Hari ke-2

"Hi ... nama kamu Esme, 'kan?" Aku menyapanya sewaktu dia terbangun dan mengerjap beberapa kali di depanku. Dia terlihat begitu sangat letih, matanya pun masih belum bisa membuka sepenuhnya. Setelah menyadari bahwa sedari tadi dia tertidur di pangkuanku, seketika itu langsung beranjak berdiri dan memandangku dengan tatapan bingungnya. "Kenalin. Aku, Louis!" ucapku mengulurkan tangan sembari tersenyum padanya.

Dia masih dengan raut wajah yang sama, mendekat ke arahku lalu memegang pipi sebelah kananku dan berkata, "Apa kakak kekasihnya kak Mike?" Aku langsung tertegun mendengar kata-kata yang keluar dari mulut mungilnya serta mengernyit. Sebelum dia menyadari raut wajahku, seketika itu juga kuubah dengan sedemikian terlihat tenang di mata bulatnya.

"Apa yang kamu bicarakan, kami hanya berteman, Esme!" jawabku tersenyum manis di hadapannya lalu tangan kananku sengaja memegang pucuk kepalanya.

"Tidak, aku mendengar kata-kata kak Mike tadi ... kalau kakak kekasihnya," sahutnya dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Hmm ... sudahlah, apa kamu lapar?!" tanyaku sambil mengambil satu bungkus roti dari tas selempangku. Memang sebelum kami datang ke sini, tak sengaja Mike membelikan roti untukku. Untung saja kemarin malam belum aku makan.

Dia menatap roti yang kupegang dengan penuh rasa antusias, matanya pun terlihat membulat setelah aku menggoyang-goyangkan satu buah roti itu ke kanan pun kiri. Kukira dia akan segera merampasnya dari tangan kananku, tetapi salah. Sebaliknya dia berbisik, "Bagaimana dengan kakak. Apa kakak sudah makan?!" Suara itu terdengar jelas di telinga kiriku.

"Tenang, kakak masih punya satu ... ini untukmu dan ini untukku," seruku menyerahkan satu buah roti kepadanya. Dengan cepat dia melahapnya. Namun, tidak serakus diriku ketika kelaparan. Secara perlahan dia kunyah lalu menelannya. "Nama kamu, Esme 'kan?" Dia menatapku lekat lalu mengangguk sembari mengunyah roti itu.

"Apa kamu punya saudara?" Sebelumnya rasa antusias itu membara di raut wajahnya, tetapi setelah kulontarkan pertanyaan itu. Tiba-tiba dia berhenti memakan roti itu, dan tak kusadari air mata pun menetes di kedua matanya. Aku sungguh merasa kasihan padanya, secepat apa pun langsung kupeluk tubuh mungil itu. Tangisnya pun pecah menjadi-jadi, lalu aku menenangkannya sembari mengelus kepalanya dengan lembut. "Aku tahu, Esme. Maafkan perkataanku tadi, karena perkataanku kamu jadi menangis," bisikku.

"Tidak kak ... kakak tidak bersalah. Tapi ... tapi sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi. Hiikksss...." balasnya sembari mengeratkan pelukannya.

"Sudah, kan ada kakak di sini! Ada kak Mike, semua orang juga ada di sini. Kamu gak sendirian, Esme. Kami ada di sini! Dan sekarang kamu habiskan dulu rotinya, ya?!" Aku melepas pelukannya lalu menghapus sebagian air mata miliknya.

Dia mengangguk kemudian menghapus sisa air matanya dan memakan kembali roti yang dipegang tangan kanannya.

*****

Hal yang paling sangat aku harapkan ialah, aku tidak ingin terus berdiam diri di sini. Hanya menunggunya, duduk dengan manis ditemani sesosok gadis mungil yang tertawa riang bermain sebuah boneka. Bagaimana dia bisa menjadikan hal yang menurutku mimpi terburuk ini dengan caranya yang tersenyum. Apa mungkin sebuah senyuman hanya sebagai pelampiasan diri kita sendiri ... entahlah. Aku sekarang cukup bahagia hanya dengan melihatnya tersenyum. Kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.35 pagi. Mike, kenapa belum pulang juga?! gumamku dengan sejuta rasa khawatir yang menyelimuti.

Tangan itu mendarat mulus, tepat di kedua pundakku ... aku masih terfokus pada Esme belum sempat melihat tangan siapa yang memegang kedua pundakku. "Apa kamu mengkhawatirkanku?" bisiknya jelas di telinga kananku. Seketika itu aku berbalik dan langsung memeluknya dengan erat.

"Kamu ke mana aja sih, aku sangat mengkhawatirkanmu, Mike!" bisikku.

"Apa kamu ingin terus memelukku, dan dilihat seorang gadis kecil itu kita sedang mengadakan drama," seru Mike lalu tertawa. Aku pun dengan segera melepas pelukan, Mike.

Senyuman yang begitu sangat aku rindukan. Dia masih sama dengan yang dulu, tetapi pakaiannya ... pakaian kemaja yang dia kenakan sungguh terlihat lusuh. "Mike, sejak kapan kamu memakai kemeja itu?!" Aku mengernyitkan dahi.

"Sejak kita kemari 'kan?" balasnya.

"Benarkah?!"

"Apa kamu sudah lupa, kemarin kan aku baru pulang dari rapat dan belum sempat ganti baju," jelasnya menatap lekat mataku.

"Ya ampun, maafkan aku, Mike. Aku terlalu egois. Hanya karena keinginanku untuk menemukan, Bibi ..."

"Tidak! Aku yang seharusnya meminta maaf padamu, Loui!" sahutnya lalu memegang kedua tanganku.

"Apa maksud kamu?"

"Maafkan aku ... aku belum bisa menemukan, Bibi Lena." Rasanya seluruh kaki terasa lemas untuk menopang tubuh sendiri. Aku dengan raut wajah yang tak karuan, memilih untuk diam mematung di tempat. "Loui, aku janji bakal nemuin, Bibi kamu!" lanjutnya.

"Mungkin, Tuhan sudah punya rencana tersendiri," balasku.

"Tidak. Ini bukan rencana, Tuhan! Aku pasti akan menemukannya!" Suara Mike meninggi dengan tiba-tiba.

"Sudahlah, Mike. Biarkan semua berjalan dengan sendirinya dan berlalu dengan seharusnya. Aku tau ini sangat menyakitkan, tapi Tuhan sudah menentukan semua ini," ucapku sembari menitikkan air mata.

"Ayolah, jangan nangis, Loui. Kumohon jangan menangis!" balasnya memeluk tubuhku kembali dan tak kusadari tangan mungil itu menyentuh telapak tangan kananku dengan lembut. Aku kembali dengan melepas pelukan Mike lalu beralih memandang ke arah bawah, Esme dengan wajah cemasnya memandang lekat kedua mataku.

"Kak Loui. Jangan pernah sekalipun kakak berputus asa! Aku mungkin bisa membantu kakak mencari, Bibi Lena," ujar Esme.

"Esme, bagaimana cara kamu bisa membantu kakak?" tanyaku berjongkok di depannya.

"Pokoknya ada deh ... sekarang kakak jangan nangis lagi, ya!" balasnya sembari mengusap kedua pipiku yang basah karena air mata. Sungguh aku merasa malu terhadap anak sekecil ini. Bagaimana tidak mungkin, dia masih dengan umur yang sangat muda sudah ditinggal kedua orangtuanya, sedangkan aku ... yang sudah dewasa saja masih berkelakuan layaknya seorang anak kecil. Lalu aku pun langsung memegang kedua tangannya dan berkata, "Terima kasih, Esme." Kucium kedua tangannya. Dia menyunggingkan senyum manis di depanku. Mike pun mengusap pucuk kepalanya dengan lembut.

"Kamu gadis pintar," kata Mike dengan mengangkat jempol di depan Esme.

"Ya sudah, ayo kita pulang!" ajak Mike menatap tajam ke arah kami berdua.

"Ayo, Esme," titahku sambil memegang tangan kanannya.

"Rasanya badanku lengket. Tak mandi selama satu hari saja!" teriak Mike. Seketika itu Esme tertawa dengan terbahak-bahak, aku pun hanya tersenyum melihat kelakuan seorang Mike.

*****

Akhirnya setelah satu hari aku berada di perbatasan sampai juga di rumah ... bukan rumahku, tetapi rumahnya Mike. Sebenarnya aku tidak tahu mengapa Mike membawaku beserta Esme ke rumahnya, dari awal sudah kucoba untuk membujuknya agar aku tetap tinggal di rumah sendiri. Namun, semua itu pun sia-sia dan hasilnya dia berhasil membujukku untuk tinggal di rumahnya....

Sebelumnya aku sudah sampai di rumah untuk mengambil beberapa pakaian yang ada di sana. Tak lupa untuk menguncinya kembali dan meninggalkannya pula. Kami bertiga pun disambut hangat oleh kedua orang tua Mike.

Bibi Fellice pun segera mengantarkan aku serta Esme ke kamar tamu, kami berjalan menapaki setiap tangga yang terbuat dari marmer ... terdapat 3 kamar di sini, kemungkinan kamar yang berada di pojok sendiri adalah milik Mike. Aku memilih kamar yang berada di dekat tangga. Lalu Esme pun kuajak bersamaku masuk ke dalam. "Sebelumnya, terima kasih, Bibi." Aku beserta Esme tersenyum manis di depannya.

"Iya, kalau kamu butuh sesuatu bisa panggil, Bibi ya!" balasnya memegang pipi Esme sembari tersenyum. Esme pun hanya tersenyum sesaat karena dia belum terlalu beradaptasi di rumah ini.

"Oh iya, Bi," sahutku.

Bibi kembali menuruni tangga itu, aku masih berada di ambang pintu lalu merasa kagum karena di kamar ini begitu sangat luas mungkin dua kali lipat dibanding kamarku sendiri. Tak perlu banyak alasan lagi segera aku masuk pun Esme, tujuanku sekarang ialah menaruh pakaian-pakaian itu ke lemari dengan rapi. Kulirik Esme, sekarang dia sedang berada di balkon bersama bonekanya.

Aku merasa senang jika dia pun senang. Setelah selesai merapikan lemari, aku kembali menuju ke arah Esme. Udaranya begitu segar ditambah tembus cahaya yang melewati dedaunan sekitar menyentuh kulitku ... terasa hangat.

Seketika itu juga pandanganku beralih tepatnya ke bawah. Ressa. Cristan ... dia ke sini, terlihat mobilnya yang sudah melewati ambang gerbang. "Esme, Kakak tinggal ke bawah dulu ya," ucapku berjongkok lalu mencubit kedua pipinya dengan lembut.

"Hm ... Kakak mau kemana?" Dia mengernyit.

"Ada teman Kakak yang menunggu di bawah." Aku segera berdiri kembali sebelum aku meninggalkannya dengan rasa senang aku mengelus pucuk kepalanya sembari tersenyum.

"Baiklah...."

Aku segera menuruni tangga dan sudah mendapati mereka, maksudku Mike, Cristan juga Ressa. Mereka bertiga langsung bertatap muka denganku lalu memberi senyuman secara serempak. Aku yang masih terdiam di ujung tangga, kemudian menghampiri mereka. "Hai, Loui." Ressa menyapaku dengan lembut.

"Hai Ress, kalian sudah lama ya?!"

"Tidak kok, baru saja datang!" sahut Cristan.

"Jadi. Kami turut berduka ya, belum ditemukannya, Bibi Lena." Ressa menghampiriku dan langsung memeluk.

"Iya, Ress. Setidaknya Mike sudah berusaha untuk menolongnya," bisikku.

"Ayolah, Loui. Masih ada kami," sahut Cristan tersenyum ke arahku. "Kami bisa membantumu untuk mencari, kalau perlu ke seluruh dunia!" tambahnya.

Sedikit aku menyunggingkan sebuah senyuman pada mereka.

"Oh iya, Mike. Kamu cepet mandi dulu!" godaku padanya.

"Baiklah," jawabnya datar lalu beranjak berdiri dari sofa.

"Memang Mike belum mandi ya?" tanya Ressa dengan nada yang cukup tidak terdengar jelas.

Aku hanya mengangguk lalu menyeringai.

"Ayolah, Ressa. Jangan memulai yang tidak-tidak," sahut Mike menatap tajam ke arah Ressa.

"Umm ... tidak, Mike, tidak." Ressa terlihat menahan tawanya.

"Sudahlah ... terserah kalian," ucap Mike lalu melesat pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top