Rapat antar dua Bangsa

Matahari mulai menampakkan dirinya dari peraduan, tepatnya di ufuk timur bumi ini. Cahaya yang menyilau menembus jendela kaca kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi, bergegas untuk memakai baju serta celana. Hari ini akan ada rapat bangsa vampir juga manusia. Jadi pakaian yang aku kenakan bukan yang biasanya; hoodie maupun sweater, melainkan kemeja putih dengan dibalut jas juga celana hitam yang sepadan dengan warna jasku.

Aku berdiri tepat di depan cermin fullbody, terlihat pantulan diriku yang begitu sangat tampan. Kurapikan dasi yang mengalung di kerah leher juga sedikit sentuhan pada rambut hitamku. "Ini sungguh sempurna," gumamku dalam hati.

Tak lupa sedikit semprotan parfum pada jasku, itu cara hanya agar aku terlihat lebih percaya diri di depan umum. Kuambil fantofel yang berada di dalam lemari sepatuku, kupakaikan dengan kaus kaki berwarna putih. Tentu ini akan sangat lebih sempurna.

Kini aku sangat berbeda dengan Mike yang dulu, berpenampilan biasa-biasa saja dan sekarang aku layaknya seorang yang sangat berwibawa. Jam yang melingkar di pergelanganku sudah menunjukkan pukul 06.45.

Segera aku keluar dari kamar. Kudapati Ayah, sudah berada di depan ruang tamu juga Ibu yang ada di hadapannya. Dengan sangat lembut, ia merapikan dasi milik Ayahku. Menurutku hal sekecil itu sangatlah romantis.

Semoga saja aku dan Loui bisa seperti mereka!

"Eh, Mike. Sudah siap ya?!" tanya ibu menoleh ke arahku.

"Iya, Bu," singkatku menghampirinya.

"Oh iya Yah, aku berangkat dulu ya, soalnya mau jemput Cristan!" lanjutku.

"Iya, ini!" Ayah memberiku kunci mobil satunya.

"Pakai mobil?" tanyaku mengernyit.

"Iya, pakai mobil saja agar lebih cepat sampai," balas Ayahku.

_______________

Ressa Pov

"Sayang, kamu sudah siap belum?" tanyaku menatap Cristan.

"Sudah tinggal nunggu Mike!" balasnya keluar dari kamar.

Dia benar-benar tampan, tidak salah kalau menjadi tunanganku. Segera kuhampirinya dan langsung kurapikan dasi miliknya itu, lalu berkata, "nah, kalau gini kan lebih baik."

"Terima kasih, sayang." Tersenyum padaku.

"Ya sudah, aku berangkat dulu ya. Mau jemput Loui!" ucapku sembari meraih tas dan mengambil kunci mobil.

"Iya, hati-hati ya!" Dia mencium keningku.

Kini aku segera berlalu meninggalkannya menuju garasi untuk mengambil mobil.

(Di perjalanan)

Kulihat Loui yang sudah menunggu, terduduk di kursi teras rumahnya. Lalu menghampiriku yang sudah memarkirkan mobil tepat di halaman rumahnya, seraya dibukanya pintu mobil dan masuk ke dalam.

"Sudah lama ya, nunggunya?" tanyaku menyalakan mesin mobil.

"Tidak kok, Ress," jawab Loui tersenyum manis padaku.

Akhirnya kami berlalu untuk pergi ke kampus, hari ini merupakan pelajaran Pak Aledjandrow. Jadi siap-siap buat otak ini, karena memang sedari dulu aku yang tak menyukai pelajaran kimia. Dengan langkah yang tergesa-gesa kami segera menuju ruang kelas.

Sampai di depan kelas, kudapati semua mahasiswa pun sudah terduduk di kursinya masing-masing, kami juga segera masuk dan duduk bersebelahan tepat kursi yang kududuki adalah milik Mike.

"Hari ini kita akan membahas tentang pelajaran, Reaksi Kimia. Apa kalian tahu reaksi kimia itu apa?" tanya Pak Aled sembari melirik ke arah kami.

"Ressa, coba kamu jelaskan?!" pinta Pak Aled menunjuk ke arahku.

"Aduh, kenapa aku yang ditunjuk, mana enggak bisa lagi," gumamku.

"Saya, Pak," sahut seseorang yaitu Loui.

"Oh, iya. Coba kamu jelaskan!" ujar Pak Aled berpindah tatap pada Loui.

Yang benar saja kali ini Loui, benar-benar sudah menolongku. Aku yang dari tadi ingin rasanya mati di tempat, karena memang tidak bisa menjawab pertanyaan Pak Aled. Sebenarnya juga ada rasa malu, tapi mau bagaimana lagi di otak cuma ada Cristan, tidak untuk yang lain.

"Makasih ya, Loui," ucapku menoleh ke arahnya.

"Iya, santai saja, Ress," balasnya tersenyum padaku.

________________

Mike Pov

"Yah, tunggu!" teriakku dan segera menghampirinya yang sudah berada di depan pintu ruang rapat.

"Kami tidak terlambatkan?"

"Tidak, ya sudah ayo masuk!" ajak Ayah membuka pintu itu.

Aku dan Cristan mengikutinya dari belakang, mereka para perwakilan manusia juga vampir sudah memadati ruang ini. Memang pertama kalinya kami berdua mengikuti rapat yang sangat penting.

Kini Ayah sudah berlalu dan terduduk di bagian depan, bersebelahan dengan ketua juga wakil ketua. Dari bangsa vampir  Ayahku yang posisinya sebagai sekretaris, jadi bisa dibilang orang yang terduduk di depan merupakan orang terpenting dari rapat ini.

Sebagai ketuanya dari bangsa manusia yang bernama Kenneth Jodiar, dia terlihat masih sangat muda. Kemungkinan umurnya tidak jauh dengan umurku, orangnya yang cukup ramah terlihat pada raut wajahnya. Apalagi dengan Ayahku, sangat begitu dekat layaknya seorang anak dengan Ayahnya. Itu tidak membuatku iri padanya malah aku sungguh sangat senang, jika dia bisa menjadi saudaraku.

"Perhatian, untuk semua perwakilan dari bangsa manusia juga bangsa vampir." Suara tegas Ayah terbuka dari mulutnya.

Seketika itu, kami para perwakilan langsung terdiam dan pandangan pun tertuju pada satu orang yaitu Kenneth yang sudah berdiri di depan podium.

"Baik, kita mulai saja acara rapat ini," ucap Kenn.

"Mungkin kalian semua bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba diadakan rapat ini. Saya jelaskan. Memang rapat ini yang begitu sangat mendadak dikarenakan salah satu dari kami menemukan kejanggalan yang marak, untuk kejadian satu minggu terakhir ini. Selanjutnya, saya serahkan kepada Pak Abraham Carol." Dia menunjuk Ayahku untuk segera berdiri di depan podium.

"Terima kasih kepada saudara Kenneth telah mempersilakan saya untuk berdiri di depan podium. Baik semua, saya akan jelaskan ini. Sebenarnya ini semua berkat anak saya yang bernama Mike Carol." Dia menunjuk ke arahku.

Segera aku lekas berdiri dari kursi dan sedikit kubungkukkan badan sebagai tanda penghormatan.

"Pada waktu itu, anak saya mengalami penyerbuan dari salah satu keluarga vampir yang tidak mematuhi peraturan!" lanjut Ayah, segera aku pun terduduk kembali.

Namun, para perwakilan pun ikut membuka mulutnya. Yang tadinya suasana sangat bersahabat sekarang menjadi riuh seperti pasar.

"Diam! Tolong diharapkan diam kepada seluruh perwakilan!" tegas Ayahku.

Dan kini suasana pun kembali bersahabat seperti semula.

"Ada salah satu desa yang tidak jauh dari sini. Tepatnya di desa seberang kota, bisa dibilang itu bukan sebuah desa karena hanya terdapat beberapa kepala keluarga saja. Sekarang desa itu sudah mati tak ada seorang pun yang menempati desa itu lagi. Kejadian yang bermula pada kemarin malam, anak saya tidak sengaja melewati desa itu dan mendapati suatu kejanggalan yang aneh di desa tersebut. Keinginannya untuk mencoba memastikan situasi di sana dan dia mendapati beberapa vampir baru, kemungkinan vampir-vampir itu dulunya penduduk desa tersebut," jelas Ayahku.

"Pak, apakah vampir baru itu disebabkan oleh keluarga Claria?" tanya salah satu dari perwakilan bangsa vampir, dia berdiri tepat di sebelahku.

"Iya, ini semua disebabkan oleh keluarga Claria!" sahut Ayahku.

Yang benar saja,

Sekarang keluarga Claria sudah menjadi-jadi,

Terus, bagaimana jika mereka menyerang para manusia?

Jika tidak dihentikan, maka akan sangat gawat!

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut para perwakilan.

"Mohon maaf untuk semua perwakilan, diharapkan diam!" Kenneth pun mengambil alih maju ke depan podium.

"Kita akan melakukan operasi jaga pada daerah-daerah terpencil, dimohon bantuannya untuk para perwa---"

Sebelum Kenn selesai berbicara, salah seorang dari perwakilan manusia berdiri dan mengacungkan tangannya. "Saya, saya akan sangat senang bisa membantu," ucapnya.

Kenn pun menoleh ke asal suara itu, terlihat memang pada raut wajah seorang perwakilan itu yang penuh amarah. Yang kutahu di pikirannya sekarang hanya ada pembalasan dendam terhadap vampir, mungkin dulu dia pernah mengalami kejadian yang sangat menyakitkan. Hingga sekarang muncullah ambisi untuk membalaskan dendamnya.

"Bisa diterima!" tegas Kenn.

"Saya juga akan ikut serta," sahut seorang perwakilan manusia lainnya.

"Mungkin kalau Claria tidak akan dihentikan, dia bisa saja membuat pasukan lebih banyak. Saya juga ikut!" ucap seorang perwakilan bangsa vampir tepat di sebelahku yang tadi mengajukan pertanyaan terhadap Ayah.

Dan kini setengah dari perwakilan mengajukan dirinya untuk menjaga perbatasan-perbatasan serta desa-desa terpencil. Sengaja yang dikirim untuk menjaga lokasi hanya orang yang masih muda atau sehat jasmaninya.

"Mungkin sudah cukup untuk rapat hari ini, bila ada yang kurang paham bisa tanyakan pada kami. Sekian saya akhiri!" tegas Kenn meninggalkan ruang rapat juga bersama dengan wakil diikuti oleh ayahku.

Kami berdua pun seraya bergegas meninggalkan ruang rapat bersama juga dengan para perwakilan lainnya.

"Cris, kita mampir ke rumah Loui dulu ya!" ajakku membuka pintu mobil.

"Iya, mungkin Ressa juga ada di sana!" jawabnya seraya masuk ke dalam mobil.

________________

Louis Pov

Akhirnya pelajaran Pak Aled pun selesai, kami berdua segera bergegas pulang. Tapi tiba-tiba sesuatu menghentikan langkah kami. Aku melihat sekumpulan mahasiswa, sedang mengerumuni sesuatu yang berada di taman sebelah parkiran.

Terlihat beberapa mahasiswa yang melihatnya pun hingga teriak seperti ketakutan. Dan keinginanku untuk melihatnya pun timbul, tapi usahaku terhalang oleh Ressa.

"Kita pulang saja, Loui!" ucap Ressa menarik tanganku.

"Tapi ... itu," balasku yang masih menoleh ke kerumunan itu.

"Sudah biarkan saja!" Ressa membukakan pintu untukku. Aku hanya menuruti perkataannya dan segera masuk ke dalam mobil.

"Kamu tahu apa yang terjadi di kerumunan tadi?" tanyanya menoleh ke arahku sembari menyetir.

"Tidak," balasku singkat.

"Tadi, ada yang tewas lagi, Loui," sahutnya dengan fokus ke jalanan.

"Apa? Tewas!" Aku kaget setelah mendengar kata-kata itu.

"Iya, sebelumnya aku memang sudah melihatnya. Jadi dia mahasiswa pindahan namanya Erene tepat kelasnya yang bersebelahan dengan kelas kita," jelasnya.

"Jadi dia tewas seperti Axel?" tanyaku mengernyit.

"Iya, Loui."

"Memang Claria itu makhluk terkutuk!" seruku.

"Ya begitulah makhluk seperti kami," sahut Ressa dengan santai.

"Bukan, bukan maksudku seperti itu Ress," balasku merasa bersalah.

"Tidak. Memang sebenarnya kamu itu benar, Loui!" Ressa Menatapku.

"Sebelum kami melakukan sebuah keputusan untuk berdamai dengan manusia, kami juga sama seperti Claria. Membunuh orang hanya agar merasa puas, merasa kenyang, merasa kekuatan kami bertambah," jelasnya kembali fokus ke jalanan.

"Iya aku tahu, tapi sudahlah ... itu kan dulu!"

"Apa kamu tidak takut berteman dengan kami?"

"Tidak, kenapa harus takut?" balasku santai.

Akhirnya sampai juga di depan rumah, segera kuajak Ressa untuk masuk ke dalam rumahku.

"Loui, bibi kamu tidak ada di rumah?" tanya Ressa.

"Tidak, mungkin sedang keluar!" balasku berlalu lalang menuju dapur untuk mengambil minum.

"Apa! Keluar, sendirian?" sahutnya mengikutiku dari belakang.

"Iya."

"Mulai sekarang jangan biarkan bibimu pergi sendirian, Loui," pinta Ressa terduduk di kursi makan.

"Tenang saja, matahari kan masih belum tenggelam. Jadi bibi masih aman!" jawabku dengan meneguk segelas air putih.

"Iya, memang ini masih siang tapi kan ... setidaknya berwas-was."

"Mungkin sebentar lagi juga pulang!"

"Hem ya sudah lah," balasnya mengalah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top