40. Ara

Ara menikmati ketika bercengkrama bersama dengan ibu kandungnya di taman rumah itu. Mereka saling berbagi cerita kemudian tertawa bersama.

“Maafkan Mama sayang, karena tidak bisa merawat kamu.” Laila, ibu kandung Ara menundukkan kepalanya.

Ara menatap ibunya lembut kemudian tersenyum, “itu bukan salah Mama,” jawab Ara cepat. Ia berusaha untuk mengerti dengan keadaan.

Ya, walaupun Ara pernah menyalahkan orang tuanya yang tidak menyayanginya dan bahkan sudah menjualnya sejak baru dilahirkan, hari ini ia benar-benar memaafkan orang tuanya. Tak ada lagi dendam yang tersimpan dalam hatinya seperti yang selama ini ada.

Jawaban Ara membuat Nyonya Wijaya itu terharu, dipeluknya sekali lagi putrinya yang tidak pernah ia peluk selama ini. Ia menyayangi semua anaknya tapi ia hanya bisa merawat dua saja dari mereka semua. Ketidakberuntungan membuatnya harus terpisah dengan anak-anaknya.

“Mama!!!!” teriakan cempreng itu membuat Laila mengendorkan pelukannya kemudian melepaskannya.

“Sepertinya mereka sudah datang,” kata Laila tersenyum, ia segera melangkahkan kakinya meninggalkan Ara yang masih terpaku dengan keadaan yang tiba-tiba saja berubah itu.

Mereka? Adik-adiknya?

“Ma, masa Rena tadi dibilang jelek sama Alvin,” adu seorang gadis pada ibunya. Ia duduk dipangkuan ibunya dengan manja dan sang ibu sama sekali tidak keberatan dengan sikap manja putrinya tersebut.

Sedangkan gadis yang satunya, dia sibuk memainkan ponselnya membuka sosial media. “Lo emang jelek, Na,” komentar Reni, gadis yang satunya kemudian ia kembali fokus pada ponselnya membalas pesan-pesan yang masuk.

“Kalo gue jelek lo juga dong. Kan muka lo sama kayak gue,” balas Rena sambil menjulurkan lidahnya. Kemudian Rena dan Laila tertawa bersama.

Ara terhenyak melihat pemandangan itu. Ia merasa seakan keberadaannya disana kasat mata. Tak seorang pun yang melirik ke arahnya padahal ia sedang menatap mereka.

Tiba-tiba saja ia merasa terluka.

Apakah ia memang tidak diizinkan untuk bahagia lagi?

Sesaat kemudian Laila tersadar kalau Ara juga ada disana, ditatapnya putrinya itu dengan lembut. Ara tak membalas tatapan itu, ia hanya menatap datar pada Laila. Kecewa karena menyadari dirinya begitu mudah untuk dilupakan bahkan oleh ibu kandungnya sendiri.

Rena mengikuti arah pandangan Laila, diikuti Reni. Mereka menatap penasaran pada perempuan yang sedang ditatap lamat oleh ibu mereka itu.

“Dia siapa, Ma?” tanya Rena.

“Dia-“ belum sempat Laila menjawab, Tirta lebih dulu menginterupsi, “Kamu mau apa kesini?”

Pandangan semua orang sontak beralih ke arah Tirta. Ara juga mengikuti ara pandangan itu. Dia menatap ayah kandungnya itu datar, ternyata begini sambutan yang ia terima dari ayahnya di kunjungan pertama nya? Sepertinya ini akan menjadi kunjungan terakhir Ara ke sana.

“Mohon maaf saya sepertinya mengganggu. Saya permisi,” pamit Ara bergegas hendak meninggalkan kediaman keluarga Wijaya tersebut.

“Jangan pernah lagi kamu datang kesini. Apa tidak cukup kamu dengan harta yang dimiliki ayah angkat kamu itu?”

Bahu Ara bergetar mendengar kalimat tersebut. Hatinya terluka. Mati-matian ia menahan tangis disana.

“Sekali lagi saya mohon maaf atas kehadiran saya yang sangat tidak diharapkan ini. Dan juga saya tidak perlu harta yang berlimpah, Tuan,” Ara menatap Tirta samar, “yang saya perlukan sebenarnya adalah kasih sayang yang berlimpah dari Tuan dan Nyonya sebagai orang tua saya. Tapi sepertinya harapan itu terlalu muluk untuk jadi kenyataan. Saya permisi.” Ara pergi.

Tirta bungkam mendengar jawaban Ara tersebut. Tidak ada emosi dalam nada suaranya. Tapi satu hal yang siapapun disana bisa menangkap maksud dari Ara adalah ia terluka atas perlakuan mereka semua.

Menyedihkan memang sejak lahir ia dibuang oleh orang tuanya kemudian saat ia sudah merasakan kasih sayang yang berlimpah dari orang lain, orang itu pergi dan yang ditinggalkan hanyalah sebuah kepahitan. Lalu saat ia mengharapkan kasih sayang yang sama dari seseorang yang memang wajar memberikannya, ia justru harus menelan kepahitan seperti ini. Benar-benar menyakitkan sekaligus menyedihkan.

Sepertinya, dendam yang sebelumnya memang hilang. Tapi ada satu luka lagi yang bertambah dalam hati Ara membuat ia semakin meringis pada hidupnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top