8. Kindly Emotional

Dua jam Caca bercerita kepada kami. Ia sempat menangis, tetapi tidak lama. Bukan menangis sebab dilecehkan, melainkan ia menangis kecewa, di hari pertamanya berkuliah ia sudah banyak berbohong kepada keluarganya. Kegiatan ospek yang harusnya menjadi "gerbang" untuk Caca mengenal perkuliahan, malah ia lewatkan, dan memilih mengurung diri. Caca kecewa karena tak bisa menjaga diri.

Ini masih permulaan. Tetapi, apa yang dialami Caca berdampak begitu kompleks. Setelah ini bisa saja ia dimusuhi karena ingkar janji pada temannya, yang menunggu Caca di gerbang utara sebelum ospek dimulai. Mungkin bisa juga ia akan kena "semprot" oleh kakak tingkat begitu mengikuti ospek di tingkat jurusan. Caca berpikir sebegitu jauhnya, bahkan anak itu nyaris menyerah.

Ya Tuhan, kalau boleh jujur, kepalaku pening. Mendengarnya saja aku mau marah setengah mati.

Setelah obrolan panjang itu, aku dan Farrel mengantar Caca pulang. Hanya sampai depan gapura wilayah indekosnya. Karena tidak terlalu jauh, kami pun berjalan kaki.

"Kak Anya, Kak Farrel, makasih banyak, ya. Maaf kalau Caca ngerepotin hari ini," ucap Caca.

"Santai, Ca. Makasih juga udah mau cerita, yaa ... mungkin ini gak gampang buat Caca tapi you do such a good thing. Inget, ya, semua yang terjadi, bukan salah kamu," balasku sambil mengusap lengannya.

"Kalau ada apa-apa, Caca bisa hubungin kami, ya." Farrel menambahkan.

Kemudian gadis itu masuk ke dalam jalan untuk menuju indekosnya. Aku menunggu sampai punggungnya tak lagi terlihat, baru memutar badan untuk pulang juga.

Saat sibuk memesan ojek melalui ponsel, sekonyong-konyong Farrel berdiri di hadapanku.
"Nya, sorry, ya, tadi telat soalnya ada kasus baru. Di jurusan lo juga," ucapnya tiba-tiba.

Tentu saja, aku terkejut. "Kayak Caca juga?"

Ia menggeleng. "Sedikit lebih parah. Dia pedekate mulanya, ngakunya, sih, Bayan. Terus semalem, pelakunya ngajak video call dan ternyata malah masturbasi. Tapi mukanya enggak kena kamera, jadi enggak keliatan."

Aku berdecak jijik. "Gila, harus banget video call kayak gitu? Dia gak bisa ngelakuin sendiri aja apa?"

"Ya, dia nyari kenikmatan lain, makanya kayak gitu."

"Itu korbannya siapa? Gimana keadaannya? Kok ke gue enggak ada laporan?"

"Diva namanya. Seangkatan sama kita. Barusan Bayan digebukin sama temen-temen Diva, cewek semua lagi."

Ah, aku tahu si Diva itu. Anak kelas B, yang paling menonjol di antara teman-temannya. Rambutnya ungu agak abu, sedikit keriting, dan sering digerai sampai menutupi punggung.

"Bayan lagi di klinik, sih, tadi. Musa lagi coba ngomong sama temen-temennya Diva, karna Diva sendiri ngerasa malu buat ketemu orang," jelas Farrel lagi.

Ya Tuhan. Ini semakin rumit. Jika banyak orang yang tahu, artinya sudah benar-benar mengancam kelangsungan himpunan mahasiswa komunikasi. Kalau tidak segera menumpas siapa pelakunya, bisa jadi organisasi kami akan kena sanksi karena tersangka merupakan bagian dari HMK.

"Ini udah kacau banget, gila," ucapku bicara sendiri. Bagaimanapun caranya, pelaku harus segera ditemukan. Pasti orangnya ada di sekitarku, atau setidaknya mengenal orang yang tahu betul tentang HMK.

"Lo mau apa, Nya?" tanya Farrel saat aku sibuk mengotak-atik ponsel.

"Gue harus ngomong sama Musa, cara kerja dia ini udah gak efektif."

"Anya, yang mimpin kasus ini Bayan. Bukan Musa. Kalaupun lo reach out Musa sekarang, percuma, dia lagi ngobrol sama temen-temennya Diva. Kasus ini lebih rumit lagi, karna pelaku selalu narik foto porno yang dia kirim ke Diva, dan video call masturbasi itu juga enggak ada record-nya," jawabnya dengan nada halus, tetapi seperti menahan jengkel. "Mending lo gue anter balik aja, ya?"

Aku menatapnya sinis, agaknya ada yang salah dari lelaki ini. "Kok lo jadi ngatur gue, ya?"

"Bukan begitu, Riana. Gue tau kasus ini dari awal, gue tau gimana Bayan ngebela korban. Gue cuma berusaha hargain posisi Bayan." Ia menatapku serius. Tangannya berada di bahuku, mencoba meyakinkan agar aku menurutinya.

"First of all. Gue sangat berterima kasih kalau lo panggil gue Anya, bukan Riana. Tolong, ya, bersikap kayak lo baru ketemu gue kemarin. Jangan seolah-olah nunjukin kita pernah akrab dengan manggil gue pake panggilan khusus, terlepas nama gue emang Adriana," sahutku seraya menepiskan tangannya yang menyentuh bahuku. "Sorry, gue terlalu sentimen. Gue lagi mumet."

"It's ok. Gue ngerti." Ia menggaruk tengkuknya. "Sorry juga gue terlalu ... merasa dekat sama lo."

Suasana menjadi canggung. Mungkin kami berdua sama-sama lelah dan reaksioner dengan kasus yang terjadi.

"Ya udah, gue balik dulu," pamitku lebih dulu. Bagaimanapun, menghadapi situasi seperti ini harus dengan kepala dingin. Berlama-lama dengan Farrel hanya menjebakku dalam suasana canggung, dan memunculkan lagi perasaan-perasaan tak nyaman karena masa yang dulu.

"Iya, gue anter aja, ya?"

"Gak perlu."

"Nya, tapi anak HMK lagi darurat pelecehan seksual."

"Ya, betul, kok. Tapi, pelakunya juga bahkan bisa jadi lo, kan?"

Ia terkejut bukan main sepertinya.

"Terlalu banyak kemungkinan. Tuduhan pelaku itu bisa ke siapa aja yang kenal pengurus HMK. Termasuk gue sendiri," tambahku, "Udah, ya, Rel. Gue capek, kita enggak mungkin debat perkara pulang masing-masing, kan?"

Kami berdua saling tatap. Aku dengan rasa kesalku, dan ia dengan penolakannya atas apa yang kurasakan. Aku tidak mau berdusta, aku benar-benar lelah. Menghadapi Farrel, rasanya seperti mengerjakan ujian matematika lima puluh soal dalam waktu satu jam. Pusing, dan sesak.

"Anya, masih di sini?"

Suara tanya itu menginterupsi. Siapa pun yang menyapaku, aku ingin berterima kasih. Bersitegang antara aku dan Farrel seperti dilerai, kami sama-sama menoleh pada sang empunya suara.

Angga. Baguslah jika ia ada di sekitar sini.

"Iya, ini baru mau balik," sahutku seraya tersenyum.

"Oh, ada apa nih? Kok, sama ketum HMP?"

"Eh, Bang Angga." Farrel menyahut, "Yaa, biasa, Bang. Rencananya, sih, sospol HMP mau collab sama sospol HMK, ya, Nya? Ini kita abis nganter bocah, kasian balik sendiri."

Baiklah, alibinya pintar juga. Aku tak perlu mencari alasan untuk membohongi Angga, hanya perlu mengangguk, mengiyakan. Aku tidak mungkin memberi tahu Angga yang sebenarnya, kembali lagi seperti yang tadi Farrel ucapkan, bagaimanapun Bayan adalah pemimpinnya dan kami tidak boleh melangkahi pemimpin.

"Oh. Tentang apa tuh?"

"Diskusi santai aja, Bang. Tentang pemilu presma," jelas Farrel, "hasil survei kondisi objektif kemarin, sih, anak HMP sama HMK banyak yang belum paham konsep presma, apalagi maba. Momentumnya juga cukup deket sama pilpresma."

"Terus urgensinya kalian collab, apa? Kan, diskusi santai begitu mah bisa jadi kegiatan internal aja."

Farrel melirikku. Sepertinya ia kehilangan ide untuk berargumen, dan tidak menyangka Angga akan mengkritisi hal ini. Sial, di saat kepalaku pening begini malah dititah improvisasi!

"Bayan sama Farrel mau maju ke pilpresma, Bang. Tapi itu baru planning aja, sih, belum ditinjau lagi," sahutku turut berbohong. Biar sajalah, nanti kalau Bayan tidak ingin mencalonkan diri pun bisa dipikirkan lagi apa alibinya.

"Wah, Bayan mau maju?" kata Angga terkejut. "Baguslah, dia berprinsip bocahnya, tapi disuruh jadi ketua senat kemarin kagak mau. Gue gak nyangka, sih, dia bakal maju sama lo." Angga tertawa pelan sambil menepuk-nepuk bahu Farrel.

"Yaa ... kayak yang Anya bilang, Bang. Harus ditinjau lagi, mumpung masih semester depan juga."

"Ya, okelah. Emang harusnya begitu," komentar Angga. Kemudian ia melirikku sambil tersenyum, lalu berkata, "Jadi mau langsung balik, Nya?"

Aku mengangguk, "Udah pegel banget, pengen cepet-cepet rebahan."

"Ya udah, yuk," ajak Angga. Tentu saja aku tidak menolak.

Setelahnya, aku dan Angga pamit pada Farrel. Kami berdua berlalu, berjalan sambil mengobrol ringan. Yaa, hanya seputar sedang apa Angga di sekitar sini, dan membahas "proker" yang tadi aku dan Farrel jadikan alibi.

🌵🌵🌵

Presma: Presiden Mahasiswa
Pilpresma: Pemilihan Presiden Mahasiswa
Proker: Program Kerja

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top