[2] Baba yang tidak pernah kembali
Theve meletakkan Yazia di ranjang dengan hati-hati. Amera—ibunya, segera datang bersama seorang tabib terkenal di pulau. Sedangkan Hamza masih terpaku dengan tatapan kosong dan menggenggam lembut tangan Yazia.
Kondisi Yazia yang seperti ini, membuatnya teringat dengan keadaan mama mereka yang meninggal dunia beberapa bulan setelah Baba meninggalkan pulau untuk 'tugas penting' yang tidak ia ketahui. Tubuh mama yang terbujur kaku, bibir tipis yang selalu merekah indah memucat sampai ia menyangka tidak mengalir darah di sana.
"Yazia ... t-tidak, Ya-yazia tidak a-akan apa-apa, kan?" Bibir Hamza gemetar begitu pula dengan bahunya yang lemas tak bertenaga. Ia semakin mengeratkan genggaman seakan menyalurkan kehidupan kepada Yazia yang masih hilang kesadaran.
Theve menepuk bahu Hamza dan mengukir senyum kecil. Matanya tesirat kata-kata penuh dukungan. Theve yakin, jika Yazia tidak apa-apa. Tetapi, menyakinkan Hamza yang berada dalam kondisi cemas sedikit sulit. Sebab, bocah laki-laki itu butuh bukti, bukan hanya sekadar kata-kata semata.
Amera menyeka darah yang mengucur dari hidung Yazia dengan kain lembut. Bulir-bulir keringat menetes turun dari dahi Yazia. Tatapan prihatin dan kasihan terpusat pada dua saudara ini. Amera beserta suaminya tidak bisa apa-apa ketika Tuan Imran meminta Yazid melakukan perjalanan laut yang panjang. Sebab, tidak ada orang lain selain Yazid yang memiliki latar belakang mantan prajurit kesultanan.
"Theve, panggilkan Tuan Imran kemari," ucapan Amera terjeda, ia mendapati Hamza yang semakin terisak dalam diam dan tubuh bergetar hebat menahan suara tangis. "Hanya Tuan Imran yang dapat menenangkan Hamza," imbuhnya lagi.
Theve mengangguk dan bergegas menuju tempat tinggal Imran.
Tabib Rasyid selesai mengecek kondisi tubuh Yazia menghela napas. Sorot mata lelaki paruh baya itu tertuju pada Yazia dan Hamza. Tangan lembut dan besar milik Rasyid mengusap kepala Hamza penuh rasa sayang.
"Yazia hanya kelelahan, Hamza. Saudarimu tidak apa-apa. Hanya butuh istirahat," ujar Rasyid. Berharap perkataannya dapat menenangkan Hamza yang masih mengucurkan air mata.
"Yazia ... Yazia ... jangan tinggalkan aku," gumam Hamza disela-sela tangisnya. Bocah lelaki itu tidak akan sanggup membayangkan, jika Yazia juga turut meninggalkannya. Hamza benci pemikiran buruk itu, ia tidak menyukainya. Tetapi—tidak ada satu pun yang dapat mengontrol hidup dan mati seseorang kecuali Allah.
Ruangan yang dirundung kelabu atas kesedihan Hamza. Hentakan kaki terburu-buru, terdengar menggema di lantai berbahan dasar tanah pasir cokelat kekuningan. Amera menoleh dan membuka ruang untuk orang yang baru saja datang. Sedangkan, Rasyid memilih undur diri karena ada pasien lain yang menunggunya.
Theve datang dengan napas putus-putus, lelaki remaja itu menunduk dan bernapas dengan keras dan kasar. Seakan-akan ia ingin meraup seluruh oksigen di ruangan ini untuk dirinya sendiri.
Seorang laki-laki yang berdiri satu langkah di depan Amera, duduk di sebelah Hamza dan memeluk bocah lelaki itu seraya menepuk punggung Hamaza yang tetap setia bergetar. Lelaki yang berada di usia akhir tiga puluhan itu bisa mendengar, suara Hamza yang parau bercampur isak tangis bertanya perihal kepulangan Yazid.
"Baba ... kapan Baba pulang? Baba, kapan Baba pulang? Heuk, Baba ...."
Imran terdiam. Ia tidak bisa mengucapkan apa-apa. Tidak dapat memberitahu apa pun. Ia tidak tega mematahkan harapan anak kecil sekaligus anak sahabat dan orang kepercayaannya.
Bagaimana bisa, Imran dengan mudah mengatakan kepada mereka jika Yazid tidak akan pernah kembali lagi. Tidak akan pernah pulang. Imran terlalu penakut. Ia takut jika fakta ini membuat Yazia semakin menutup diri dan Hamza yang menjauh dari lingkungannya.
"Baba ...." Panggilan lemah yang keluar dari bibir pucat Yazia membuat Imran sedikit tenang. Setidaknya, bocah perempuan itu tidak terluka parah. Mendengar kabar dari Theve tentang Yazia dan Hamza, membuatnya tanpa berpikir langsung berlari menuju ke sini. Memastikan jika Yazia masih hidup. Namun, Imran menggigit bibirnya sendiri ketika menemukan beberapa luka gores dan darah yang telah mengering di beberapa tempat pada tubuh Yazia. Lelaki itu benar-benar tidak bisa melakukan apa pun. Dia tidak berdaya.
Imran semakin dipenuhi rasa bersalah. Tetapi, tidak ada yang bisa ia lakukan ketika satu-satunya cara mengetahui gerak-gerik 'mereka' dengan terjun langsung dalam arena yang 'mereka' sering lakukan. Namun, informasi itu didapat dengan pembayaran yang amat mahal—yakni, nyawa Yazid.
Satu surat berisi informasi berharga, senilai dengan nyawa manusia yang harus lenyap. Informasi itu akan dikirim khusus dan tersembunyi, sehingga terdapat penjagaan begitu ketat.
Di tempat tidur yang terbuat dari batang-batang pohon yang dibelah sesuai ukuran dan satu kain lebar berisi tumpukan jerami dan wol sehingga menjadi tempat nyaman untuk menidurkan diri. Yazia membuka mata perlahan-lahan, meski harus menahan sakit saat sorot cahaya muncul dari sela-sela atap rumahnya. Ia bisa merasakan, tangannya kaku sebab digenggam terlalu lama.
Yazia menghela napas. Tidak membuka suara. Ia tersadar namun memilih diam. Mencerna tindakannya terhadap Ramzan. Di hati kecilnya, Yazia tidak ingin melukai Ramzan sampai separah itu. Tetapi, ia tidak dapat menahan dirinya sendiri ketika Ramzan kerap berulang kali mengatakan jika Baba mati dan tidak akan pernah kembali.
Ramzan mengatakan jika Baba adalah orang gila yang pergi sendirian menghadapi ombak ganas di lautan. Yazia tahu fakta itu tanpa harus Ramzan teriaki seperti itu. Baba adalah orang yang aneh. Lelaki itu mencintai lautan seperti tempat tinggalnya. Saat ia ingin kembali memusatkan pikiran, kepalanya sakit dan suara mengaduh lolos begitu saja dari bibirnya.
Imran mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk dan tersenyum menatap Yazia yang telah sepenuhnya sadar. Imran bangkit dari duduknya dan mengangkat Hamza dan menggendongnya. Sebelum keluar, Imran berkata, "istirahatlah Yazia. Aku akan membawa Hamza ke rumah agar kau bisa beristirahat dengan tenang."
Yazia ingin menyanggah dan bangkit. Tetapi, ia tidak bertenaga. Kepalanya yang berat membuatnya hanya bisa tetap berada di tempat tidur. Yazia mengembuskan napas lagi. Ia mencoba menutup matanya lagi. Mengikuti saran Imran untuk beristirahat. Tetapi, ia malah teringat dengan percakapan antara dirinya dan Baba.
Mereka berdua duduk di batang pohon besar yang sudah ditebang dan diletakkan di pinggir pantai. Baba dan Yazia menatap hamparan laut luas dan gelombang laut yang terdengar seperti nyanyian.
Yazid tersenyum, menengok ke arah Yazia yang duduk tenang sambil mendekap boneka sederhana buatan Aisya—istrinya.
"Yazia suka melihat laut, tidak?" Ujar Yazid. Menunggu respon putrinya yang menatap lautan dengan sorot mata berbinar-binar.
Yazia mengangguk. "Yazia suka. Suka laut," gumamnya malu-malu.
"Baba juga suka laut seperti Yazia," timpal Yazid.
Yazia tidak menjawab pernyataan Yazid saat itu dan malah terfokus dengan pemandangan laut yang indah. Lalu, Yazid berkata kepada Yazia disertai senyum merekah.
"Baba akan menemani Yazia setiap Yazia ingin melihat laut. Baba akan selalu bersama Yazia. Bagaimana? Yazia mau melihat laut bersama Baba?"
Kala itu. Ia menjawab dengan antusias dan terselip harapan.
"Suatu hari nanti, Baba akan mengajak Yazia menaiki kapal besar sekali dan kita akan mengelilingi lautan bersama!" Ungkapnya seraya membuka lebar kedua tangannya.
Yazia menepuk tangan dan memeluk Baba. Ia berpikir ucapan Yazid akan jadi mantra yang bertahan lama. Namun, nyatanya tidak. Setelah sebuah surat dibaca Baba yang diberikan oleh Tuan Imran. Baba tidak pernah lagi membicarakan laut. Tidak lagi antusias mengajaknya melihat lautan. Baba seketika menjadi orang yang berbeda sepenuhnya. Keadaan rumah menjadi dingin dan mama sering sakit dan mengurung diri di kamar. Akhirnya Baba pergi—meninggalkan mereka semua. Tidak ada ucapan selamat tinggal, tawa bahagia, hanya suasana mencekam penuh kesedihan.
Yazia tidak mengerti mengapa. Tetapi, ia bisa merasakan bagaimana sedihnya Aisya—mamanya melepas kepergian Baba.
Hingga bagian paling buruk dalam hidupnya terjadi—Mama meninggal dunia dan Baba tidak pernah kembali setelah meninggalkan pulau.
Di sisi lain—Imran merasakan hatinya teriris saat melihat air mata mengalir dari kedua mata Yazia yang masih menutup. Lelaki itu menyeka lelehan air mata itu menggunakan ibu jarinya.
Maafkan aku. Seadanya, kata-kata itu keluar dengan mudah dari bibirnya. Namun, ia tidak memiliki keberanian sedikit pun. Ia benar-benar merasa seperti pecundang dan orang jahat. Lalu, Imran bersandar lemas di samping tempat tidur. Tanpa sadar, air mata mengalir dari pelupuk mata lelaki itu. Semua harus Imran lakukan untuk membebaskan semua orang dari cengkraman jahat permainan 'mereka'.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top