4th Reason

"Karena... ada sesuatu yang kuinginkan darimu."

"Yang kau inginkan dariku? Apa itu?"

"Aku melihat sinar ketidakpercayadirian di matamu. Setiap manusia punya sesuatu yang menarik dari dirinya. Dan bagiku, sesuatu pada dirimu menarik perhatianku." Sakura hanya diam. Wajah Sasuke seperti seorang penjual obat terlarang yang merayu pelanggan dengan kesepakatan luar biasa.

"Apa... yang membuatmu tertarik?"

"Nanti juga kau tahu. Sekarang, aku punya beberapa pertanyaan untukmu. Pertama, berapa jumlah nilaimu?"

"Apa?!"

"Aku hanya bertanya. Kenapa kau malah tanya balik? Apa susahnya sih jawab." Ketus Sasuke. Sakura memalingkan wajah.

"Kau bisa lihat di papan informasi."

"Benar. Aku sudah melihatnya." Sakura semakin merasa dipermainkan. "Kedua, apa kau sudah memberitahu orang tuamu?"

"Tentu saja. Seburuk-buruknya prestasiku, aku tidak akan pernah menyembunyikan hal yang seharusnya diketahui orang tuaku."

"Aha! Kau salah. Kau tak punya prestasi. Hal yang di bawah rata-rata itu dinamakan kesialan. Oleh karena itu sering-seringlah ke kuil."

"Apa katamu!?"

"Ketiga, bagaimana tanggapan mereka?" Sakura yang sebentar lagi marah membungkam. Mulutnya masih setengah terbuka akibat marah yang tertunda. Sakura diam dalam waktu lama. Sasuke memperhatikannya dengan baik.

"Kecewa." Nada bicara Sakura sangat rendah. Namun Sasuke masih bisa mendengarnya.

"Jadi, apa kau ingin membahagiakan orang tuamu?" Sakura menggigit bibir bawahnya. "Sakura, jawab aku. Apa kau ingin membahagiakan orang tuamu?" Sakura masih diam.

"Sakura?!"

"Iya!!!!" Sakura berteriak dengan air mata. "Iya!!! Aku ingin membahagiakan orang tuaku!! Aku sangat ingin, sangat ingin membahagiakan mereka. Aku sangat ingin mereka bahagia, bangga padaku."

Sasuke merasa aneh. Seperti ada kata-kata yang juga mencerminkan dirinya. Sakura menangis terisak. Sasuke hanya diam memandangnya. Dia kembali menghela napas.

"Lalu, apakah kau ingin pintar?"

"Tentu saja. Aku ingin jadi pintar dan membanggakan orang tuaku dengan prestasi bukan kesialan." Jawab Sakura dengan isakkan yang sama.

"Jika ada yang ingin memberimu bantuan, apa kau akan menerimanya?"

"Iya."

"Jadi, kau mau aku membantumu?"

"Apa!? Kau mengejekku?!" Sakura kembali marah. Air matanya berhenti seketika. "Kenapa begini? Kenapa semuanya menge..."

"Tidak. Kau salah paham. Yamanaka Ino, temanmu tidak bermaksud mengejekmu. Dia bahkan dengan baik hati ingin menolongmu."

"Dari mana kau tahu itu?"

"Aku sudah tanya padanya. Kau, yang pendiam, pemalu, ceroboh, dan bodoh..."

"Dia bilang begitu?"

"Tidak. Kutambahi 'bodoh' di akhir kalimat."

"Kenapa begitu?" Sasuke diam, dan menghela napas lagi. Sekarang dia tahu cara berpikir Sakura.

"Baiklah, Nona Musim Semi. Mari kita buat kesepakatan."

"Kesepakatan apa?" Sakura mulai tenang.

"Aku akan mengajarimu hingga kau pintar, lalu kau harus dapat nilai terbaik dan naikkan peringkatmu agar tak ada lagi yang mengejekmu apa lagi sampai pembullyan." Sakura tak langsung menanggapi.

"Apa keuntungan yang kau dapat dengan aku yang menjadi pintar?" Sasuke diam. Ingatan-ingatan tentang orang-orang rumah terlihat dengan jelas oleh Sasuke.

"Ada. Banyak." Sakura terlihat kebingungan dengan jawaban Sasuke. "Pokoknya ada. Jadi mulai sekarang aku adalah guru privatemu. Jadi, ini yang pertama."

Sasuke mengeluarkan lembaran-lembaran folio penuh tulisan tangan dari dalam jasnya. Ia melempar kertas-kertas itu di meja Sakura.

"Itu salinan rangkumanmu yang basah. Bukankah kalau dikerjakan bersama lebih mudah?" Sakura mendekat. Dia melihat-lihat tumpukkan kertas di mejanya. Semuanya sama dengan miliknya yang sudah rusak secara kasat mata.

"Bagaimana caramu....?"

"Ssst!! Tak perlu tanya. Pokoknya mulai besok, pulang sekolah kita bertemu di kafe depan. Jangan terlambat." Sasuke mengambil tasnya dan keluar kelas.

Sakura masih bertanya-tanya tentang kejadian tadi. Untuk apa Sasuke mengajarinya? Bagaimana dia punya salinan rangkumannya? Semua pertanyaan itu berputar di kepala Sakura sampai membuatnya lupa kalau dia sendirian.

"Eh?" Kelas sepi. Sekolah gelap. Sen-di-ri-an.

"Aaaaaaaaaaaaaarkh.....!!!!!!!!" Sakura berlari ketakutan.

🌸

Sasuke pulang ke rumah paling akhir di antara anggota keluarga lainnya. Tidak seperti Sasuke yang biasanya. Sasuke selalu pulang tepat waktu setiap hari. Ini yang pertama. Tapi ayahnya sudah menunggu di depan pintu.

"Aku pulang."

"Selamat datang." Sapa ayahnya dengan wajah dan nada datar. Terlihat sekali kalau dia menahan amarah. "Dari mana saja kau?"

"Ceritanya panjang. Aku tertidur di bus pulang sampai pemberhentian terakhir." Jawab Sasuke dengan tenang. Meski sebenarnya hatinya merasa takut luar biasa. Ayahnya tak langsung menjawab.

"Aku dapat telepon dari kepala sekolah tadi siang. Di mana rapormu?" Sasuke melirik ayahnya yang dari tadi melotot ke arahnya.

Sasuke digiring ayahnya ke ruang keluarga. Ibunya membawa dua gelas teh hangat dan duduk di samping ayah. Rapor itu sudah berpindah tangan. Dilihat dengan teliti oleh ayah Sasuke. Raut wajahnya tak berubah sedikit pun. Sementara Sasuke menggenggam erat pakaiannya menahan perasaan yang selalu ia rasakan setelah ayah membaca rapornya.

"Bagus. Pertahankan, dan jadilah seperti kakakmu." Ayah Sasuke langsung keluar ruangan, disusul ibunya.

Dalam hati, Sasuke berteriak sangat keras. Dia menggigit bibir bawahnya menahan agar teriakan itu tidak keluar. Emosinya memuncak.

Ada apa dengan ayah?

Kenapa selalu kakak?

Tidak bisakah dia bilang 'ini baru anakku' seperti yang ia katakan pada kakak?

Kenapa?

Kenapa aku?

Lagipula, di mana kakak sekarang?

🌸

Sebentar lagi bel pulang. Sakura belum keluar kelas sama sekali sejak pagi. Dia takut bertemu Sasuke di jalan dan dia akan membicarakan sesuatu tentang kesepakatan sepihak mereka.

Dan juga, sejak pagi Sakura belum berbicara apa pun dengan Ino. Temannya yang satu ini selalu menghindar setiap kali bertemu. Sakura hanya diam menyiapkan mental untuk mengumpulkan program remidialnya sepulang sekolah.

"A-ano... S-Sakura-chan..." Panggil Ino dengan lirih.

"Ah, Ino. Ada apa?"

"Ano... masalah kemarin... aku minta maaf." Ino terlihat kaku di depan Sakura. Sakura hanya merasa tersentak karena lupa.

"A-ah, iya. Aku juga minta maaf. Padahal seharusnya aku berterima kasih padamu karena mau mengajariku. Tapi aku malah menuduhmu dan langsung pergi begitu saja. Maaf, ya." Wajah Ino mendapatkan kembali cahayanya.

"Iya, aku juga. Bagaimana kalau pulang sekolah kita mampir ke kafe yang baru dibuka kemarin?" Sakura dengan mengiyakan. Lalu, tiba-tiba ingatannya dikacaukan dengan kesepakatan dengan si kepala pantat ayam.

"O-oh, ya. Aku ada janji dengan seseorang. Maaf, Ino mungkin lain kali." Timing yang pas. Tepat setelah Sakura mengatakannya, bel berbunyi. Sakura segera mengambil langkah seribu keluar kelas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top