36. But At Least
Sudah seminggu sejak laporan kepada polisi itu dibuat, belum ada kabar apa pun yang aku terima. Farrel yang katanya akan membantu, selalu berkata bahwa dirinya masih bekerja. Ia menginformasikan apa-apa yang dirinya lakukan selama "bekerja", misalnya mengirim foto tengah bertemu rektor---ayahnya Algi, atau datang ke kantor tempat ayahnya Daniel bekerja.
Selama seminggu ini juga, aku masih dilabeli sebagai kupu-kupu malam. Beberapa orang terang-terangan menghinaku, dan beberapa lainnya sengaja menatapku jijik. Rasanya memang menyakitkan, tetapi aku tak punya waktu untuk meladeninya.
Dosen pembimbing akademik sudah dua kali memanggilku. Pertama, menanyakan kejelasan tentang gosip tentangku yang beredar. Kedua, mendengar dan menerima bukti dari saksi-saksi seperti Bayan-Musa, Zafi, hingga Farrel. Bu Sukma, dosen yang kumaksud, kini mendukungku. Beliau membantu menyebarkan kebenaran kepada dosen-dosen lain, meskipun pada akhirnya tidak mampu untuk mengangkat kasus ini ke media, sebagaimana yang diinginkan Pak Yanto.
Entah kejahatan apalagi yang disembunyikan kampus ini. Menangani satu kasus ini saja, membuatku nyaris mati berkali-kali.
"Nya! Lo udah tau ini belum?" Zafi tergopoh-gopoh menghampiriku yang tengah bercermin di toilet kampus. Ia menyodorkan layar ponselnya kepadaku.
"Apaan? Itu lo nunjukkin lockscreen doang."
"Oh, sorry." Zafi kemudian mengotak-atik ponselnya, dan menyodorkannya lagi kepadaku. "Ini akun si Made, anjir. Dia bikin thread tentang muka lo yang diedit jadi bintang porno."
"Made? Made sospol?" tanyaku skeptis.
"Iyalah! Siapa lagi di HMK yang namanya Made emang?"
Bukan apa-apa. Masalahnya, Made tidak pernah bertindak tanpa memberitahuku lebih dulu. Meskipun-kuakui-dirinya jauh lebih kritis dan kompeten di bidang sosial-kemasyarakatan daripada aku, tetapi ia selalu menyadari statusnya yang hanya anggota divisi.
"Tweet-nya rame, njir. Baru dua jam yang RT udah tiga ratus," imbuh Zafi.
"Kirim link-nya, Za. Kalau ada yang missed bisa kacau, sih. Made gak info apa-apa ke gue soalnya."
Sambil berjalan keluar dari toilet, aku membaca utas yang dibuat Made. Dadaku bergemuruh, aku terharu. Tidak menyangka Made akan bertindak sejauh ini. Di lain sisi, aku justru takut Made akan terkena imbasnya karena menyebarkan berita kekerasan seksual ke media dengan terang-terangan.
Dalam tulisannya, yang cukup membekas di kepalaku, ia berkata: "Korban terpaksa bungkam untuk mendapat yang dibutuhkan (baca: terapi), lalu, salah satu pejuang hak korban saat ini dituding sebagai kupu-kupu malam. Lagi-lagi, peran si kapitalis."
"Lo gak ada kelas, Nya?" Zafi mengalihkan konsentrasiku.
Aku menggeleng. "Sekarang kelas Pak Rudi, tapi diganti jadi bikin esai."
"Gue mau ke sekre UPM. Musa bilang kalau dia nunggu lo di lobi. Lo jadi nengok Dito, kan?"
"Jadi."
"Ya udah. Tuh si Musa ramean nunggu lo, gue duluan, ya." Zafi pergi melalui pintu selatan, sedangkan Musa menunggu di dekat pintu utara.
Kami berpisah ke arah yang berlawanan. Dengan perasaan yang masih haru, aku menghampiri Musa bersama Bayan dan Farrel.
"Mus," panggilku lirih.
"Eh, Nya. Lo udah baca thread-nya Made?"
Aku mengangguk kecil. Wajah Musa terlihat cerah, mungkin ia bersyukur karena hal ini akan membantuku lepas dari gosip yang beredar.
"Roberto yang ngide sebenernya. Sengaja pake akun si Made, karna akun dia pernah bikin thread si Jessy, takutnya publik gak percaya," tambah Musa.
Aku tersenyum tipis. "Roberto sialan. Pantesan, Made gak bilang apa-apa ke gue."
"Gak apa-apa, atuh. Semoga wèh abis ini orang-orang gak bully kamu lagi, terus kasusnya cepet beres," sahut Bayan.
Senyumku makin rekah. Semoga saja yang dikatakan Bayan terwujud.
"Nah, Rel. Jobdesk lo nambah satu, pastiin si Made aman-aman aja setelah bikin thread itu, ya," ujarku pada Farrel.
"Baik, Mbak. Sebelum itu, Anda tandatangani kontrak ini dulu, ya. Biar ada hitam di atas putih." Ia mengeluarkan selembar kertas berjudulkan perjanjian kerja.
Ada saja gebrakan baru dari si brengsek ini. Tanpa basa-basi, aku membaca kontrak tersebut.
"Konglo matre." Bayan berdecih.
"Lo kudu bisa baca peluang, Yan. Baru ngasilin duit," sahut Farrel bangga.
Menyebalkan. Aku memaksa Farrel berbalik badan, memanfaatkan punggungnya sebagai alas untuk tandatangan di atas surat perjanjian yang telah dibubuhi materai tersebut. "Karena pasal di situ semua make sense, nih, gue sign!" Kuserahkan kertas tadi kepadanya.
Ya. Untungnya isi perjanjian tersebut persis dengan yang dibahas minggu lalu. Malah ia menambahkan bahwa aku bisa melunasinya kapan saja, sesanggupnya aku. Jadi, why not?
"Terima kasih, Mbak Anya." Farrel tersenyum bangga lagi, dan menyerahkan satu rangkap surat perjanjian tadi kepadaku. "Yan, Mus, ini yang disebut manfaat hutang untuk menjaga silaturahmi. Paham, kan?"
"Kampret!" Musa tertawa. "Anjir, emang brengsek ini orang, Yan."
Sial. Aku masuk jebakannya.
"Sabar, ya, Neng Anya. Kalau batalin kontrak gak kena penalti, kan?" kata Bayan.
"Oh God." Aku mengeluh. Farrel mencantumkan penalti yang cukup besar, karena kupikir ia sudah memberi kelonggaran agar aku dapat mencicil upahnya. Sial.
"Ya udahlah, kita mau nengok Dito di yayasan, kan?" Kucoba mengalihkan pembicaraan.
Dito saat ini tinggal di yayasan peduli bipolar. Ia didiagnosis mengidap bipolar sejak lama, dan akibat tekanan yang didapat dari komplotan Angga, ia harus menjalani terapi karena PTSD. Sebelumnya, kelompok cabul itu mem-bully Dito, lalu sengaja menggunakan identitas Dito sebagai dalang dari perbuatan bejat mereka. Rencana mereka, jika suatu waktu terungkap, maka Dito yang akan menanggung semuanya.
Dito hanya punya satu orang kakak yang sibuk bekerja di perkebunan sawit, jauh dari tempat kami saat ini. Tidak mungkin juga baginya kembali ke indekos, terlalu berbahaya karena pelaku pasti mengejarnya.
"Iya, ayo." Musa beranjak, menandakan kami harus segera berangkat.
Baru beberapa langkah kami berjalan, Tari datang dari pintu utara. Wajahnya terlihat lelah, rambutnya pun tidak tertata. Ia kenapa?
"Farrel!" panggilnya seraya menghampiri cowok itu. "Lo mau ke mana lagi?"
"Gue ada urusan," jawab Farrel tak acuh.
"Please, Rel. Tolongin gue. Gue gak tau harus ke siapa lagi," kata Tari memelas.
Musa dan Bayan merautkan kebingungan. Terlebih aku, mengapa bisa Tari ada di sini?
"Kenapa, Tar?" tanyaku. Bagaimanapun, ia masih saudariku. "Gue bisa bantu apa?"
Tari melirikku sinis. "Bukan urusan lo, Nya. Lagian, lo pasti gak akan ikhlas bantu gue."
"Lo kenapa?" tanyaku lebih menyelidik.
"Gak usah sok peduli, Nya. Lo cuma caper karna gue deket sama Farrel, kan?"
Aku mengernyitkan dahi. Aku salah ternyata. Apa yang kulakukan ... astaga, mencari perhatian Farrel katanya? Tari tidak bisa mencurigaiku lebih epic lagi, kah?
"Gue emang lagi ada masalah. Tapi gue gak lebih menyedihkan dari lo, Nya. Sekarang gue ngerti, sih, kenapa lo dilecehin." Ia tersenyum bengis. "Lo sendiri, jalan sama tiga cowok. Gak aneh jadi korban. Lo aja ngundang-ngundang."
Mendengar itu, keinginan terbesarku adalah menampar wajahnya dengan batu bata. Agaknya, itulah yang diharapkan Tari, ia ingin melihatku murka. Memikirkan hal itu aku tertawa pelan. Sebegitu inginnya ia melihatku kesal sampai berucap tanpa dinalar.
"Sekolah dua belas tahun, kuliah hampir enam semester. Isi otak lo segitu doang, Tar? Pengalaman hidup lo sesempit itu sampe menanggapi opresi ke perempuan masih pake ideologi zaman purba? Feminisme sekarang udah jalan ke gelombang tiga, loh." Aku terkekeh pelan. "Lo bener, gue emang menyedihkan. Tapi untungnya gue gak tolol."
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top