4. Unexpected
NIKI — Lose
_____
RERE terbangun dari tidurnya, waktu menunjuk pukul tiga pagi. Artinya, ia hanya terjaga selama tiga jam. Hal yang pertama kali ia sadari adalah keberadaan perempuan berkaos marun yang terlentang di sebelahnya. Luna.
Setelah kesadarannya terkumpul penuh, Rere beranjak. Ia mengambil ponselnya di meja rias dan masuk ke kamar mandi lalu duduk di kloset. Perempuan itu menatap bayangannya di pintu. Ia ingin menangis, walau tak ada air mata yang keluar.
Hatinya kacau, berantakan. Isi kepalanya kosong, jantungnya terasa hampir tak berdetak lagi. Ia teringat percakapannya di telepon dengan Shinta—mama Akbar, petang kemarin. Shinta menghujaninya permohonan maaf.
Jelas, ini bukanlah salah Shinta. Rere merasa, wanita itu tidak perlu merasa bersalah atas perbuatan anaknya.
Rere sengaja berbohong pada bunda dan Shinta mengenai alasan kandasnya hubungan mereka. Ia tak berani mengungkapkan realita yang sesungguhnya. Terpaksa, ia memilih berbohong demi keselamatan semuanya, terutama Akbar.
Di situasi seperti ini, Rere jadi tersadar akan hal lain. Selama ini ia salah menilai Akbar. Selama ini ia salah menganggap Akbar adalah sosok yang paling mencintainya setelah bunda.
Helaan napas berat lolos dari mulut Rere. Ditengah lamunannya, tiba-tiba air matanya merembes lagi. Hatinya masih belum lebih baik dari kemarin. Ia kembali menangis, meratapi kehancuran yang dialaminya.
Disela tangisnya, ia melihat rentetan notifikasi yang menumpuk di pop up, Rere terenyak mendapati notifikasi yang masuk pukul sepuluh malam. Ada e-mail masuk dari bunda.
Perempuan itu lantas membuka e-mail tersebut.
Kuat ya nak.
Kenapa bunda kirim email? Karna bunda yakin Rere butuh sendirian, butuh didengar, butuh merenung. Makanya bunda nggak mau koar-koar.
Ingat, nak.
Dia selingkuh, karna itu pilihan dia.
Dan kamu, pergi dari dia itu keputusan terbaik.
Maaf ya bunda nggak ada disana buat kamu, bunda sebetulnya pengin banget peluk kamu, tapi maaf nak bunda belum bisa
Bunda love you so much.
Everybody love you.
You did the right thing.
You deserve the best version of everything.
You know what?
This is part of God's plan and God will always keep you away from people who hurt you. Including him.
Anak bunda hebat. Kuat. Cantik. Tulus.
Jangan dendam sama dia. Biarkan dia dengan pilihannya, karna suatu saat kamu pasti bisa ikhlas dengan sendirinya.
Tuhan tidak tidur, bunda yakin jodohmu adalah yang terbaik pilihan Tuhan
Jangan lama-lama larut dalam kesedihan ya, yang sayang kamu banyak, nak.
Semangat Realita anakku!
Love,
Bunda.
/r e a l t a l k/
BUNYI bel rumah yang ditekan dua kali memaksa perempuan berambut sebahu itu berlari kecil menuju ruang tamu, ia memasukan ponselnya di saku sebelum berhasil meraih kenop pintu. Sorot amarah di matanya tak dapat disembunyikan lagi begitu melihat sosok yang berdiri di hadapannya sekarang.
"Re."
Namanya dipanggil oleh suara yang selama enam bulan belakangan mengisi hari-harinya. Suara yang merupakan suara favoritnya. Suara yang selama ini menemani malamnya menjelang tidur. Suara laki-laki yang mengkhianatinya. Suara Akbar.
"Mau ngapain?" Tanya Rere, dingin dan menusuk.
"Kita butuh bicara, tapi please nggak di sini."
"Apa lagi yang mau diomongin?"
Laki-laki itu maju selangkah, bersama amarahnya yang terpendam. Sejak malam itu, muncul satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. Apakah ia masih bisa menggapai Rere yang kini berlari darinya?
"Re, please. Kita keluar bentar ya?"
"Kalo nggak di sini, mending gak usah."
Melihat Rere yang tetap defensif, Akbar mengalah. "Okay!"
Pintu rumah tertutup, mencegah suara yang akan mereka timbulkan tidak terdengar hingga ke luar. Akbar masih berdiri di depan pintu, menghadap Rere yang berdiri di hadapannya sambil bersedekap.
Rere yakin sebentar lagi Akbar akan meminta maaf, atau mengobral janji dan sumpah seperti yang sudah-sudah.
"Apa?"
Perubahan air muka pada wajah Akbar membuat Rere merasa sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Bukan karena laki-laki itu akan memarahinya atau berbuat macam-macam, namun dari tempatnya berdiri ia bisa melihat dengan jelas bahwa Akbar sedang menyusun kata dalam diam.
"Aku mau kamu klarifikasi tentang apa aja yang kamu bilang ke mamaku."
Rere terkesiap, tak menyangka atas kalimat laki-laki itu. Ia menarik napas dan berusaha untuk mengeluarkannya dengan pelan agar tidak terlalu terdengar.
"Nyokap lo bilangnya apa?"
Melihat perubahan drastis sikap Rere, Akbar jadi terpancing. "Oke, jadi ada yang ngarang cerita. Bilang, mergokin gue lagi berduaan sama cewek di kafe sampe gelendotan."
Setelah mendengar pernyataan Akbar, Rere jadi tersulut. Perempuan itu tertawa getir. Tangannya masih terlipat di depan dada. "Terus lo maunya dia bilang apa?"
"Lo tanya mau gue apa? Just keep quite! Biarin ini kita berdua aja yang tau!"
"Jadi lo nyamperin gue cuma karna lo nggak terima kalo lo bersalah?" Rere menurunkan tangannya. "Jadi, gue gitu ya yang salah?"
Akbar diam sejenak, berusaha mencerna kata-kata yang secara spontan keluar dari mulutnya beberapa detik lalu.
"Gue nggak nyangka ya, Re seniat itu lo jelekin nama gue. How cruel can you be?"
Rere menatap Akbar tidak percaya, berharap kalau apa yang baru saja dikatakan laki-laki itu langsung diralat.
"What? Cruel?" Rere berujar dingin dan sarkas. "Kalo gue cruel, gue bisa aja ungkapin every single things at that night to anyone! Tapi apa? I choose not to!"
Akbar terdiam. Rona merah wajahnya mulai terlihat. Emosinya bercampur aduk. Selain malu, ia juga merasa takut dan marah.
"Lo tau alasannya apa, Bar?" Rere menunjuk wajah Akbar, lalu berteriak. "Because i fucking care about you!" Sesayang itu gue sama lo, bangsat! Lanjutnya dalam hati.
"Kalo lo peduli sama gue harusnya lo nggak lakuin ini semua, Re!"
Tak menyangka bila dibentak balik oleh Akbar membuat Rere terkesiap. Ia refleks mundur, matanya memanas. Selain takut, rasa sesal dibalik dadanya kian bertambah. Usahanya untuk menutup aib Akbar tak dianggap hal yang besar oleh laki-laki itu.
Rere tak menyangka bila perbuatan baiknya malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ia merasa tak dihargai.
"You—" Rere nyaris kehilangan kalimat, ia tercekat. "Are you trying to gaslighting me right now?" Suaranya serak. Air matanya turun membasahi pipi. "Gila banget lo ya masih cari pembenaran atas kesalahan lo. Lalu sekarang lo bentak gue? Like... how?!"
Mendapati perempuan di hadapannya mulai terisak, Akbar langsung melembutkan intonasinya. "Harusnya lo sadar kenapa gue bisa begini, Re. Bukannya malah selalu ngerasa paling tersakiti sendiri! Ayolah kita saling introspeksi. Cari tau kenapa gue harus berakhir kayak—"
"FUCKING HELL!" jerit Rere, ditengah isakannya. Tubuhnya bergerar hebat. Ia menyesali keputusannya membiarkan Akbar masuk ke dalam rumah.
"Gue cuma laki-laki pada umumnya, Re! Berkali-kali gue udah bilang jangan ekspektasi berlebihan sama gue!"
Rere mematung di tempat. Mulutnya terbuka, matanya yang berair tidak berkedip. Ia menatap lurus lawan bicaranya. Air muka Rere perlahan berubah. Detik ini, ia baru menyadari bahwa laki-laki di hadapannya ternyata lebih hina dari sampah.
"So is cheating normal for you, then?" Kali ini Rere berujar pelan, namun menusuk.
"Re—"
"Go away." Tegas Rere. "Just go."
"Lo pikir mudah buat gue nerima lo yang hampir tiap hari bareng sahabat cowoknya dengan berkedok nugas?"
"BASI!" Seru Rere, melotot. Kedua kalinya ia menunjuk wajah Akbar. "Stop jadiin Azka senjata buat nyerang gue!"
Akbar menurunkan tangan Rere dengan kasar. Ia balas melotot perempuan di hadapannya. "Lalu apa setelah ini, hah?" Akbar maju, hingga jarak diantara mereka hanya tersisa dua jengkal. "Lo yakin pisah dari gue? Orangtua kita saling kenal, udah deket, semua udah tersusun rapi, kita tinggal jalanin, kita udah jauh—"
"Stop!" Rere memejamkan matanya erat-erat. Ia mengangkat kedua tangannya di sisi telinga.
Seolah tak pedulikan penolakan, Akbar melanjuti, "Lo mau cari dimana lagi yang kayak gini? Yang ngertiin sifat childish dan egois lo? Moodswing lo yang rese? Mau dapet dimana lo yang sesabar gue?"
Dengan bahu naik turun, Rere mengusap wajahnya, menekan matanya supaya berhenti mengeluarkan air mata. Ia tidak tahu kenapa emosinya jadi bercampur aduk dan hampir meledak seperti ini. Keduanya lalu terdiam.
"Sekarang gue tanya sama lo, Bar."
Akbar masih diam. Membiarkan Rere bicara.
"Apa gue matre?"
"Apa gue kasar sama lo?"
"Apa gue posesif?"
"Apa gue terlalu ngatur hidup lo?"
"Apa gue selama ini ngeremehin lo?"
"Apa gue nggak pernah ada buat lo— Sampe lo nggak ngerasa cukup?"
Air muka Akbar perlahan berubah, ia kehilangan kata-kata. Laki-laki itu nampak tertampar oleh rentetan pertanyaan Rere, bahkan ia tak mampu menyela salah satunya. Detik ini, ia merasakan sepercik penyesalan yang hadir hadir di balik dadanya.
"Gue nggak akan lepasin lo gitu aja," ujar Akbar setelah jeda enam detik.
"Terserah. Yang jelas gue gak mau pertahanin lo."
"Are you fucking even real, Realita?" Melihat Rere mengangguk mantap, dan tersenyum kecil. Sontak, Akbar langsung tertawa sinis. "Maksud lo apa?"
"It's over." Tegas Rere. "You. And me. We're end."
"Anjing lo." Akbar mundur dua langkah, menjauhinya. "Berarti selama ini lo cuma buang-buang waktu gue doang?"
Rere terdiam seribu bahasa. Tatapannya fokus pada tangan Akbar yang sekarang berkacak pinggang. Rasa sakit hatinya semakin bertambah, sampai-sampai tidak tahu harus memberi respon apa. Ia bahkan menyesali keinginannya kemarin untuk memberi kesempatan kedua pada sosok bajingan ini.
Kenapa bisa gue mikir mau kasih kesempatan buat sampah kayak gini?
"Enam bulan, Re," tambah Akbar. "Selama enam bulan lo pikir gue nggak libatin perasaan sama sekali?" ia menghela napas. "Lo jelas tau alasan gue nggak pernah berani sentuh lo. Gue tuh jaga lo, Re! Gue respect lo sebagai cewek gue. Gue respect segala boundaries yang lo buat. Semuanya gue itu gue lakuin karna gue sayang lo!"
Rere refleks menggeleng mendengar tiga kata terakhir Akbar.
"Enam bulan gue selalu berusaha jadi temen, sodara, bahkan ayah— yang selama ini lo idamkan! Enam bulan gue berjuang mati-matian buat lo! Gue bahkan nabung buat ngasih those stupid gifts buat lo! Karna apa?! Karna gue mau nyenengin lo!"
Tarikan napas Rere perlahan berubah jadi lebih lamban. Ia tercekat.
"Tapi apa respon lo? Lo selalu bilang 'nggak! Nggak usah ih!' Lo selalu ngerasa lo kuat, lo mandiri, lo jago, lo mampu! Lo nggak pernah kasih gue kesempatan buat bikin lo ngerasa beruntung punya gue. Sampe-sampe gue selalu ngerasa kecil dan nggak berguna buat lo!"
Entah sudah keberapa kalinya Rere dibuat tercengang oleh pernyataan laki-laki di hadapannya.
"Gue tau apa yang gue perbuat selama ini nggak jarang payah. Gak sebanding sama lo. Padahal gue cuma pengen jadi yang paling di depan buat lo. Tapi apa pernah lo kasih gue kesempatan untuk hal itu? Enggak, Re!"
Setelah puas mengungkapkan seluruh isi hatinya, Akbar menutup mulutnya. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu, tidak juga perempuan di hadapannya. Tiga detik setelahnya, ia sadar jika ia sudah berlebihan dalam bersikap.
Laki-laki itu lalu meraih tangan Rere yang dingin. Sontak, ia terkejut mendapati perempuan di hadapannya bergeming, tidak menepis.
"Kalo emang itu semua yang jadi pemicunya, kenapa lo nggak pernah omongin dari awal?"
Genggaman Akbar meregang, mulutnya terkatup rapat.
"Kenapa?!" Rere menarik kencang tangannya, dan menatap Akbar berang. "Kenapa harus selingkuh yang lo pilih?!"
"Karna gue capek ngerasa nggak dianggep, Re!"
Perempuan itu menggosok kasar tangannya ke celana. Kepalanya menunduk, matanya yang kembali berair menatap marmer marble cokelat yang ia injak dan hembusan napasnya terasa berat. Ia sudah tidak peduli lagi terhadap laki-laki di hadapannya. Yang ia inginkan adalah sesuatu yang bisa membuat ia tenang.
Yaitu, melihat laki-laki itu pergi.
"It's funny how i expecting your apology, while you still try your best to hurt me," suara Rere terdengar pelan dan bergetar.
______
Gimana part ini guise? Hehe kasi tau aku dong😗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top