Esmeila
Derap langkah kaki itu terdengar dua, tiga, empat ... sepuluh vampir di belakang kami, Kenn yang sudah berlalu di depanku masih terus berlari. Aku pun mengikutinya dari belakang, tak lama seketika itu Kenn menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku lalu berkata, "Bawa Esme keluar dari sini. Aku akan mencoba menghadang mereka." Suaranya sedikit terengah-engah.
"Baik." Aku mengangguk dan berlalu di sampingnya, melesat ke arah depan.
Dar ... Dar
Peluru itu diluncurkan langsung dari pistol oleh Kenn mengarah ke beberapa vampir di hadapannya. Semoga Kenn tepat menembak bagian kepala atau jantung mereka, karena jika hanya terkena bagian tangan atau kaki pun akan sia-sia. Kudapati ke arah depan derapan langkah kaki itu kembali terdengar, mungkin sekitar 3 pasang kaki. Mungkin itu mereka!
Namun, setelah aku berhadapan dengan 3 pasang kaki mereka, yang termasuk vampir baru. Kuhentikan langkah kaki ini dengan tiba-tiba. Satu orang berlari tepat di depanku, disusul dua orang dari arah samping kanan pun kiri. Kini, aku harus mengambil keputusan. Tepat keputusanku berlari menuju satu lelaki di depan. "Esme, pegangan!" suruhku agar Esme berpegangan erat pada pundak. "Iya!" singkatnya.
Kini aku sudah semakin dekat dengannya, tangan kananku yang sudah mengepal siap untuk menghantamnya. Terkena tepat pada dadanya, sebelum dia terhuyung kugenggam tangan kirinya lalu menariknya dan seraya aku berbalik badan serta melempar tubuh lelaki itu. Terlempar pada arah vampir dari sisi kanan, akhirnya mereka berdua pun terdorong sangat jauh dan jatuh di atas tanah. Kini tinggal satu dari arah kiri, terlihat dia sedang memandang ke arah kawanan mereka yang jatuh itu. Geramannya begitu sangat nyaring terdengar lalu tak lama setelahnya, dia pun menolehkan pandangannya ke arahku juga Esme. Aku mencoba melangkah mundur dengan satu gerakan ... dia langsung berlari ke arahku, matanya pun penuh dengan amarah.
Belum sempat aku berbalik dan berlari, dia bersama dengan suara gelegar itu terjatuh. Seseorang telah menembaknya tepat pada keningnya. "Kau tak apa?" Suara yang berasal tepat pada sisi sampingku, aku segera menolehkan pandangan dan sudah mendapati Zeke memandang ke arahku.
"Tidak, yang lain di mana?" tanyaku.
"Alero dan Aron masih di belakang."
"Tolong bantu Kenn, dia ada di depan tak jauh dari sini!" tegasku.
"Baik," balasnya sembari berlalu menuju ke arah depan. Aku pun segera berbalik dan berlari menuju ke arah Alero pun Aron, bukan keinginanku untuk meninggalkan Zeke juga Kenn. Namun, keinginanku untuk menitipkan Esme kepada mereka berdua.
"Tolong kalian bawa Esme pergi dari sini!" pintaku kepada Alero dan Aron.
"Tapi, bagaimana denganmu juga Zeke dan ketua Kenn?" sahut Alero.
"Kami bisa menjaga diri masing-masing. Dan segeralah kalian kembali ke pos penjagaan serahkan Esme pada kekasihku bernama, Loui! Beritahu dia aku akan segera menemukan bibinya."
"Baik," balas mereka serempak lalu segera berbalik arah, belum sempat berlalu lari aku berteriak, "Aron, aku pinjam pedangmu!" Seketika itu mereka pun menghentikan langkahnya dan menyerahkan menyerahkan pedang yang di pegang oleh Aron. "Jaga diri kalian. Jika sebelum fajar kami belum juga kembali. Kirimkan beberapa perwakilan untuk datang ke sini!"
Aku yakin mereka bertiga akan aman. Terlihat pada raut wajah gadis mungil itu yang begitu mengkhawatirkan diriku. Dan aku kembali berbalik arah berlari menuju ke tempat dimana Zeke dan Kenneth masih berada di sana. Beberapa kali aku mendengarnya. Peluru itu terus diluncurkan mungkin dari Kenn atau Zeke yang memegang erat pelatuk pistol miliknya. "Kuharap mereka tak kehabisan amunisi."
Aku dapat melihat tiga vampir baru di depan melawan satu vampir murni. Secepat mungkin kuhampiri Zeke lalu mencoba untuk membantunya dengan kuayunkan pedang tepat ke sasaran. Satu terjatuh dengan kepala yang sudah terpenggal, masih ada dua lagi. "Terima kasih, Mike." Di sela-sela dia melawan, ucapan terimakasih itu terlontar dari mulutnya, "aku bisa atasi ini. Tolong bantu ketua Kenn!" lanjutnya sembari melompat dan menaiki salah satu punggung vampir itu, lalu dengan tekanan yang mungkin sangat kuat memutar kepalanya hingga terpenggal.
"Baik, Zeke!"
Kenneth menggunakan pistolnya yang berada pada kedua tangannya menembak vampir itu satu demi satu namun pasti. Sekarang aku sudah berada tepat di samping Kenn seraya membantunya. Satu, dua ... masih ada enam vampir, tiga berlari dari arah kanan dan tiga lagi berlari dari arah kiri. Sebelumnya kami bersemuka dan berkata, "Siap!" Secara bersamaan. Kenn dengan dua pistolnya mengarahkan ke-tiga vampir dari arah kanan, sebaliknya aku melawan tiga vampir dari arah kiri sembari kembali kuayunkan benda tajam ini.
Jleb! Pedangku tertancap mulus pada sasarannya tepatnya ke arah jantung lalu secara kuat kutarik, erangan itu membuatku tak tahan lagi lalu dengan sengaja kaki kananku mendorongnya jauh-jauh hingga melayang ke arah belakang. Kulihat Kenn kali ini benar sungguh kewalahan ... dan apa yang kupikirkan pun terjadi. Dua pistol Kenn kehabisan amunisi, dan sekarang dia beralih pada pukulan tangannya untuk melawan satu per satu vampir itu. Sesegera mungkin kuakhiri permainanku dengan dua vampir ini.
Slash! Slash!
Aku beralih menuju Kenn untuk membantunya sembari berteriak, "Kenn, ini!" Kulemparkan pedang ke arahnya, tepat dia berhasil meraih. Dengan satu ayunan pun kepala itu jatuh. Kini, masih ada dua lagi. Aku mencoba naik ke atas punggungnya segera memenggal kepalanya. Hasilnya mereka semua telah musnah.
"Bagaimana keadaan kalian?" tanya Zeke dari arah belakang.
"Kami baik!"
"Kawan, sebaiknya kalian lihat ke depan!" Kenneth menunjuk arah depan.
"Apa? Yang benar saja!" ucapku melihat mereka yang terus keluar dari salah satu rumah yang berada di ujung sana. Kali ini lebih banyak dari apa yang aku pikirkan.
"Bagaimana ini, kita tidak akan bisa menghabisi mereka," sahut Zeke menatap ke arah kami. "Dan lagi aku hanya mempunyai tiga amunisi dalam pistolku," lanjutnya.
"Bagaimana, Kenn. Benar kata Zeke, kita tidak bisa mengalahkan mereka hanya dengan satu pedang juga lima amunisi," kataku menatap ke arah Kenn.
"Apa di antara kalian ada yang membawa korek api?" tanya Kenn.
"Korek?! Tunggu, mungkin tadi ada," sahut Zeke sembari merogoh isi sakunya, "ini." Dengan melemparkan korek itu tepat ke arah Kenneth.
"Apa yang akan kau lakukan?" Aku mengernyit.
"Aku akan membakar mereka!" tegasnya. "Ambil beberapa lampu minyak di seluruh rumah, sisi kanan juga kiri kalian!"
"Baik." Akhirnya kami pun mengumpulkan beberapa lampu minyak yang masih utuh. Tak butuh waktu lama Kenn segera melemparkan semua lampu minyak itu tepat di depan dengan membuat garis membujur. Mungkin tidak bisa untuk membakar mereka, tetapi bisa untuk menghadangnya agar mereka tak sampai di tempat kami berdiri.
"Sementara mereka masih terjebak, kita menjauh dari sini!" Suara Kenn membuyarkan tatapanku pada api itu, sebenarnya diriku sedikit takut dengan wujudnya yang bergejolak bisa saja melumat tubuhku ini.
Kami bertiga pun berlari menjauh, keluar dari desa itu. Tepatnya sekarang kami sudah berada di tempat dimana Zeke, Aron, dan Alero menunggu tadi. Kenn menghentikan langkahnya dan dia pun mengatur napas yang terlihat terengah-engah itu. Aku tahu dia manusia bukan sepertiku atau pun Zeke yang mampu berlari tanpa mengatur napas. "Kita harus bagaimana?" tanya Zeke kepada Kenneth.
"Kita harus kembali ke pos perbatasan!" jawab Kenn lalu berdiri tegak kembali.
"Apa?!" sahutku sambil mengernyit. Dia pun menatap tajam ke arahku lalu berkata, "Apa kamu bisa melawan mereka sendiri?! Aku tahu Mike kamu ingin menyelamatkan bibinya Loui, tapi setidaknya kita membutuhkan bantuan lebih dari perwakilan!" tegasnya.
"Aku setuju dengan ketua Kenn," balas Zeke sembari mengangguk.
"Dan mungkin kini fajar akan segera datang. Mereka pasti tak akan bisa mengikuti kita dengan matahari yang sudah muncul di depan mata." jelasnya.
AUTHOR
Akhirnya pada malam itu pun Alero juga Aron kembali ke pos perbatasan bersama Esme. Semua akan mengira kejadian itu pasti tak mungkin, tetapi nyatanya Esme masih hidup. Dengan keadaan Esme yang sudah tertidur pulas di atas punggung Aron. Terlihat sungguh letih pada raut wajahnya. Mereka bertiga pun masuk ke pos jaga dua, tepat Loui yang juga berada di sana. Aron pun menyerahkan Esme kepada, Loui dan menaruhnya tepat di pangkuannya.
LOUIS pov
"Siapa dia?" tanyaku mengernyit.
"Kata, Mike. Namanya, Esme. Dia satu-satunya yang masih hidup di desa itu!" balas Aron.
"Terus di mana, Mike sekarang?!"
"Maaf, hanya kami bertiga yang kembali ke sini. Sedangkan Mike, Zeke juga ketua Kenn masih mencoba menghentikan mereka," jawab Alero.
"Mereka?!"
"Iya, para vampir baru!"
A/N
Maafkan saya hampir 1 bulan penuh, saya gak update cerita ini. Dan di part ini saya rasa ceritanya jdi agak gaje.
Hanya sampai 1000-1500 kata. Biasanya 1000-2000 kata... saya bener-bener sibuk, untung hari ini bisa up.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top