04
"ohh, berarti yang 4√2 itu dijumlahin karena sudutnya bertolak belakang?"
wajah zia yang muncul di layar telepon, suaranya bergema di ruangan kamar alena. mereka sedang belajar bersama lewat video call sekarang.
"ya, kurang lebih gitu"
alena yang sedang menulis jawaban matematika di bukunya hanya menjawab sekilas.
"kayak lo sama aiden?"
pensil alena berhenti menulis. wajahnya mengernyit menatap wajah temannya dilayar.
"aiden? apa hubungannya?"
"lo tau sendiri alena, dan dari dulu gue selalu penasaran tentang lo sama aiden"
"penasaran?"
"lo sebenernya ada masalah apa si sama si aiden? nggak mungkin cuma gara gara nilai, kalian sampe segitunya kan?"
alena hanya terdiam, kembali menulis jawaban matematikanya, mengabaikan zia yang mati penasaran menunggu jawaban dari alena.
"semua orang selalu gosipin lo setiap kali nama aiden disebut, juga sebaliknya, tapi gue bahkan nggak bisa berkata apapun karena gue nggak pernah tau tentang hubungan lo sama aiden"
"..."
"kalo lo nggak mau cerita ya gapapa, tapi satu hal yang harus lo tau, gue selalu siap buat jadi pendengar terbaik lo"
alena lagi lagi menghentikan kegiatan menulisnya, tertegun mendengar perkataan zia yang tentu saja tidak bisa ia anggap angin lalu.
"kenapa?"
alena menatap zia yang kini juga menatapnya meskipun hanya dari layar telepon.
"karena gue temen lo"
alena yang mendengar itu hanya terdiam, memikirkan kalimat singkat zia, lalu ia tak menjawab dan kembali menulis dibukunya.
ia pernah mendengar kalimat serupa dulu, dulu sekali. dan kalimat itu kini tak ia percayai lagi.
zia yang sudah terbiasa dengan sikap acuh alena hanya tersenyum simpul dan menghembuskan nafasnya pelan, kembali mengerjakan tugasnya.
bagi zia, alena adalah sosok yang perlu ia pecahkan. entah bagaimana caranya alena bisa menarik dirinya untuk menjadi temannya disaat orang lain sudah menyerah untuk berteman dengan alena.
ditengah keheningan, tiba tiba terdengar suara gaduh dari ruangan lain dirumah alena.
"alena, suara apa itu?"
fokus zia teralihkan dari bukunya. ia berusaha mendengar kegaduhan itu dengan jelas dengan teleponnya.
tanpa aba aba, alena mengakhiri obrolan video mereka. ia meletakkan teleponnya ke saku celana trainingnya dengan cepat lalu tergesa menuju kamar adiknya.
tuhan, tolong jangan lagi...
alena masuk ke kamar adiknya dengan perlahan dan tanpa suara. ia mengangkat tubuh adiknya yang masih tertidur pulas lalu membawa tubuh kecil itu kekamarnya, meletakkan tubuh itu dikasur miliknya lalu mengunci kamarnya.
kegaduhan itu masih saja berlangsung. bisa alena tebak siapa pelakunya dan dimana mereka tepatnya.
jangan sampai mereka kesini
meskipun tidak merasa gentar, tapi tetap saja alena merasa ketakutan sekarang. ia tak boleh terluka, terlebih adiknya sendiri.
terdengar suara derap langkah menuju arah ke kamarnya dengan terburu buru.
tolong, jangan lagi, jangan mendekat, kumohon...
hati alena merasa cemas dan takut. tubuhnya siap menahan pintu kamarnya dari gedoran atau bahkan dobrakan yang sewaktu waktu bisa saja terjadi.
"BUKA PINTUNYA ALENA!!!"
seseorang menggedor pintu kamar alena dengan keras. sangat keras hingga membangunkan adiknya. adiknya hanya menangis pelan diatas kasur, menyaksikan alena yang berjuang menahan pintu yang digedor seperti orang kesetanan.
ayahnya. iya, itu ayahnya. kalau ditanya dimana ibunya, entahlah, alena tidak tau. mungkin ibunya sudah jatuh tersungkur sekarang atau mungkin sedang berusaha menahan suaminya atau hanya diam saja, tidak peduli atau kemungkinan terburuknya bahkan ikut mendobrak pintu kamar. alena tidak peduli. ia harus menghindari ayahnya sekarang.
"ALENA!!! BUKA ATAU AYAH DOBRAK PINTU KAMAR LUSUHMU INI!!"
alena adalah gadis yang cerdas, ia tentu sudah menyiapkan rencana untuk hal genting seperti saat ini. alena mengunci tiga kunci pintu-yang ia siapkan sendiri. lalu alena mengambil sapu dan disangkutkan sapu itu ke daun pintu kamarnya sehingga menutup pintu dengan rapat. alena menggeser meja rak bukunya yang tidak begitu besar menutup pintu kamarnya. menjadikan pintu itu terhambat ketika didobrak.
"AYAH TAU KAU ADA DIDALAM!!! BUKA ALENA!!!"
gedoran pintunya semakin keras. tak lama terdengar suara dobrakan yang memaksa pintu terbuka.
alena mengambil jaket dan dua buah sandal yang sudah ia persiapkan jauh jauh hari didalam lemari, ia pakaikan jaket dan salah satu sandal ke adiknya dengan terburu buru.
"kian, dengerin kakak, berhenti menangis, kamu bisa menangis nanti tapi jangan sekarang, paham?"
kian yang mendengar ucapan kakaknya yang terdengar bergetar hanya mengangguk kecil, ia paham, sangat paham. kian terdiam dengan segera meskipun masih sesenggukan pelan.
"oke bagus kian, sekarang kamu harus turun lewat jendela ini, lihat kebawah dan jangan sampai jatuh"
yang diperintah hanya mengangguk lagi.
"ALENA!!! BUKA PINTUNYA!!! JANGAN BERANI DENGAN AYAHMU ALENA!!!"
dobrakan pintu yang semakin keras suaranya terus terdengar. terdengar bunyi geseran lemari perlahan.
hati alena menjadi gugup, ia cepat cepat menurunkan adiknya melewati jendela kamarnya. ia memastikan adiknya turun, menjejakkan kaki dengan selamat terlebih dahulu. setelah itu, alena ikut turun, ia sedikit tersandung saat menapakkan kakinya ke tanah. nyeri dilututnya ia biarkan.
alena menggendong adiknya dengan tergesa dan berlari entah kemanapun ia melangkahkan kaki. ia buta jalan sekarang, hanya mengikuti kakinya melangkah dengan terseok.
"kakak..."
mendengar rintihan adiknya membuat hati alena bergetar, terasa sesak. kakinya sudah tidak kuat lagi untuk berlari. ia butuh istirahat.
alena mendudukkan adiknya di pos ronda yang sepi. ia duduk dan mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, mengontrol pernapasannya yang berderu kencang.
"kian gapapa kan?"
kian, anak kecil umur 5 tahun itu merentangkan tangannya, meminta dipeluk. alena tahu artinya. adiknya itu sedang ketakutan.
alena segera memeluk tubuh kecil disampingnya, membetulkan rambut anak kecil itu yang acak acakan dan mengusap punggung ringkihnya.
memeluk adiknya di saat seperti ini membuat hatinya sesak, matanya memanas. tidak, alena tidak ingin menangis. tepatnya tidak sekarang, ia tidak ingin terlihat lemah didepan adiknya.
kian, maafin kakak ya...
***
pukul 23.13
sudah satu jam lebih alena duduk di pos ronda, ditemani kian yang sudah tertidur dalam dekapannya. selama satu jam itu, berkali kali alena waspada jika ada suara sedikitpun. selama itu pula, ia merasa lelah dan rasa kantuk perlahan menyerang dirinya.
alena menyandarkan kepalanya ke penyangga pos ronda. ia mengerjapkan matanya berkali kali, menahan rasa kantuk yang sudah tak dapat ia tahan.
suara deru mobil terdengar, membuatnya terbangun dengan cepat. mobil itu berhenti tepat didepannya.
"alena? lo alena kan?"
alena menyipitkan matanya, berusaha melihat seseorang yang entah sejak kapan berada didepannya. rasa kantuk dan lelahnya ini sudah menguasai seluruh tubuhnya sehingga ia tak dapat melihat dengan jelas. alena benar benar lelah dan mengantuk.
"lo ngapain disini? lo nggak papa?"
suara orang itu familiar, sangat familiar. alena tau itu. seharusnya.
seseorang itu membetulkan anak rambut alena yang menutupi sebagian wajahnya yang mengantuk.
"lo kenapa? alen, lo denger gue kan?"
aiden...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top