Malaikat Juga Jones
Apakah kamu pernah bertanya, apa seorang malaikat pernah jatuh cinta?
Tentu saja pernah, dan disini aku akan menceritakan kisahnya.
---
Kita menyebutnya malaikat, sosok manusia dengan sayap putih di punggungnya. Mereka bertugas untuk menjemput arwah-arwah yang berhasil hidup dengan baik di dunia. Mereka tak memiliki nama, namun mereka dapat bahagia dengan kehidupannya. Walaupun terkadang, mereka selalu bertanya tanya mengapa ... karena mereka sang Malaikat bersayap putih, hanya menjemput arwah orang orang baik.
"Kita harus segera pergi ke distrik A! Terjadi penembakkan membabi buta di stadium yang sedang menyelenggarakan konser," ujar salah satu malaikat yang kebetulan sedang bersamanya di distrik B.
"Baiklah." Ia menjawab dan segera bergegas untuk terbang bersama kumpulan malaikat bersayap putih, maupun hitam.
Setibanya di tempat kejadian, ia langsung membantu satu per satu arwah yang berada di sana untuk berjalan ke arah cahaya. Tentunya dengan bantuan benda semacam tablet yang dibawa oleh setiap malaikat.
Ia melihat arwah terakhir yang harus dibawa olehnya, sedang duduk melihat kerumunan malaikat yang sedang menuntun manusia menuju cahaya itu.
"Aku ... sudah mati?" tanyanya saat sang Malaikat menghampirinya.
"Ya, dan aku bertugas untuk menuntunmu masuk ke cahaya itu." Balas malaikat itu. Arwah itu mengernyit dan melihat sekelilingnya.
"Aku tak melihat sebuah cahaya. Lagi pula, aku belum mau mati!" ucap arwah itu dengan tegas.
"Apa ada sesuatu yang membuatmu penasaran? Aku akan membantumu. Karena tugasku tak akan selesai sebelum aku menuntunmu menuju cahaya itu." Malaikat itu kembali menjawab pertanyaannya.
"Aku tak memiliki satupun rasa penasaran. Impianku sudah terwujud, setidaknya beberapa jam yang lalu sebelum penembakan membabi buta ini terjadi," ucapnya santai. "Dan namaku Clara."
---
Sudah berhari hari berlalu, tapi Clara belum juga berhasil dituntunnya menuju cahaya. Membuat sang Malaikat kebingungan harus melakukan apa pada arwah itu, sementara ia pun harus sibuk mengantarkan para manusia yang sudah meninggal.
"Hei, Putih! Apa kamu memiliki nama?"
Sang Malaikat mengernyit tak suka saat Clara memanggilnya dengan sebutan 'putih'.
"Semua malaikat tak memiliki nama," jawabnya singkat. Clara mengangguk seakan ia mengerti dan memikirkan sesuatu disaat yang sama.
"Kalau begitu, mulai sekarang namamu adalah Alistair," putus Clara sambil memegang bahu sang Malaikat.
Alistair... Batin sang Malaikat yang berbicara. Sepertinya itu lebih baik dibanding putih.
"Terserah apa katamu. Seharusnya kamu segera pergi dari dunia, apa kamu tak ingin masuk ke dalam cahaya?" tanya Al, sang Malaikat.
"Memang ada apa di dalam cahaya itu?" Clara membalasnya dengan sebuah pertanyaan. Membuat sang Malaikat terkekeh pelan dan menerawang jauh ke atas langit.
"Aku ... tak tahu," ujarnya. "Aku bertugas hanya untuk menuntun, bukan untuk membawa kalian langsung ke sana. Para sayap hitam berkata ia membawa para arwah itu ke neraka, apa artinya kami para sayap putih membawa kalian ke surga?" Sang Malaikat berujar tak yakin.
"Omong omong, ayo kita ke suatu tempat," ajak Clara, "ternyata meninggal itu ada keuntungannya juga. Aku bisa terbang dan tak perlu melakukan aktivitas yang melelahkan."
Sang Malaikat hanya mengikuti kemana Clara pergi, sambil diam-diam mengulum senyuman. Baru kali ini ia menemukan arwah yang banyak mau seperti Clara.
Ia sering menemukan arwah yang memberontak, marah, menangis, bahkan memohon agar kehidupannya dikembalikan. Tapi tidak kali ini, Clara hanya diam, bahkan bertanya-tanya kenapa cahaya itu belum menjemputnya. Tapi bukankah ia sendiri yang berkata bahwa ia tak ingin meninggal?
Clara, adalah arwah pertama yang sukses membuatnya tertarik sekaligus penasaran. Hingga tak disadari oleh sang Malaikat bahwa saat ini ia telah berada di kawasan universitas yang tak jauh dari lokasi di mana sang arwah meninggal.
"Untuk apa kita ke sini?" Sang Malaikat bertanya.
"Al, apa kamu pernah jatuh cinta?" Sang arwah mengabaikan pertanyaan darinya, seakan mengalihkan pembicaraan yang ternyata berhasil.
Cinta? Apa itu cinta? Sang Malaikat bertanya dalam hati.
"Aku tak tahu apa itu cinta." Sang Malaikat berdeham, mengucapkan kalimat itu dengan nada yang sangat datar.
"Aku hampir lupa bahwa kamu adalah malaikat. Tapi ... apakah kamu tak memiliki pasangan saat bertugas?" Sang Arwah mendekat, dan entah mengapa sang Malaikat merasakan dada kirinya bergemuruh.
Rasanya sedikit sakit, namun ia menyukai apa yang dirasakannya saat ini.
"Kami para sayap putih melakukan tugas sendirian. Begitu pula para sayap hitam."
Clara, sang arwah mengernyit. Sayap putih? Sayap hitam? Apalagi itu? Batin Clara bersuara.
"Jadi kalian menyebut diri kalian dengan sebutan itu? Ada apa dengan malaikat?" Kemudian Clara tertawa. "Apa semua malaikat ditakdirkan menjadi jomblo?"
"Bukankah kalian yang menyebut kami seperti itu. Sudah ku katakan bukan, bahwa sejak awal kami tak pernah memiliki nama. Begitupun sebutan," jelas sang Malaikat, "Lagi pula, bukankah tadi aku bertanya padamu. Apa yang kita lakukan disini?"
Clara terdiam mendengar penjelasan sang Malaikat. Apakah ia tak pernah merasakan kesepian?
"Aku mengunjungi kerabatku."
---
Seharian ini, sang Malaikat tak sempat berbicara dengan Clara walaupun arwah itu terus mengikutinya kemanapun. Dan saat ini, mereka sedang duduk di atas atap salah satu gedung perkantoran yang tak terlalu tinggi namun cukup untuk melihat keramaian kota di sore hari.
"Hei, Al! Jika kamu diberi kesempatan untuk meminta satu permintaan oleh Tuhan, apa yang kamu inginkan?" tanya Clara tiba-tiba. Arwah ini selalu bertanya secara tiba-tiba dan membuat sang Malaikat berusaha memikirkan jawaban atas pertanyaannya.
"Hmm, aku ingin menjadi manusia," jawab sang Malaikat dengan pandangan menerawang.
"Kenapa?"
"Aku ingin memiliki sebuah perasaan. Maksudku, aku ingin tahu mengapa manusia selalu merasa menyesal, dan berbagai macam perasaan lainnya ketika kami sayap putih menjemputnya," jelas sang Malaikat membuat Clara tersenyum.
"Bagaimana denganmu?"
"Aku ingin terlahir kembali bukan menjadi bagian keluargaku."
Reinkarnasi? Sang Malaikat pernah mendengar itu. Berlaku untuk para sayap putih yang melakukan tugasnya dengan sangat baik, atau ... menukar kehidupannya yang abadi seperti sekarang, untuk meminta satu permintaan pada dewa.
"Manusia tak bisa reinkarnasi." Sang Malaikat tertawa, Clara menatapnya terkejut. Tak pernah ia melihat ekspresi sang Malaikat selain memasang tampang dingin dan datar. Hingga akhirnya Clara menunduk untuk menatap keramaian di bawahnya dan melihat sosok yang tak asing di matanya.
"Setidaknya, jika aku memang bisa terlahir kembali menjadi orang lain ... aku ingin jatuh cinta secara normal, bukan jatuh cinta dengan pamanku sendiri." Clara berucap dengan lirih lalu pergi secepat mungkin membuat sang Malaikat yang sedari tadi mendengarkan ucapannya kebingungan saat melihat tingkahnya.
Sang Malaikat memilih untuk mengabaikan tingkah Clara dan memilih untuk melihat tabletnya, memeriksa apakah ada tugas yang masuk. Dan ia menemukan satu pemberitahuan.
Nama: Devano F.
Umur: 31 tahun.
Pekerjaan: Dosen universitas X.
Penyebab kematian: Kecelakaan akibat melamun saat menyebrang.
Waktu kematian: 20.13
Lokasi kematian: Perempatan depan Gedung X, district B.
Ia melihat ke arah bulan dan memperkirakan bahwa waktu kematian calon arwah itu kurang dari 90 menit lagi. Sehingga ia berpikir bahwa ia memiliki waktu yang cukup untuk mencari Clara.
Tak lama sejak ia mulai mencari Clara, ia menemukan gadis itu di taman universitas yang beberapa hari lalu didatanginya.
"Kenapa kamu pergi?" tanya sang Malaikat saat ia menghampiri Clara yang menekuk kedua kakinya dan mengikatnya dengan kedua lengannya.
"Aku melihat seseorang yang tak ingin aku lihat di sana," jawabnya dengan pandangan menerawang.
"Jika memang kamu tak ingin melihatnya, mengapa kamu kembali ke tempat di mana kamu tahu, kamu bisa melihatnya?" Sang Malaikat berucap dengan santai, seperti tak menyadari bahwa ucapannya bisa saja menyakiti Clara.
"Karena aku mencintainya, walau ia adalah pamanku. Walaupun ia sudah bertunangan yang bahkan aku tak tahu bahwa ia dekat dengan seorang wanita ... selain aku." Clara menangis.
Untuk pertama kalinya sang Malaikat dapat melihat isi hati arwah itu. "Karena itulah saat di mana aku mati hari itu, aku sudah pasrah sekaligus tak rela. Aku tahu aku tak memiliki harapan, namun aku tak sanggup melihatnya hidup bersama wanita lain selain aku."
Apakah aku harus memberitahunya? Batin sang Malaikat berucap. Perlahan ia mengangguk untuk meyakinkan dirinya sendiri dan menghela napas.
"Yang menjadi alasan mengapa kamu masih tetap tak bisa melihat cahaya, dia bukan? Kamu penasaran mengapa pamanmu tiba tiba memiliki tunangan, bukan?
"Sebenarnya, ada satu cara di mana kamu bisa membuatnya dapat melihatmu dan berbicara padanya untuk terakhir kalinya." Clara menghentikan tangisannya, dan menatap sang Malaikat dengan pandangan berharap.
"Dengan cara memaksa cahaya itu untuk datang kepadamu. Tapi, cara ini sangat dihindari karena kamu harus menukarkan kehidupan abadimu, dengan sesuatu yang tak pernah aku tahu.
"Sekitar 20 menit lagi, aku akan menjemputnya. Dia akan meninggal sebentar lagi, dan aku rasa ... inilah saat yang tepat untukmu untuk memaksa cahaya itu keluar." Clara membelalakkan matanya dan langsung mengikuti sang Malaikat yang menunjukkan lokasi di mana sang paman akan meninggal.
Hingga akhirnya, mereka tiba di tempat mereka dapat melihat paman Clara. Clara membalikkan badan sehingga ia berhadapan dengan sang Malaikat. Secara tiba tiba ia memeluk sang Malaikat.
"Al, terima kasih. Aku harap setelah ini kita dapat bertemu lagi di kehidupan selanjutnya. Dan aku harap di kehidupan selanjutnya, kamu tak akan sendirian lagi seperti jomblo," ucap Clara tulus kemudian mencium pipi sang Malaikat.
---
Clara mengikuti jejak sang paman, hingga lelaki itu berdiri termenung di bawah lampu penyeberangan yang masih merah.
Ini saatnya. Sang Malaikat mengisyaratkan Clara.
Dengan satu tarikan napas, ia langsung melihat cahaya. Juga merasakan ada sayap yang tumbuh di punggungnya.
"Kak Dave," panggil Clara. Membuat seseorang yang dipanggilnya itu mencari asal suara yang benar-benar dikenalinya, hingga ia melihat tubuh Clara yang melayang dan memiliki sayap.
"Bolehkah aku bertanya padamu? Aku ternyata tak dapat pergi ke surga karena penasaran akan satu hal." Clara tertawa dan melihat orang yang dipanggilnya dengan sebutan Dave menatapnya dalam dengan netranya yang berkaca-kaca.
"Tanyakan apapun padaku, sebanyak apapun yang kamu mau. Tapi kumohon, jangan pergi dari hadapanku Clara ... aku tak tahu apa yang harus aku lakukan tanpamu. Aku ... lelah berpura-pura bahwa aku baik-baik saja tanpamu."
Clara yang mendengar kembali suara Dave pun tak kuasa untuk terbang mendekat dan memeluk lelaki itu.
"Aku harap aku bisa melakukan itu, Kak. Tapi aku tak bisa, ini takdirku. Bahkan aku menukar kehidupan setelah kematian ini untuk dapat berbicara padamu untuk terakhir kalinya.
"Yang menjadi rasa penasaranku adalah ... bagaimana kamu bisa bertunangan dengan Rena, di saat aku bahkan tak pernah melihatmu dekat dengan wanita lain?" Clara tertawa miris melihat Dave yang terdiam karena pertanyaan Clara.
"Karena aku mencintaimu, Clara. Lebih dari perasaan paman yang mencintai keponakannya. Kakek mengetahui perasaanku, dan diam diam menjodohkanku dengan gadis itu.
"Jika perasaanku membuatmu meninggalkanku seperti ini, seharusnya aku menolak permintaan kakek. Juga tak membiarkanmu untuk datang ke konser sialan itu sendiri.
"Clara, bisakah kamu membawaku ke dunia di mana aku bisa mengatakan bahwa aku mencintaimu tanpa terikat hubungan darah seperti ini?"
Clara kembali menangis. Kali ini, tangisan lega sekaligus tersiksa. Lega karena ternyata Dave memiliki perasaan yang sama dengannya, dan tersiksa karena lelaki itu menjadi seperti ini karena kematiannya.
Clara memberanikan diri untuk menangkup pipi lelaki itu kemudian menciumnya tepat di bibir. Dave sempat terpaku untuk sesaat sebelum akhirnya membalas ciuman gadis arwah itu.
"Jangan berbicara seperti itu, Kak. Aku tak akan tega untuk memintamu mati dan ikut bersamaku. Aku tak menyesal jika akhirnya aku harus meninggal dengan cara seperti ini. Tapi kamu tak boleh meninggal, hidup kamu masih panjang.
"Aku hanya bersyukur bahwa ternyata, kita memiliki perasaan yang sama. Aku mencintaimu, Kak Dave. Dan selamanya akan begitu, kamu cinta terakhirku dan perasaan ini akan abadi selamanya karena aku tak akan menemukan cinta yang lainnya. Terima kasih kamu telah membuatku merasakan ciuman pertamaku, rasanya asin seperti air mata.
"Kumohon, berbahagialah Kak bersama gadis pilihan kakek. Dia gadis yang baik walaupun sedikit ceroboh, aku lupa berkata bahwa dia sahabatku." Clara tersenyum tulus saat mengucapkan kalimat itu terlebih saat Dave mengangguk saat mendengarnya.
Tubuh Clara sekarang kian menipis, sekali lagi ia memeluk dan mengecup bibir Dave sebelum mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Aku mencintaimu, Dave. Apapun yang terjadi, jangan pernah lupakan aku."
Dave melihat arwah Clara yang mulai memudar kemudian menghilang terbawa angin, dan tersenyum sedih.
"Tak akan pernah."
Begitu pula dengan sang Malaikat yang melihatnya dari awal mereka berbicara, bahkan dadanya berdenyut memberikan rasa sakit yang tak pernah dirasakannya sebelum bertemu dengan arwah Clara. Ia melihat tabletnya dan nama lelaki itu telah menghilang dari benda pipih itu.
Ia pun terbang menjauh, lalu tiba di pusat para penuntun arwah, dan langsung bergerak menuju ruang atasannya.
"Tuan, salah satu sayap putih pernah berkata padaku, bahwa aku dapat menukar sayapku dengan satu permintaan. Dan saat ini, bolehkah aku menukarnya dengan satu permintaan?" Sang Malaikat berucap dengan yakin.
"Kamu tahu, di saat para sayap putih datang padaku untuk menukar sayapnya, di saat itu pula aku mengetahui bahwa mereka mulai mengenal apa yang dinamakan 'harapan' dan 'cinta'. Itu pilihanmu, dan sebutkan permintaanmu!"
"Aku ingin arwah nomor xxx mendapatkan kesempatan untuk reinkarnasi."
---
Lelaki itu berdiri di bawah lampu penyeberangan, terik matahari di siang hari cukup membuatnya ingin mampir ke toko minuman di seberang jalan ini. Orang-orang yang ingin menyeberangi perempatan ini tak terlalu banyak, walaupun masih banyak mereka yang berlalu lalang di belakangnya.
Ia melihat ke segala arah hingga akhirnya ia melihat gadis yang sibuk menatap ponselnya sampai ia tak menyadari bahwa lampu penyeberangan masih merah. Refleks, lelaki itu menarik lengan si gadis hingga akhirnya gadis itu mengalihkan perhatiannya dari ponselnya.
"Terima kasih," ucap si gadis. Lelaki itu hanya tersenyum dan mengangguk sopan.
"Kamu juga ingin pergi ke toko baru itu?" Lelaki itu memulai pembicaraan. Dan si gadis memasukkan ponselnya ke saku blazer sekolahnya lalu kembali menoleh kearah lelaki itu.
"Temanku bilang, thai tea di toko itu cukup enak," jelas si gadis. "Anyway, aku Clara."
Si lelaki sejenak tertegun saat melihat gadis itu tersenyum. Seperti pernah melihat senyuman khas gadis itu sejak lama.
"Aku Alistair." Lelaki itu ikut tersenyum. "Mau berbagi meja denganku di sana?"
---
Sekarang, apakah kau percaya?
-end-
fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri SerAyue summerlove_12 NyayuSilviaArnaz Intanrsvln EnggarMawarni HeraUzuchii YuiKoyuri holladollam veaaprilia sicuteaabis Bae-nih MethaSaja RaihanaKSnowflake Keizia09 xxgyuu Nurr_Salma opicepaka AnjaniAjha destiianaa aizawa_yuki666 FairyGodmother3 Vielnade28 umenosekai chocodelette demimoy somenaa rachmahwahyu Reia_ariadne nurizkagita glbyvyn TriyaRin AndiAR22 beingacid nurul_cahaya TiaraWales iamtrhnf Riaa_Raiye WindaZizty realAmeilyaM spoudyoo Icha_cutex meoowii Nona_Vannie whiteghostwriter deanakhmad irmaharyuni c2_anin umaya_afs megaoktaviasd NisaAtfiatmico
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top