35. The Card

Aku, Bayan, dan Musa sudah tiba di gedung fakultas. Kami akan menemui Pak Yanto, dan berkata terus terang bahwa kasus ini sudah tak dapat lagi ditutupi. Lagipula, para mahasiswi yang "sial" juga termasuk aku, sudah dapat lepas dari konsultasi intensif dengan psikiater.

Sudah waktunya kasus ini naik ke permukaan. Tertangkapnya Angga memberi kami banyak fakta yang membuat semuanya lebih jelas, dan yang terpenting dari kupas tuntas kasus ini adalah Dito masih selamat. Kasus ini benar-benar akan merenggut nyawa seseorang jika terus ditutup dari khalayak.

"Bapak lagi ada tamu dulu," kata petugas tata usaha sebelum kami memasuki ruangan Pak Yanto.

Akhirnya kami bertiga duduk di selasar, sembari menyiapkan surat keterangan dari Dokter Nanda, dan berkas lainnya yang mendukung alasan kami untuk segera menuntut pelakunya.

"Mus, Nya, kita tunggu di sebelah sana, yuk," ujar Bayan sambil menunjuk ke arah lobi.

"Kejauhan, jir. Takutnya ada yang nyerobot pas takunya selesai," sahut Musa.

"Ada yang harus saya omongin, rada privasi ini mah."

Aku dan Musa menatap Bayan dengan bingung. Ada apa lagi, sih?

Bayan terlihat begitu gusar. Di lain sisi, matanya menegaskan bahwa dirinya tidak bercanda. Alhasil kami menuruti kemauannya untuk berpindah ke lobi.

"Saya tau saya salah, saya minta maaf pisan," kata Bayan begitu kami tiba di lobi.

"Maksudnya apa, sih, Yan?" sahutku spontan, dengan nada yang sedikit sinis.

Bayan hanya menunduk. Kakinya tidak bisa diam, terus menepuk-nepuk lantai.

"Lo ngapain di belakang kita?" tanya Musa seraya mengangkat wajah Bayan. "Lo bikin salah apa?"

"Sebelum Angga ketangkep, saya udah tau kalau pelaku aslinya memang si Daniel, Ricky, sama Algi. Dari awal saya udah tau."

Musa mengerutkan dahinya, pandangannya tak lepas dari Bayan. Aku pun sama terkejutnya, perasaan marah dan kecewa membuncah sudah.

"Terus?" tanya Musa sinis.

"Si Algi itu anaknya Pak Firman, wakil rektor dua. Ibunya si Daniel anggota DPR, bapaknya sekretaris mentri. Si Ricky mah bapaknya polisi lalu lintas biasa, jabatannya cetek. Kalau si Angga, anak kuli bangunan."

Dari ucapan Bayan, tergambarkan olehku bahwa para tersangka itu punya relasi yang tidak biasa. Di luar jangkauan kami sebagai mahasiswa, sekaligus rakyat biasa.

Algi dan Daniel tersangka utama yang memiliki ide kejahatan. Sementara Ricky dan Angga ikut membantunya untuk mendapatkan keuntungan finansial.

"Daniel sama Jovanka temenan. Mereka pemilik asli Mindoset, walaupun secara administratif pemiliknya orang lain. Mereka berdua punya situs judi juga udah dari lama, sekarang memperluas jaringannya ke situs porno," jelas Bayan lagi.

Musa kembali menghela napas. "Lo tau dari mana, Yan?"

"Mus, itu bisa dibahas nanti gak, sih? Sekarang yang penting gimana caranya kita yakinin Pak Yanto kalau—"

"Gak bisa," tegas Musa. "Sorry gue potong omongan lo. Kita gak usah naif, deh, pede bisa dapet dukungan Pak Yanto, atau bikin dia ngerasa terancam. Masalahnya, kalau Bayan tau info ini karena dia bagian dari mereka, artinya Bayan penghianat. Tapi kalau Bayan tau karna gak sengaja, dia bakal kena masalah lebih jauh."

Musa menatapku tajam, begitu pula caranya menatap Bayan. Ia berulang kali memijat pelipisnya, menghela napas, dan bergestur gelisah. Aku mengerti, pembicaraan ini bukan lagi tentang kasus kekerasan seksual, melainkan tentang Bayan.

"Maaf, Nya, Mus. Saya tau karna cari tau mereka ke orang-orang di Mindoset. Sebenernya saya sering ke sana, sendirian," kata Bayan. Ia mengakui aibnya, dengan wajah tertunduk lesu dan bahu merosot.

"Lo mabok, Bayan? Ya Allah, Yaaaan. Emang, sih, dosanya punya lo. Tapi jangan napa, Yan! Ginjal lo kalau rusak kagak ada ganti!" Musa semakin frustrasi, sedangkan Bayan semakin menyembunyikan wajahnya.

Aku tak mau tahu alasan Bayan menjadi pelanggan setia Mindoset, bar sekaligus diskotik. Biarlah itu menjadi privasinya.

"Jadi, lo tau semuanya karna nguntit mereka di Mindoset, Yan?" tanyaku yang dijawabnya dengan anggukan kepala. "Ya udah, kan, Angga yang jujur ke kita. Dia udah numbalin diri sendiri, kenapa harus khawatir Bayan kena masalah?"

"Mereka gak bakal mau jatoh sendirian, Bayan bakal diekspos sebagai ketua himpunan yang rajin ke diskotik. Belom lagi lo, gue. Ujungnya bakal ada pembunuhan karakter," sahut Musa serius.

"Sorry gue baru nyampe!" Sekonyong-konyong Farrel berseru menghampiri kami, napasnya terengah dan dahinya penuh keringat. "Udah ketemu Pak Yanto?"

"Belom," balas Musa singkat. "Gak usah ke si Yanto kayaknya."

"Kenapa?"

Musa mengulang ucapan Bayan, tentang orang tua Daniel dan Algi yang punya jabatan, serta peran kedua mahasiswa senior tersebut dalam kehahatan seksual ini. Aku paham, Musa membiarkan Farrel berasumsi bahwa kami takut terhadap permainan politik, sebab ingin menyembunyikan kekhawatiran kami yang sebenarnya.

"Bentar. Jadi yang bener tuh si Algi sama Jovanka bikin situs porno, terus si Daniel, Angga, sama Ricky kaki tangannya?" tanya Farrel.

"Iya, begitu." Bayan menyahut, wajahnya kini tak selesu tadi.

"Ya udah, menurut gue kita gak usah ketemu Pak Yanto." Farrel berkata santai. "Kalian tenang aja, suaminya Dokter Nanda, kan, kapolres. Pasti di pihak kita. Udah, gak usah tegang."

"Jangan naif bisa gak, Rel?" ucapku sinis.

"Gue gak naif. Gue mah cuma percaya keajaiban aja."

Mataku memicing tajam, mencoba menelaah maksudnya. Dia semestinya tahu situasi bahwa saat ini kami tidak sedang bercanda.

Sebentar. Nampaknya aku teringat sesuatu.

"Oh, anjir. Astaga, gue harusnya bersyukur, sih, ada lo di kasus ini." Aku membuang napas lega. "Yan, Mus, gue baru inget si brengsek ini sebenernya konglo. Bapaknya dia pasti punya kartu as bapaknya Algi sama Daniel."

Bayan menatapku tak percaya. "Demi naon kamu, Anya?"

"Secara visual, Farrel emang merepresentasikan mahasiswa kehabisan dana. Aslinya mah bertolak belakang."

"Nah, makanya si konglo brengsek dengan visual mahasiswa kehabisan dana ini tidak melakukannya secara gratis." Farrel membalas ucapanku.

"Anyaaa, kata gue juga mulut dijaga." Musa membuang napas frustrasi.

"Lo sama Bayan, kan, temen gue, Mus. Anya mah, bukan," jawabnya.

"Emang lo mau dibayar pake apa, sih?"

"Duit, lah."

"Brengsek," desisku. "Gue bayar!"

"Gue minta bayaran kayak part-timer aja, sehari kerja, kan, gak sampe lapan jam. Jadi itungannya sehari lima puluh, terhitung dari besok sampe menang sidang."

Aku ternganga. Memang, sih, aku butuh bantuannya sekarang, sebab aku tak punya lagi sesuatu yang "lebih kuat" daripada Farrel untuk melawan komplotan Angga. Aku tak tahu berapa hari yang kubutuhkan untuk memenangi persidangan, sehingga aku tak yakin punya uang sebanyak itu.

"Yang bener aja kali, Rel. Si Anya udah kayak anak gue!" bela Musa.

"Adek gue juga!" Bayan menyahuti.

"Ya, kan—"

"Weekend, tanggal merah, sama cuti gak diitung, ya. Jadi kalau di weekday lo gak nongol pas gue butuh, kagak diitung. Deal!" Aku memotong ucapan Farrel seraya menjulurkan tangan untuk bersalaman.

Ia tersenyum licik. "Gitu, dong. Deal."

Uang bisa dicari. Aku juga bisa hidup lebih hemat dari anak kos biasanya. Aku bisa. Satu hal yang jelas, aku tak bisa menjadi konglomerat dalam waktu singkat, jadi, bagaimanapun aku butuh bantuannya.

Musa dan Bayan terperangah tanpa sepatah kata. Farrel membuang napas lega dihiasi senyum kebanggaannya.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top