
alena mengernyit.
"gue kira lo bikinin gue juga"
alena menghembuskan napasnya pelan. "ambil aja telurnya, nasinya ambil sendiri, gausah manja"
aiden yang mendengar itu hanya tertawa pelan lantas segera mengambil peralatan makanan untuknya sendiri.
"lo nggak makan? oiya lo alergi telur ya"
masih inget aja
alena hanya duduk diam memandangi kian yang duduk disampingnya, melahap nasi telurnya. sementara aiden, entah sedang mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"lo nggak ada mau tanya sesuatu?". aiden memulai pembicaraan sambil melahap makanannya.
gadis itu sebenarnya penasaran. kenapa ia bisa dibawa kemari, kenapa aiden menolongnya, kenapa aiden memperlakukannya dengan cara yang berbeda, dimana ia sekarang, kenapa rumah besar ini sepi seperti tidak berpenghuni, dan banyak pertanyaan lain yang ingin sekali ia tanyakan.
tapi tidak, alena memilih diam. sebisa mungkin ia menahan pertanyaan pertanyaan yang ada dikepalanya. ia hanya tak ingin tahu lebih banyak. ia sudah muak.
"lo nggak mau tau apa yang udah lo lakuin semalem ke gue?"
jangan bilang gue ngomongin hal yang nggak seharusnya diomongin? kenapa gue nggak inget apa apa?
alena berusaha tenang.
"lo beneran nggak mau tau? atau lo pura pura nggak mau tau di dep—"
"apa?"
aiden menyeringai mendengar suara alena.
"lo mau tau?"
"apa yang gue lakuin ke lo semalem?"
"lo beneran nggak sadar ya ternyata"
alena mendengus. "kasi tau gue makanya"
"lo nangis, lo teriak, lo jambak rambut gue, lo pukul gue, lo ngatain gue, lo tendangin gue, lo-"
"stop!"
aiden tertawa, sedikit mengejek. "kenapa? lo malu? mau gue sebutin lagi hal terakhir yang lo lakuin ke gue?"
STOP AIDEN!!
alena hanya membisu, pandangan matanya hanya mengarah kepada kian yang masih makan dengan lahap, sesekali mengusap pipi anak kecil itu ketika ada nasi yang menempel. ia sangat sangat sangat merasa malu sekarang.
"lo peluk gue sambil nangis, gue nggak berani lepasin lo waktu itu sampai lo sendiri yang ketiduran"
aiden mengatakan hal itu seperti tanpa beban, seperti hal yang sudah biasa ia lakukan.
PELUK??? pasti, ya pasti, pasti gue kerasukan setan pos ronda waktu itu, makanya gue nggak inget apa apa, iyakan?
entah seperti apa bentukan wajahnya sekarang. ia merasa dirinya sudah tidak waras sekarang.
"alen?"
"apa yang gue omongin ke lo?"
alena tidak dapat menahannya lagi, ia harus tau. jika ia sampai mengatakan hal yang tidak boleh ia katakan, sepertinya ia harus membunuh dirinya sendiri setelah ini.
"kenapa lo mau tau?"
alena berdecak kesal. "kasi tau"
"nggak mau, lagian lo juga nggak peduli, liat nih luka gara-gara lo"
aiden menunjuk ke arah lengannya. terlihat ada bekas memar berwarna biru.
"gue nggak nyangka lo beneran sekuat itu alen". aiden tertawa kecil, perkataannya terdengar seperti mengejek.
"kasi tau gue, apa yang gue omongin ke lo?"
belum sempat aiden menjawab, terdengar suara bel rumah berbunyi. mendengar itu, aiden dengan segera berdiri dan melangkah membukakan pintu.
hembusan napas kasar keluar dari hidung alena. rasanya ia ingin hilang dari bumi sekarang juga, rasanya ia ingin mengutuk dan membunuh dirinya sendiri saat ini. yang ia butuhkan sekarang adalah penjelasan langsung dari mulut aiden.
SIALAN!!! AIDEN LO SIALAN!!!
***
"nih, sarapan lo"
aiden meletakkan sebuah bungkusan plastik yang bisa ditebak isinya ke atas meja makan.
jika zia melihat semua ini, alena yakin sekali gadis itu akan berteriak kesetanan, berkata bahwa itu adalah hal yang romantis seperti di serial dramanya. berkata bahwa ia menginginkan adegan itu dalam kehidupannya. bertanya tanya dengan heboh bagaimana bisa seorang alena memiliki adegan itu.
zia, lo nggak tau aja kehidupan gue nggak kalah dramatis dari serial drama lo itu.
"makan aja, nggak gue kasih racun"
alena mengacuhkannya.
aiden menahan rasa kesalnya. jujur saja, jika ia tidak menyaksikan bagaimana rasa putus asanya alena semalam, ia sudah memaki habis habisan gadis didepannya ini.
"kakak harus makan ya nanti kakak laper lho, sini kian bukain makanan kakak"
kian yang telah selesai menghabiskan makanannya, bergerak membuka bungkusan yang diberikan aiden. alena membiarkannya. kian membuka stereofoam dan terlihatlah ayam rendang yang menggiurkan siapapun yang melihatnya.
"wahh, ayamm". kian berseru.
alena tersenyum melihat tingkah adiknya. "kian mau makan ayam?"
yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya.
"kan tadi kian udah makan, sekarang giliran kakak yang makan, kian mau suapin kakak"
anak kecil itu tersenyum lembut. ia seperti orang dewasa yang sedang membujuk anak perempuan kecil disampingnya.
senyum alena mengembang, hanya mengangguk, mengikuti apapun yang adiknya ingin lakukan. sementara aiden, ia hanya berdiri melihat interaksi kakak beradik itu.
"buka mulutnya kakak, pesawat datangg~ aaa~"
kian memanjakan kakaknya dengan senang hati. menyuapkan nasi ayam rendang ke mulut kakaknya dengan cara yang sama persis seperti cara kakak perempuannya menyuapi dirinya.
yang disuapi tertawa renyah mendengarnya. ia membuka mulutnya dan mengunyah makanan yang telah sampai di mulutnya. hatinya terasa hangat. kekesalan dihatinya menjadi hilang hanya dengan perlakuan adiknya.
laki laki yang mengamati kakak beradik secara terang-terangan, ikut tersenyum senang.
"harusnya gue berguru sama adek lo ya, alen"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top