〰 lima

〰🍃🍃🍃〰

Saat waktu mempertemukan kita, aku bertanya. Adakah namaku masih tertera dihatimu?

〰🍃🍃🍃〰

Ali menatap bangunan megah didepan matanya. Rumah dengan dua lantai itu tampak familiar dengannya. Binar lalu mengajak Ali masuk. Awalnya laki-laki itu menolak namun Binar meyakinkan jika hanya dengan cara ini maka ia akan mendapatkan jawabannya.

Kenapa semua orang memanggil dirinya dengan nama 'Axel'.

Dan memang benar, saat mulai melangkah masuk, Ali merasakan sesuatu yang beda. Ia merasa rumah ini sangat nyaman dan entah kenapa ada rasa rindu dalam hatinya.

Binar membawa Ali menuju ruang tamu rumahnya. Ali tampak mengedarkan pandangannya ke segala penjuru rumah megah ini.

"Ini rumahmu, Ax!" ucap Binar pada akhirnya. "Disinilah kamu dibesarkan. Disinilah kamu tinggal dan disinilah seharusnya kamu berada!"

Ali tak menjawab lalu mengikuti langkah Binar dan Sisi menuju ruang tengah. Ali tersentak saat menatap anak tangga itu. Ia dapat melihat dirinya sedang menuruni anak tangga sambil memainkan ponselnya.

Ali terkesiap saat Binar meraih lengannya. "Ingatlah, Ax!" pinta Binar lirih.

Ali masih saja diam dan menatap jemari Binar yang memegang lembut lengannya, sebelum akhirnya ia limbung dan tak sadarkan diri.

〰🍃🍃🍃〰

Sisi menekuk kedua lengannya dan meletakkan ujung dagunya disana, bertumpu pada kedua lengannya. Matanya menatap lurus wajah Ali yang masih saja terlelap.

Sementara diluar kamar terdengar perdebatan antara Arlan, Binar dan Alex. Binar meyakini jika Ali adalah Axel tapi Arlan dan Alex masih belum percaya jika Axel masih hidup.

"Mom, Ax udah nggak ada Mom. Udah setahun yang lalu dan nggak mungkin----ah. Laki-laki itu kebetulan mukanya emang mirip sama Axel, Mom!" terang Alex.

Binar menggeleng pelan. "Mommy yakin itu Ax, Al. Itu adikmu!" kekeh Binar.

"Apa buktinya kalo dia Axel?" tantang Alex.

Kali ini Binar terdiam. Selama ini memang belum ada bukti jika Ali adalah Axel. Binar sendiri bingung harus mencari bukti seperti apa.

"Kita coba tes darah!" jawab Binar pada akhirnya.

Alex terkekeh pelan membuat kepala Binar mendongak dan menatap geram ke anak laki-lakinya. "Jangan becanda, Mom. Nggak semua tes darah itu hasilnya akurat. Mommy harusnya tau, didunia ini ada banyak orang yang mukanya mirip sama kita!"

"Kalo gitu tes DNA!" putus Binar.

Alex terdiam, ia lalu menoleh kearah Arlan, berniat meminta bantuan untuk ikut menjelaskan masalah ini.

Seolah mengerti, Arlan berdehem kecil dan memperbaiki duduknya. "Daddy nggak tau lagi harus ngomong apa. Intinya, kita tidak boleh gegabah. Kita lihat dulu saja kedepannya seperti apa. Mungkin dari situ kita bisa menilai apakah Ali itu Axel---"

"Kita harus bergerak cepat, Lan!" potong Binar. "Dia mau nikah sama Cindy, kamu inget Cindy kan? Dia temen sekolah kamu. Apa kamu rela ngeliat anakmu nikah sama cewek yang harusnya jadi tante buat dia?"

Arlan tampak menarik nafas berat lalu membuangnya cepat. "Kita singkirkan masalah itu dulu. Yang kita butuhkan adalah jati diri Ali. Siapa dia sebenarnya."

"Tapi, Lan. Kita juga harus berusaha bantu Axel buat nginget semuanya!" seru Binar lagi.

"Kita nggak bisa maksain Ali, Mom." sela Alex. "Dia punya kehidupan sendiri dan nggak seharusnya kita paksain keinginan kita ke Ali!"

Kepala Binar menoleh cepat. Ia menatap sinis kearah Alex. Entah kenapa amarahnya memuncak seketika. Hatinya tak terima mendengar ucapan Alex.

"Kamu nggak ngerti apa yang Mommy rasain, Al. Karena kamu nggak punya ikatan batin sama Ax. Kamu bisa ngomong kayak gitu karena kamu bukan saudara kandungnya!"

"Cukup, Bin!" seru Arlan.

Alex memgernyitkan keningnya. Ia bangkit dari tempat duduknya dan menatap nanar wajah Binar. "Maksud Mommy apa?" lirihnya.

Binar ikut berdiri dari kursinya membuat Arlan mendongak menatap wanita itu. "Kamu sama Ax bukan saudara kandung dan itu artinya kamu bukan anakku!"

"Apa?" seru Alex pelan. Kenyataan ini begitu menyakitkan untuk Alex. Ia mengalihkan pandangannya ke wajah Arlan yang tampak datar. "Dad, bisa jelasin ini?"

Tapi laki-laki itu malah terdiam dan menundukkan wajahnya. Arlan benar-benar tak habis pikir kenapa Binar bisa berkata seperti itu.

"Oke. Aku ngerti!" ucap Alex pada akhirnya. Ia melangkah mundur secara perlahan. "Ternyata ini fakta yang sebenarnya. Kalo aja Axel nggak menghilang mungkin selamanya aku nggak akan tau kenyataan yang sebenarnya!"

Alex menatap wajah Binar dan Arlan secara bergantian. "Emang seharusnya Ax yang ada dirumah ini, bukan aku. Bukan aku!"

Alex memutar tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan ruang tengah itu.

"AL!!" panggil Arlan lantang tapi tak mampu menghentikan langkah kaki Alex. Arlan menghela nafas pendek dan menatap dingin kearah Binar. "Apakah begitu cara menyelesaikan masalah? Dengan mendatangkan masalah baru?"

Binar menundukkan kepalanya. Ia sadar, apa yang baru saja ia katakan sangat menyakiti hati Alex. Andai saja waktu bisa diputar, Binar ingin sekali menarik ucapannya.

"Kamu boleh benci sama Marsha, tapi kamu nggak boleh lampiaskan rasa benci itu ke Alex, dia nggak tau apa-apa!" Arlan berdiri dari kursinya dan pergi meninggalkan Binar.

Tubuh Binar luruh perlahan, ia benar-benar menyesali apa yang sudah ia lakulan. Tidak seharusnya kata-kata itu terucap karena kasih sayang yang ia berikan untuk Axel sama besarnya untuk Alex.

Dan percuma saja Binar menangisi kebodohannya karena semuanya sudah terjadi.

〰🍃🍃🍃〰

Sisi tiba-tiba berdiri dari kursinya saat mendapati Ali membuka matanya.

"Dimana ini?" tanyanya pelan sambil mencoba bangun tapi ditahan oleh Sisi.

"Ini dirumah, Ax---maksud aku Pak Ali. Ini rumah Mommy!"

"Orangtua kamu?" tanya Ali dengan kening mengernyit. Sisi hanya mengangguk kecil. Ali lalu menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan beranjak dari tempat tidur. "Aku harus pergi!"

Sisi hanya diam sambil menatap langkah kaki Ali yang perlahan menjauh. Membuka pintu kamar dan langkahnya terhenti seketika saat seseorang berdiri di ambang pintu kamar Axel.

"Sudah sadar kamu rupanya!" ucap Arlan.

Ali hanya diam tapi matanya terus meneliti wajah di depannya. Sejujurnya, ia sedikit heran kenapa wajah laki-laki paruh baya itu begitu mirip dengannya? Apa memang benar jika dirinya adalah Axel yang hilang setahun yang lalu?

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Arlan ramah.

Ali mengangguk pelan. "Baik, Om!"

Arlan menelan salivanya pelan. Ada rasa sakit saat Ali memanggil dirinya dengan sebutan itu. Binar memang benar, Ali begitu mirip dengan Axel. Hanya saja Arlan masih belum yakin apakah Ali adalah Axel?

Kalau boleh jujur, Arlan sangat merindukan sosok Axel. Sosok dingin yang begitu mirip dengannya.

"Maukah kamu menemani laki-laki tua ini untuk minum teh?" tawar Arlan.

Tanpa penolakan, Ali menganggukan kepalanya pelan membuat senyum Arlan mengembang. Kali ini ia punya cara sendiri untuk membuktikan siapa sebenarnya Ali.

〰🍃🍃🍃〰

Arlan duduk bersebelahan dengan Sisi sementara Ali memilih duduk di depan mereka berdua. Binar sendiri hanya mengamati ketiganya dari kejauhan.

Tangan Arlan terulur dan mengusap lembut ujung kepala Sisi. "Kalian udah saling kenal, kan?" gurau Arlan mencoba mencairkan suasana yang tegang.

Sisi dan Ali saling bertatapan sebentar kemudian Ali mengangguk pelan. "Sudah, Om!"

Arlan ikut mengangguk lalu meneguk secangkir teh melati di depannya. "Diminum, Nak Ali!" tawar Arlan.

Ali mengangguk kikuk tapi tak mengambil minuman dingin yang sudah Sisi siapkan. "Maaf, Om. Saya tidak terlalu suka minuman dingin!"

"Oh ya? Kalau begitu biar Sisi buatkan kopi---"

"Tidak usah, Om!" sela Ali cepat. "Mm, saya juga tidak minum kopi tapi saya biasanya minum teh melati!"

"Ooh begitu?" sahut Arlan cepat. Satu fakta yang terungkap bahwa minuman favorit Ali sama seperti Axel. Tapi itu belum cukup untuk dijadikan bukti. "Si, ambilkan teh melati untuk Ali ya!" pinta Arlan.

"Baik, Dad!" Sisi berdiri dan melangkah cepat menuju dapur. Membuatkan teh hangat aroma melati seperti milik Arlan. Hanya 5 menit dan Sisi kembali sambil membawa teh melati untuk Ali. "Diminum!"

"Terima kasih!" Ali langsung mengambil cangkir berisikan teh melati itu dan meminumnya. Aroma melati itu sangat menggiurkan dan membuat Ali merasa tenang.

"Kamu tinggal dimana, Li?" tanya Arlan mengawali pembicaraan.

"Saya tinggal di apartemen, Om. Kedua orangtua saya sudah meninggal!"

"Meninggal? Kalau boleh tau, sejak kapan meninggal?" tanya Arlan penasaran.

Ali menggeleng pelan. "Saya tidak ingat, Om. Kata Cindy, mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat!"

"Cindy? Siapa dia?"

"Dia----calon istri saya, Om!" pandangan mata Ali melirik sebentar kearah Sisi. Gadis itu tampak menundukkan kepalanya.

"Kalian mau menikah?" tanya Arlan lagi.

"Sekitar 2 minggu lagi, Om!"

Arlan menganggukkan kepalanya beberapa kali. Kepalanya lalu menoleh kearah Sisi dan tangannya kembali mengusap ujung kepala gadis itu. "Sisi rencananya tahun ini juga menikah tapi sayangnya ada sedikit masalah!"

"Apa itu, Om?" tanya Ali antusias.

"Kamu pasti tau alasannya!" Arlan tertawa pelan. "Calon suaminya adalah anak Om sendiri. Setahun yang lalu dia pergi untuk berobat dan sebulan kemudian dia berencana pulang. Tapi sepertinya takdir berkata lain. Calon suaminya tidak pulang kerumah ini!"

Kening Ali mengkerut. "Maksudnya Om?"

"Dia dinyatakan meninggal dalam kecelakaan pesawat dan jasadnya sampai sekarang belum ditemukan. Menurut pihak kepolisian, jasad Axel sudah hancur dan kemungkinan dimakan ikan dilautan!"

Kepala Sisi semakin menunduk. Ia benar-benar tidak tahan mendengar semuanya. "Cukup, Dad. Aku mau pulang, aku lelah!" putus Sisi.

Arlan dan Ali menatap kompak ke arah Sisi. Arlan mengangguk paham, ini begitu berat buat Sisi. "Baiklah. Daddy mengerti! Tunggu sebentar, Daddy akan antar kamu---"

"Ah, biar sama saya saja, Om!" sela Ali. Seakan tersadar, Ali tampak menggaruk tengkuknya. Entah kenapa ia malah menawarkan diri untuk mengantar Sisi pulang. "Kebetulan saya juga mau pamit pulang. Terima kasih atas bantuannya!"

Arlan dan Ali bangkit dari tempat duduknya. Ali lebih dulu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Arlan. Arlan tersenyum dan membalas uluran tangan Ali. Sejenak mereka berdua terdiam, pandangan mata mereka saling beradu.

Apakah kamu benar Axel? seru Arlan dalam hati.

Ada apa denganku? Kenapa aku begitu nyaman saat berada di dekat mereka? Terutama laki-laki ini. Dia begitu tenang dan membuatku aman. Ali ikut bersuara dalam hati.

〰🍃🍃🍃〰

Hening.

Hanya ada suara deru mobil Ali dalam kesunyian malam ini. Sisi tak lagi berani membuka suaranya tapi sesekali ia melirik kearah Ali yang masih fokus mengemudi.

"Setelah ini belok kemana?" tanya Ali.

"Kiri!" sahut Sisi singkat.

Merasa ada yang aneh dengan gadis di sebelahnya, Ali menoleh sebentar, memastikan bahwa Sisi baik-baik saja. Keheningan masih saja terjadi membuat Ali berinisiatif menyalakan radio di dalam mobilnya.

Sebuah lagu dari Virgoun mulai terdengar. Lagu yang pernah Axel nyanyikan untuk Sisi saat ulang tahunnya setahun yang lalu.

Sisi menoleh kearah Ali yang entah kenapa Ali juga sedang menatapnya. Mata Sisi mulai berair dan buliran bening itu perlahan terjatuh. Sisi mengalihkan pandangannya kearah luar jendela. Memejamkan matanya rapat-rapat, berharap airmatanya segera terkuras habis. Dengan begitu ia tidak perlu lagi menangisi laki-laki itu.

Melihat Sisi tampak larut dalam kesedihannya, Ali lalu mengulurkan selembar tisu kearah gadis itu. Ia lalu menepikan mobilnya dan membiarkan gadis itu menumpahkan tangisnya.

Kamu adalah bukti.
Dari cantiknya paras dan hati.
Kau jadi harmoni saat kubernyanyi.
Tentang terang dan gelapnya hidup ini.

Sisi sudah tak kuat lagi kala mendengarkan lagu itu. Sekuat apapun ia mencoba tegar, nyatanya ia hanya gadis biasa yang membutuhkan tempat untuk bersandar.

Sisi memutar tubuhnya dengan cepat menghadap kearah Ali dan langsung memeluk laki-laki itu. Tangisnya pecah dengan isak tangis yang mampu membuat tubuh mungilnya naik turun.

Ali mengedip pelan. Setelah mendengar cerita yang mengalir dari Arlan, timbul rasa kasihan dalam hati Ali. Ia memang tak pernah merasakan derita seperti apa yang dialami Sisi tapi Ali yakin, gadis itu saat ini sedang membutuhkan dukungan.

Tangan Ali perlahan terulur dan membelai lembut kepala Sisi, menenangkan gadis itu. Tapi yang terjadi, tangis Sisi semakin pecah. Tangannya melingkar erat dipinggang Ali.

Ingatlah, Ax. Aku mohon!

〰🍃🍃🍃〰

Mobil Ali berhenti di depan bangunan yang menjulang tinggi di depannya. Bangunan itu adalah sebuah apartemen mewah di kota Surabaya, apartemen milik Axel.

Sisi sengaja memilih tinggal di apartemen Axel. Ia ingin mengenang semua kenangan tentang dirinya dan Axel.

Sisi turun dari mobil Ali dan melangkah sedikit menjauh. "Terima kasih atas tumpangannya, Pak!" ucap Sisi sopan.

Ali tak mengeluarkan suaranya tapi ia mengangguk pelan. Ali masih diam ditempatnya menatap kepergian Sisi. Hingga tiba-tiba ada seseorang yang berjalan cepat kearah gadis itu dan langsung memeluk Sisi.

Ali refleks memegang dadanya. Nyeri saat melihat tubuh mungil itu ada dalam dekapan laki-laki lain.

〰🍃🍃🍃〰

Surabaya, 18 Agustus 2018
🍃ayastoria

Spesial malming. Part ini sengaja gue bikin panjang biar puas bacanya. Wkwkwkwk
Hampir duaribu word dan ngetiknya nyicil dari sore tadi.

Komentnya jgn next aja...kdg suka bete baca koment kek gitu 😄😄😄.
Gue ngerasa...seolah apa yg gue tulis ini gak masuk ke hati para pembaca gue. Hehehehe


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top