sembilan
Raz dalam diamnya menunggu kapan presensi ibunya akan hadir di ruang di mana Kay dirawat. Meski Raz tidak memberi tahu, resepsionis rumah sakit tentu tidak segan untuk menunjukkan di mana pasien Bernama Azkayra Almisky dirawat. Jadi begitu tahu sampai jam jenguk pasien habis dan Wina tidak menampakkan dirinya, Raz akui ia cukup kecewa dan sedikit marah.
"Kak, air," pinta Kay dengan suara serak khas bangun tidur. Segelas air Raz berikan pelan-pelan.
"Jam berapa, Kak?"
"Jam delapan malem. Makan dulu, yuk, nanti dingin makanannya."
"Enggak mau, pait."
"Kay ...." Kay menghela napas, kemudian dengan enggan meraih nampan berisi makanan khas rumah sakit dari Raz.
Satu suap, dua suap, hingga sampai suapan terakhir berhasil dikonsumsi Kay. Setelah meminum obat dan mengobrol sebentar dengan Raz, Kay memilih untuk tidur, apalagi ditemani dengan suara rintikan hujan yang samar-samar ia dengar.
Raz melihat wajah damai Kay. Kadang ia berpikir, apa yang sudah Kay perbuat sampai harus menjalani kehidupan yang cukup menyesakkan. Ibunya bahkan sudah berada dekat dengannya, tetapi begitu susah untuk bertemu dan bertatap muka.
Andai Raz tahu kalau Wina menahan diri untuk tidak masuk ke ruangan Kay karena kepalang malu tidak mengakui Kay sebagai darah dagingnya.
Mungkin bagi Raz, lebih baik Kay tidak perlu bertemu dengan Wina daripada kehadiran Wina hanya menyakiti adiknya.
Mungkin bagi Raz, cukup Raz saja yang mengetahui fakta bahwa Wina dan Danu—ayahnya—benar-benar melupakan kehadiran mereka berdua meski Mbok bersikeras bahwa Wina dan Danu tak pernah membuang mereka berdua.
Mungkin di mata Raz, keluarga yang ia punya hanya Kay dan berlaku sebaliknya.
>><<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top