Prolog
PINTU lemari terbuka sejak satu jam yang lalu, perempuan berambut lurus itu memasukkan beberapa pakaian yang baru diambil dari kios laundry.
Tak pedulikan sahabatnya yang anteng tengkurap di atas kasur menonton serial Netflix di televisi sambil mencamili sebungkus keripik ia pegang.
Tiba-tiba suara notifikasi berbunyi dari salah satu ponsel milik mereka. Namun tak ada yang bergeming diantara mereka. Baik Rere maupun Aca masih sibuk dengan urusan masing-masing.
Beberapa menit kemudian, suara notifikasi itu berbunyi lagi. Kali ini dua kali sampai Aca akhirnya mem-pause tontonannya, mengecek ponsel miliknya. Namun nihil. Ternyata, yang berbunyi ponsel Rere.
"HP lo tuh, Re."
"Siapa emang yang chat?"
"Gak papa nih gue buka chat-nya?"
Rere mengangguk. Aca meraih ponsel sahabatnya yang tergeletak di atas selimut.
"Passcode lo apa sih? Gue lupa."
"7 empat kali."
Setelah layar kunci terbuka, Aca membuka aplikasi Whatsapp, keningnya mengernyit melihat nama pengirim chat di urutan teratas.
"Si Akbar dong, Re."
Rere mengernyit. "Bilang apa dia?"
"Re— terus P-P," Aca menjeda, alisnya tertaut. "Apaansi? Najis dih P-P! Akhlakless!"
"Udah lah biarin aja. Gak jelas."
"Sumpah ini dia mau ngapain lagi dah? Caper banget perasaan?"
Rere hanya mengangkat kedua bahunya, enggan membahas dan memikirkan hal yang sama sekali tak penting.
"Cowok tuh emang gitu ya, Re. Setelah pergi pasti balik lagi, beda sama kita mikir panjang buat pergi, tapi sekalinya pergi— yaudah. Nggak ada kata kembali."
Rere tersenyum, membenarkan opini sahabatnya. Namun, ia memutuskan untuk tidak berkomentar.
"Tapi, lo berdua udah maaf-maafan secara langsung kan?"
"Udah," sahut Rere, singkat.
Seketika, diantara mereka tidak ada yang bersuara lagi.
Usai memasukan semua pakaiannya, Rere berjalan ke arah meja rias, dan mengumpulkan beberapa kapas dan tisu-tisu bekas untuk dibuang.
Kesunyian di kamar bernuansa peach itu masih berlanjut. Aca enggan mengucapkan sesuatu. Ia hanya diam, menopang kepala pada tangan kirinya sambil memandangi Rere yang kini merebahkan diri di sampingnya.
"Ini udah selesai lo nontonnya?" Tanya Rere, pandangannya tertuju pada Lily Collins yang sedang menangis di layar TV.
"Udah ilang vibes-nya."
Rere mengambil remote, dan menekan tombol power. Lengannya ia tempelkan di kening. Perempuan itu memejamkan mata dan menghirup napas panjang. Namun, belum sempat ia tenggelam dalam kegelapan, suara Aca kembali terdengar.
"Tapi, Re, kok lo bisa sih maafin dia gitu aja?" Tanya Aca, hati-hati.
Mata Rere langsung terbuka. Ia membenarkan posisi saat melihat Aca duduk bersandar pada headboard ranjang. Terlihat, perempuan bermata sipit itu menatapnya was-was.
"Ya kan butuh proses, Ca... nggak setiba-tiba itu juga maafinnya."
"Bukan karna orang baru?"
"Enggak. Gak ada malah."
"Pasti lo juga langsung cerita sih kalo lagi intense sama orang," kata Aca, lalu bergeser sedikit. "Terus lo kok bisa move on gitu aja tanpa orang baru?"
Rere berdeham pelan. "Gak tau. Emang healer versi gue tuh waktu sama selflove aja sih, bukan orang baru. Gue loh ya."
"Tapi lo masih benci nggak sih, Re sama dia?"
"Nggak sih, cuma ya males aja kalo harus berurusan lagi."
Aca menghela napas, dan mengangguk pelan.
"Iya. Kayak yang gue bilang tadi," kata Aca. "Lagian emang dia deserve it, sih. Gila aja kali tuh orang? Dua kali dong dia selingkuhin lo! Yang ketauan itu juga, gimana yang enggaknya?"
Setelah jeda lima detik, Rere akhirnya bersuara.
"Gue inget di bulan pertama putus, pengen rasanya gue bawa warga buat gebukin dia. Tapi, seiring berjalannya waktu mindset gue berubah. Apalagi liat perilaku keluarganya yang masih baik sama gue."
"Bukannya waktu itu lo nge-block dia ya?"
"Iya. Sempet. Terus pas gue ngerasa okay, yaudah gue unblock lagi." Rere berhenti sebentar. "Gue lakuin ini bukan karna gue kangen atau apa loh ya— ini tuh lebih ke yang pengen damai sama keadaan aja, sih. Toh, ada atau nggaknya dia tuh nggak ngefek sama sekali loh buat gue."
"Ngerti gue, tapi kalo liat dia bothering lo kayak gini mending block lagi aja nggak sih, Re?"
"Ya... kalo dianya udah keterlaluan, gue bakal lakuin itu sih."
"Tapi lo pernah cerita, waktu itu dia sempet ngajak balikan kan?"
Rere mengangguk. "Two times."
Kernyitan Aca muncul lagi. Kali ini disertai bibir yang naik sebelah. "Bener-bener gak tau diri, anjing."
Rere tak berkomentar. Ia mengambil ponselnya, lalu ikut duduk bersandar pada headboard ranjang. Ia awalnya hanya melihat-lihat feeds di Instagram, namun saat melihat akun yang memuat foto busway, ia teringat kartu e money-nya yang sempat hilang.
Rere mematung. Ia mencoba mengingat-ingat, tetapi ia ragu bila kartu itu masih tersimpan di dompetnya. Ia memiringkan kepala, berusaha melihat benda kecil berwarna pink yang terhalang tubuh Aca.
"Ca, sori deh dompet gue."
Aca menoleh ke kanan, satu tangannya meraih dompet pink yang tergeletak di atas nakas. Kemudian menyodorkannya ke pemiliknya.
"Eh, bukannya dompet itu dari Si Insan ya?"
"Iya." Rere menoleh sekilas. "Kok lo inget sih?"
"Kan dulu gue minta lo videoin pas unboxing."
"Ho iya ya," cengiran lebar Rere hadir, teringat momen itu.
Aca mengamati temannya yang tengah menaik-turunkan satu persatu kartu yang tersimpan di sana.
"Apa kabar ya anjir tuh orang?" Aca menggumam pelan. "Ceweknya masih yang itu, Re?"
Rere memasang raut datar sebisa mungkin. "Iya, langgeng mereka. Hebat ya!"
"Anjir lo masih suka ngepoin dia, Re?"
"Kagak." Rere memutar matanya. "Itu kan udah lama."
"Kapan?"
"Apa?" Alis Rere tertaut.
"Terakhir lo stalking dia?"
"Pas putus sama Akbar."
"Hih! Itu artinya lo kangen!" Aca menjetikkan jarinya, gemas.
"Ya.. mungkin karna momennya pas aja waktu itu gue lagi shaking." Rere mendengus pelan. "Terus—yah. It just happened."
"Bukannya dia udah nge-block lo ya?"
"Kan yang di-block first account, yang second enggak," sahut Rere singkat.
Aca menggeleng tak percaya. "Emang dasar jiwa stalker kelas kakap!" Ia lalu bertanya lagi. "Dia pasti masih ganteng, deh?"
Rere tak menjawab, ia masih menatap Aca dengan raut datar. Perempuan berambut lurus itu malah membuka ponselnya.
"Pantes dia gak pernah lewat di IG gue, orang gue sama dia mutualannya di IG yang lama,"
Rere lagi-lagi tak menjawab. Ia memilih fokus pada ponselnya, meski sebetulnya sudah tak tahu harus membuka aplikasi apa, sekalipun membalas chat yang masuk.
"IG-nya dia apa sih?" Aca bersuara lagi.
Rere tetap bungkam.
"Re?"
"Gak tau!"
"Ih! Lo mah!" Sungut Aca. Bibirnya mengerucut.
"Lagian ngapain sih ngestalk-ngestalk segala?" Sahut Rere kesal. Ia bergeser sedikit menjauh dari Aca.
"Ya emang kenapa sih?" Aca lalu menatap ponselnya lagi. "Ah, pasti bisa gue nemuin sendiri."
"Bodo amat, anjing."
Perempuan bermata sipit itu malah tertawa melihat sahabatnya kesal. Ia membuka aplikasi Instagram di ponselnya sendiri, masih dengan posisi sama sebelum mengetik nama Insan di kolom pencarian.
"Yes!" Seru Aca semringah melihat profil yang berada di urutan teratas. "Ini nih!"
"Lah? Iya tambah ganteng, dih!" Seru Aca.
Saat Aca tengah asyik menggulir feeds, ada foto di barisan atas pojok kiri yang membuatnya tercengang. Aca kontan mengeklik foto itu.
"Btw, btw—" Ia menoleh cepat ke Rere. "Dia udah tunangan, Re?" Lanjutnya, pelan.
"Hah? Demi apa?" Mata Rere terbuka lebar, tercengang atas kabar yang barusan ia dengar. Jantungnya berdebar-debar.
Seakan punya firasat tak baik, Aca langsung menempelkan layar ponselnya ke dada.
"Enggak, enggak— gue salah liat, bukan dia deng—"
"Coba." Potong Rere, ia menadahkan tangannya, bermaksud meminta ponsel sahabatnya.
"Enggak."
"Ca."
Suara Rere yang berubah lebih tegas membuat Aca terpaksa menyerah. Rere mengambil alih ponsel sahabatnya dan mendapati foto seorang perempuan yang tengah mengangkat satu tangannya. Ia tertegun melihat berlian yang melingkari jari manis perempuan itu.
Pandangannya beralih pada caption 'and the clouds turning peaches when she said yes' di bawahnya.
Mulut Rere kembali terbuka. Perempuan itu hanya menatap kosong layar ponsel. Sementara Aca, menatap nanar Rere, menunggu respon perempuan itu selanjutnya.
Aca yakin seratus persen Rere pasti akan menatapnya dengan sorot tak percaya lalu menangis.
Akan tetapi, firasatnya melesat.
Rere malah mengembalikan ponsel Aca dan beranjak. Perempuan itu melangkah ke toilet, dan mengunci dirinya di sana. Tak hiraukan panggilan Aca dari luar. Tarikan napas Rere mulai tidak beraturan seiring otaknya berusaha mencerna keadaan.
Dua tahun lalu, bayangan itu sempat hadir di benaknya, namun ia tak pernah menyangka bila secepat ini semuanya berubah menjadi kenyataan.
Jika boleh Rere berharap, tak ada yang terjadi dalam waktu dekat. Jika boleh Rere berharap, apa yang dilihatnya barusan hanyalah mimpi yang akan sirna saat ia terbangun.
Tetapi, sampai kapan ia harus menggantungkan harapan semu ini?
____
Hehehe gimana prolognya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top