19. My New Family
Gracie Abrams — Mean It
______
SEBELUM keluar dari mobil, Insan diam-diam memandangi Rere yang tengah bercermin. Memastikan cushion, concealer, dan bedak yang dipoles ke wajahnya sudsh sempurna. Bibirnya yang diwarnai didominasi tinta peach ia katupkan rapat sebelum ia buka sampai menimbulkan suara.
Ia tersenyum sekilas, lalu membenarkan tatanan rambutnya yang sudah diblow. Tubuhnya dibalut dress mustard floral selutut memberi kesan chic. Ini merupakan kali pertamanya bertemu orang tua Insan, semua harus sempurna. Harus.
"Yuk."
Rere meraup goodie bag putih berpita pink yang tergeletak di jok belakang, lalu keluar dari mobil. Begitu memasuki rumah, Insan menggandeng Rere menuju seorang wanita yang tengah berdiri di ruang tamu.
"Bu, kenalin ini Rere."
"Assalamualaikum, tante."
"Wa alaikum salam," sahut wanita paruh baya yang membelakangi mereka. Ia langsung berbalik. Kedua tangannya sibuk membenarkan bros hijabnya. Rere tertegun. Ia melirik Insan sepintas. Ternyata wajah mereka memang sangat mirip. Dari sini ia langsung tahu jika inilah ibunya Insan.
"Kenalin bu, ini Rere."
"Oh... aslinya cantik ya," ujar Indah— ibu Insan. "Kayak yang di foto."
Rere refleks melirik Insan. Namun laki-laki itu langsung mendongak, dan memutar matanya—pipinya mengembung karena menahan senyum.
"Makasih tante..." Rere tersenyum lebar dan menyalimi punggung tangan wanita bergamis hijau sage itu.
"Sebentar ya," ujar Indah. Ia berjinjit dan mendongakkan kepalanya. "Di! Di! Sini, Di!" Serunya.
Tak lama muncul perempuan berdress biru muda dari balik pilar tangga. Senyum Rere tersungging lebar ketika adik kelasnya berjalan mendekatinya.
"Hai, Di." Cengiran Rere masih melebar. Tangan kanannya terulur, menjabat milik Diana. "Happy birthday ya!"
"Makasih kak Rere!" Sahut Diana, semringah.
Rere menjulurkan goodie bag yang sejak tadi dijinjingnya. "Semoga suka ya," ujarnya.
"Ih repot-repot! Makasih lagi ya, kak!" Seru Diana, menerimanya dengan semringah.
"Bilang apa?" Giliran Insan menjulurkan box kecil yang sejak tadi ia sembunyikan dibalik punggung.
"Makasih bang!" Diana refleks memeluk Insan. Ia menggoyangkan box cokelat itu, menebak-nebak isinya. "Ini kamera analog yang gue bilang kan?"
Tak lama, dua orang pria dari dapur menghampiri mereka. Yang terlihat seumuran Insan mengenakan kemeja camel. Yang satu lagi seorang bapak berpostur gemuk dibalut kemeja putih, dan Rere langsung bisa menebak bahwa ialah ayah Insan.
"Nah ini nih tamu yang ditunggu-tunggu," ujar Jati—ayah Insan.
Rere lantas menyalami pria tersebut, dan Insan mengikutinya. "Assalamualaikum Om, aku Rere."
"Wa alaikum salam, nak," ucapnya. "Jadi yang ini ya, San?" Pria itu melirik Insan dan direspon kerlingan sekali oleh laki-laki itu.
"Yang tiap malem sleepcall-an om sampe subuh." Celetuk laki-laki berparas oriental yang kini berdiri di sebelah Insan.
"Oh ya?!" Seru Diana heboh.
"Apa tuh sleepcall?" Tanya Indah.
"Telfonan malem sampe subuh, bu."
"Ih? Kuat gitu yah kupingnya kalian berdua?"
"Nah, kan sekarang formasi sudah lengkap," ujar Jati. "Lebih baik kita ke meja makan."
"Kamu suka gulai iga nggak?" Tanya Insan ke perempuan yang dirangkulnya ke kursi. "Ini ibu buatin spesial dari resep turun temurun loh."
"Iya. Boleh."
Selagi menuangkan sop ke mangkok, mata Rere tak sengaja melirik Indah yang tengah menyendokkan nasi di piring suaminya. Tenggorokan Rere mengering melihat Jati menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Diana dan Insan yang berebutan daun jeruk di sambal.
Obrolan di meja makan diawali dengan percakapan sederhana. Mulai dari tempat tinggal, kampus, jurusan kuliah yang Rere ambil, prospek pekerjaan, berlanjut ke awal mula pertemuan Rere-Insan. Hingga tiba-tiba, sebuah pertanyaan keluar dari mulut Jati.
"Papa kerja apa, Re?"
Posisi duduk Rere seketika menegang. Ujung bibir Rere yang semula datar langsung tertarik, membentuk senyum. Ia memaksakan cengiran lebarnya, menyembunyikan denyutan ngilu yang tiba-tiba hadir di dalam dadanya.
"Bankir juga, om," sahutnya kalem.
"Oh, bank apa tuh?"
Rere menarik piringnya, meski selera makannya sudah hilang. "Masih BUMN," jawabnya seraya meminggirkan tulang iga di piringnya.
Jati mengangguk samar. "Oalah. Sama dong kayak Insan?" Ia menjeda sejenak. "Bagian apa?"
"Branch manager."
"Wow. Hebat juga ya!" Kali ini Indah yang bersuara. "Kalau mama?"
"PNS, tapi lagi dinas di luar kota."
"Oalah berarti kamu di rumah sama papa ya?"
Hanya senyum simpul yang dapat Rere beri sebagai respon. Kemudian suasana berubah hening. Batinnya menjerit ingin pulang. Ia ingin pergi dari rumah ini sekarang juga. Tangannya memaksakan diri memotong bagian daging yang meliliti tulang iga, ditengah kegiatannya ia melirik Insan yang sibuk membahas game dengan Raka.
Rere menggigiti bagian dalam pipinya, perasaan cemas menguasai dirinya.
Ia khawatir jika orangtua Insan mengajukan pertanyaan yang lebih detail lagi tentang keluarganya. Ia khawatir jika ia gagal bertingkah normal. Ia khawatir jika harus berbohong lagi, meskipun ia tak dapat menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Disuapan terakhirnya, Rere menunduk, memandangi kilauan piring yang menyala untuk menyembunyikan kegelisahannya. Tiba-tiba suara Diana menyadarkannya dari lamunan.
"Kak Re, ikut aku yuk ke kamar!"
"Ye ngapain?" Insan nampak protes.
"Kepo lo. Ini tuh namanya girls talk." Cibir Diana, ia lalu melirik Rere. "Ayo kak, ikut!"
Seketika rongga dada Rere terasa melonggar. Ia bertukar pandang dengan Insan yang tiba-tiba melototinya. Melihat itu, Rere hanya memasang raut bingung sambil mengedikkan bahu. Meski dalam hati, ia merasa lega diselamatkan oleh Diana.
"Eh nanti dulu dong, abisin dulu makannya!" Seru Indah.
"Ih? Udah abis tuh liat!" Balas Diana, menunjuk piring Rere dengan gerakan dagu. "Piring Kak Rere udah bersih!"
"Tapi punya lo kan belom!"
"Gue udah gak sanggup. Kenyang banget sumpah. Lagian udah deh. Ini tuh ultah gue, jadi gue bebas mau ngapain," Diana mengeluh pelan, ia lalu beranjak dan melirik Rere. "Udah ayo kak!"
"Hehe," Rere kembali cengengesan. "Aku naik ya semua, permisi."
Rere pun beranjak dari tempat dan mengikuti Diana berjalan menuju tangga, keempat orang yang masih duduk di meja makan hanya bertukar pandang sebelum melanjuti kegiatan mereka lagi.
Langkah Rere terhenti di depan pintu kamar berwarna cokelat tua, si pemilik kamar mempersilakan Rere masuk duluan lalu menggandeng Rere duduk di atas kasurnya.
"Nih. Besok-besok kalo kakak main ke rumah, ngadem aja di sini. Pokoknya aku jamin, kamar ini bakalan jadi spot favorit kakak."
Rere mengangguk sepintas lalu mengamati sekeliling kamar. Tembok putih berlantai vinyl jati tipikal kamar bernuansa aesthetic korea yang sering muncul di beranda pinterest. Matanya lalu tertuju pada koleksi action figure Pocahontas yang terpajang rapi di deretan atas rak buku.
"Kamu suka banget Pocahontas ya?"
Mata Diana berbinar, ia menghempaskan bokongnya di sebelah Rere. "Iya, karna apa ya? Dia keren aja gitu loh kak!" sahutnya, antusias.
"Kalo aku sukanya sama Mulan."
Diana mengangguk setuju. "Dia juga keren sih," balasnya.
"Semua princess emang punya kekerenan masing-masing nggak sih?" Rere tersenyum, ia lalu mengalihkan topik. "Btw, sekolah baru kamu gimana, Di? Lebih seru nggak?"
"Ih nggak kak, seruan di Pelita," jawab Diana. "Anak-anaknya lebih open minded, terus gurunya juga jelas gitu loh kak."
"Emang di sana gurunya gak jelas?"
"Percaya nggak sih kalo ada guruku yang gabut?" ujar Diana. Rere mengerutkan alisnya, lalu Diana melanjuti. "Jadi dia tuh bilang ke anak-anak, kita bakal dapet nilai raport sembilan. Asalkan nggak cepu ke orangtua kalo dia tidur doang selama KBM berlangsung."
"Hah?" Kernyitan Rere mendalam, bibirnya menganga. "Jadi selama KBM dia nggak ngajar gitu?"
"Sama sekali kak! Sumpah!" Diana mengangkat telunjuj dan jari tengah membentuk huruf V.
"Pelajaran apa?"
"Seni Budaya." Diana mengubah posisi duduknya jadi berselonjor. "Awalnya ngerasa enak, bebas bisa main HP atau main di kelas, tapi kesel juga kalo dipikir-pikir?"
"Emang temen kamu nggak ada yang berani confront?" Rere ikut mengganti posisi duduknya, menghadap Diana sepenuhnya.
"Rebahan aja kak gak papa," ujar Diana, Rere hanya mengangguk. "Lagian emang percuma sih kak. Ketua kelasnya aja kerjaannya push rank doang," tambahnya.
"Kalo gitu kamu aja yang maju?"
"Nggak ah. Nanti dianggep sok jago lagi." Diana menghela napas, ia merebahkan tubuhnya. "Namanya juga masih jadi anak baru, play safe is must nggak sih?"
"Iya juga sih ya..."
"Minggu depan nginep dong kak, biar kita cerita-cerita!" Diana memiringkan tubuhnya, menghadap Rere yang masih menghadapnya.
"Minggu depan?" Rere menarik kedua kakinya jadi bersila.
"Iya! Ayolah please?"
Rere mendongak, nampak menimbang-nimbang. "Boleh deh," ujarnya kemudian.
"Asik!" Diana langsung terduduk. Ia refleks menarik kedua tangan Rere. "Ah! Finally i've got a sister!"
Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan kedua orang laki-laki yang baru saja memasuki kamar. Otomatis Rere dan Diana mengalihkan pandangan ke arah Insan dan Raka yang kini menghampiri mereka. Sontak Rere melotot melihat sosok laki-laki berkepala plontos yang tiba-tiba terlentang di samping Diana.
Rere sempat terenyak merasakan usapan lembut di punggungnya, ia menoleh. Mendapati Insan berdiri di belakangnya. Perempuan itu tersenyum simpul dan menoleh lagi
"Ih! Udah sempit ini ah!" Pekik Diana, sewot. Namun Raka tak merespon ataupun mengubah posisinya.
"Jadi itu tuh, penampakan Raka— obat nyamuk kita selama ini Re," ujar Insan. Masih berdiri di posisi yang sama, laki-laki itu melingkari tangannya di bagian depan leher Rere.
Rere menelan ludahnya, melawan kegugupannya.
"Eh— tapi gue boleh nanya nggak?" tanya Rere.
Raka menoleh dengan raut bertanya, ia menggerakkan kepalanya sekali. "Kalung lo tuh dari tulang beneran atau nggak deh?"
Raka langsung menggenggam liontinnya. "Iya, ini yang biasa dipake ritual sama Ki Joko Smart," ujarnya. "Mau nggak lo? Gue rentalin nih kalo lo mau."
Insan tergelak. "Bangsat, rental!"
Rere ikut terkekeh. "Enggak ah, gue lagi nggak mood ngundang arwah," sahutnya tak kalah nyeleneh, sontak membuat Diana yang sejak tadi diam menyimak ikut tertawa.
Dengan raut herannya, Raka mendongakkan kepala—berusaha menatap Insan yang terbahak di bawah. "Kan. Prik banget emang cewek lo." Ia menggeleng lelah. "Insan... Insan... selera lo emang,"
"Padahal kalian baru pertama kali ketemu loh ini," kata Insan.
"Langsung sefrekuensi ya," tambah Diana dengan sisa tawa.
"Cocok banget jadi sibling goals."
Diana menyalakan ponsel, membuka pesan yang baru saja masuk dari Indah. "Eh, disuruh turun sama ibu nih. Katanya mau foto-foto," lanjutnya kemudian.
/ r e a l t a l k/
SEDAN hitam itu berjalan melewati fly over. Tujuan akhir mereka masih lumayan jauh. Meski sejak lahir hidup di Jakarta, Rere tidak pernah merasa tidak bahagia setiap kali melewati jejeran tower tinggi di kawasan Jakarta Selatan. Perempuan itu menoleh ke sosok yang masih fokus mengemudi.
"Orangtua kamu baik ya San. Keluarga kamu hangat banget."
"Dulu waktu masih ada kakek lebih rame lagi," kata Insan. Rere mengernyit, seolah bertanya. "Iya, kalo ada kakekku pasti udah ngajakin kamu karaokean lagunya Utha Likumahuwa," tambahnya.
"Utha Likumahuwa?"
"Ah kamu anak jaman sekarang sih. Ada tuh lagu dia enak banget," kata Insan. "Nanti malem deh aku share ke kamu."
Rere manggut-manggut, ia membuka ponsel Insan, memilih lagu dari playlist yang dinamakan 'Songs about R'. Akhirnya lagu We're in Love milik Al Jarreau yang dipilihnya. Senyum perempuan itu mengembang, merasa begitu bahagia menscrolling playlist lagu cinta yang Insan susun untuknya.
"Tapi kamu happy gak ketemu orang rumah?"
Senyum perempuan itu sempat memudar, namun saat ia menoleh, ia langsung tersenyum lebar dengan anggukan.
"Happy. Happy banget malah," ungkapnya, tulus.
"Mereka juga happy ketemu kamu."
"Diana masa tadi nyuruh aku nginep deh, lucu ya anak itu." Rere menggeleng pelan, teringat ulah Diana tadi.
"Nah boleh tuh, tapi tidur sama akunya beberapa taun kemudian ya?"
"Apaan sih, San?" Rere jadi geli.
Keduanya diam, sama-sama fokus pada dunianya masing-masing lagi. Rere membuka ponselnya, melihat lagi beberapa foto dirinya bersama keluarga Insan. Senyumnya mengembang, ia merasa senang sekaligus sedih secara bersamaan. Kini ia memiliki dunia yang baru, sekaligus keluarga baru.
Semuanya begitu indah, dan penuh suka cita.
Tetapi dibalik semua keindahan itu, Rere kini merasa takut. Bagaimana hubungan ink kedepannya? Bagaimana kalau Rere tidak dapat memberikan feedback yang sepadan untuk Insan? Bagaimana kalau nantinya Insan tahu keadaan keluarga Rere yang sebenarnya?
"Pasti liatin foto yang tadi?"
Insan menoleh, mendapati Rere yang kini menatapnya. Perempuan itu mengangkat kedua bahunya sambil memperlihatkan layar ponselnya.
"Aku baru kali ini kenalan sama keluarga pacar,"
Insan menurunkan satu tangannya, menarik persneling melihat lampu merah di hadapannya menyala. "Kan aku pacar pertama kamu,"
"Sebenernya bukan sih..." Rere memengubah possinya jadi menghadap Insan. "Cuma yang serius iya,"
"Loh? Kamu boong?" Insan nampak sedikit terkejut.
"Jadi jaman SMP tuh ada. Tapi ya gitu, cuma karna ikut-ikut temen."
"SMA?"
"Enggak."
"Boong!"
Rere terkekeh. "Lah, terserah."
"Kok bisa ya SMA nggak pacaran?" Celetuk Insan. Matanya sekilas melirik Rere yang kini mengernyit. "Tolong ambilin rokokku di dashboard deh, Re," ujarnya lagi.
Rere menuruti permintaan pacarnya, membuka penutup dashboard dan malah mendapati sesuatu yang menarik perhatiannya. Ada box berbentuk kubus berwarna putih dibalut pita hitam. Perempuan itu langsung megambilnya, menoleh ke Insan dengan raut heran.
"Apa nih?"
"Kado." Insan menoleh, melihat Rere dengan raut bingung yang sebenarnya dibuat-buat. Padahal Insan tahu jika perempuan itu sudah deg-degan setengah mati.
"Buat aku?" Rere langsung semringah.
"Kalo buat mas-mas pom bensin terlalu sweet sih Re sampe dikemas kayak gitu."
"Ada apa nih tiba-tiba ngasih kado?" Tanya Rere, sudah tak mampu menahan senyum malunya. "Iiih, padahal kan yang ulang tahun Diana!"
"Yaudah kalo nggak mau sini!"
Tangan kiri Insan terulur, menadah ke arah benda yang dipegang Rere. Spontan, perempuan itu memeluk kadonya. Tawanya yang tertahan langsung pecah. Seketika perempuan itu lupa jika ia sempat overthinking berat.
"Asik! Aku buka ya!" Rere kegirangan.
"Nggak! Nggak disini, di kamar aja nanti."
Diperingati seperti itu, Rere melirik Insan sekilas.
"Ih? Nggak mau! Aku udah kepo!" Rere tak mau kalah.
"Kalo kamu buka sekarang aku nggak kadoin lagi nih ya?"
Diancam seperti itu, Rere langsung mengurungkan niatnya. "Lah masa gitu?" gumamnya pelan.
"Makanya nanti aja, pas sendirian."
"Emang kenapa sih, ih?" Rere cemberut.
"Aku malu!" Seru Insan, ia lalu mendecak pelan. Kedua matanya fokus ke depan sepenuhnya, enggan sekali membalas tatapan pacarnya.
"Hah?" Tawa Rere refleks pecah lagi. "YAKALI SAN? HAHAHAHA!"
"Yaudah sih sabar, bentar lagi kan nyampe."
Rere menyalakan ponselnya, langsung membuka grup chat.
Realita: xixixi tiba tiba gue dikadoin sama Insan😭🤍
Tiara: Lah? Kok tiba-tiba anjir?
Luna: IH APA ISINYAA??!!
Aca: BODO AMAT NANTI HARUS ADA VIDEO UNBOXING!
Senyum Rere masih mengembang lebar. Entah dorongan dari mana, perempuan itu membuka kamera ponsel. Ia mengganti posisi duduk menghadap Insan dengan tangan yang satu lagi menjulurkan kado ke arah laki-laki itu dan klik.
Potret itu terabadikan.
Insan refleks menoleh. "Eh— apaansih?!"
"Ah gemes! You're too sweet!"
Hidung Insan mengembang, tiba-tiba ia merasa salah tingkah. "Dari dulu kemana aja?"
Rere tak menjawab, ia membuka Instagram, lalu mengunggah foto tadi di Instastory-nya. Tepat saat Rere meletakkan ponsel, terdengar notifikasi Instagram dari ponsel Insan. Senyum laki-laki itu mengembang, ia merasa senang sekaligus malu.
____
Gimana part ini? HEHE
Makasih ya udah berkontribusi di karyaku, semoga aku bisa konsisten update setiap hari hehe❤️
Jgn lupa vote/komen ya🫶🏼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top