Bibi Lena?
Derum mobil itu terdengar jelas dari halaman rumah. Kami yang masih berada di dapur segera menuju ke depan. Mendapati mereka: Mike dan Cristan baru saja keluar dari mobil.
"Sayang ... sudah selesai ya rapatnya?" Ressa menjerit tepat di sampingku, menyeruak di telingaku.
"Sudah," singkat Cristan juga Mike menghampiri kami.
"Ayo, masuk saja!" ajakku.
"Bagaimana tadi rapatnya?" tanya Ressa yang sudah terduduk di sofa sampingku.
Mike tidak menjawab, ia terlihat sangat letih. Akhirnya Cristan yang menyahut, "Tadi ketua sudah memutuskan untuk melakukan operasi jaga di setiap perbatasan ataupun desa terpencil."
"Apa kalian juga ikut?" tanyaku.
"Tidak sayang, kami tidak ikut!" balas Mike menatapku.
"Giliran Loui yang tanya saja, Mike langsung semangat," sahut Ressa melirik tajam ke arah Mike.
"Ya, iyalah. Dia kan penyemangat hidupku, bener kan sayang?!" Sembari menatapku.
"Hem, ya!" singkatku dengan membalas tatapannya.
"Sudah jam empat saja, pulang yuk!" ajak Cristan menatap ke arah Resaa.
"Ya sudah kami pulang dulu ya, Loui." Ressa berdiri dari kursi sofa.
"Mike, pulang dulu ya!" Cristan pun ikut berdiri.
"Oke."
Kami berdua pun ikut berdiri dan segera mengantar mereka ke depan.
"Hati-hati ya!" teriakku.
"Iya." Lagi-lagi suara khas Ressa menggelegar.
"Mike, kenapa kamu belum pulang?"
"Oh, jadi ceritanya mau ngusir?"
"Bukan, aku kan cuma tanya."
"Nanti saja ya, boleh kan?" serunya dengan mendekatkan wajahnya.
"Ya sudah terserah kamu saja." Aku seraya duduk di kursi teras. Kembali menatapnya dan berkata, "eh, Mike tadi di kampus ada yang tewas lagi."
"Siapa?" Dia menyusul duduk di depanku.
"Kata Ressa, dia mahasiswi baru. Aku juga belum pernah tahu sebelumnya, namanya Erene tepat kelasnya bersebelahan sama kita!"
"Oh, jadi anak baru."
"Iya, lagi-lagi kejadiannya sama persis dengan Axel."
"Mau bagaimana lagi, memang orang seperti kalian itu bagaikan sekantong darah yang berjalan bagi makhluk sepertiku!" Dia memalingkan pandangannya.
"Sudah lupakan saja, Mike. Aku yakin kamu bukan seperti, Claria!"
"Kamu salah besar, Loui. Dulu waktu aku masih berumur 10 tahun, aku seperti monster kecil yang sudah kehilangan akal juga pikiran. Ketika pertama kalinya aku memburu seorang manusia. Dengan sangat keji kukoyak bagian lehernya dan menghisap seluruh darah yang ada di tubuhnya, hingga dia kejang dan perlahan mati." Kembali bersitatap tajam ke arahku.
"Mungkin kalau aku berada di posisimu, sama halnya apa yang kau lakukan!" jawabku dengan menggenggam tanggannya.
"Waktu aku menemukan hasil buruan tepatnya manusia. Ketika melihat saja dan aroma tubuhnya yang tertiup oleh angin tercium dengan sangat menggodaku. Secara tak sadar seperti terhipnotis, aku langsung berlari ke arahnya. Tepat menaikin bagian punggungnya dan langsung saja kutancapkan ujung taringku, keinginanku untuk tidak membunuhnya pun terhalang oleh sebagian dari diri iblisku. Pada saat itu hanya iblislah yang mengendalikanku," ucapnya yang terus saja menyalahkan dirinya.
"Sudah cukup, Mike. Aku tidak mau mendengar jika kamu terus-terusan menyalahkan diri sendiri." Dengan kuremas tangannya. "Ayolah semangat!" Aku tersenyum manis di hadapannya.
"Dengan senyummu pun, sudah menjadi semangat untukku." Dia membalas senyumku dilanjut dengan tangan kanannya mengacak pucuk rambut kepalaku.
"Mike, jadi berantakan rambutku," balasku seraya memasang wajah cemberut.
"Terus saja, nyengir kuda!" Dia tertawa di hadapanku.
Tak apalah, hanya dengan melihat tawanya pun aku sudah sangat bahagia. Tawanya pun sangat nyata bukan hanya semata-mata untuk membohongiku dengan tawa palsu.
Senja di sore hari pun telah tiba, kini siang sudah mulai berganti malam. Dan sekarang aku mulai mengkhawatirkan bibi. Kenapa dia belum pulang juga? Apa yang dilakukan bibi di luar sana? Dan seketika itu aku berhenti tertawa.
"Bibi belum juga pulang, sedangkan hari mulai menampakkan sisi gelapnya."
"Iya, memang tadi bibi tidak bilang mau pergi ke mana?" tanyanya.
"Tidak. Memang kebiasaan bibi yang ke luar tanpa bilang."
"Ya sudah kita tunggu saja sampai jam tujuh, kalau belum pulang kita akan mencarinya!" Dia menggenggam tanganku.
"Ya sudah ayo masuk dulu," ajakku seraya berdiri dengan tangan yang masih dipegang olehnya.
Setiap menitnya pun telah berlalu sama seperti halnya hari yang sudah semakin gelap. Aku yang sedari tadi khawatir tentang keadaan bibi di luar sana, di pikiranku hanya ada nama bibi, bibi, dan bibi!
"Loui, aku tahu kamu memikirkan Bibimu, tapi setidaknya kamu harus makan," katanya sembari memegang sendok yang sudah terdapat nasi di atasnya.
Yang kulakukan sekarang hanya melamun, tidak sekalipun menggubris pembicaraannya. Dengan posisi kedua tangan yang menopang daguku. Mike yang juga berada di hadapanku hanya terlihat pasrah, dengan sepiring nasi di depannya. Terus mengulang apa yang dilakukannya terhadapku dengan menyendok nasi dan menyuapiku, tapi itu sia-sia saja.
"Mike, ayo kita cari, Bibi!" Seraya berdiri dari kursi makan.
Dia pun terlihat kaget dan langsung mendongak ke arahku, lalu menyusul berdiri dan membiarkan sepiring nasi itu di meja makan.
"Ayo. Tapi nanti sehabis mencari Bibi, kamu makan ya!"
"Iya," balasku singkat.
Kami berdua segera bergegas meninggalkan rumah, tak lupa untuk menguncinya dan berlalu menuju mobilnya.
"Kita mau mencari di mana?" Mike menatapku dengan posisinya yang sudah menyetir.
Seketika aku mendengar kata-kata mencari di mana? aku bingung harus menjawab apa, sedangkan aku juga tidak tahu Bibi sekarang ada di mana.
"Loui," lanjutnya.
"Ke seberang kota," jawabku dengan menoleh ke arahnya.
Memang dulu bibi pernah bilang mempunyai teman yang rumahnya berada di seberang kota.
"Seberang kota?" Dia mengernyit.
"Iya."
"Itukan daerah perbatasan, Loui." Kembali fokus ke jalanan.
"Iya, kenapa?" Aku menatap tajam ke arahnya.
________________
Mike Pov
Entah apa yang harus kukatakan padanya, bagaimana mungkin bibi Lena berada di sana. Aku kurang yakin apakah wilayah itu sudah di kuasai Claria. Sedangkan di sana wilayah perbatasan, bisa saja Claria sudah menguasai tempat itu.
"Loui, sekarang daerah perbatasan sedang ada operasi jaga jadi kemungkinan kita tidak bisa keluar meninggalkan kota!"
"Apa! Terus bagaimana? mungkin Bibiku sedang ada di sana." Terlihat Loui yang sudah sangat khawatir. "Mike, tolong bantu aku?!"
"Apa salahnya mencoba!" jawabku sembari menganggukkan kepala.
Akhirnya kini, kupercepat laju kuda bermesinku ini. Untuk menuju ke perbatasan kota, kutolehkan pandangan sekilas ke pergelangan tangan yang terdapat sebuah benda melingkar itu dan sudah menunjukkan pukul 20.10. Memang hari yang sudah mulai larut malam, kembali kufokuskan pandangan ke arah jalanan dengan di sekitar yang sudah terdapat jejeran rumah juga banyak gedung pencakar langit yang terlihat tepat di depan.
Tepatnya kini sudah berada di tengah kota, sama sekali tak terlihat lalu lalang ataupun batang hidung seseorang yang ada di luar rumah. "Seperti kota mati saja!" gumamku.
Padahal hari yang juga belum terlalu larut. Tetapi memang benar ini sudah diberitahukan kepada seluruh penduduk sekitar kota agar tidak keluar rumah pada waktu malam hari.
Tak lama, kami sudah sampai di perbatasan kota. Terlihat di depan ada beberapa manusia yang berjaga mungkin sebagian juga seorang vampir. Sebelum kami sampai di depan pos mereka, ada seseorang yang datang dari arah samping kananku dan mencegat, seketika itu langsung kuhentikan mobil ini.
Tuk Tuk Tuk
Seseorang telah mengetuk pintu kaca mobilku, segera kubuka untuk melihatnya.
"Maaf, anda tidak boleh keluar kota!" ucapnya, sembari mencondongkan badannya dan menatap ke dalam mobil.
"Apa operasi jaganya sudah dimulai?" tanyaku menatap ke arahnya.
"Iya, kami baru saja memulainya sejak tadi sore," balasnya.
"Tapi kami ada perlu sebentar, untuk ke perbatasan," sahutku.
"Maaf pak, bagi siapa pun tidak diperbolehkan untuk keluar kota apalagi ke perbatasa." Memang penjagaan di sini lumayan ketat, tepat masih di dalam kota mungkin berjarak sekitar 200 menter lagi sampai di perbatasan.
"Tapi kenapa? Bibiku ada di sana, tolong biarkan kami pergi!" Loui menyahut pembicaraannya.
"Maaf memang sudah peraturannya, dan kami tidak bisa melanggarnya!"
Seketika itu pun Loui segera membuka pintu mobil dan keluar, berjalan dengan sedikit lari menuju ke beberapa orang yang berjaga di depan. Aku pun segera menyusulnya dari belakang dan terlihat Loui sudah berada di depan dengan tangan yang dipegang oleh dua orang penjaga.
Ini sangat membuat amarahku menyulut, beraninya mereka memegang tangan kekasihku. Memaksa. Menariknya dengan sangat kasar, setelah mendapati hal itu aku berlari menuju ke arah mereka. "Beraninya kalian!" geramku di hadapan mereka, sembari menarik alih ulur tangan Loui.
Loui dengan keadaan yang sudah menangis sesenggukan. Kali ani aku benar-benar sangat marah, tanpa kusadari dua taring milikku keluar dan menggeram tepat di hadapan mereka.
"Mike, jangan. Kumohon!" Suara lembutnya terdengar jelas oleh telingaku dengan menggenggam tangan kiriku. Sekilas kutolehkan pandangan tepat ke arah Loui, tiba-tiba dua taringku pun kembali masuk. "Tapi mereka---" Kutolehkan pandanganku kembali ke arah dua orang tersebut, mereka sangat ketakutan dan terdengar juga detak jantungnya yang kian berlomba-lomba.
"Kamu bukanlah Claria!" balas Loui.
Setelah mendengar kata-kata itu pun aku mulai sadar diriku yang sebenarnya. Jangan sampai iblis mengendalikanku lagi, setelah 10 tahun yang lalu. "Loui, kamu tidak apa kan?" tanyaku seraya mengusap air matanya.
Tapi tiba-tiba mereka berdua pun pergi meninggalkan kami menuju sebuah rumah kecil, kemungkinan itu pos untuk berjaga. "Tidak, aku tidak apa Mike," jawab Loui sembari menggeleng.
Pak ada dua orang yang ingin keluar dari kota menuju perbatasan!
Dan salah satu dari mereka adalah vampir.
Suara mereka menyeruak di kedua telingaku, ternyata mereka melapor pada ketuanya.
Di mana mereka? tanya dari ketua itu.
Ada di depan! Seketika itu derapan langkah kaki pun terdengar menuju ke arah kami. Kudapati ada satu, dua, dan empat orang.
"Ini Pak, mereka," ucap salah satu lelaki yang memegang kasar Loui tadi.
"Apa kalian mau pergi ke perbatasan?" tanya seseorang yang mungkin itu ketuanya.
"Iya," sahut Loui.
"Ada perlu apa?"
"Bibiku ada di sana, kami mau menjemputnya!" jelas Loui sembari menatapku.
"Tapi kami tidak diperbolehkan untuk mengijinkan seseorang keluar dari kota," balasnya.
"Siapa yang tidak memperbolehkan mereka?!" Suara yang tak asing lagi bagiku. Terlihat seseorang berjalan menghampiri kami ... ternyata seseorang itu Kenneth. Iya, Kenn ketua dari perdamaian antar dua bangsa.
"Mike, kau tidak apa kan?" tanya Kenn yang sudah berada tepat di hadapanku.
"Tidak Kenn, hanya saja mereka benar-benar sangat membuat amarahku menyulut!" balasku. Kenn langsung menatap tajam ke arah mereka berdua, dengan rasa menyesalnya mereka hanya menundukkan kepala.
"Ada perlu apa malam-malam pergi ke perbatasan?" tanya Kenn menoleh ke arahku.
"Mau jemput, Bibi!" balas Loui.
"Apa? Bibimu," sahut Kenn.
"Benar. Kami ke sana mau menjemput seseorang!" tambahku.
"Tapi itu tidak mungkin, tadi sore dari beberapa penjagaku memberi pesan, bahwa desa yang berada di seberang kota itu sudah diserang vampir peranakan baru!"
"Diserang? Apa salah seorang dari penjagamu sudah memastikan itu?"
"Sudah Pak, saya dan dua orang teman saya. Tadi sore sempat masuk ke desa itu dan tanpa sengaja kami menemukan dua orang tewas terkapar di jalan masuk desa itu," sahut seseorang yang tadi mengetuk pintu kaca mobilku.
"Tapi apa kalian sudah benar-benar masuk ke dalam desa itu?" tanya Kenn menatap tajam ke arahnya.
"Belum pak, kami baru saja sampai di jalan masuk dan sudah mendapati mereka yang tewas, kembali bergegas ke pos untuk melapor.
"Bagaimana kalian bisa, tidak memasuki desa itu?" Kenn menyahutnya dengan nada tinggi.
"Maaf pak, kami yang memang kekurangan personil. Jadi memutuskan untuk kembali saja!"
"Ya sudah. Malam ini juga kita akan memastikan desa itu, apa memang benar diserang."
"Kami boleh ikut?" sahutku.
"Boleh ... hanya saja kami tidak mengijinkan seorang perempuan ikut!" balas Kenn menatap ke arah Loui.
"Tapi itu bibiku!" ucap Loui.
"Loui, kamu tunggu di pos jaga saja ya! Benar kata Kenn lebih baik kamu tidak ikut, karena memang ini berbahaya!" Seraya kupegang kedua lengannya.
"Tapi---"
"Aku janji akan menemukan, Bibi Lena!" Dia hanya terlihat menunduk dan terdiam di tempat. Memang ini sungguh sangat sulit tapi hanya cara ini yang bisa melindungimu dari mereka. Aku tidak mau kalau dia ikut
dan akan terjadi apa-apa. Seketika itu juga aku langsung memegang dagunya.
"Aku janji, Loui!" Sungguh jelas pada matanya yang begitu sangat mengkhawatirkan keadaan bibinya.
"Aku mengerti, Loui. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan sekarang. Bibimu adalah satu-satunya keluarga yang kamu miliki. Aku pasti menemukannya!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top