Teman adalah salah satu alasanku memiliki kekuatan untuk bertahan. Meski hanya satu dua orang, sudah cukup dengan ketulusan mereka.
-Reandra
"Akifumi-san."
"Akifumi-san."
"Akifumi-san."
Bibir tipis itu terus mendesis. Mencoba memanggil sosok yang baru beberapa menit lalu menjadi teman sebangkunya, tetapi terus tidak diacuhkan. Andra tidak menyerah sampai panggilannya yang nyaris ke sembilan kali terpaksa harus terhenti akibat teguran dari Miss Nina.
"Padahal cuma mau kenalan aja," cebiknya sembari meletakkan kepala di atas meja.
Hari ini Andra sedang tidak berminat untuk belajar. Otaknya benar-benar sudah mengembang akibat kompetisi matematika yang dilakukan satu minggu penuh kemarin. Mr. Kenzo sudah menjejali otaknya habis-habisan, jadi biarkan sekarang dia mendinginkan otaknya sejenak.
"Eh, nanti jam istirahat tolong bangunin gue, ya. Lo bisa bahasa Indonesia, kan? Pasti bisa dong."
Rean menoleh, merasa sosok di sampingnya sudah tidak lagi berbicara. Dilihatnya Andra sudah memejamkan mata dengan kedua tangan menjulur lurus di atas meja. Meski posisi meja mereka ada di baris paling belakang, Rean yakin guru masih bisa melihat kelakuan Andra dari depan kelas. Namun anehnya Miss Nina tidak menegur bocah di sampingnya.
"Rasanya benar-benar tidak asing. Siapa bocah ini?"
Perasaan yang beberapa hari lalu dia rasakan, kini kembali hadir. Di saat pertemuan pertamanya dengan Andra di ruang guru, Rean merasa dia seperti pernah bertemu dengan Andra sebelumnya, atau seseorang yang mirip seperti Andra? Tapi Rean yakin, itu adalah pertemuan pertama mereka karena hari itu juga hari pertamanya di Indonesia. Dia tidak tahu, tetapi dia yakin. Seperti ada benang tak kasat mata di antara mereka.
Suasana ramai memenuhi kantin. Tempat yang mungkin menjadi salah satu spot favorit para murid di setiap sekolah. Dari banyaknya meja yang tersedia, Andra memilih meja paling ujung dan sedikit terpojok dengan meja lainnya. Meja yang jarang dipilih murid lain karena tempatnya yang sedikit terkucil, terlebih tidak jauh dari meja ada tempat sampah di sana.
"Kenapa nggak duduk di sana aja?" Rean bertanya dengan posisi masih berdiri di samping meja.
Andra yang sudah duduk sembari kembali merebahkan kepalanya di atas meja menjawab, "Ini tempat favorit gue sama temen-temen gue."
"Kalau gitu gue di sana aja. Thanks tawarannya."
"Temen baru?" Belum sempat Rean memutar tubuh, sebuah tangan sudah bertengger manis di pundaknya.
"Murid baru. Pindahan dari Jepang, tapi nggak ada jepang-jepangnya sama sekali kecuali nama belakangnya," jelas Andra.
Rain, pemuda yang dengan tidak sopannya merangkul Rean, tertawa kecil. Menyusul Andra duduk di kursi, tidak lupa ikut serta menyeret Rean yang masih dalam rangkulannya. "Cobain dulu duduk di sini, dijamin bakal ketagihan nantinya."
"Mana Devan? Tumben lo sendiri?" Kini Andra sudah sepenuhnya duduk tegak.
Rain menggerakkan kepalanya seolah menunjuk ke arah belakang Andra. "Dia beli makan dulu. Tapi kayaknya kurang, kita nggak tahu kalau ada temen baru."
"Gue bisa beli sendiri." Rean yang sejak tadi diam, ikut menimpali ketika dia merasa ikut menjadi topik pembicaraan.
"Nggak usah. Lo bisa makan jatah gue."
Meja yang tadi kosong, kini sudah penuh dengan banyak makanan. Ada mie ayam, batagor, siomay, bakso, ketoprak dan beberapa bungkusan plastik yang Rean tidak tahu apa isinya. Begitu pula dengan minuman, meski jumlah mereka hanya tiga orang minus Rean, minuman yang tersaji ada lima gelas es teh.
Apa mereka benar-benar makan ini semua?
"Nah, ini gue kasih lo mie ayam. Habisin, jangan buang-buang makanan, dosa." Semangkok penuh mie ayam sudah ada di hadapan Rean. "Pluss es teh manis buatan Mbak Sri. Uenak pol!"
Andra sendiri mengambil ketoprak dan mulai memakannya dengan lahap. "Sumpah, gue laper banget!"
"Btw, nama lo siapa?" tanya Devan yang baru bergabung bersama mereka.
Rean mengangkat sedikit seragamnya, menunjukkan label nama yang sudah terpasang rapi di sana.
"Raendra Alkaendo Akifumi. Gila, bener-bener orang Jepang, nih!" seru Rain heboh. "Terus panggilannya apa? Raen? Endra? Akifumi?"
"Rean."
"Eh?"
Rain dan Devan kompak terkejut. Sebenarnya bukan hanya mereka saja, Andra pun cukup terkejut ketika Rean memperkenalkan diri di depan kelas tadi pagi.
"Kayaknya nama lo nggak ada unsur reannya, deh? Yang ada kan Raen. Kenapa jadi Rean?" Rain kembali mengajukan pertanyaan.
"Mana gue tahu. Bokap gue udah manggil gue Rean sejak orok. Ada masalah?"
"Ya, enggak sih. Aneh aja."
"Gue pikir nama kalian mirip," Devan memperhatikan Andra dan Rean bergantian, "bahkan gue ngerasa kalian itu kek, em kek apa ya?"
Andra ikut memperhatikan Rean. Nama mereka memang cukup mirip, Reandra dan Raendra. Seperti anak kembar, meski muka mereka tidak ada kemiripan. Entah mengapa, dia juga merasa tidak asing dengan Rean. Sorot mata Rean mengingatkan Andra pada seseorang. Sosok yang selalu dia rindukan dan harapkan, sekaligus seseorang yang sudah menyakitinya.
"An? An? Andra pinter, sadar bege!"
***
Bel masuk sudah berdering sejak satu menit yang lalu. Kini Andra dan teman-temannya sudah berada di kelas masing-masing. Salah satu hal menyedihkan dari kehidupan sekolah yang Andra rasakan. Dia dan dua sahabatnya tidak berada di kelas yang sama. Andra berada di kelas A1, sedangkan dua temannya beruntung bisa satu kelas di C1. Salahkan sekolah yang menggunakan sistem nilai dalam penempatan kelas.
Menurutnya hal seperti ini tidak efektif untuk masa pergaulan remaja saat ini. Penempatan kelas yang diacak berdasarkan nilai, membuat banyak murid memiliki kesenjangan dalam bersosialisasi. Terlebih sekolahnya, SMA Estando Pratama yang merupakan salah satu sekolah swasta elit, di mana isinya 99,9% adalah anak yang terlahir dari orang-orang kaya dan orang-orang besar yang namanya cukup berpengaruh.
"Andra, hari ini gue ada les. Tolong gantiin gue piket, ya. Thanks."
Dan 0,1% bagian dari sekolah ini adalah orang-orang seperti Andra. Si Penerima Beasiswa. Murid yang mengandalkan otak mereka sendiri dibanding mengelu-elukan kekayaan orang tua. Tidak banyak yang perlu dia harapkan dengan hubungan pertemanan di sekolahnya. Selama ini, para siswa selalu meninggikan status sosial keluarga. Sejauh yang Andra lihat, daripada disebut teman mereka lebih pantas disebut rekan bisnis.
"Andra, gue juga. Besok gue harus ikut bokap gue ke luar kota. Nanti gue bayarin uang kas lo, deh." Gadis yang duduk di depan Andra ikut menyerukan suara, tersenyum manis.
"Gue bisa bayar uang kas sendiri."
"Cih, dasar sombong."
Meski dengan suara kecil, Andra masih bisa mendengarnya. Dia hanya tersenyum. Terbiasa dengan perlakuan teman-teman sekelasnya. Di sampingnya Rean hanya diam. Tidak tahu dan sedikit tidak peduli dengan perbincangan mereka. Ini masih hari pertama dia sekolah, jadi cukup perhatikan dan jangan terlalu ikut campur.
Suasana kelas masih ramai, karena guru Bahasa Indonesia yang harus mengajar masih belum datang. Dua orang yang belum genap satu hari menjadi teman semeja itu saling diam. Lagi-lagi Rean melihat bocah di sampingnya kembali merebahkan kepala di atas meja. Kedua tangannya kini terlipat, menjadi bantalan kepala. Jerah juga lama-lama melihat Andra begitu, padahal belum satu hari mereka bersama.
"Siapa ketua kelas di sini?"
"Gue."
"Imi o nasanai."
"Hah? Apa?"
"Bukan apa-apa. Gue pinjem buku catetan lo."
Andra mendengus, padahal jelas tadi dia mendengar Rean mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti otaknya. Berhubung dia masih dalam mode 'rehat' jadi Andra tidak lagi bertanya dan memilih mengambil buku catatan Bahasa Indonesia miliknya.
"Jangan sampe lecek. Kalau ilang, gue denda."
R.E.A.N.D.R.A
Story by Jeje Cho
Bumi Cikarang
November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top