45. Ara

Angka memarkirkan mobilnya di bagasi kemudian mengajak Ara turun. Ara mengiringi setiap langkahnya memasuki rumah besar itu tanpa berkomentar. Tiba-tiba Ara menjadi cewek yang kalem.

“Udah pulang, Dek?” sambut Aluna dari ruang tamu ketika melihat Angka masuk, “eh ada Ara?!” sapa Aluna melihat Ara mengekor dibelakang Angka.

Ara tersenyum pada Aluna yang sedang menggendong seorang balita. Itu pasti anak dari putra pertama keluarga ini, pikir Ara. Ia masih ingat dengan penjelasan Hilmi mengenai keluarga ini sebelum dia berangkat makan malam dulu itu.

“Kenalin, ini namanya Aqila. Anaknya Kak Andika.” Aluna memperkenalkan Aqila pada Ara.

Tuh kan bener.

“Hai Aqila!” Ara menyapa Aqila ramah, Aqila tersenyum, menepuk-nepukkan tangannya senang bertemu dengan Ara.

Ara menghampiri Aqila, membelai lembut rambut anak itu kemudian meminta Aluna menyerahkan Aqila padanya. Ia ingin menggendongnya.

Dengan senang hati Aluna menyerahkan Aqila pada Ara. “Hati-hati ya, dia itu sering nangis kalau digendong orang baru,” peringat Aluna saat menyerahkan Aqila tadi.

Ara tersenyum senang saat menggendong Aqila. Anak itu begitu tenang di gendongannya, bahkan ketika diajak bicara Ara, anak itu sesekali menyahut dengan bahasanya yang kurang dimengerti oleh Ara.

“Mamanya mana, Kak?” tanya Ara yang membuat senyum di wajah Aluna mendadak menjadi mendung. Ara memang sengaja menanyakan hal ini.

“Mamanya udah meninggal, Ra,” jawab Aluna sendu.

Ara hanya mengangguk mengerti kalau ini adalah topik yang dilarang di keluarga ini.

Angka yang baru saja selesai berganti baju segera turun menghampiri Ara dan Aqila. Dia mengajak bicara anak kecil itu bersama Ara yang juga masih asyik menggendongnya.

“Wah, kayaknya kalian udah cocok aja nih jadi orang tua,” goda Aluna.

“Eh, maaf Kak, aku keasyikan sama Aqila jadi lupa deh sama dunia,” kata Ara saat menyadari kalau ia sudah mengabaikan Aluna.

Aluna tertawa, “santai aja, Ra. Kalau gitu Kakak minta tolong, ya. Tolong jagain Aqila sebentar, Kakak mau kedapur dulu.” Ara mengangguk. “Dan Angka juga tolong ya.”

Setelah itu Aluna meninggalkan mereka bertiga saja bersama Aqila.

“Ponakan lo lucu ya,” kata Ara memuji Aqila. “Kok lo gak pernah bilang sih kalau lo punya ponakan selucu ini?” protes Ara pura-pura kesal.

Angkasa tertawa, “gue kira lo gak suka anak-anak.” Ara mendelik kesal, “gue suka tahu sama mereka.”

“Sukaan mana lo antara anak kecil sama gue?” Ara terdiam sejenak, bingung hendak menjawab apa. “Jelas anak kecil lah, emang kapan gue pernah bilang suka sama lo?” sarkas Ara. “Aqila, Om kamu ini pede nya udah selangit. Jangan kamu tiru ya.”

“Tapi Tante Ara,” ucap Angka seolah menirukan suara balita berumur 3 tahun itu, “Aqila sayang banget sama Om Angka. Dia ganteng soalnya. Tante juga suka kan?”

Ara mendengus mendengar kenarsisan seorang Angkasa Farel Ardafa.

“Suara lo lucu tahu nggak,” Ara melirik Angka. Kemudian tertawa, “mending lo ikut kelas lomba stand up comedy aja deh, gue yakin lo pasti menang,” canda Ara.

Aqila menatap Ara bingung.

“Gak perlu ikut lomba itu juga gue udah menang,” ungkap Angka yang membuat Ara menaikkan sebelah alisnya. “Gue udah menangin hati lo.”

Kalimat itu membuat Ara terbungkam.

Sekali lagi Ara merasa wajahnya memanas.

Ia merasa dirinya sekarang benar-benar receh. Hanya karena gombalan receh seperti itu pipinya sekali lagi memerah seperti kepiting yang di rebus.

“Loh, muka kamu kenapa, Ra? Kok merah banget?” Aluna yang baru datang bertanya.

Tuhan, sembunyikan Ara dimana saja sekarang juga!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top