13. You're My Truly Crush


Cigarettes After Sex — You're All I Want

______

SAAT langkah Rere baru menapaki lobi, perempuan itu melirik ponselnya yang tiba-tiba menyala. Ada pesan masuk dari sosok yang semalam membuat jam tidurnya kacau. Setibanya di kelas, perempuan itu langsung duduk di barisan tengah yang sudah disisakan gerombolannya.

"Parah banget baru dateng!"

"BURUAN CERITA!"

Rere CS tetap histeris meski keadaan kelas masih ramai.

Rere menutup wajahnya yang memerah, ia cekikikan kegirangan. Kepalanya bergoyang ke kanan ke kiri. Aca sontak meringis, terkejut melihat tingkah Rere seperti ini.

Dengan sisa senyumnya, Rere menghela napas sambil menyelipkan rambut dibalik telinga, matanya menatap ketiga temannya bergantian.

Sebetulnya, Rere sudah menceritakan detailnya di grup chat semalam. Tetapi, teman-temannya mendesak Rere harus cerita langsung, karena jujur kurang greget!

Dan, Rere sangat senang menceritakan hal ini. Sesekali ia menutup mulutnya saat menceritakan bagian manisnya, lalu terbahak saat menceritakan bagian lucunya.

Rere butuh waktu hampir sepuluh menit untuk menceritakan detailnya, termasuk untuk menyahuti pertanyaan-pertanyaan, dan komentar-komentar random mereka. Meski dalam hati berterima kasih pada Luna, karena hanya perempuan itu yang sabar, tidak pernah memotong selama Rere bercerita.

"ADUH MALU BANGET!" Seru Rere di akhir ceritanya, ia menutup matanya dengan satu tangan.

Sebagai orang yang paling lama mengenal Rere, Aca tak dapat menahan kernyitannya. Ia masih tak menyangka bila sahabatnya yang selama ini ia anggap makhluk astral bisa bertingkah seperti sekarang.

Rere. Jatuh cinta.

Dua hal yang sangat-sangat aneh bagi Aca.

"Terus sekarang masih chattingan?" Tanya Aca.

"Masih dooong!" Rere nampak semringah.

"Dia ngajak lo main lagi nggak?"

"Iya. Minggu depan."

"Lo iyain?"

Rere mengangguk cepat. Aca menggeleng kagum, tangannya mencomot chiki cokelat bungkus kuning yang tergeletak di atas meja.

"Tapi selama chattingan berubah gak dia?" Kali ini Luna yang bertanya.

"Enggak! Malah lebih bawel!" Rere semakin antusias.

"Kalo gitu lo yang harus pinter nahan diri, Re."

Sontak, ekspresi Rere berubah seratus delapan puluh derajat, tangan kanannya yang hendak memasukan chiki berhenti di depan mulut, tatapannya tertuju lurus pada Tiara.

"Hah? Maksudnya?"

"Lo lebih pasifin dikit gitu, jangan kayak orang kegirangan banget! Jangan terlalu ngetarain kalo lo udah interest sama dia."

"Kok gitu sih?" Rere menurunkan tangannya, tak jadi memasukkan chiki ke dalam mulut.

"Karna kalo kita terlalu satset juga takutnya bad ending," jawab Tiara. "Cowok tuh gitu tau, kalo penasarannya ilang yaudah, siap-siap kena mental."

"Bukannya malah mainin ya kesannya?" Ini suara Aca.

"Asli. Bosennya cowok itu serem banget," kata Tiara. "Cowok tuh manusia serba penasaran, kalo penasarannya ilang yaudah. Lo abis itu disepelein, pasti itu tuh. Karna penasaran dan ilfeel itu dua hal yang berdekatan bagi mereka."

"Enak tuh jadi diri sendiri aja," sergah Luna. Kepalanya menatap Tiara dan Rere bergantian. "Kayak lo nih misal lagi gak mood bales chat dia, yaudah. Slow respon aja, tapi tetep bales."

"Kayaknya ini terlalu awal deh kalo buat nunjukin sifat asli?" Tiara menatap ketiga temannya bergantian. "Rere juga kan baru sekali jalan sama orang itu?"

"Iya, emang masih awal. Tapi ya nggak bisa deh kayaknya kalo dipukul rata, cowok yang manis di awal bakal berengsek di akhir," balas Luna. "Karna ya? Gimana ya? Semua tuh sebenernya tergantung masing-masing insannya juga— caelah! Insan!" Lanjutnya heboh.

"Jangan kenceng-kenceng kenapa sih!" Rere jadi sewot.

"Lah? Nggak ada yang kenal juga."

"Tapi please, gue mau liat foto kalian dong!" Aca masih belum menyerah.

Rere mendengus kencang. "Kan udah di grup!"

"Tapi kan mukanya lo tutupin stiker!" Sergah Aca.

"Ya gue stikerin, kan nggak ada status apa-apa."

"Bukan enggak! Tapi belom!"

"Apaan sih, Re? Kayaknya lo doang deh yang lakuin hal kayak gini?" ujar Tiara.

"Maksudnya kayak gini tuh gimana?" Rere memasang raut bingung.

"Iya, selfie bareng di first date?"

"Gila, siap-siap sih ini mah ditembak minggu depan."

"Kok gitu sih?" Rere memutar matanya. "Yakali ngegas amat?"

"Tapi, gue jadi inget waktu kalian saling tanya ada yang marah apa nggak itu deh. Kok kesannya nganu ya?"

"Kenapa lagi sih, Ti?" Kali ini Luna memandang Tiara dengan raut lelah.

Dalam sekejap, perasaan senang Rere langsung berubah jadi cemas.

/r e a l  t a l k/

DENGAN polesan make up tipis ala dirinya, Rere merasa lebih percaya diri duduk di hadapan Insan. Kafe bernuansa retro minimalis yang sepi pengunjung menjadi pilihan mereka kali ini. Insan melirik macchiato miliknya yang tersisa setengah, lalu beralih ke matcha latte milik Rere.

"Gue gak mau hari ini krik-krik, jadi kita harus main."

Tatapan Insan langsung tertuju pada sosok perempuan berbaju turtleneck hitam lengan panjang di hadapannya. Lalu beralih ke chain emas yang melingkari lehernya.

"Main apa tuh?"

Insan tak dapat menahan senyumnya, terlebih menyadari warna baju yang mereka pakai sama tanpa disengaja.

"T.O.T."

Kening Insan mengerut. "Hah? Apaan tuh?"

"Truth or truth."

Kekehan Insan tiba-tiba hadir. "Oh jadi cara lo get to know gue tuh gini ya?" Ia mengangguk samar. "Sabi, sabi..."

Tanpa membalas ledekan Insan, Rere mengulurkan tangannya. "Yaudah ayo kita suit."

Tangan mereka berjabat sesaat, lalu Rere mengeluarkan kelima jari kanannya, sedangkan Insan mengeluarkan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Rere menghela napas, dan mengumpat dalam hati.

"Oke. Mau nanya apa?"

Insan mengganti posisi duduknya, dan menatap wajah Rere yang kini menunduk. "Umm... kapan terakhir kali lo pacaran?"

Rere menghela napas sebelum mengangkat kepala, "Oke." Ia lalu mengangguk samar. "Jawabannya adalah nggak pernah sama sekali."

"Bohong!" Seru laki-laki berjaket denim hitam itu, matanya refleks melotot.

"Sumpah! Kan ini T.O.T!" Rere tak kalah heboh.

Insan tergelak. "Emang siapa yang bilang T.O.L?"

"T.O.L?"

"Truth or lie?"

Rere memicingkan matanya dan menggeleng lelah. "Yaudah sekarang suit lagi."

"Nggak perlu kayaknya deh," Insan mengganti posisi duduknya jadi lebih tegak. "Mending sekarang gantian lo tanya gue aja. Supaya kita tinggal saling tuker pertanyaan."

Rere tergelak. "Yeee mau banget ditanya ya?"

"Dih? Yaudah kalo nggak mau."

Rere menyeringai kecil. "Boleh juga si tapi," ujarnya, lalu tanpa berpikir panjang ia langsung menyeletuk. "Yaudah kalo gitu... kapan terakhir kali lo stalking cewek dan siapa?"

"Tadi pagi. Lo." Insan menyahut tak kalah spontan dan mantap.

Dari bawah meja, Rere mengepalkan kedua tangannya dan menelan ludah.

"Oke, sekarang giliran gue lagi ya," ujar Insan. "Balik ke unanswered question kemarin," Insan masih menatap Rere lekat-lekat, matanya tertuju pada bola mata yang menghindarinya. "Kira-kira bakalan ada yang marah gak si kalo tau lo jalan berduaan sama gue?"

Rere membalas tatapan Insan tak kalah intense, ia menaikkan kedua tangannya sebelum menopang dagu. "Emang kurang jelas ya?"

Insan mengangkat alisnya dan menghela napas pendek. "Yah, cuma mau memastikan aja," ujarnya. "Butuh jawaban yang lebih diplomatis."

Rere menurunkan tangannya, dan mengangguk sekali. "Oke. Jujur, gue bukan tipikal cewek yang mau jalan sama lawan jenis di belakang pacar gue," ujarnya. "Cukup jelas?"

Insan mengangguk tiga kali, senyumnya mengembang lebar. "Well, lucky him," gumamnya. "Soon to be," lanjutnya, lebih pelan.

Rere mengedikkan bahunya dengan senyum tipis. Seketika, tak ada yang berbicara lagi diantara mereka selama enam detik.

"Apa sih?" Tanya Rere begitu menyadari mata Insan tak juga berpaling darinya.

"Apa?"

"Kenapa malah jadi ngeliatin gue kayak gitu?"

"Emang kenapa?"

Rere melotot. "Jangan liatin gue kayak gitu!"

"Kenapa sih emang?" Insan menyengir lebar, merasa tertantang. "Suka-suka gue dong, Re?"

"Tapi gue nggak suka!"

"Kan emang gue yang suka?"

Jantung Rere menyentak resah. Ujung bibir samar-samar mengerucut. Ia langsung menunduk menyembunyikan pipinya yang memanas. Aduh kampret nih orang!

"Sekarang giliran gue," ujar Insan lagi.

Rere kembali mengangkat kepala, entah sudah keberapa kalinya Insan membuatnya melotot. "Kok jadi lo?"

"Gue anggep pertanyaan kenapa gue liatin lo terus itu bagian dari list lo."

"Curang!"

Insan tak peduli, laki-laki itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Tipe cowok lo yang kayak gimana?"

Kayak lo! Lo pokoknya lo! "Um... ya biasa-biasa aja sih, yang penting asik gitu fun," Rere berusaha menyahut sekalem mungkin.

"Tapi kan orang nggak selalu fun?"

"Iya sih, semua orang juga punya sisi ngeboseninnya, dan itu manusiawi."

Insan memajukan tubuhnya. "Jadi?"

"Ah! Ini nggak ada pertanyaan yang lain gitu?" Sungut Rere.

"Nggak," sahut Insan kalem. "Karena kan emang cuma itu yang mau gue tanyain."

Rere spontan mengganti posisi duduknya jadi lebih tegap, ia memegang box tissue yang tergeletak, berusaha mengontrol diri sebelum menjelaskan secara detail.

"Gimana ya? Gue tuh suka cowok yang gak terlalu flirty ke cewek-cewek, suka yang biasa aja nggak neko-neko, dan bisa ngimbangin gue aja. Udah sih."

Insan menopang kepalanya dengan satu tangan, sedangkan yang satunya lagi sisi box tissue. "Ngimbangin lonya tuh gimana?" tanyanya.

"Eh kok jadi lo terus deh yang nanya?" Rere refleks menarik tangannya, dan menatap Insan dengan raut heran.

"Kan ini belum tuntas lo jawabnya?"

"Ih?" Rere terenyak. "Emang aturan mainnya gitu ya?"

"Iya dong, sampe yang nanya ngerasa puas sama jawaban narasumbernya baru deh ganti sesi." Insan menegakkan posisi duduknya, dan menyeruput macchiato-nya lagi.

"Yeee!" Seru Rere. Ia memutar matanya dan kembali bersuara. "Ya intinya gitu lah. Bisa ngimbangin sifat moody gue, ngeselinnya gue, dan labilnya gue. Gitu aja sih."

"Yakin gitu doang?"

"Iya. Gitu doang."

Insan menarik sebelah alisnya, menatap Rere curiga.

"Eh apa sih? Kok gue jadi ngerasa terintimidasi deh?"

Insan tekekeh. "Ya nggak," ia menggeleng pelan. "Maaf deh kalo lo ngerasa nggak nyaman,"

"Nggak bukan gitu," Rere menggumam pelan. Ia menggaruk kepalanya lalu meringis. "Gimana ya?"

Insan melipat kedua tangannya di atas meja, menunggu penjelasan Rere. Raut wajahnya terlihat tenang, berbanding terbalik dengan perempuan di hadapannya.

"Gue tuh nggak pernah ngobrolin hal-hal kayak gini loh sama lawan jenis, jadi— Ya ini terasa aneh aja buat gue, karna ya emang ini hal baru loh buat gue."

Setelah pengakuan Rere, senyum Insan mengembang kecil. Ia tak dapat menahan diri untuk tidak memajukan tubuhnya hingga lututnya menyentuh milik Rere.

"Gue juga kok," ujar Insan. "Gue walaupun beberapa kali pacaran, gue baru kali ini ngerasain hal yang beda."

"Lo rasain ini ke gue, karna kebetulan gue orang baru aja nggak sih?"

Sebelum menjawab pertanyaan itu, Insan menarik napas. Meski suara Fathia Izzati yang begitu merdu memenuhi seisi ruangan, tetap saja rasanya hanya suara Rere yang menjadi favorit Insan.

"Bukan," ujar Insan. "Jujur, gue tuh ngerasa kayak kita nih punya connection— ya nggak sih?"

Rere terdiam, ia ikut melipat kedua tangannya di atas meja. Kakinya tak bergerak sama sekali, membiarkan lututnya dan Insan menempel sejak tadi. Ia membungkam mulutnya, karena tahu Insan akan bicara lagi.

"Gue jujur pacaran tuh dulu kalo nggak yang karna ikut-ikutan temen ya karna emang suka aja sama orang itu," ujar Insan. "Tapi yaudah, Re."

Rere tertegun merasakan kejujuran dan ketulusan di mata laki- laki itu.

"That feelings are gone sooner," lanjut yang laki-laki. "Gue sadar feeling yang gue punya ke mereka itu bukan cinta. Mungkin sebatas kagum, dan gue sadar kalo gue salah artiin semua itu setelah hubungan berakhir."

Dengan helaan napas perlahan, Rere mengangguk paham. "I see."

"Tapi ya gue nggak main api di belakang mantan-mantan gue," ujar Insan. "Cuma gimana ya? Gue juga merasa jahat karna gue being fake saat pacaran sama mereka. Eventho I treat them as better as the way they want. Tapi, gue capek."

Rere diam. Berusaha memahami perasaan Insan dengan tatapan iba. Imajinasi Rere mulai membayangkan bagaimana beratnya pura-pura mencintai seseorang. Meskipun Rere tak pernah terjebak di situasi itu, tetapi Rere yakin pasti jika itu bukanlah hal yang mudah.

Meski, jauh di lubuk hati, Rere tahu jika perbuatan Insan tak benar. Tetapi, kembali lagi, semua manusia harus menanggung konsekensi atas perbuatannya. Termasuk Insan, yang saat itu masih ragu tetapi memilih memaksakan diri.

"Terus akhirnya kalian gimana?"

"Gue cuma bilang, gue nggak bisa sama dia lagi."

"Emang dia nggak ada nahan lo gitu?"

Insan menghela napasnya. "Sempet," ujarnya. "Tapi akhirnya gue jujur, gue emang nggak ada rasa. Nggak bisa."

Rere menelan ludahnya, merasa kasihan terhadap sosok yang sedang Insan ceritakan.

Insan menunduk, dan menggumam pelan. "Gue jahat banget ya, Re?"

"Jujur iya. Walau gue yakin semua orang pernah di posisi nggak yakin sama pilihannya sendiri, tapi at least lo masih tanggung jawab, dan be gentle gitu loh hadapi dia. Bahkan, dengan lo kasih penegasan ke dia, dia jadi tau kalo dia harus berenti."

Terkejut atas penjelasan panjang yang baru saja didengarnya, satu tangan Insan tiba-tiba terangkat, mengusap pelan kepala Rere. Laki-laki itu tidak bermaksud untuk merayu Rere, meski kenyataannya sudah.

Rere tak bergerak sama sekali dan ia bahkan tak melototi laki-laki di hadapannya. Meski raut kaget di wajahnya mudah sekali terbaca. Ia sudah tak tahu lagi harus merespon Insan bagaimana.

"Gak nyangka gue. Ternyata selain cantik lo juga dewasa ya?"

"Enggak," Rere buru-buru berpaling ke dekorasi pigura antik yang menggantung di dinding. Punggungnya memanas. "Buktinya gue nggak pernah pacaran,"

"Sumpah?"

"Sumpah." Rere baru berani menatap Insan lagi. "Karna jujur— gue kalo lagi deket sama cowok gue tuh kayak ngerasa nggak yakin gue sama dia bakal nyatu gitu loh."

Baru mendengar sepenggal cerita Rere, Insan sudah menahan napas.

"Kayak gimana ya? Entah karena yang deketin gue rata-rata cowok berengsek atau cowok-cowok too available yang jujur... nggak menarik."

Insan menatap Rere lebih intense sambil memajukan punggungnya. "Tau darimana kalo dia berengsek?"

"Radar gue kuat." Rere tertawa kecil. "Hati-hati aja lo."

Insan ikut tertawa. "Oh siap." Ia manggut-manggut. "Dan kalo yang too available ngebosenin pastilah ya?"

Rere menghela napas lebih lama, mempersiapkan diri untuk berterus terang.

"Pernah nggak sih lo tuh kayak ngerasa sukaaaa banget sama orang, tapi setelah lo udah ngobrol yang ke sekian kalinya sama dia lo ngerasa kayak hambar aja feel-nya ke orang itu? Terus lo perlahan males aja buat keep in touch sama dia lagi," Rere diam sejenak, lalu melanjuti. "Kayak udah kehilangan sparks-nya aja gitu. Padahal ya tuh orang gak salah apa-apa, nggak nyakitin gitu loh."

Tatapan Insan ke Rere menajam, ia terenyak. Ia memilih diam memandang Rere yang nampak akan melanjutkan kalimatnya.

"Kayak— at that moment, gue sadar. Gue gak bisa deh sama orang itu." Tambah perempuan itu.

"Nah. Beruntungnya lo belom sampe tahap jadian sama mereka, at least lo nggak nyakitin," ujar Insan. Senyumnya kembali mengembang.

Namun, Rere malah meresponnya dengan gelengan pelan. "Tetep nyakitin sih menurut gue," katanya. "Karna gue kan masih ngerespon mereka, nggak yang langsung ngasih penolakan gitu. Kesannya masih ngasih harapan gak sih?"

"Mungkin karna awalnya lo cuma bermaksud sopan sama dia? Atau memanusiakan dia aja?"

Rere menghela napas panjang. Bener juga sih.

"Lo tuh tipikal orang yang susah bilang nggak ya?"

Rere hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban. Dan tanpa Rere bertanya balik, ia yakin jika sosok di hadapannya juga tipikal yang seperti itu.

Lalu hening. Insan kembali menyesap macchiato-nya sambil sesekali mencuri pandang ke perempuan yang sedang menyeruput matcha latte sambil memainkan ponsel.

Dalam diam, laki-laki itu mengagumi keindahan yang terpancar di diri Rere. Tak hanya dari penampilan luarnya saja yang menarik, tetapi juga dari pembawaan dan aura yang dimiliki perempuan itu.

"Ngomong-ngomong hari ini gue ulang tahun loh, Re."

Mendengar itu, sontak Rere menjauhkan cangkir dari mulutnya dengan raut kaget.

"Sumpah?"

Insan mengangguk mantap. "Sumpah."

"Yang ke?"

"Dua puluh empat."

"Astaga." Rere meletakkan ponselnya di meja. Di sisi lain ia merasa heran, mengapa di hari sepenting ini laki-laki itu malah memilih mengobrol receh dengannya di coffeeshop? Bukan merayakan dengan keluarga— atau teman-temannya?

Melihat Rere nampak terheran, Insan menahan senyumnya. "Kenapa? Tua banget ya?"

"Enggak, enggak. Bukan itu." Rere menggeleng, ia diam sejenak. "Ini lo berarti ulang tahun— sama gue?"

Insan mengernyit sesaat, lalu terkekeh. "Iya," sahutnya sembari meraih cangkir. "Makanya gue seneng banget."

____

Hehe gimana cerita ini? Kalo kalian mau aku upload lagi setiap hari, komen ya! Jangan sungkan tinggalkan jejak berupa vote & komen!🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top