enam
Sudah dari awal sebenarnya Kay selalu menyangkal kalau alur hidupnya terlalu mulus beberapa waktu ke belakang. Kedatangan seseorang yang mengaku saudara kandung setelah tujuh belas tahun berpisah, kemudian berlagak kalau mereka hanya terpisah dalam waktu satu dua hari saja, bukankah terlalu naif untuk Kay menerimanya tanpa rasa curiga? Hei, ini bukan cerita fiksi karangan remaja yang berandai-andai memiliki seseorang yang terlalu sempurna. Ini realita dan tidak semuanya berakhir baik-baik saja.
Apa Kay diam saja setelah hasil tes DNA keluar? Jawabannya ... tidak.
Sebesar apapun keinginan Kay untuk memiliki keluarga—apalagi setelah Bunda meninggal—Kay tentu tidak bisa langsung menerima kedatangan Atha yang terlalu tiba-tiba.
Diam-diam ia mulai bertanya-tanya. Apa benar Atha kakak kandungnya? Apa benar mereka berdua dibuang oleh orang tua mereka sendiri? Sejahat itukah orang tuanya sampai membuang dua ... dua darah daging mereka? Dan darimana Raz bisa menyimpulkan kalau mereka berdua dibuang?
Di sinilah sekarang Kay berada. Di rumah Mbok, begitu Mbak Ratna memanggilnya. Mbok yang Kay tahu adalah seorang ibu sebaya Bunda yang membantu awal kali Bunda mendirikan panti asuhan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa yang menyambut kedatangan Kay dan Raz adalah Mbok dan Bunda.
Tok ... tok ... tok ...
Kay belum mendapat respons.
Tok ... tok ... tok ...
Belum ada sahutan. Kay mengecek arloji hitam yang melingkar di tangannya, masih pukul empat sore, tidak terlalu malam untuk bertamu, bukan?
Tok ... tok ... to—
Pintu berderit.
"Sinten, nggih?" (Siapa, ya?) Wanita paruh baya muncul di depan Kay.
Kay mundur satu langkah, membiarkan ibu-ibu berumur lima puluh tahunan itu 'memindainya'.
"Mohon maaf Ibu mengganggu waktunya sebentar, nama saya Kayra. Apa boleh saya bertanya sebentar, Ibu?" tanya Kay sopan.
"Oala, iyo-iyo, Nduk. Ayo, nang njero ae cek enak." (Oh, iya-iya, Nak. Ayo, di dalam saja biar enak.)
Tenang. Itu yang Kay rasakan saat pertama kali menginjakkan kakinya ke dalam rumah wanita paruh baya itu. Meski tinggal di kota metropolitan, rasanya Kay sedang tinggal di rumah-rumah khas pedesaan yang hanya memakai tikar anyaman sebagai alas duduknya.
"Maaf, ya, Nduk, Mbok enggak punya kursi." Wanita paruh baya yang memanggil dirinya 'Mbok' mungkin menyadari atensi Kay teralihkan kepada rumahnya yang sederhana itu.
"Enggak apa-apa, Ibu. Ini udah nyaman banget kok, hehe," ungkap Kay jujur sambil duduk bersila setelah dipersilakan.
"Iki, diombe, yo!" (Ini, diminum, ya!) Mbok menyuguhkan segelas teh hangat bersamaan dengan teko berisi likuid yang sama.
"Onok opo iki?" (Ada apa ini?) tanya Mbok dengan halus meskipun tidak memakai krama, seakan mengerti nilai bahasa Jawa Kay remedi.
"Mbok kenal Bunda Almira?" tanya Kay langsung ke intinya. Waktu Kay tidak banyak.
"Almira? Sopo, yo, kaya tau krungu," (Siapa, ya, seperti pernah dengar.) jawab Mbok sambil mencari-cari informasi dalam kepalanya.
"Ya Allah, Almira, inget-inget. Sampeyan kuwi sopone Almira?" (Kamu siapanya Almira?) tanya Mbok.
"Saya anak asuh Bunda, Mbok. Kay."
"Kay? MasyaAllah, kok uwis gede, Nduk," (Kok sudah besar, Nak.) ungkap Mbok sedikit terharu.
"Alhamdulillah Mbok inget saya. Begini, Mbok, saya mau bertanya. Dulu Mbok, ya, yang nemenin Bunda ngasuh saya sama kakak saya, Raz?"
(Percakapan akan diteruskan dalam Bahasa Indonesia)
"Iya, Nduk. Ada apa?"
"Begini, Mbok. Mbok tau enggak yang buang saya sama Raz ke panti asuhan?"
"Buang? Yang buang siapa, Nduk. Kamu sama Raz dititipkan."
Apa?
"Dititipkan? Berarti Mbok sama Bunda tahu orang tua kami?"
"Tau, Nduk. Masih saudara jauh sama Bundamu."
"Ya Allah. Mbok tau di mana rumahnya?"
"Sik, Nduk. Kamu belum ketemu sama sekali sama orang tuamu?"
"Saya bahkan baru ketemu sama kakak saya satu tahun lalu, Mbok. Raz bilang kalo kami dibuang sama orang tua kami sendiri, Mbok."
"Ya Allah. Enggak begitu, Nduk. Orang tuamu itu sayang banget sama kamu sama Raz. Cuma waktu itu ibumu enggak punya uang, Nduk, ayahmu kelilit utang sama rentenir. Keluarga ibumu cuma sisa Bundamu, jadinya ... ya Bundamu milih buat ngasuh kalian berdua."
"Terus sekarang Ibu tinggal di mana, Mbok?"
"Bundamu belum ngasih tau, Nduk?"
Kay menggeleng lemas.
"Coba Mbok carikan nomernya, ya, Nduk."
"Iya, Mbok. Makasih banyak, ya, Mbok."
Sepuluh menit Mbok mencari. Kay pun duduk dengan tidak tenang, saat ingin membantu Mbok menolak.
"Ini, coba dihubungi. Semoga masih aktif."
"Makasih banyak, ya, Mbok. Maaf saya baru sempat njenguk Mbok. Nanti kapan-kapan aku ajak Raz, ya, Mbok. "
"Iya, Nduk. Walah bocah lanangku guanteng pasti, adhike yo uayu ngene."
Kay tersenyum kaku, salah tingkah dipuji cantik.
>><<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top