Aku Memilih Jones

Author : beingacid

******

Ku memilih jones.

"I love you, Marsela." Alan berbisik pelan pada gadis di hadapannya. Tidak ada tanggapan dari gadis itu. Pun gadis itu tidak membuka matanya.

Alan menghela napas dengan berat. Matanya tidak lepas dari wajah gadis di hadapannya itu, menelusuri setiap senti wajah mungil itu. Tangannya terulur untuk menyentuh wajah itu, tetapi Alan mengurungkan niatnya. Dia malah mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustrasi.

Alan tidak habis pikir, bisa-bisanya Marsel tertidur di dalam perpustakaan kampus dengan lelapnya. Memang perpustakaan kampus mereka sangat nyaman, terutama di lantai teratas ini. 

Kampusnya menyediakan beberapa bean bag di lantai yang beralaskan karpet itu. Sisa lantai itu hanya ruangan-ruangan belajar dan beberapa rak buku referensi. Tidak banyak mahasiswa yang bolak-balik di sana, terutama menjelang tutup seperti saat ini. Tetap aja, lantai berkarpet itu bukan alas yang empuk untuk bisa tidur.

"Kamu pasti capek banget ya, Cel," ucap Alan lagi. "Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku sih? Aku nggak tega lihat kamu seperti ini." Kali ini, dia benar-benar menyentuh pipi Marsela dan membelainya dengan lembut. 

Entah apa salah gadis ini sampai dia harus menanggung masalah seperti ini. Dia dengar dari sahabatnya, bahwa belakangan ini kedua orangtua Marsela kerap bertengkar dan itu membuat Marsela sangat tertekan.

Sesaat kemudian, mata Marsela membuka perlahan. 

Siapa yang berani ganggu tidurku?

"Alan!" seru Marsela dengan kesal. "Jauhkan tangan kamu sekarang!"

Alan cemberut, lalu dia menarik tangannya menjauh dari wajah Marsela. Marsela merapikan rambutnya dan perlahan duduk dan bersandar di bean bag-nya.

"Kamu ngapain malah tidur di sini? Kalau capek, ya pulang." Alan malah memarahi Marsela.

Marsela memasang muka kesal.

Kalau aku bisa pulang, aku sudah pulang dari tadi. 

"Atau kamu memang sengaja nunggu aku, ya?" ujar Alan lagi. Marsela membuang pandangannya ke arah lain sambil memutar bola matanya.

Bocah ini pede-nya selangit! Marsela mengumpat dalam hati.

"Kalau gitu, yuk, kita pulang bareng!" Alan menarik tangan Marsela. Dengan cepat, Marsela menarik kembali tangannya.

"Aku nggak mau pulang. Bisa nggak sih, kamu jangan ganggu aku?" ujar Marsela.

Alih-alih menjauh, Alan malah mendekatkan wajahnya ke wajah Marsela, membuat jantung Marsela berdegup dengan kencang. Bagaimana pun Alan termasuk salah satu laki-laki yang bisa dibilang rupawan. Wajahnya campuran antara kharisma Jo Sung In dan kelembutan Lee Min Ho. Tiba-tiba saja, udara di sekitar Marsela terasa menyusut dan wajahnya menghangat. Sama sekali bukan reaksi yang dia inginkan.

"Kita perlu bicara serius, Marsela." Pupil mata Marsela membesar ketika dia mendengar namanya disebut secara lengkap dengan suara rendah Alan. "Kamu nggak bisa terus-terusan menolak aku." 

Marsela tertegun sejenak.

Selama ini Marsela hanya menganggap Alan adalah anak kecil yang nekat mendekatinya tanpa niat untuk mundur. Usia mereka terpaut tiga tahun, Alan tiga tahun lebih muda. Jadi, jangan salahkan Marsela karena menganggap Alan anak kecil. Bagi Marsela, selamanya Alan lebih pantas menjadi adiknya daripada menjadi kekasihnya atau suami dan ayah dari anak-anaknya kelak. Memikirkannya saja, Marsela sudah bergidik ngeri.

Marsela membalas tatapan Alan dengan berani walaupun jantungnya sudah mau melompat keluar. Dia bisa merasakan kelembutan sekaligus ketegasan dalam binar mata Alan. Mata itu bukan mata seorang anak kecil yang sekedar menginginkan mainan kesayangannya, tetapi ada keinginan untuk melindungi dan tanggung jawab yang siap dia berikan.

"Hei, kalian!" Sebuah suara memecah fokus mereka. Keduanya sama-sama menoleh. Seorang dosen menegur mereka. "Ini sudah malam. Jangan pacaran di perpustakaan! Cepat pulang, perpustakaan sudah tutup."

Mereka hanya mengangguk takut-takut. Marsela membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tasnya sementara Alan hanya menunggu di sampingnya. Setelah itu, mereka pun berjalan keluar dari perpustakaan.

***
Alan berhasil memaksa Marsela makan sepulangnya mereka dari perpustakaan. Setelah makan, Alan berniat mengantarkan Marsela pulang. 

Berulang kali, Marsela menolak. Namun, akhirnya Alan berhasil juga membuat Marsela mengikutinya ke parkiran. Sejenak Marsela ragu untuk naik ke atas motor Alan. Akhirnya, dia menurut juga karena Alan terus menerus menatapnya dengan pandangan menuntut. Alan tersenyum tipis ketika merasakan Marsela sudah duduk manis di jok belakangnya.

Baru saja Alan ingin menyalakan mesin motornya untuk mengantar Marsela pulang, gadis itu tiba-tiba menangis tersedu-sedu di punggungnya sambil mencengkram jaketnya dan merengek tidak mau pulang. Marsela menceritakan alasannya. 

Alan hanya bisa terhenyak di tempatnya Marsela sambil mendengarkan cerita Marsela tentang masalah kini tengah melanda keluarganya. Mendengarnya langsung dari bibir Marsela membuat Alan semakin menyadari betapa berat tekanan yang kini sedang dihadapinya.

"Kalau sekarang kamu nggak mau pulang, aku harus antar kamu ke mana?" tanya Alan setengah putus asa. 

Marsela masih terisak pelan di punggungnya. Alan meraih tangan Marsela yang masih mencengkram jaketnya dan mengusapnya lembut bermaksud menenangkannya.

"Aku ... aku pulang ke rumah kamu aja, pasti ada kamar yang bisa aku tempati. Besok aku cari tempat lain," jawab Marsela. 

Alan tertegun mendengar jawaban Marsela. Adalah hal yang mustahil bahwa gadis yang selama ini selalu menolak kehadirannya kapan saja dan di mana saja, kini meminta dibawa pulang ke rumahnya. Bukannya Alan tidak ingin, tetapi rumahnya ada di radius lebih dari 200 km dari kampusnya. Dia di sini tinggal di sebuah apartemen jenis studio di dekat kampus.

"A-aku tinggal di apartemen, Cel."

"Hah? Bukannya dulu rumah kamu deket sama rumah aku?"

"Aku sudah lama pindah ke Bandung, keluargaku tinggal di sana sekarang."

Hening. Tidak ada yang berbicara lagi. Marsela kebingungan mencari alternatif lain. 

Dia memang punya cukup uang untuk menyewa kamar hotel, tetapi tidak ada hotel di daerah kampusnya. Beberapa hari ini, ketika suasana di rumah memanas, Marsela memang berpikir untuk mencari kamar kos, tetapi sayangnya dia belum menemukan yang pas. 

Alan sendiri mengalami dilema yang tidak kunjung selesai. Di satu sisi dia ingin menolong Marsela dan membiarkan gadis itu menginap di apartemennya. Di sisi lain, dia tidak mempercayai dirinya sendiri untuk berada dalam satu ruangan dengan gadis yang selama ini menolaknya. Bisa saja dia khilaf dan malah membuat kesalahan yang akan disesalinya nanti. Namun, sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Tidak ada tempat lain yang bisa didatangi Marsela di jam-jam malam seperti ini, selain apartemennya sendiri.

"Kamu nginep di tempat aku aja, aku nggak akan macem-macem," putus Alan. Selang beberapa detik kemudian, Alan bisa mendengar Marsela menggumam setuju.

***

"Alan!"

Ini sudah kesekian kalinya Marsela mencoba membangunkan Alan yang masih meringkuk di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda bahwa laki-laki itu mendengar panggilannya.

Marsela memutar otak. Akhirnya dia melangkah ke pantry, mencari kopi instan. Dia berniat menyeduhnya dan membiarkan wangi kopi saja yang membangunkan Alan. 

Marsela sengaja membawa kopi itu ke dekat Alan, menaruh cangkirnya di atas meja kecil di sampimg sofa.  Dia duduk di lantai dan menuju.

Menit berikutnya, Alan menggeliat di bawah selimutnya. Marsela tersenyum penuh kemenangan. Strateginya berhasil. 

"Alan," panggil Marsela. Alan membalikkan badan dan membuka matanya. Begitu tahu siapa yang memanggilnya, dia membelalak kaget dan langsung duduk. Sepotong kejadian semalam berputar sebentar di kepalanya.

"Sorry, aku beneran lupa ada kamu!" kata Alan sambil mengucek-ucek matanya.

"Aku buatkan kopi," ujar Marsela pendek. Dia mengulurkan kopi kepada Alan. Alan menerimanya sambil tersenyum.

"Thanks, but I don't drink coffee." Alan meletakkan kembali cangkir kopi itu di atas meja.

"Oh." Marsela mendesah kecewa. "Uhm, aku buatkan teh, kalo gitu." Marsela sudah ingin beranjak dari tempat duduknya, tetapi tangan Alan menahannya. 

"Kenapa kamu berubah jadi baik dan perhatian sama aku? Kamu nggak perlu seperti itu untuk berterima kasih atas kejadian semalam," kata Alan. 

Marsela memutar bola matanya, kesal karena Alan terlalu percaya diri. Dia perlu bicara pada Alan, bicara serius. Maka dari itu, dia butuh Alan sadar sepenuhnya supaya laki-laki itu paham dengan apa yang akan dibicarakannya. 

"Aku nggak bisa lama-lama di sini. Aku mau keluar untuk cari kos," kata Marsela. "Tapi aku mau ngomong sesuatu sama kamu dulu."

"Oke, ngomong aja," balas Alan.

"Aku butuh kamu untuk sadar sepenuhnya, bukan masih setengah jiwa begini. At least, sambil sarapan?" tawar Marsela. 

"I can make my own breakfast. Kamu ngomong aja. I'm 100% here," balas Alan. 

"Oke." Marsela menghela napas panjang. Matanya menatap mata Alan yang dengan senang hati membalas tatapannya. "Aku mau kamu nggak ganggu aku lagi."

 Perlahan dan tegas. Alan diam saja mendengar kalimat itu meluncur dari bibir Marsela. Seperti ada yang meremas hatinya dan Alan setengah yakin dia akan muntah apabila dia membuka mulutnya.

"Bukannya aku nggak berterima kasih sama kamu karena semua ini. Tapi..." Marsela berhenti sebentar untuk mengatur detak jantungnya yang berdebar cepat, "kita nggak akan pernah berhasil."

"Kamu belum coba," gumam Alan pelan. Marsela mendengarnya walaupun Alan sama sekali tidak bermaksud begitu, dia hanya bergumam pada dirinya sendiri.

"Aku butuh orang yang lebih dewasa, Al. Selamanya aku akan menganggap kamu sebagai adikku," kata Marsela. "Belum lagi ditambah dengan kondisi orangtuaku yang di ujung tanduk. It's not gonna work."

"Never say never," gumam Alan lagi. 

Marsela mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Alan dan menggenggamnya. Alan balas menggenggam tangan Marsela. "Setiap orang punya kisahnya masing-masing, Cel. Aku paham situasi yang kamu hadapi sekarang nggak mudah. Tapi kamu nggak boleh seperti ini. Aku--"

"Janji satu hal sama aku, Al, kalau kamu beneran sayang sama aku," potong Marsela. Alan menunggu dalam diam. Tentu saja dia akan melakukan apapun untuk membuktikan rasa sayangnya pada Marsela. Tidak peduli dia lebih muda dari Marsela. Bagi Alan, usia hanya soal angka. 

Marsela menghela napasnya. Ini keputusan yang berat, tetapi dia yakin ini yang terbaik untuk dirinya dan terutama Alan. Alan tidak boleh ikut terjebak dalam situasi yang salah. Jalan pikiran Alan harus diluruskan bahwa dia bisa memilih gadis manapun yang lebih muda, bukan lebih tua. Apa pendapat orang-orang jika mengetahui hal itu? Bagaimana tanggapan keluarganya? Tidak semua orang bisa berpikir terbuka.

"Cari cewek lain, yang lebih muda dari kamu." Alan sudah membuka mulutnya untuk protes, tetapi Marsela mengangkat tangannya meminta Alan mendengarkan kata-katanya sampai selesai. "Aku yakin pasti banyak yang bisa membalas perasaan kamu. Kamu anak yang baik, Al."

"Kenapa aku nggak boleh terus mendekati kamu?" tanya Alan dengan suara bergetar.

"Karena aku sayang sama aku, dan kamu akan melakukan apa yang aku minta, Alan. Tolong, berbahagialah dengan orang lain untuk aku," kata Marsela. Alan menatap Marsela. Mulut manis itu telah membuat Alan kehilangan kata-kata. "Ya?"

Lama Alan menatap Marsela. Semakin lama semakin sakit hatinya. Bagaimana dia bisa menyayangi orang lain demi perasaannya pada Marsela? 

Demi Marsela, Al, Demi Marsela. Dia nggak pernah minta apa-apa. Sekarang sanggupkah aku mengabulkan stau-satunya permintaan dia? 

"Oke." Alan memberikan janjinya. Marsela tersenyum pada Alan. Dia lalu melepas genggaman tangan Alan.

"Kalau begitu, aku pergi dulu ya. Terima kasih untuk semuanya, Al," ujar Marsela tulus.

Alan hanya mengangguk pelan. Dia ingin membalas senyum Marsela, tetapi tidak bisa. Matanya mengekori sosok Marsela yang berjalan kee arah pintu, lalu melambai padanya sebelum akhirnya hilang dari hadapannya.

***

Tiga bulan sudah berlalu. Hari itu Marsela sedang duduk di salah satu meja di dalam perpustakaan. Ekor matanya menangkap sosok Alan yang baru masuk ke perpustakaan bersama seorang gadis. Sikapnya sangat baik dan sopan, tidak lupa senyumnya yang lembut diulaskan untuk gadis itu.  Marsela tersenyum tipis menyaksikan itu. Laki-laki itu benar-benar menepati janjinya. Alan tidak pernah lagi mengganggu hidupnya. Interaksi mereka hanya sekedar bertukar senyum jika kebetulan berpapasan. 

Marsela kembali menekuni buku di hadapannya walaupun dia harus mengabaikan rasa ganjil yang muncul ketika melihat Alan dengan gadis lain.

Sudahlah, Sel, Marsela menegur dirinya sendiri. Kan aku sendiri yang memilih untuk tetap sendiri. Lagipula perceraian orangtuaku udah jadi bukti nyata bahwa hubungan semacam itu hanya berakhir luka saja. Begini lebih baik.

~END

AndiAR22 whiteghostwriter glbyvyn NisaAtfiatmico irmaharyuni c2_anin deanakhmad Nona_Vannie megaoktaviasd umaya_afs meoowii Icha_cutex rachmahwahyu WindaZizty 0nly_Reader summerlove_12 bettaderogers Vielnade28

iamtrhnf spoudyoo TriyaRin Reia_ariadne TiaraWales beingacid nurul_cahaya somenaa realAmeilyaM FairyGodmother3 destiianaa opicepaka RaihanaKSnowflake umenosekai aizawa_yuki666

veaaprilia MethaSaja sicuteaabis brynamahestri EnggarMawarni NyayuSilviaArnaz xxgyuu SerAyue Bae-nih Nurr_Salma Intanrsvln YuiKoyuri  HeraUzuchii fffttmh AnjaniAjha. demimoy JuliaRosyad9 holladollam

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top