7. "Not" Little Throwback
Chrisye — Untukku
_____
"I'm fine," ujar Insan. "How about you?"
Rere menyengir lebar. "Same here."
Lalu, keduanya terdiam. Dalam diamnya, Insan tak mau munafik jika ia merasa senang duduk di kursi minimarket, bersebelahan dengan Rere yang tak banyak berubah.
"Gimana kuliahmu?" tanya Insan.
"Aku udah semester lima,"
"Wow, gak kerasa ya. Baru aja kemarin maba."
Seketika, Rere merasakan ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Gadis itu membenarkan posisi duduknya dan tersenyum lebar. Ia menoleh sekilas, ke laki-laki berkaos hitam yang luarannya dibalut jaket denim.
"Aku udah nggak ngerokok loh sekarang."
Rere lantas menoleh sebelum senyumnya samar-samar terlihat. Ia cukup terkejut tak lagi melihat laki-laki itu menggeletakkan sebungkus rokok di meja.
"Udah lama?"
"Umm... enam bulanan."
"I'm happy for you then." Rere masih tersenyum. "Padahal dulu gara-gara rokok, kita suka berantem gak jelas. Sampe-sampe aku ngambekin kamu berhari-hari."
Keduanya tertawa. Disela tawanya, Rere merasakan debaran jantungnya kian menggebu, terutama disaat matanya beradu dengan milik Insan. Perempuan itu berpaling sejenak ke jalan raya di depan.
"Kamu sendiri gimana kerjanya?"
"Aku masih kerja di tempat yang lama," jawab Insan. "Gak jadi-jadi mau resign."
"Kenapa?"
"Belum nemuin penggantinya aja kali ya?"
Sontak, perkataan Insan memicu senyum Rere perlahan memudar. Kedua matanya menatap Insan, debaran jantungnya masih menggebu. Entah mengapa, agaknya terdengar ambigu bagi Rere.
"Tumben gak ngopi?"
"Tadi aku nggak niat nongkrong, awalnya cuma pengen beli Pocari."
"Kan. Selalu Pocari," ujar Rere. "Gak pernah mineral,"
Insan tak menyangka bahwa lagi-lagi perempuan ini masih mengingat apa yang menjadi habit-nya dulu. Tambah lagi wangi minyak telon yang tercium seketika mengingatkan Insan kepada momen-momen mereka dua tahun lalu. Meskipun ini bukan hal yang benar, tapi Insan merindukannya.
Insan tertawa. "Abisnya mineral tuh nggak ada rasanya."
Rere menggeleng, mendengar kembali argumen payah laki-laki itu tentang Pocari.
"Tapi kan tetep aja. Pocari gak bisa dijadiin penggantinya mineral gitu aja."
"Bisa-bisa aja, ah!" Insan merasa lebih leluasa mengulang perdebatan mini mereka dahulu. "Kan pocari juga minuman sehat."
Rere memicingkan mata, mengingat habit Insan yang tidak selalu mengonsumsi Pocari lebih banyak ketimbang air mineral. Bahkan, sejak awal mereka kenal, laki-laki itu selalu bilang bahwa ion tubuh dari Pocari jauh lebih baik daripada mineral.
"Sehat bukan berarti bisa gantiin cairan pokok manusia ya."
Insan tertawa, merasa senang mendapati tabiat pendebat perempuan di dekatnya masih seperti dulu. Sebelum ia membuka mulutnya lagi untuk bertanya, tiba-tiba Rere sudah mendahului.
"Aku liat-liat kamu makin happy," ujarnya kalem. Kata-katanya sontak membungkam Insan. "Aku masih sering liat kamu dari IGS Diana," lanjutnya.
Raut wajah Insan berubah, ia tertegun. Padahal sebenarnya sejak beberapa menit lalu ia menghindari sekali perbincangan sensitif tentang hal-hal yang baginya tidak umum untuk dibahas. Namun ternyata Rere membahasnya secara gamblang.
"I'm sorry for the block, Re," ucap Insan. Kedua matanya menatap Rere seakan tahu yang dimaksud perempuan itu. "Kamu jelas tau kan kenapa aku lakuin itu, yang jelas aku gak pernah benci kamu."
Rere refleks menelan ludah, menahan diri untuk tidak mengeluarkan argumen yang menghancurkan suasana. Jantung Rere berdebar-debar, tak berani menduga alasan Insan memblokirnya.
"Aku juga belum lama block-blockan sama mantan kok. Santai lah," Rere terkekeh, mengingat ketika ia memblokir Akbar.
"Belum lama?" Insan setengah mengoreksi.
"Ya... aku kan baru putus," sahut Rere, kalem. "Yah, dua bulanan lah."
Insan langsung menegakkan punggung. "Ah, sorry-sorry."
"Santai."
"Berapa lama emang sama dia?"
"Enam bulan." Rere menatap Insan sekilas. "Kamu sendiri gimana?"
"Aku udah mau dua tahun sama pacarku."
"You guys must gotta be great couple don't you?"
Ditembak seperti itu, Insan hanya menjawabnya dengan kekehan. Jantungnya berdebar-debar, ia mengganti posisi duduknya jadi lebih rileks dan mulai berpikir. Apa yang sebenarnya sedang ia lakukan di sini, berdua, bersama Rere? Bukankah ini hal yang salah?
Namun laki-laki itu tidak ingin membuat keadaan lebih canggung dari yang sempat ia rasakan. Tapi topik apa yang harus dibahas? Insan kehilangan bahan. Yang jelas ia tidak mau obrolan ini berakhir.
"She looks so kind and cute," ujar Rere, teringat unggahan Instastory Diana beberapa waktu lalu bersama Insan dan pacarnya.
Paham sosok yang Rere maksud, Insan lagi-lagi menegakkan punggung. "She is," ujarnya, tersenyum simpul.
"Jadi, setelah dari aku, kamu—"
"Iya." Insan refleks menelan ludahnya, sadar menyela terlalu cepat. Terlanjur, akhirnya ia melanjuti. "Ya— lima bulan lah selesai dari kamu."
Setelah mendengar jawaban Insan. Rere samar-samar mengangguk dan menghela napas. Insan tidak dapat menebak maksud Rere.
"Dia seumuran aku?"
"Enggak, dia di atas kamu." Insan refleks, menoleh ke Rere yang menatap jalan raya. Ia tertegun.
"Oh, seumuran kamu dong ya berarti?"
"Sekarang umur kamu berapa sih? Aku lupa." Tanya Insan yang kali ini gantian berpaling ke jalanan raya, enggan menatap kedua mata Rere.
Rere menoleh. Ia jelas tahu, jika laki-laki itu berbohong. Namun, instingnya begitu yakin bila laki-laki di sebelahnya hanya ingin mencoba menetralkan suasana.
"Dua satu,"
"Oh iya, Diana aja sekarang baru sembilan belas ya," kata Insan, teringat adiknya.
Baru saja yang perempuan hendak membuka mulutnya, ponsel yang laki-laki berdering.
Insan langsung mengeluarkan benda pipih itu dari saku jaketnya. Layarnya menyala dan memunculkan nama yang membuatnya tertegun di tempat.
Insan memasukkan lagi ponselnya ke saku, membiarkan panggilan hingga nama Kanya menghilang dari layar. Lalu ia melihat Rere menatapnya bingung.
"Kok gak diangkat?"
"Nggak papa. Btw, sori aku nggak bisa lama ya, Re." Insan akhirnya beranjak dari kursi, lalu berkata, "Aku duluan."
Rere mengangguk, perasaannya bercampur aduk mendapati Insan lagi-lagi meninggalkannya.
/r e a l t a l k/
BERKAT sogokan seloyang pizza dan dua cup es kopi susu, Insan menghela napas lega mendapati Raka yang akhirnya setuju menginap di rumahnya. Laki-laki berparas oriental itu baru selesai makan dua slice pizza, kini mengambil sebotol Pocari di atas nakas. Botolnya Pocari tetapi isinya air mineral.
"Sepenting apa si emang cerita lo, nyet? Sampe nyuruh gue nginep?"
"Lo udah siap kalo gue ceritain?"
"Yaudah, kalo sampe pagi gue bilang belom, lo nggak usah cerita ni ye?" Raka mengelap tangannya ke celana, dan menatap Insan jengkel. "Belibet ah kebiasaan."
Insan menghela napas, dan mulai cerita. "Oke. Tadi gue kan circle K, niatnya mau me-time sambil main HP aja sambil chatting sama Kanya." Ia menelan ludahnya. "Tapi lo tau nggak gue malah ketemu siapa?"
"Rebecca?" Raka malah teringat lirik lagu Hindia.
"Gak lucu, tolol."
"Iya-iya maap. Siape si emang?"
"Rere!" gumam Insan, nyaris memekik.
Raut wajah Raka berubah kaget, ia lantas mengerutkan dahi, ia yang tadinya berdiri, langsung ikut duduk di kasur Insan. "Kok bisa dah? Gimana dia sekarang?"
"Gitu," kata Insan, mengingat perubahan fisik dan sikap Rere. "Masih cantik, tapi— lebih diem. Kek rada kaleman dikit."
"Oh, udah gak rusuh lagi dong dia?"
"Gak tau juga sih, kan baru ketemu sekali," jawab Insan. "Tapi yang gue peratiin sih dia udah gak yang teriak-teriak gitu."
"Yekali anjir dia teriak-teriak ketemu lu. Emang lu Mr. Moneynya uang kaget?" Raka memutar matanya. "Dia udah ada cowok sekarang?"
"Enggak, dia baru putus katanya dua bulan lalu."
"Coba liat dong mukanya yang sekarang!"
Insan langsung memicingkan matanya. "Lah? Bukannya lo follow-followan sama dia?"
"Kaga anjir, mana ada?"
"Yah yaudah kalo gitu gak bisa."
"Lah? Lo nggak follow-followan lagi emang sama dia?"
"Kan gue block dia," sahut Insan, ia mendengus pelan.
"Di private ya IG-nya."
"Iya, dari dulu."
"Yaudah mampus gak bisa kepo."
"Kan emang gue udah nggak pernah ngepoin dia lagi," kata Insan, alisnya tertaut.
"Tapi kok lo bisa si ketemu dia lagi? Awalnya gimana?"
Insan menghela napas pelan. "Jadi gue tuh tadi abis dari rumah Kanya, terus yaudah. Gue kayak biasa, gak langsung balik. Gue beli Pocari dulu gitu, me time sambil niatnya mau chatting-an sama Kanya." Ia menjeda sejenak. "Nah, Diana nelfon gue, posisinya pas gue lagi diri di depan pintu sembari liat sekitar— nyari bangku. Terus gue liat ada cewek, gue perhatiin—- kok kayak gue kenal?"
Posisi duduk Insan berubah. "Gue belum ngeh-ngeh banget tuh, eh pas dia nengok balik ke gue, gue kaget banget. Dia langsung dadah-dadah gitu ke gue," ujarnya. "Yaudah, gue langsung sok biasa aja gitu. Kayak gak ada apa-apa, main join duduk aja sama dia."
Raka manggut-manggut, menyimak sambil sesekali menggumam, "hooh" atau "hem".
"Terus kami ngobrol." Insan menelan ludahnya. "Dan, itu isi obrolannya lumayan— duh, Anjing! Intinya gue sampe sekarang masih nggak nyangka bakal ketemu dia lagi. Padahal, gue setaun bolak balik sana, gue tuh pede dia gak bakal kesana lagi. Karna ya.. gimana? Ah! Lo tau sendiri lah."
Melihat perubahan raut wajah sahabatnya, Raka jadi curiga bahwa ada kabar yang kurang mengenakkan setelah ini.
"Dan parahnya, tadi Kanya nelfon gue, nggak gue angkat." Insan menoleh ke ponselnya yang berdering, menandakan ada pesan masuk. "Bentar—"
Kanya Theresia: bubu jangan lupa, besok kita ke Soto Medan ya!
"Lah panjang umur anjir," gumamnya pelan.
Dalam hitungan detik, laki-laki itu langsung membalas.
Insan Bakti: iya bubu🤗
"Tapi Rere tau gak tadi kalo Kanya nelfon?"
Insan menoleh, menatap Raka langsung ke matanya. "Nggak."
"Terus selama lo berdua ngobrol, lo nggak ada gitu chat Kanya sama sekali?"
"Ya, gue nggak ngecek HP lah, kan lagi ngobrol sama orang."
Benar juga sih.
"Tapi lo ada niatan pengen nge-chat?"
"Ada, kan gue bilang, emang niatan awalnya gue pengen chat Kanya."
Raka mengambil bantal di belakangnya, lalu menjadikan benda tersebut sebagai sanggahan. Ia mulai memahami mengapa sahabatnya seperti orang linglung. Pertama, mungkin karena Insan merasa bersalah pada Kanya. Kedua, mungkin karena damage yang Rere berikan pada Insan masih begitu membekas.
Alih-alih memperjelas suasana hati temannya, Raka menghela napas. "Kan lo bilang dia baru putus," kata Raka. "Setelah lo tau dia ternyata single, lo malah ngerasa lega atau gimana?"
"Maksud lo?"
"Lo paham maksud gue si, nyet." Raka langsung menatap Insan tajam.
"Enggak, enggak." Insan memejamkan matanya sejenak, dan terkekeh. "Gue biasa aja. Sekalipun dia ada pacar juga gue seneng malah."
"Terus, tadi kenapa pas tadi Kanya nelfon, lo nggak angkat?"
Mendengar pertanyaan Raka barusan, Insan langsung sadar akan satu hal. Bahkan, saat Rere menanyakan kenapa tak diangkat, ia merasa bersalah sendiri. Kenapa ia jadi terkesan menjaga perasaan Rere? Memang apa salahnya kalau Rere tahu bila yang menelefonnya tadi adalah Kanya, pacarnya?
Melihat raut wajah Insan yang menegang, Raka menepuk pundak sahabatnya, memahami Insan. Jika ingin menyalahkan, Raka juga sudah lama tahu bahwa cinta yang dimiliki sahabatnya terhadap Rere begitu besar pada masanya.
Namun, jika dibandingkan terhadap Kanya, Raka tidak dapat mengatakan bahwa Insan lebih mencintai Kanya ketimbang Rere, ataupun sebaliknya.
"Gue kan saksi cerita lo sama Rere, dan Kanya," ujar Raka. "Gue cuma mau bilang, jangan main api."
Omongan Raka tentu memancing Insan. "Main api? Emang gue selingkuh?"
"Ya nggak selingkuh juga kali, bor."
Insan mendengus, perasaannya bercampur aduk. Ia sadar jika ia sudah berlebihan mendramatisir tentang kejadian hari ini. Lagipula sudahlah. Mungkin pertemuannya dengan Rere tadi pure hanya hal lumrah yang sering terjadi diantara sepasang mantan di luaran sana.
"Tapi sori nih, nyet gue nanya ini. Terserah ya lo mau jawab atau nggak," Raka bersuara lagi setelah hening enam detik. Ia lalu menatap sahabatnya intense. "Selama lo bolak balik circle K, lo pernah nggak si ngarep ketemu sama Rere kayak tadi? Even nggak sengaja gitu?"
______
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top