38. Almost Done
"Ikut gue."
Algi menarik tanganku, dengan segera aku menepisnya. "Lo kira gue apaan ditarik begitu?"
Algi berdecih, dahinya mengerut sebab marah. "Lo jangan macem-macem sama gue, Nya!"
Giliranku yang berdecih. "Bukannya lo yang macem-macem sama gue, ya?"
"Gue bisa lakuin yang lebih parah. Lagian lo tau apa, sih? Lo punya bukti kalau gue yang ngelakuin pelecehan itu?"
"Pertanyaan lo malah memperjelas kalau lo sama geng lo itu emang cabul, bajingan, jalang, makhluk aneh yang gak punya otak dan harga diri." Aku maju selangkah mendekat padanya. "Buat apa lo nanyain bukti? Lo kira gue bego, naikin kasus cuma berdasarkan asumsi?"
Ia semakin murka. Wajahnya memerah bersamaan dengan urat-urat di keningnya yang menonjol. Sedetik kemudian, ia menjambakku, lalu menyeretku menuju meja yang ia tempati.
"Lo yang lacur, tolol! Hidup lo gak guna kalau bukan karna badan lo, anjing!"
Suaranya tidak begitu keras, namun cukup menarik atensi pengunjung lain. Orang-orang menatapku risau, sebagian dari mereka ketakutan, dan sebagian lagi mengarahkan kamera ponselnya ke arahku.
Sakit yang kurasakan karena cengkeraman Algi tak ada artinya. Saat ini yang terpenting adalah menahan Algi di dekatku, supaya bisa kuseret dirinya ke penjara.
"Seenggaknya gue bukan sampah yang kacau sendirian, Algi. Temen-temen lo mana? Jangan-jangan mereka juga takut sama biji lo yang busuk itu?"
Algi menamparku, mendorongku ke arah meja pengunjung lain. Untungnya tidak sampai mengenai hidangan mereka.
"Anjing lo! Cewek murahan!" teriaknya.
Beberapa staf restoran datang melerai, menjauhkan Algi dariku. Tentu saja cowok itu melakukan perlawanan, ia nyaris menghajar para staf yang mencoba menahannya.
Usai meminta maaf kepada pengunjung yang mejanya tersenggol olehku, gegas aku menelepon Bayan. Napas tersengal mengiringi ucapanku kepadanya, tentang Algi yang membuat kekacauan.
"Lepasin gue, anjing! Gue gak ada urusan sama lo!" Algi memberontak kepada tiga staf lelaki yang menahannya. Terjadi adu mulut di antara mereka, namun jelas, Algi tak mau kalah.
Tidak lama Bayan, Musa, dan Farrel datang. Bayan bicara kepada staf yang menahan Algi, menjelaskan singkat tentang lelaki durjana yang tengah buron itu.
"Maaf semuanya. Orang ini pelaku kekerasan seksual, dia menghindari panggilan dari polisi dan malah membuat kekacauan di sini. Sekali lagi, maaf telah mengganggu kenyamanan pengunjung dan pegawai restoran," ucap Musa lugas. Algi sendiri masih ditahan oleh ketiga staf, dan juga Bayan yang mengekori mereka untuk dibawa ke tempat lain.
Para pengunjung restoran bersorai menyahuti Musa, cowok itu berkali-kali meminta maaf karena beberapa orang berteriak merasa terganggu atas kekacauan tadi.
"Apa yang sakit, Nya?" tanya Farrel. Ia langsung menghampiriku tadi, membantuku duduk dan membersihkan celanaku yang kotor saat terjatuh akibat didorong Algi. "Lo diapain? Apa yang lo rasa sekarang?"
Aku menatapnya nanar. Rasa-rasa menyakitkan yang aku kubur, seolah kembali naik ke permukaan, meminta untuk diteriakkan bahwa perasaan buruk ini tak lagi tertahankan.
"Mending kita bawa Algi ke kantor polisi sekarang, CCTV di sini cukup jadi bukti kalau dia emang problematik, kok," ucapku, yang akhirnya mampu mengendalikan diri.
"Itu udah pasti, Anya. Sekarang yang penting, lo jangan denial kalau lo abis diapa-apain. Dari luar lo bisa aja keliatan sehat, tapi organ dalam lo, kan, gak keliatan."
"Gue gak apa-apa, Rel. Cuma kaget aja abis jatoh tadi."
Farrel berdecak. Wajahnya terlihat kesal, sampai ia berbalik badan—memunggungiku. "Algi brengsek," desisnya yang masih bisa kudengar. Punggungnya naik turun, sebelah tangannya ia letakkan di kepala. Cowok itu terlihat menghubungi seseorang.
"Gue dapet video dari pengunjung juga," kata Musa begitu menghampiriku, lalu memperlihatkan ponselnya. Penyerangan Algi terhadapku terekam jelas, meskipun suaranya tidak begitu terdengar. "Kita langsung ke polresta aja, sekalian lo visum di RS Bhayangkara, Nya."
"Bayan gimana? Dia ikut sama Algi dibawa sama mas-mas barusan," sahutku.
"Iya, ya. Kita pake motor tadi ke sini. Naik taksi ajalah, biar langsung."
"Zidan lagi ke sini, bawa mobil," ujar Farrel seraya mendekati kami . "Gue juga udah kabarin Om Andri soal kejadian ini."
Om Andri, adalah ayahnya Winda, sekaligus pengacara kami.
"Zidan anak teknik itu, kan?" tanya Musa.
"Iya. Dia udah di parkiran kayaknya, tadi kebetulan lagi ada di seberang, sih."
"Kalau gitu gue nyusulin Bayan dulu aja," usul Musa yang sontak kami setujui.
Aku dan Farrel lantas berjalan menuju parkiran. Sejak tadi, kami menjadi pusat perhatian. Jujur aku malu setengah mati. Pasti beberapa dari mereka sempat berpikir bahwa aku dan Algi menjalin hubungan, lalu bertengkar di keramaian. Astaga, membayangkannya saja membuatku merinding. Entah penjelasan Musa tadi didengarkan atau tidak.
Sampai tiba di parkiran, pasang mata pengunjung tak lepas barang sejenak, mereka terus menatap setiap gerakanku. Mau tak mau aku berjalan agak menunduk, mengisyaratkan bahwa drama telah usai.
"Anya, butuh sesuatu?" tanya Zidan. Barulah aku berani mendongak untuk menjawabnya.
"Cuma capek aja, Zid."
"Sabar, ya, Anya. Pelakunya udah siap dikebiri, kok." Sekonyong-konyong, Musa bersuara di belakangku. Ia bersama Bayan mengapit Algi yang tengil, sesiapapun yang melihat pasti ingin menendang wajahnya, atau setidaknya meludahi sajalah!
Lagi-lagi, aku mengeluh. Terlebih ketika Algi bergumam, "Sabar, yaa ... Anya cantik."
Lama-lama, benci juga mendengar pujian terhadap fisik perempuan. Percuma menjadi cantik kalau hanya berakhir untuk dilecehkan. Algi sialan, tidak cukupkah ia mengedit wajahku menjadi bintang porno? Harus juga ia mempermalukanku di depan publik seperti tadi?
Farrel keluar dari SUV di hadapan kami, ia membawa sekotak susu cokelat. Begitu melihat ke arah Algi, ia kembali ke dalam mobil dan keluar dengan tangan kosong.
"Anjay. Lo yang punya Range Rover?" kata Algi, meledek, sambil menunjuk Zidan dengan dagunya.
"Kenapa? Lo gak kebeli ginian?" sahut Zidan angkuh. Ia lalu membukakan pintu belakang, menyilakan Musa dan Bayan untuk masuk membawa Algi.
"Ayo, Nya!" seru Farrel, mengajakku untuk ikut di kursi kemudi bersamanya.
Tubuhku merinding begitu membayangkan berada satu mobil dengan iblis cabul. Entah ilmu goib apa yang akan ia gunakan untuk membuatku semakin terhina.
Akhirnya, aku menghampiri Musa melalui jendela mobil. "Motor Farrel dibawa Zidan, kan? Motor lo gue yang bawa aja, Mus."
Bayan yang justru terkejut, ia sedikit terperanjat. "Gak usah mikirin motor, Neng. Udah, ikut aja sini."
"Najis amat gue satu udara sama dakjal sangean!"
Musa terkekeh. "Nih, hati-hati. Santai aja bawanya." Ia menyodorkan kunci motor beserta STNK.
"Eh, Nya, si Musa motornya kopling, lho. Emang bisa bawanya?" kata Farrel, ia sudah duduk di balik stir mobil.
Sebelumnya, Musa pernah mengajariku untuk mengendarai motornya. Bukan hanya aku, Rahma dan Winda juga. Biar keren, katanya.
Belum sempat aku menyahut, Algi kembali ikut campur. "Mending lo yang gue bawa, Nya."
"Mulut hasil makan duit korup mah beda, ya." Farrel menyahuti Algi. "Lo diem, anjing. Kali ini bapak lo gak akan bisa nolong. Lo mati dikebiri juga, bapak lo gak akan tau."
Secara ajaib, Algi kehabisan kata. Sedikit puas melihatnya gentar seperti itu.
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top