Read My Heart
"Hari ini aku mau belanja, kau mau ikut?" gumanku ketika membaca isi pesan yang masuk ke dalam ponselku.
Dengan cepat aku membalas pesan tersebut, "Aku tidak ikut." lalu menekan tombol send sebelum aku mematikan layar ponselku.
Ketika aku membuka halaman berikutnya dari buku yang sedari tadi menemaniku, ada catatan kecil terselip di sana. Aku dapat menebak siapa yang menyelipkannya.
'Aku harap kau suka. jangan sampai kau menghilangkan buku ini. Ini buku kesukaanku, tau!' begitulah isi yang tertulis di cacatan kecil ini.
Aku tidak bisa menahan senyum dan tawaku, apalagi melihat ada stiker kelinci yang sedang cemberut di sana.
Ah, aku merindukannya.
Padahal aku sudah bertemu dengannya di kampus tadi. Perasaan unik ini benar-benar membuatku seperti seorang pecandu. Entah sejak kapan dia menyelinap masuk ke dalam hatiku.
Awalnya, hidupku terasa gelap. Bahkan aku sempat bertanya dalam hatiku, apakah aku ini sungguh hidup? Atau ini hanyalah khayalku yang menyangka bahwa aku hidup?
Lalu, kau datang bagaikan matahari yang muncul setelah melewati malam kelam yang panjang. Uluran tangan yang kau berikan padaku, membawa perasaan hangat yang belum pernah kurasakan.
Di antara banyaknya orang di sekelilingku, hanya kau yang menyapaku dengan senyuman tulus tanpa paksaan.
Kenapa? Apa kau tidak merasa ada yang aneh pada diriku?
Bodohnya aku, waktu itu aku memarahimu dan meninggalkanmu yang terdiam dengan tatapan yang tidak aku mengerti.
Rasa bersalah menguasaiku. Aku mencoba kembali mendekatimu, tapi aku terlalu takut dan berpikir, "Dia pasti tidak mau berteman denganku."
Hingga beberapa tahun berikutnya, aku mulai memberanikan diri untuk mulai mendekatimu.
Aku tidak menyangka kau tetap menyambutku dengan senyuman yang sama, seolah kejadian waktu itu tidak pernah terjadi.
Sesuatu yang mengelitik masuk ke dalam hatiku. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Yang aku tahu perasaan ini akan muncul setiap aku bersamamu.
Aku merasa aneh, bingung, tapi aku tidak membencinya. Karena perasaan ini membuatku bisa melihat dunia dengan jelas.
Penasaran dengan apa yang sedang kualami, aku berusaha mencarinya di buku. Dan sekarang aku paham apa yang sedang kurasakan ini.
Cinta. Sebuah perasaan yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Apa cinta seunik ini rasanya?
Aku ingin mengatakannya, tapi apa aku pantas? Aku rasa, aku tidak layak. Apalagi setelah aku mendengar ....
"Iya, aku menyukainya. Awalnya aku hanya rasa kagum, namun perlahan perasaan itu berubah. Aneh sekali, ya," tuturnya sambil tertawa canggung.
Seperti ada sesuatu yang sedang menusuk-nusuk hatiku. Menyakitkan, tidak nyaman, aku merasa warna dunia ini mulai luntur.
Apa aku tidak punya kesempatan untuk menjadi orang yang kau cintai?
Aku kesal, marah, ingin berteriak, ketika aku mengetahui bahwa orang yang kau cintai mencintai orang lain.
Walaupun kau mengetahuinya, kau tetap mencintainya bahkan melindunginya. Apa kau bodoh? Apa kau tidak melihat bahwa ada orang yang mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini?
Aku juga sama bodohnya. Ini sebuah ironi yang menyedihkan.
Bertahun-tahun terus kupendam perasaan ini. Semakin lama semakin tidak tertahankan. Kadang tanpa sadar, aku meluapkan perasaanku lewat tindakan. Seperti bagaimana aku memperlakukanmu dengan sangat istimewa, melindungimu, membuatmu tertawa, memelukmu ketika kau ingin menumpahkan segala kesedihanmu.
Aku di sini. Di sampingmu. Tidak bisakah kau membaca isi hatiku?
Aku menyandarkan kepalaku pada kaca jendela yang dingin. Benda putih kecil mulai berjatuhan dari langit.
Hingga suara ketukan pintu menyadarkanku.
"Masuk," titahku sambil memperbaiki posisi dudukku.
"Sayang, kenapa kau menolak ajakan Eve untuk pergi belanja? Ini kesempatanmu untuk lebih dekat dengan calon tunanganmu," ucap ibu tiriku dengan lembut.
Calon tunangan? Kenapa kata itu membuatku muak mendengarnya, ya?
"Aku sudah bilang, aku tidak tertarik pada pertunangan itu. Kita masih bisa mencari cara lain agar kerjasama antara perusahaan ayah dan Tuan Steven tetap berjalan. Aku bukan boneka kalian," balasku sambil bangkit dari posisiku dan mengambil jaket hitamku.
"Kamu mau kemana, sayang?"
"Aku ingin mendinginkan kepalaku dan jangan bertingkah sok manis di depanku, itu menjijikan," jawabku dengan nada ketus.
Kakiku melangkah keluar dari rumah dan berjalan menuju halte bis. Aku mendongak ke langit. Aku bertanya-tanya dalam hati, sedang apa dia saat ini.
Bis yang aku tunggu tiba, segera aku naik dan mengambil tempat duduk paling belakang.
Saat ini aku hanya ingin melarikan diri dari rumah yang menyesakan itu. Aku tidak tahan dengan segala urusan perjodohan yang tidak aku inginkan.
Jika mereka menginginkanku menjadi penerus, lebih baik mengajariku bisnis bukannya mengikatku dalam perjodohan konyol itu.
Aku akan memikirkan bagaimana cara agar kerjasama itu berjalan tanpa ada yang namanya perjodohan.
Bis berhenti di terminal yang ingin aku tuju. Aku turun dari bis dan berjalan ke arah kiri di mana rumah orang yang aku cintai berada.
Sampai di sana, aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum. Mungkin dia akan mengomeliku karena aku mampir tanpa bilang padanya.
Aku mengetuk pintu rumahnya, namun tidak ada balasan apapun dari dalam.
Apa dia sedang ada diluar? Ah, aku lupa membawa ponselku tadi. Akhirnya aku duduk di depan terasnya seperti orang bodoh.
Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Bahkan aku tidak sadar, kalau aku ketiduran di depan teras rumah orang.
Sebuah sapuan hangat dari tangan seseorang telah membangunkanku. Aku melihat wajah gadis cantik yang dari tadi kutunggu. Dia sudah pulang.
"Sedang apa kau di sini? Kau bisa masuk angin jika tidur di sini, ayo masuk."
Aku tersenyum dan bangkit dari posisiku. "Itu salahmu jika aku sampai masuk angin karena menunggumu diluar," balasku sambil berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Interior sederhana, namun terasa sangat hangat dan nyaman. Entah kenapa aku lebih suka berada di sini daripada di rumah besar itu.
"Salahmu kenapa tidak menghubungiku, kau mau minum apa?" tanyanya sambil menutup pintu.
"Cokelat panas, ya. Ah, dan juga biskuit jahenya," jawabku sambil melepaskan jaketku.
Dia tertawa ringan, lalu berucap, "Baiklah, tunggu sebentar."
Aku menjatuhkan diriku di sofa panjang. Penat di kepalaku seketika sirna. Aku heran kenapa bisa begitu. Apa karena interior sederhana rumah ini atau karena di rumah ini ada kehadirannya?
Tidak lama kemudian, dia kembali dengan membawa nampan berisi dua gelas dan sepiring biskuit yang masih hangat.
"Akhirnya yang aku tunggu sudah datang. Baunya aja sudah membuatku lapar," ujarku sambil bangun dari tidurku.
"Sudah berapa lama kau berada di luar tadi?" tanyanya penasaran.
"Entahlah," jawabku seadanya sambil memasukan biskuit ke dalam mulutku. "aku tidak menghitungnya karena aku tidak bawa jam dan ponselku ketinggalan," lanjutku.
"Bagaimana kalau aku pulang sampai malam tadi? Kau bakal terserang flu. Lain kali kalau aku tidak ada di rumah, seharusnya kau pulang saja."
"Aku tidak mau. Walaupun aku harus menunggumu sampai larut malam di depan rumahmu."
"Jangan bilang kau sedang kabur dari rumah lagi," tebaknya.
"Oh, bagaimana kau tahu? Kau peramal, ya?"
"Jangan bercanda, aku serius ...."
"Jika aku bilang ingin menghabiskan waktu lebih banyak denganmu, apa kau akan menolaknya?" tanyaku dengan pandangan serius.
Sejenak terjadi keheningan di antara kami berdua. Lalu, potongan kecil biskuit jahe mengenai kepalaku.
"Kenapa kau mengatakan hal konyol begitu? Tentu saja aku tidak menolakmu, aku senang karena temanku mau menemaniku di akhir tahun ini," balasnya dengan raut wajah ceria.
Ah ... Apa yang aku harapkan. Miris, tapi tidak apa, selama kau mengizinkanku terus berada di sisimu.
"Bagaimana kalu kita bermain kartu, siapa yang kalah mukanya akan dicoret, mau?" tantangku.
"Boleh, siapa takut. Aku tidak akan kalah darimu Raven," balasnya dengan semangat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top