Bibi Lena? 2

Akhirnya malam ini juga aku dan Kenn memutuskan untuk pergi ke seberang kota, tepat di perbatasan dengan ditemani 3 teman lainnya, yakni Alero, Aron, dan Zeke yang termasuk vampir sepertiku. Kami yang sudah berada di pos satu, sedangkan Loui berada di pos dua mungkin jaraknya yang tidak terlalu jauh sekitar 500 meter di belakang.

Beberapa teman perwakilan juga menemani Loui, jadi aku yakin dia akan aman di sana. Karena memang selain penjagaan di pos dua, di pos satu lebih ketat. Para perwakilan yang berada di sini berjumlah sekitar sepuluh orang belum termasuk aku dan Kenn. Masing-masing dari mereka, bangsa manusia membawa berbagai jenis senjata yang mungkin cukup tajam untuk memenggal kepala. Terlihat juga dari penglihatan vampirku beberapa dari mereka juga membawa senjata pistol yang disembunyikan di dalam kantong celananya.

Kemungkinan itu satu-satunya senjata yang cukup tepat digunakan ketika waktu yang semakin mengancam. Di sini tidak cukup banyak perwakilan manusia hanya terdapat 4 orang saja, dan yang lainnya merupakan perwakilan bangsa vampir. Memang Kenn yang memutuskan hal ini, karena vampirlah yang mampu memastikan keadaan sekitar, juga fisik kami yang dua kali lipat lebih kuat dari manusia. Jadi sewaktu kami berlima pergi, masih ada lima vampir juga dua manusia. "Oke, sekarang sudah jam sembilan. Langsung saja kita menuju perbatasan!" ujar Kenn menghadap ke arah kami.

"Baik," jawabku diikuti dengan anggukan dari ketiga teman.

Kami pun bergegas meninggalkan pos, berjalan menuju perbatasan yang kata Kenneth hanya memerlukan waktu 2 jam saja untuk sampai di seberang kota. Memang kami mengambil jalur terdekat tidak melewati jalan beraspal, melainkan hanya setapak kaki saja yang bisa melewatinya. Terlihat juga sampin kanan dan kiri yang ditumbuhi pohon menjulang, dengan sedikit bantuan penerangan senter yang kami bawa agar lebih mudah untuk melihat sekitar.

Kami membentuk posisi berbaris, aku yang memimpin di depan juga Kenn tepat di belakangku diikuti Aron, Alero juga Zeke. Sengaja aku memilih barisa paling depan pun Zeke diurutan belakang, hanya agar terus dapat memantau keadaan sekitar kami. Di sini begitu sangat gelap, semakin melangkah semakin lebat. Kulihat di depan jalanan ini terbagi menjadi dua ruas, kiri dan kanan. "Kenn, kita lewat mana?" tanyaku tanpa berhenti melangkah.

"Lewat kiri saja!" tegas Kenn.

Aku hanya mengikuti perkataannya dan segera berbelok ke kiri. Gemerecik air pun menyambut kedatangan kami, sungguh terdengar jelas di pendengaran vampirku yang mungkin jaraknya masih beberapa meter dari kami.

Dan itu sangat mengejutkanku ... aliran sungai yang tidak terlalu deras arusnya menyambut kami berlima. Dengan sangat hati-hati kami pun melewatinya bergantian satu demi satu melompat dari batu ke batu lainnya, hingga sampailah di seberang sungai. Akhirnya kaki kami kembali melangkah dan menapaki sebuah hutan bukan dengan ditumbuhi pohon menjulang, tetapi seperti lapangan dengan ditumbuhi tumbuhan ilalang yang sungguh sangat rumbuk, hingga mencapai dadaku. Untung saja teman perwakilan kami dari bangsa manusia Aron dan Alero membawa alat yang sungguh sangat tajam. Dialunkannya alat itu tepat di hadapannya, dan seketika itu juga tumbuhan ilalang luruh ke tanah.

Sret! Sret! Sret!

Suara yang berulang kali muncul ketika pedang itu berayun mulus di depan kami, hingga kami pun bsrhasil membuat jalan untuk menyeberanginya. Tepat kami berlima sudah berada di sekitar desa perbatasan. Kenn mengeluarkan suaranya. "Tunggu! Kita berhenti di sini sebentar."

"Ada apa Kenn?" tanyaku menatap ke arahnya.

"Kita perlu diskusi kecil-kecilan!" serunya.

Kami pun mengadakan rapat untuk mengatur strategi dan terduduk tepat di bawah salah satu pohon dengan akar besarnya. "Kita akan membagi kelompok menjadi dua, aku dengan Mike, dan kalian bertiga!" jelasnya.

"Jadi apa strategi selanjutnya?" sahut Zeke.

"Aku dan Mike akan memastikan masuk dulu ke desa itu, dan kalian bertiga tunggu saja di jalan masuk itu sebelum ada aba-aba dariku!"

"Baik, Pak." Serentak mereka bertiga.

"Tapi bagaimana kau akan memberitahukan aba-aba itu?" sahutku sembari mengernyitkan dahi.

"Zeke!" singkat Kenn menatap ke arah Zeke, aku pun masih bingung mengapa dia memanggil nama Zeke.

"Iya, Pak. Saya tahu apa yang akan saya lakukan," balas Zeke sembari mengangguk.

"Mike, nanti kalau keadaan di desa itu stabil atau pun sebaliknya beri tahu saja pada Zeke!" seru Kenn menatap ke arahku.

"Tapi, bagaimana caranya?"

"Saya mempunyai kelebihan vampir pada telepati, Pak. Mungkin nanti kalau bapak mau memberitahu bagaimana keadaan di dalam sana, bisa memanggil nama saya beberapa kali. Dan otomatis suara bapak akan masuk ke dalam pikiran saya, juga sebaliknya," jelas Zeke.

"Panggil saja, Mike!" Aku sembari tersenyum padanya. Wajah masih muda, dibilang sudah bapak-bapak. Apa kata dunia.

"Oh iya. Maaf, Pak. Eh, maksudnya Mike."

"Baik, sekarang mari kita mulai," seru Kenn seraya berdiri dan kami pun mengikutinya. Dengan langkah yang sedikit mengendap-endap menuju jalan masuk, terlihat tak ada seorang pun yang berjaga di sana. Suasana yang begitu sunyi, yang ada hanya hembusan angin dengan sepoi yang tak terlalu kuat bergesekan bersama dedaunan di atas kami. Ketika keadaan sudah benar-benar aman, seraya kami keluar dan mengikuti jalanan beraspal itu agar bisa membawa kami tepat pada tujuan.

"Kalian tahu kan, apa yang harus dilakukan?!" ucap Kenn menatap ke arah mereka bertiga.

"Iya, Pak."

"Baik. Ayo, Mike!" Segera aku dan Kenn pun melangkah menuju ke dalam desa. Kami berjalan seiringan sembari terus berwas-was menoleh ke kanan serta kiri. Memang keadaan di sini sungguh memprihatinkan, seperti baru saja perampok masuk mengobrak-abrik seisi rumah dan apa saja yang menghalanginya. Rumah yang berjejer di sisi kanan juga kiri tak ada penerangan apapun, cukup cahaya bulan saja sinar yang terlihat di sini.

Untung saja Kenn membawa senternya, sungguh itu sangat minim, tetapi cukup untuk sekadar mempermudah penglihatan kami. "Siap?!" Kenn menoleh ke arahku.

"Baik," balasku sembari mengangguk.

Kami pun berpencar, Kenn memilih ke sisi kiri. Sedangkan aku ke sisi kanan, tanpa menggunakan sebuah penerangan sama sekali, tetapi itu tak masalah bagiku cukup cahaya bulan saja masih bisa membantu. Dengan langkah kakiku yang semakin menjauh dari langkah kaki Kenn, akan tetapi pandangan kami yang masih bisa terlihat satu sama lain. Kulihat Kenn yang sudah mulai membuka pintu salah satu rumah, segera aku pun melakukan hal yang sama.

Clek! Kreeekkk....

Derit pintu yang kubuka sungguh nyaring, mungkin dengan keadaan yang sesunyi ini. Seekor anjing pun akan terbangun dan menggonggong ke arahku lalu berlari, kemudia langsung menggigit. Aku mencoba memelankan gaya dorongan pintu itu sampai terbuka seluruhnya. Di sini aku sangat kesulitan untuk melihat situasi di dalam rumah. Kulangkahkan kaki untuk masuk ke dalam dan mencari sebuah petikan lampu yang mungkin ada di sekitar sini, meraba-raba bagian dinding sisi kiri sembari terus berjalan mengikuti panjang dinding itu.

Brakk....

Tanpa sengaja langkahku terhenti oleh sesuatu yang ada di bawahku, seketika itu kutolehkan pandangan tepat di bawah kaki meski yang terlihat hanyalah gelap sembari terus memastikan apa yang kutabrak tadi menggunakan kaki dengan sedikit kuberi pijakan di atasnya.

Ini bukan sebuah benda, melainkan sepasang kaki. Apa yang benar saja?

Kuseret sepasang kaki itu keluar dari sini menuju depan rumah. Benar dugaanku seseorang telah tewas dan sampai saat ini aku masih belum juga merasakan keberadaan Claria di sekitar sini atau mungkin vampir murni lainnya. "Apa mereka sudah pergi setelah mendapat makanan malamnya?" Kulangkahkan kaki kembali, bukan ke rumah itu. Melainkan ke sisi kiri, rumah yang terdapat Kenn di dalamnya.

"Kenn, apa kau menemukan sesuatu?" tanyaku lirih sembari berdiri di ambang pintu.

Tak ada respon sama sekali dengan Kenn, aku pun kembali berjalan masuk ke dalam menoleh ke arah kiri serta kanan. Yang terlihat pun masih sama dengan apa yang kulihat di rumah tadi. Tapi, tunggu! Secercah cahaya terlihat dari celah bawah di balik pintu itu. Kakiku yang terus melangkah maju seraya tanganku pun memegang kenop pintu itu dan ... "Kenn, apa yang kau lakukan?" tanyaku mengernyit.

Aku mendapati Kenn, terjongkok di samping tempat tidur itu dengan senter yang ada di belakang, tepatnya di atas meja belajar itu dan mengarah pada pintu kamar. Cahaya yang kulihat tadi pasti berasal dari senter miliknya. Aku seraya mendekatinya, tidak! Bukan hanya Kenn, ada seorang gadis kecil di depannya. Dan gadis itu pun membelalak ke arahku lalu mendekap tubuhnya sembari menundukkan kepala. Sepertinya dia sangat ketakutan saat ini. "Dia temanku, kamu jangan takut!" lirih Kenn.

"Aku tidak akan melukaimu gadis kecil," sahutku sembari berjongkok di samping Kenn.

Seketika itu dia menengadahkan kepalanya dan menatap tajam ke arahku lalu saat itu juga langsung berdiri dan berlari memeluk erat tubuhku yang masih keadaan berjongkok. "Namamu siapa?" bisikku padanya. Gadis kecil itu melepas pelukannya dan membalas, "Namaku Reisme." Dia tersenyum padaku.

"Ya sudah, ayo kita keluar dari sini!" kata Kenn beranjak berdiri.

"Ayo," ajakku berdiri sembari mengulurkan tangan kepada Reisme. "Aku tidak mau!" jawabnya dengan menggeleng, "Ibuku sudah meninggal, dia di sana!" Tangannya menunjuk ke arah lemari pakaian. Bukan, tepatnya di pojokan itu.

Kenn pun mengarahkan senternya tepat ke pojokan samping lemari itu lalu terlihat seseorang yang tengah terduduk bersandar di dinding dengan keadaan mata yang menutup. Kenn mencoba memastikan dan berjalan mendekat. "Jangan!" tetapi suara Reisme menghentikan langkah Kenn dan dia pun menoleh ke arah kami. Kenn yang tak menyadari, kulihat mayat di depan itu membuka matanya dan ... sebelum dia benar-benar bangun lalu menyeret tubuh Kenn. Spontan tanganku pun meraih suatu benda yang berada di dekatku, tepatnya sebuah alarm yang ada di atas meja belajar itu....

Seketika itu saat benda yang kulemparkan melayang tepat sasarannya, dia pun terhuyung dan jatuh ke pojokan. Tak akan kami sia-siakan waktu ini, dan segera keluar dari rumah ini dengan Reisme yang berada di atas punggungku. "Sekarang dia bukan Ibuku lagi!" Aku tak menggubris perkataan Reisme sama sekali, yang kulakukan sekarang hanya Zeke! Zeke! Zeke! Zeke! berulang kali aku memanggil nama Zeke dalam hati.

Iya, Mike. Aku bisa mendengar suaramu!

Bagaimana keadaan di sana?

Di sini masih sama seperti awal, kini Aron juga Alero tengah terridur di sampingku.

Bangunkan mereka! Dan segeralah kemari, di sini sungguh sangat genting.

Baik!



A/N

Dan itulah kelanjutan dari cerita ini. Maaf harus nunggu lama ya. Tetap tunggu kelanjutannya^^
Jangan lupa untuk Vomment kalian.

See you 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top