16. Now or Never
Rhye — Please
____
"Ini tuh kayak slurpee-nya sevel gak sih?" Rere menoleh ke laki-laki yang duduk di hadapannya sambil mengangkat cup Froster.
Mereka berdua duduk di bawah payung merah berlogo huruf K. Di depan minimarket yang didominasi warna merah putih diantara deretan kios-kios.
"Iya eh, gue malah mix tadi Pepsi, Miranda, sama cola."
"Kalo gue mix semuanya!" sahut Rere, semringah. "Sampe gue gak bisa bedain mana yang Pepsi mana yang Cola."
"Hati-hati lidah lo butek nanti."
"Perlu dikerik kali ya? Biar merah?" Celetuk Rere.
Insan menggeleng geli. "Freak abis lo," sahutnya setengah tertawa. Ia diam sejenak, lalu berbicara lagi. "Tapi serius deh Re, gue malah jadi wondering kenapa cuma softdrink yang dibekuin alus gini? Kenapa Pocari nggak?"
Mendengar pertanyaan itu, Rere hanya menghela napas. "Karna Pocari bukan soda," sahutnya.
"Tapi nggak ada salahnya kan dia dibekuin alus?" Insan masih bersikeras.
"Freak abis anjir, ionnya ilang dong nanti?"
"Tapi kalo sampe ada versi Pocarinya, gak bakalan gue mix deh sama yang lain," sahut Insan kalem.
"Secinta itu ya lo sama Pocari?"
Insan terkekeh. "Believe or not, gue lebih sering minum itu ketimbang air putih."
"Lah?" Rere menarik punggungnya sedikit, dan mengernyit heran.
"Beneran. Kamar gue aja penuh sama botol-botol Pocari literan."
Rere menggeleng samar. "Anjir lo yang freak abis ye, bukan gue," balasnya, tak habis pikir dengan laki-laki di depannya.
"Loh? Kenapa sih emang sama Pocari?" Insan mengerutkan alis, senyumnya hadir. "Kan sehat?"
"Sehat sih sehat, tapi nggak sampe dijadiin kebutuhan pokok juga deh kayaknya," sahut Rere tak mau kalah.
"Ya gue udah terbiasa, malah aneh sehari nggak minum seliter tuh."
Rere tak bersuara sejenak, lagi-lagi pernyataan Insan membuat alisnya tertekuk. "Tapi pernah— gak minum mineral sama sekali gara-gara Pocari?" Tanyanya, empat detik kemudian.
"Pernah."
"Sinting!" Rere langsung menyandarkan punggungnya.
"Enak asli! Lo perlu cobain."
Rere menggeleng. "Please jangan ngajak gue buat hidup gak sehat."
"Loh ini sehat Re? Ion tubuh kan penting?"
"Tapi mineral lebih penting ya, Samsul!"
"Anjir Samsul," Insan terkekeh. "Tapi alasan gue lebih suka sama Pocari daripada mineral karna rasanya."
"Hah?"
"Iya, mineral kan jelas pait. Tapi Pocari tuh beda. Manis ada, asem ada, asin dikit juga ada. Jadi enak."
"Lu seduh aja nano-nano sekalian, San!" Celetuk Rere, asal.
"Gimana kalo kita seduh mentos campur bodrex sama cola?"
"Sok ngidenya jaman gue SD banget sih itu."
"Tapi gue mau nanya boleh gak?"
Raut wajah Rere lamgsung berubah. Kenapa gak langsung nanya aja sih? batinnya. Rere terkadang keki jika ada seseorang yang meminta izin untuk bertanya, entah kenapa rasanya terkesan lebih creepy. Baginya lebih baik semua diungkapkan secara spontan saja.
"Apa?"
"Kenapa kita nggak duduk di dalem?"
Elah. Rere menghela napasnya. "Biar lo ngerokok."
"Emang kenapa sih lo pengen banget gue ngerokok depan lo?"
"Ya mau liat aja." Rere menepuk pelan meja. "Biar lo nyaman juga."
Insan menatap Rere dengan raut aneh.
"Ya kan lo selama ini nggak pernah ngerokok depan gue," tambah Rere, memperjelas maksudnya. "Gue nggak mau lo tuh kayak terkesan terlalu nahan diri kalo lagi sama gue."
"Maksudnya?"
Perempuan berkaos putih itu menghela napas, dan memutar matanya, mencoba bersabar. "Intinya kalo mau ngerokok mah ngerokok aja," jelasnya. "Gak usah yang ngerasa nggak enak ke gue gitu."
"Bukan gitu," Insan menjeda sejenak. Ia menaikkan satu tangannya, menopang dagu. "Emang lo nggak keganggu kalo lagi ngobrol sama gue, kehalang sama asap rokok?"
"Dih? Apaan sih? Masa gitu alesannya?"
"Itu baru salah satunya," sahut Insan, kalem. "Yang paling klise ya gue gak mau aja lo keganggu sama baunya."
"Tapi gue terbiasa kok sama bau rokok, temen-temen gue yang laki malah gak ada yang gak ngerokok."
"Iya sih," Insan diam sejenak. Dua detik selanjutnya bertanya lagi, "Emang lo nggak takut kayak yang di iklan-iklan itu?"
"Yang mana?" Rere melirik Insan dengan sorot heran. "Cewek yang batuk alay gitu ya gara-gara gak sengaja nyium asap?"
Insan membalas lirikan Rere dengan sorot yang sama. "Emang ada ya iklan rokok terus ditampilin adegan ceweknya batuk-batuk?" tanyanya, bingung.
Rere mengangguk samar. "Ada, nanti gue yang casting," jawabnya, kalem.
Insan mengernyit lalu tertawa. "Tapi serius deh, kadang gue mikirnya cewek gitu caper doang," jelasnya. "Ya walaupun memang ada sih tipikal yang alergi asap langsung batuk-batuk. Tapi yaudah gitu loh, kalo yang gak alergi ya act normal aja kenapa sih?"
Dalam diamnya, Rere mencerna sekaligus menunggu kalimat Insan selanjutnya.
"Tapi maksud gue tuh ini lebih ke yang akibat dari menghirup asap rokok itu loh, yang ibu-ibu tenggorokannya bolong. Pernah kan lo liat di internet?"
Rere memutar matanya, menimbang-nimbang. "Pernah sih, tapi yaudah lah ya. Bismillah aja," balasnya, pelan.
Insan merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebungkus rokok berwarna putih merah berlogo Philip Morris. Tatapannya tertuju pada perempuan yang kembali menyeruput Froster. Ia menepuk bungkus rokoknya lima kali sebelum mengeluarkan sebatang.
"Lo tuh selalu gini ya?"
Rere menjauhkan Froster, dan menatap Insan bingung. "Kenapa?" tanyanya.
"Pinter bikin nyaman?"
Pertanyaan Insan terdengar serius, dan raut wajah laki-laki itu tak terlihat menyesal sama sekali. Hal ini memicu Rere mengganti posisi duduknya, ia menyipitkan matanya, menatap Insan tak percaya.
"Kenapa sih jago banget bikin suasana awkward?" Seru Rere, wajahnya memerah.
"Maaf-maaf, yaudah gue ngerokok nih ya?" ujar Insan, sebatang rokok sudah diapit bibirnya yang terlipat.
"Iyaa..."
Insan menyalakan lighter, dan membakar rokok. Laki-laki itu mengikuti arah pandangan perempuannya ke beberapa orang yang berlalu lalang di area parkiran mobil.
"Gue minta maaf ya soal sikap gue belakangan,"
Ungkapan yang baru saja terlontar dari mulut Rere membuat Insan memelankan isapannya dan menoleh ke perempuan itu, seketika ia bisa merasakan penyesalan dibalik intonasi perempuan itu.
"Nggak apa-apa," ujar Insan. Lutut kirinya bergerak, menyenggol pelan milik perempuan itu. "Lo nggak salah kok,"
Mata Rere membelalak. "Ih nggak! Gue sadar kok gue emang gak seharusnya bersikap kayak gitu."
Insan tak langsung menyahuti perkataan Rere, laki-laki berjaket kulit hitam lengan pendek itu menatap Rere sejenak sebelum akhirnya ia menoleh ke samping, mengembuskan asap lewat hidung.
Begitu pula Rere, ia tak berkata apa-apa lagi dan mematung di tempat. Antara sudah kehabisan kata-kata, dan tak tahu harus bersikap. Perempuan itu menegakkan punggungnya, dan menopang dagunya dengan kedua tangan. Salah tingkah maksimal.
"Lo mau bersikap kayak apapun itu hak lo tau, Re." Suara Insan akhirnya terdengar setelah jeda lima belas detik. "Malah gue anjir yang gak jelas bertingkah sok clingy sama lo, gue langsung sadar hak gue apa?"
Insan tak mengatakan apa-apa lagi setelah itu, tidak juga perempuan di depannya.
"Barusan juga gue nuntut lo buat nggak banyak-banyak minum Pocari. Padahal kalo dibalikin ya... hak gue apa coba?"
"Hak lo haknya bakiak nenek."
Rere mengerutkan alisnya, tak menyahuti jokes Insan. Perempuan itu meraih minumnya dan kembali menyeruput. Begitu pula Insan, laki-laki itu tetap anteng mengisap rokoknya.
Hening lagi.
"Gue mau jujur deh sama lo." Secara spontan Rere menyentuh lengan Insan, dan menatap laki-laki itu serius.
Insan membungkam mulutnya, mendorong asap keluar lewat hidungnya. "Apa?" Tanyanya. Tatapannya tertuju pada tangan Rere yang baru saja menyentuhnya.
Rere diam sejenak. Ia menarik tangannya. Matanya tertuju pada tangan Insan yang menekan batang rokok di asbak. Dalam diamnya Rere kembali mengingat rangkaian kalimat yang sudah ia susun sejak semalam.
Namun, saat matanya bertemu dengan milik Insan, semuanya buyar.
Setelah jeda tiga detik, Rere berkata, "Gue sadar kalo gue ngerasain hal yang sama kayak lo—" ia memejamkan matanya sejenak. "About— that connection,"
Insan mengangkat tangannya, menyuruh Rere berhenti. "Bentar," ujarnya, tegas. "Ini lo nggak lagi mau nembak gue kan?"
Rere lagi-lagi dibuat melotot. "IH! GILA LO YA?" Pekiknya. Ia langsung menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, kelabakan sendiri. "Kenapa sih lo kalo ngomong selalu bikin suasana awkward?!"
Insan tertawa ngakak. "Maaf-maaf!" Serunya. "Abisnya gue tuh gak mau aja lo yang ucapin itu duluan."
Demi apapun Rere lupa caranya menyipitkan mata. Bola matanya hampir copot. "Hah?"
"Yaudah deh terusin lagi omongan lo tadi," ujar Insan, merasa tidak enak memotong omongan Rere.
"Ya— gitu doang sih?" Rere mati-matian menahan diri untuk tetap duduk tenang. "Nggak gimana-gimana lagi."
"Yakin?"
Rere mengangguk kuat-kuat.
Tawa renyah Insan terdengar. Ia merasa senang akan pengakuan Rere tadi. Itu berarti, Rere sudah memberikan sinyal bahwa ia merasa nyaman padanya. Dalam hati merasa jika setelah inilah waktu yang tepat bagi mereka.
"Okay," ujar Insan kalem, ia menatap Rere lebih intense dari yang sebelum-sebelumnya. "Soalnya gue mau ucapin itu duluan."
"Lah apa? Nembak?" Rere berujar sok kalem, padahal dentuman dibalik dadanya tak dapat dielak lagi. Ia segera mengerjapkan mata, sadar jika ia terlalu ceroboh.
Ujung bibir Insan samar-samar tertarik. Ia menunduk merasakan percikan hangat dibalik dadanya. "Iya," sahutnya.
"Sinting!"
Setelah itu, tak ada yang berbicara lagi. Insan hanya menatap Rere dengan raut seserius yang ia bisa. Tanpa disengaja, kedua tangan mereka terlipat di atas meja. Hingga ponsel milik Rere menyala, memunculkan notifikasi, barulah Insan bersuara.
"Serius, Re."
Rere mati-matian menahan diri untuk tidak meraih ponselnya atau membuang muka. Perempuan itu tertawa ringan, terpaksa. "Apaan sih lo?"
Tatapan mereka bertemu, seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sorot mata Insan melembut, merasakan kehangatan yang terpancar dari kedua mata Rere. Insan menghela napas perlahan. Jantungnya berdebar-debar.
Now it's time to say!
"Jujur, Re. Semakin ke sini tuh— gue ngerasain hal yang gak biasa sama lo," Insan menghela napas. "Dibilang suka atau tertarik itu pasti—"
Insan menjeda sejenak. Posisi duduk Rere berubah jadi sedikit lebih membungkuk, perempuan itu mengalihkan pandangannya ke meja putih yang membatasi mereka. Ia mengatupkan rahangnya, menutupi debaran jantungnya yang semakin kencang.
"Tapi gue sadar, perasaan yang gue punya ke lo ternyata gak cuma tentang dua kata itu," suara Insan terdengar sedikit parau.
Rere sontak membalas tatapan Insan.
"Gue gak tau ini sayang atau cinta," ucap laki-laki itu. "Gue udah dua puluh empat tahun hidup, gue udah ngerasain jatuh cinta berkali-kali. Tapi semakin ke sini gue sadar... yang gue rasain ke lo itu paling beda."
Pernyataan ini seperti sapuan ombak yang membasahi kaki saat berdiri di pinggir pantai.
Halus dan menenangkan.
"Bukan karena lo orang baru di hidup gue aja, tapi ya memang ada esensi yang paling beda aja sama lo."
Rere memilih tetap mendengarkan.
"Awalnya gue kira, perasaan ini tuh cuma kesenangan sesaat. Ternyata gue salah," ujar Insan. Kedua tangan laki-laki itu memegang kedua sisi meja, berupaya menyalurkan rasa grogi yang sejak tadi hadir. "Semakin hari gue semakin nyaman sama lo. Gue suka momen debatin hal-hal yang gak penting sama lo. Gue suka dengerin lo ngomel atau ngebantah. Gue selalu suka liat lo yang gampang ketawa. Gue juga suka jokes jayus lo. Dan diluar kendali gue, gue jadi ketagihan sama semua itu."
Melihat Rere terdiam seribu bahasa, tiba-tiba Insan merasa begitu lemas, dan... grogi.
"Re, jangan bengong gitu, please!" Seru Insan, malu.
Rere melotot gemas. "Ya— gue bingung?"
"Apa yang lo bingungin?"
"Kan lo tau gue jomblo dari lahir!"
Tawa Insan pecah. "Then?" Tatapannya kembali normal, ia masih ingin mendengar lebih jauh.
Melihat raut penasaran wajah Insan, perempuan itu menyelipkan rambutnya dibalik telinga dan menghela napas panjang. Rere tahu, inilah saatnya untuk membalas.
"Ya... tiba-tiba aja tanpa pernah gue duga— dipertemukan lo tuh— sama sekali bukan hal yang biasa buat gue," ungkap Rere. "Gue pertama kalinya diperlakuin beda sama laki-laki, dan pertama kalinya juga ngerasain punya connection yang lumayan deep sama laki-laki— dan konsepnya bukan friendship."
Seketika Insan lupa rasa asam yang hampir setengah jam tadi menyisa di mulutnya. Ia memilih bungkam, karena tahu jika Rere akan bicara lagi.
"Walaupun gue gak bisa menerka kedepannya lo bakal gimana ke gue, tapi gue lebih gak berani bayangin lo gak ada di hidup gue."
Ungkapan tulus yang baru saja didengarnya membuat Insan terpana. Laki-laki itu menelan ludahnya, menelan keinginannya untuk meraih tangan Rere untuk menggenggamnya atau sekedar memberi kecupan singkat di sana. Laki-laki itu kembali melipat kedua tangannya di atas meja, meniru perempuan di depannya.
"Shall we?"
Tatapan Insan semakin intense. Begitu pula perasaannya terhadap Rere.
Meski tahu arah pembicaraan mereka akan kemana, Rere tetap menyahut. "Apa?"
Dan, Insan tidak mau membuang waktu.
"Jadian."
___
HEHE TADINYA MAU UPDATE LAGI, KIRA2 KAPAN YA?😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top